"Mengapa doa harus dipanjatkan?" bertanya Gus Dur.
"Karena doa tidak bisa manjat sendiri,..." jawab Gus Dur pula.
Lucu? Tampaknya iya. Namun juga yang tak kalah bermakna, joke Gus Dur itu mengandung kebijaksanaan yang sederhana saja, namun tidak ringan.
Kenapa doa tak bisa memanjat sendiri untuk naik (itu jika dibayangkan Tuhan yang menjadi target doa berada di atas)? Karena doa pada hakikatnya adalah kata-kata. Ia adalah salah satu anasir penggerak, namun bukan satu-satunya tentu. Kata Rhoma Irama, perlunya doa dan perjuangan.
Doa tidak bisa naik dan makbul menjadi kenyataan, jika hanya diharapkan semata. Ia harus diperjuangkan, harus dipanjatkan dengan perbuatan, pelaksanaan. Sebagaimana keyakinan Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, pelaksanaan doa-doa, harapan. Selebihnya? Berpasrah mengenai hasilnya.
Pasrah bukan bentuk kepasifan, melainkan penyerahan setelah kita bekerja keras menggapai, setelah berjuang, setelah berusaha, karena betapa tak berdayanya manusia dengan berbagai kemungkinan di luar kuasanya yang rahasia. Senyatanya, meski telah berjuang di jalan benar, tekun, pintar, bisa jadi gagal. Karena apa? Karena banyak faktor yang kompleks, yang tak sesederhana simulasi sebagaimana metode klasik lembaga survey.
Doa perlu dipanjatkan dengan berbagai kebaikan cara dan kemuliaan pelaksanaan untuk mendapatkan hasil. Karena kalau hanya ampuh-ampuhan doa, kita bisa bayangkan, bagaimana tim kesebelasan Spanyol dan tim Italia sama-sama berdoa meminta pada Tuhan agar bisa menjuarai Piala Euro kemarin.
Bagaimana murid-murid SD, SMP, SMA, berdoa bersama-sama, dengan dukungan para habib, agar lulus UAN, agar bisa lulus 100%, dan bagaimana hasilnya? Ada yang lulus ada yang tidak. Karena apa? Kurang ampuhnya doa? Atau kurang ampuhnya usaha?
Kita juga bisa melihat, bagaimana hampir semua kandidat yang bertarung, apakah Pilgub, Pilbup, Pilpres, semua didukung oleh kekuatan-kekuatan doa. Bahkan di Jakarta, ada kandidat yang mengajak "pilihlah pemimpin yang dekat dengan habib dan ulama", sebagai simbol nilai. Sementara fakta membutuhkan kenyataan nilai.
Itulah sebabnya, sebagaimana kata Gus Dur, karena doa tak bisa manjat sendiri maka harus dipanjatkan. Selamat memanjatkan doa, dengan tindakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar