Leadership is a matter
of intelligence, trustworthiness, humaneness, courage, and discipline, ujar Sun
Tzu. Kepemimpinan adalah gabungan unsur-unsur kecerdasan, sifat amanah (dapat
dipercaya), rasa kemanusiaan, keberanian, serta disiplin.
Sun Tzu kemudian menambahkan, “Hanya ketika seseorang
memiliki kelima unsur ini menjadi satu dalam dirinya, masing-masing dalam porsi
yang tepat, baru dia layak dan bisa menjadi seorang pemimpin sejati.
Ketika dalam masa pembuangan politik oleh Belanda di
Bengkulu (1938), Bung Karno pernah didatangi seorang tukang perah susu yang
tengah dililit kesulitan uang. Dia sangat membutuhkan uang, dan celakanya orang
itu pun yakin, dengan mendatangi Bung Karno persoalannya akan selesai. Apa yang
terjadi?
Sumpah mampus. Sebagai orang buangan, Bung Karno tidak punya
uang sepeser pun. Tapi Bung Karno lantas meminta si pemerah susu menunggu. Bung
Karno masuk bilik, mengambil satu potong baju dan keluar rumah lewat pintu
belakang. Bung Karno menggadaikan bajunya, demi mendapatkan uang tiga rupiah
enampuluh sen. Itu jumlah yang dibutuhkan si pemerah susu. Problem pun
terselesaikan. Leadership is solving problems, begitu kata Karl Popper.
Kepemimpinan adalah memecahkan masalah. Sangat sederhana.
“Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan
mencitrakan diri agar disukai; kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya,
bukan atribut-atributnya,” begitu aseli kutipan dari Peter F. Drucker, pendidik
dan penulis asal Amerika Serikat, yang blas tidak kenal sama sekali dengan
Susilo Bambang Yudhoyono.
Kepemimpinan berarti memecahkan masalah. Hari ketika para
bawahan Anda berhenti membawa permasalahan mereka kepada Anda, adalah hari
ketika Anda berhenti menjadi pemimpin mereka. Bisa jadi bawahan Anda tadi tidak
percaya lagi akan kemampuan Anda menolong memecahkan masalah mereka, atau bisa
jadi mereka menyimpulkan bahwa Anda tidak peduli lagi akan semua permasalahan
mereka. Yang manapun alasan mereka berhenti menghadap Anda untuk semua masalah
mereka, either case is a failure of leadership, begitu dikatakan Karl Popper. Itu
adalah tanda kegagalan kepemimpinan Anda.
Tapi, ingatlah, sebagaimana Dwight D. Eisenhower, “You do
not lead by hitting people over the head!” Kau tidak memimpin dengan cara menindas orang.
Itu kekerasan namanya, bukan kepemimpinan.
Orang sering bertanya, apa bedanya seorang pemimpin dan
seorang boss (atasan)? Bedanya adalah, seorang pemimpin memimpin, yaitu membuat
orang melakukan sesuatu dengan memberi contoh dan melakukan sendiri juga apa
yang dilakukan pengikutnya. Pemimpin membuat yang dipimpin melakukan sesuatu
dengan suka hati karena inspirasinya. Sementara boss (atasan) membuat orang
lain melakukan sesuatu dengan menyuruh mereka melakukannya, tidak peduli mereka
suka atau tidak. Itu kata-kata Theodore Roosevelt. The boss says,
"Go!", the leader says, "Let's go!"
Mari sejenak kita lihat kasus: Meski sama-sama parpol yang
ketua umumnya terlibat dugaan korupsi, PKS jauh lebih cepat konsolidasinya
dibanding Pardem. Ketua Majelis Syuro langsung dengan tegas menjalankan roda
organisasi dan mengambil keputusan. Organisasi dan kepemimpinan di situ berjalan
efektif. LHI yang dicokok KPK langsung diganti posisinya oleh AM.
Beda dengan Pardem. Bahkan lewat beberapa hari, Majelis
Tinggi Partai sama sekali tak berinisiatif mengundang AU, padahal posisi AU
"bebas" (tak sebagaimana LHI yang langsung ditahan). Di situ SBY
bertindak lamban. Kenapa? Bukan karena karakter pribadinya yang lemah dan
lamban mungkin, namun ketidaktegasannya karena begitu banyak hiden agenda atau
pamrih liyan yang membelenggu. Dalam teori Sun Tzu, sifat amanahnya sulit dipenuhi.
Berhari-hari mendiamkan masalah, sampai ketika AU sebagai Ketum parpol pidato
mengundurkan diri pun, didiamkan saja, tak ada tegur-sapa. Ditelpon juga tidak,
apalagi chatting sikit-sikitlah. Ya, karena memang ada permusuhan antara blok
AU dan blok SBY. Tak bisa ditutupi. Dan gaya kepemimpinan SBY itu, jadi
penyumbang penting terpuruknya Pardem.
Lihat contoh yang lain, Indonesia sekitar 1997, waktu itu sedang dilanda
krisis moneter. Gus Dur, sebagai Ketua Umum PBNU hendak mencairkan selembar
cheque di BCA sebesar Rp 50 juta. Menyuruh sopirnya untuk melakukan tugas
tersebut, beliau menunggu di Kramat Raya (Jakarta), kantor PBNU.
Namun, bank menolak pencairan itu. Alasannya, tak ada uang.
Sang sopir pun balik dengan tangan kosong. Ngamuklah Gus Dur, "Lho, ini
'kan uang saya. Uang sendiri nggak boleh diambil itu gimana ceritanya. Tolong,
sana balik lagi!"
Sang sopir kembali ke bank. Namun sama saja hasilnya.
Maka, muncullah akal-akalan Mafioso model Gus Dur,
"Begini saja. Tugas kamu, pokoknya, harus bisa ngambil uang itu! Begini
caranya. Masukkan tanganmu ke dalam tas kresek warna hitam. Datang lagi ke
bank. Katakan kepada petugas bank, uang Gus Dur harus diambil hari ini juga.
Kalau tidak boleh, bilang; Kalau masih tidak boleh, Gus Dur minta agar saya
membuka katup granat ini. Biar semua berantakan. Ini perintah! Pilih diberi
atau saya harus meledakkan tempat ini,...!"
Berangkatlah kembali sang sopir, menjalankan tugas mulia
itu. Sampai di bank, tanpa banyak ba-bi-bu, sang sopir langsung memberondongkan
kata-kata sebagaimana diamanatkan Gus Dur. Keruan saja, petugas bank gemetaran.
Akhirnya, dengan cepat petugas bank mencairkan cheque milik Gus Dur.
Sang sopir pun pulang dengan sukses. Dan Polisi pun hanya
bisa nyengir, ketika tahu di tangan sopir itu tak ada apa-apanya. "Kalau
bukan saya yang nyuruh," cerita Gus Dur, "sopir tadi sudah
dikombongkan (di-sel) Polisi,...!"
Kita melihat, bagaimana kepemimpinan Bung Karno, Gus Dur, dan SBY dalam praktik. Tentu saja, masing-masing berangkat dari sejarahnya sendiri. Satu sama lain tak bisa dibandingkan, namun kita melihat, one moment, bagaimana kepemimpinan dipraktikkan.
Pemimpin, apapun, adalah menyelesaikan masalah, bukan bagian
dari masalah. Dan apakah kalian bukan pemimpin? Para suami, para isteri, para
guru, para buruh, para tukang becak, para pencopet, para tukang jamu, para
bloger, para mahasiswa, para ibu yang sendiri, para,... kalian adalah para
pemimpin bagi orang-orang yang kalian kasihi dan berharap. You don't have to
hold a position in order to be a leader, kata Anthony D’Angelo. Anda tidak
perlu memiliki jabatan atau posisi tertentu untuk bisa menjadi pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar