Oleh Sunardian Wirodono
Pada
dasarnya, manusia adalah makhluk adaptif. Setidaknya, itulah yang membuatnya
masih ada hingga kini, dalam perjalanan waktu yang mungkin sudah mencapai 5 – 8
ribu tahun.
Dalam bacaan mengenai sejarah peradaban planet bumi, kita mengenali beberapa jenis makhluk hidup lain, yang kini sudah tak ada. Mungkin dalam dugaan kita karena ketakmampuannya beradaptasi. Misal, kenapa dinosaurus lenyap, atau juga berbagai jenis binatang yang kini langka. Jika kita ingat cerita orangtua atau kakek-nenek kita mengenai jaman Jepang (awal decade 1940-an), kita kini mungkin tak lagi melihat binatang yang disebut kepinding (bangsat, atau dalam istilah Jawa disebut ‘tinggi’). Demikian halnya juga mungkin berbagai jenis tanaman atau tumbuhan, yang tak lagi bisa kita temu.
Dalam bacaan mengenai sejarah peradaban planet bumi, kita mengenali beberapa jenis makhluk hidup lain, yang kini sudah tak ada. Mungkin dalam dugaan kita karena ketakmampuannya beradaptasi. Misal, kenapa dinosaurus lenyap, atau juga berbagai jenis binatang yang kini langka. Jika kita ingat cerita orangtua atau kakek-nenek kita mengenai jaman Jepang (awal decade 1940-an), kita kini mungkin tak lagi melihat binatang yang disebut kepinding (bangsat, atau dalam istilah Jawa disebut ‘tinggi’). Demikian halnya juga mungkin berbagai jenis tanaman atau tumbuhan, yang tak lagi bisa kita temu.
Bakal Terbit: Novel Politik Terbaru, April 2020 | . |
Daya adaptasi manusia menunjukan ‘kelebihan’ makhluk
ini dibanding lainnya. Yakni survivalitas yang karena kemampuannya menggunakan
akal-pikiran. Itulah yang menyebabkan manusia memiliki catatan perubahan, disebut
proses peradaban. Dari entah yang disebut jaman batu, hingga jaman yang diramalkan
Einstein mungkin akan sampai dengan perang batu dan kayu, setelah perang nuklir
dan penggunaan senjata kimia.
Kedigdayaan Musuh Terbaru. Di luar yang meyakini adanya teori konspirasi, munculnya pandemi Covid-19, membuktikan peperangan terbaru manusia, menghadapi situasi krisis lingkungannya. Apapun sejarahnya, Covid-19 telah mengharu-biru manusia. Sampai pada titik paling krusial, yakni kematian manusia dalam waktu relative cepat. Bahkan menantang pada titik kulminasinya, yakni menyerang manusia-manusia yang justeru kita sebut sebagai para ahli kesehatan.
Hal tersebut benar-benar menunjukkan kedigdayaan musuh terbaru manusia ini. Dan kita lihat, ketidaksiapan kita semua menghadapi hal itu. Secara sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan politik, di mana pada unsur terakhir telah bercampur dengan karakter dari manusia itu sendiri, yakni homo homini lupus.
Di manakah letak manusia Indonesia dalam situasi itu? Justeru ketika manusia Indonesia kini juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan progres kebudayaan sejak 1908, 1928, 1945, justeru mulai 1966 bangsa Indonesia berada dalam situasi stagnan. Setidaknya pada periode yang secara politik disebut Orde Baru, atau new-orde, kekuasaan politik justeru membuat kurva peradaban manusia menurun.
Soeharto dengan otoritariannya, dengan pragmatisme politik dan system formalisme dalam nilai kebudayaan (pendidikan dan agama), menjadikan kita mandeg. Dan kita merasakan akibat lanjutannya, dalam kualitas demokrasi, kualitas dan daya saing sdm, serta munculnya formalisme yang menjadi bagian dari pelambatan perubahan itu sendiri. Kita bisa memahami nubuat Sukarno, “Perjuanganku takkan lebih berat darimu, yang mesti menghadapi bangsamu sendiri!”
Agama Kehilangan Legitimasi. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas mutlak. Para ahli di berbagai bidang, juga sama sekali tak punya otoritas keahliannya. Matinya kepakaran, karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Juga keterbelahan kelompok kelas masyarakat ini, menjadi pemicu akibat dari terjadinya polarisasi atas nama kepentingan-kepentingan.
Dalam hal ini, menghadapi pandemic Covid-19, kelompok agama juga kehilangan legitimasi dan bahkan legalitasnya. Bukan hanya karena mereka tak mengerti cara mengatasi situasi, melainkan keyakinan keberagamaannya, juga menjadi kontra-produktif. Sebagaimana kritik Einstein, agama mesti berjalan seiring dengan ilmu dan pengetahuan, agar tidak lumpuh. Dalam praktiknya, sebagai contoh kasus, penyebabran virus corona secara massif dan serentak, justeru berkait aktivitas agama, seperti di Korea, Malaysia, juga di beberapa kota Indonesia yang dipakai untuk pertemuan berjamaah atau pun ibadah bersama di masa himbauan physical distancing.
Apa yang terjadi di gereja dan masjid Indonesia, tak bisa tidak dikaitkan dengan bagaimana agama menjadi persoalan, dan paling tak mudah berdamai dengan situasi. Mereka yang tetap heroik melakukan peribadatan massal, biasanya meyakini bahwa mati dan hidup adalah otoritas Tuhan, jadi kenapa mesti lebih takut pada aturan manusia daripada ketentuan Tuhan? Jika pun sekiranya kejadian, mereka bisa dengan enteng mengatakan demikianlah takdirnya.
Kualitas SDM negara Indonesia, dalam catatan perangkingan literasi dunia, beberapa tahun lampau, berada di posisi ke-2 dari bawah. Hanya satu tingkat lebih unggul dari sebuah negara kecil di Afrika.
Formalisme Berfikir dan Berkeagamaan. Sementara itu, formalisme berfikir dan berkeagamaan, menjadi faktor lain dari persoalan-persoalan kita menghadapi situasi sekarang ini. Kita tahu banyak cerita mengenai itu. Tentang pendeta yang ngeyel, juga beberapa habib dan ustadz yang muncul di medsos, dalam video-video pendek, menghujat pemerintah dan negara sebagai laknatullah karena dituding dzalim, dan lain sejenisnya.
Bahkan situasi sekarang ini, bisa jauh lebih buruk karena hal-hal tersebut muncul dalam berbagai pertemuan irisan kepentingan. Perubahan situasi politik, orientasi pemerintahan yang berjalan, memungkinkan tabrakan-tabrakan pihak-pihak yang dirugikan secara politik dan ekonomi. Konflik atau perang yang muncul, berbentuk a-simetris, dan karenanya menjadi tidak gampang.
Ketika pandemic Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional pun, tak bisa mempersatukan. Tak sebagaimana Sukarno dulu memakai slogan-slogan provokatif seperti ganyang Malaysia, Inggris kita linggis dan Amerika kita sterika. Demikian pula jaman Soeharto, diciptakan common enemy bernama PKI, menjadi alat strategis untuk membuat satu barisan yang mendukungnya. Padal di sisi lainnya, hal itu abai dengan kepentingan negara secara substansi dalam membangun persatuan dan kesaktuan. Kekuatan itu malahan dikamuflase bagi kepentingan politik kekuasaan Soeharto. Polarisasi itu bukan meredup, meski Soeharto telah 18 tahun longsor. Bahkan polarisasi itu kembali sengaja dibangun, baik oleh pengikutnya, hingga oposan bagi pemerintahan kini.
Bagaimana kita membayangkan new normal, atau kenormalan baru, yang istilah itu kini disebut-sebut, dalam keputusasaan menghadapi pandemic? Bagaimana dengan sesanti Sukarno, bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’. Berazas gotong royong yang menjadi soko-guru Indonesia?
Tidak Semudah Kritik. Sesuatu yang tak mudah, Tidak semudah kritik-kritik yang dilontarkan entah itu dari yang disebut SJW, aktivis politik, kaum oposan. Di mana terlihat perspektifnya lebih berangkat dari kepentingan masing-masing. Apalagi jika dilakukan dengan cara pandang mikroskopik. Sesuatu yang kecil terlihat membesar. Padal, demikianlah kerja mikroskop, karena focus penglihatan, tetapi mengabaikan peripheral atau lingkungannya.
Sementara siapapun, yang berada dalam posisi Presiden (eksekutif), sekarang tak bisa tidak harus melihat dari berbagai aspek. Tidaklah mudah menjadi penyeimbang dari berbagai obyek dan subjek yang saling berkelindan. Apa yang dilakukan seorang Presiden, berimplikasi langsung bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada dirinya. Dalam kungkungan legislative dan judikatif, plus rakyat dan media di jaman medsos kiwari yang tak terkendali lagi. Ditambah pula kualitas demokrasi yang belum membahagiakan.
Siapapun presidennya, tak bisa tidak harus memperhatikan berbagai aspek itu. Sehingga apapun keputusannya, bisa terlihat kontroversial. Atau tak mudah diterima. Apalagi jika yang masing-masing konstituen kukuh ingin mendapat 100%, bahkan lebih dari semua keinginannya. Kita cenderung tak mau kepentingannya dibagi, atau terbagi, apalagi berbagi untuk kepentingan lain. Jika perlu, bagaimana bisa kita dominasi kepentingan itu dengan mengabaikan kepentingan liyan.
Apakah tak ada jalan keluar? Kembali ke daya adaptif manusia. Sekali pun dalam situasi sekarang, kehadiran Presiden yang baik saja menjadi tak cukup. Catatan bagi Jokowi, ialah bagaimana mampu keluar dari zona merah itu. Lebih berani memutuskan dengan radikal. Situasi kenormalan baru akan lebih mendapat jalan dari sini.
Apalagi ketika kita tidak mendapatkan pencerahan terbarukan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan (baca; dunia kesenian) kita. Bahkan, sekali lagi, apalagi dari agama. Kelemahan yang paling mendasar dari bangsa ini, rendahnya disiplin dan tingginya konformisme, kadang mendapatkan dan mencari legitimasi dari agama. Demokrasi hanya dilihat dari aspek hak (azasi manusia) dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Sama sekali tak melihat bahwa semua itu dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Kualitas Demokrasi dan Rendahnya Literasi. Meski pun tentu kita juga mengetahui, Negara Indonesia baru berada dalam situasi transisi, Dari situasi-situasi kritis peninggalan 32 tahun, dari rezim otoriter ke era yang didorong untuk lebih demokratis. Di situ pada akhirnya daripada ngomongin new normal, akibat pandemi corona, terasa lebih penting ke pokok dasarnya. Yakni sikap mental dan perilaku bangsa ini menghadapi perubahan (apapun). Pandemi corona, mungkin justeru bisa diletakkan sebagai pemicu. Sebagaimana beberapa kasus kematian yang terjadi secara massal, di antaranya adalah tidak selalu oleh corona virus. Melainkan karena penyakit-penyakit bawaan atau yang sudah diidap sebelumnya.
Penyakit bangsa ini, soal kualitas demokrasi dan rendahnya daya literasi. Dangkalnya daya penalaran, yang menjadi kontraprodukif, justeru karena lebih bersandar pada klaim-klaim nilai yang dianggap substansial, padal pada sisi lain, tidak relevan. Misal, munculnya puritanisme (di luar radikalisme), yang mengagungkan agama sebagai satu-satunya nilai, dengan menisbikan nilai-nilai lainnya. Padal agama-agama itu sendiri tak sedikit membawa pesan; agar manusia berpikir, menggunakan akal, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Jangankan hal itu, ajaran welas asih dan kesalehan sosial, bisa diabaikan.
Sebagai penutup tulisan ini, apa yang terjadi pada orang yang disebut habib di Bangil (Jawa Timur), ketika berurusan dengan Kepolisian. Bagaimana kemudian kasus itu diselesaikan. Kedua belah pihak, sama-sama tak proporsional dilihat dari status atau posisinya secara sosial. Hal itu nyata, serta dalam beberapa hal, umum terjadi. Bagaimana seorang ahli agama memalsukan BPKB kendaraannya? Bagaimana petugas negara yang menjalankan aturan pemerintah justeru meminta maaf pada pelanggarnya? Itu sungguh sesuatu banget, dan nyata banget. | @sunardianwirodono
Kedigdayaan Musuh Terbaru. Di luar yang meyakini adanya teori konspirasi, munculnya pandemi Covid-19, membuktikan peperangan terbaru manusia, menghadapi situasi krisis lingkungannya. Apapun sejarahnya, Covid-19 telah mengharu-biru manusia. Sampai pada titik paling krusial, yakni kematian manusia dalam waktu relative cepat. Bahkan menantang pada titik kulminasinya, yakni menyerang manusia-manusia yang justeru kita sebut sebagai para ahli kesehatan.
Hal tersebut benar-benar menunjukkan kedigdayaan musuh terbaru manusia ini. Dan kita lihat, ketidaksiapan kita semua menghadapi hal itu. Secara sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan politik, di mana pada unsur terakhir telah bercampur dengan karakter dari manusia itu sendiri, yakni homo homini lupus.
Di manakah letak manusia Indonesia dalam situasi itu? Justeru ketika manusia Indonesia kini juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan progres kebudayaan sejak 1908, 1928, 1945, justeru mulai 1966 bangsa Indonesia berada dalam situasi stagnan. Setidaknya pada periode yang secara politik disebut Orde Baru, atau new-orde, kekuasaan politik justeru membuat kurva peradaban manusia menurun.
Soeharto dengan otoritariannya, dengan pragmatisme politik dan system formalisme dalam nilai kebudayaan (pendidikan dan agama), menjadikan kita mandeg. Dan kita merasakan akibat lanjutannya, dalam kualitas demokrasi, kualitas dan daya saing sdm, serta munculnya formalisme yang menjadi bagian dari pelambatan perubahan itu sendiri. Kita bisa memahami nubuat Sukarno, “Perjuanganku takkan lebih berat darimu, yang mesti menghadapi bangsamu sendiri!”
Agama Kehilangan Legitimasi. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas mutlak. Para ahli di berbagai bidang, juga sama sekali tak punya otoritas keahliannya. Matinya kepakaran, karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Juga keterbelahan kelompok kelas masyarakat ini, menjadi pemicu akibat dari terjadinya polarisasi atas nama kepentingan-kepentingan.
Dalam hal ini, menghadapi pandemic Covid-19, kelompok agama juga kehilangan legitimasi dan bahkan legalitasnya. Bukan hanya karena mereka tak mengerti cara mengatasi situasi, melainkan keyakinan keberagamaannya, juga menjadi kontra-produktif. Sebagaimana kritik Einstein, agama mesti berjalan seiring dengan ilmu dan pengetahuan, agar tidak lumpuh. Dalam praktiknya, sebagai contoh kasus, penyebabran virus corona secara massif dan serentak, justeru berkait aktivitas agama, seperti di Korea, Malaysia, juga di beberapa kota Indonesia yang dipakai untuk pertemuan berjamaah atau pun ibadah bersama di masa himbauan physical distancing.
Apa yang terjadi di gereja dan masjid Indonesia, tak bisa tidak dikaitkan dengan bagaimana agama menjadi persoalan, dan paling tak mudah berdamai dengan situasi. Mereka yang tetap heroik melakukan peribadatan massal, biasanya meyakini bahwa mati dan hidup adalah otoritas Tuhan, jadi kenapa mesti lebih takut pada aturan manusia daripada ketentuan Tuhan? Jika pun sekiranya kejadian, mereka bisa dengan enteng mengatakan demikianlah takdirnya.
Kualitas SDM negara Indonesia, dalam catatan perangkingan literasi dunia, beberapa tahun lampau, berada di posisi ke-2 dari bawah. Hanya satu tingkat lebih unggul dari sebuah negara kecil di Afrika.
Formalisme Berfikir dan Berkeagamaan. Sementara itu, formalisme berfikir dan berkeagamaan, menjadi faktor lain dari persoalan-persoalan kita menghadapi situasi sekarang ini. Kita tahu banyak cerita mengenai itu. Tentang pendeta yang ngeyel, juga beberapa habib dan ustadz yang muncul di medsos, dalam video-video pendek, menghujat pemerintah dan negara sebagai laknatullah karena dituding dzalim, dan lain sejenisnya.
Bahkan situasi sekarang ini, bisa jauh lebih buruk karena hal-hal tersebut muncul dalam berbagai pertemuan irisan kepentingan. Perubahan situasi politik, orientasi pemerintahan yang berjalan, memungkinkan tabrakan-tabrakan pihak-pihak yang dirugikan secara politik dan ekonomi. Konflik atau perang yang muncul, berbentuk a-simetris, dan karenanya menjadi tidak gampang.
Ketika pandemic Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional pun, tak bisa mempersatukan. Tak sebagaimana Sukarno dulu memakai slogan-slogan provokatif seperti ganyang Malaysia, Inggris kita linggis dan Amerika kita sterika. Demikian pula jaman Soeharto, diciptakan common enemy bernama PKI, menjadi alat strategis untuk membuat satu barisan yang mendukungnya. Padal di sisi lainnya, hal itu abai dengan kepentingan negara secara substansi dalam membangun persatuan dan kesaktuan. Kekuatan itu malahan dikamuflase bagi kepentingan politik kekuasaan Soeharto. Polarisasi itu bukan meredup, meski Soeharto telah 18 tahun longsor. Bahkan polarisasi itu kembali sengaja dibangun, baik oleh pengikutnya, hingga oposan bagi pemerintahan kini.
Bagaimana kita membayangkan new normal, atau kenormalan baru, yang istilah itu kini disebut-sebut, dalam keputusasaan menghadapi pandemic? Bagaimana dengan sesanti Sukarno, bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’. Berazas gotong royong yang menjadi soko-guru Indonesia?
Tidak Semudah Kritik. Sesuatu yang tak mudah, Tidak semudah kritik-kritik yang dilontarkan entah itu dari yang disebut SJW, aktivis politik, kaum oposan. Di mana terlihat perspektifnya lebih berangkat dari kepentingan masing-masing. Apalagi jika dilakukan dengan cara pandang mikroskopik. Sesuatu yang kecil terlihat membesar. Padal, demikianlah kerja mikroskop, karena focus penglihatan, tetapi mengabaikan peripheral atau lingkungannya.
Sementara siapapun, yang berada dalam posisi Presiden (eksekutif), sekarang tak bisa tidak harus melihat dari berbagai aspek. Tidaklah mudah menjadi penyeimbang dari berbagai obyek dan subjek yang saling berkelindan. Apa yang dilakukan seorang Presiden, berimplikasi langsung bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada dirinya. Dalam kungkungan legislative dan judikatif, plus rakyat dan media di jaman medsos kiwari yang tak terkendali lagi. Ditambah pula kualitas demokrasi yang belum membahagiakan.
Siapapun presidennya, tak bisa tidak harus memperhatikan berbagai aspek itu. Sehingga apapun keputusannya, bisa terlihat kontroversial. Atau tak mudah diterima. Apalagi jika yang masing-masing konstituen kukuh ingin mendapat 100%, bahkan lebih dari semua keinginannya. Kita cenderung tak mau kepentingannya dibagi, atau terbagi, apalagi berbagi untuk kepentingan lain. Jika perlu, bagaimana bisa kita dominasi kepentingan itu dengan mengabaikan kepentingan liyan.
Apakah tak ada jalan keluar? Kembali ke daya adaptif manusia. Sekali pun dalam situasi sekarang, kehadiran Presiden yang baik saja menjadi tak cukup. Catatan bagi Jokowi, ialah bagaimana mampu keluar dari zona merah itu. Lebih berani memutuskan dengan radikal. Situasi kenormalan baru akan lebih mendapat jalan dari sini.
Apalagi ketika kita tidak mendapatkan pencerahan terbarukan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan (baca; dunia kesenian) kita. Bahkan, sekali lagi, apalagi dari agama. Kelemahan yang paling mendasar dari bangsa ini, rendahnya disiplin dan tingginya konformisme, kadang mendapatkan dan mencari legitimasi dari agama. Demokrasi hanya dilihat dari aspek hak (azasi manusia) dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Sama sekali tak melihat bahwa semua itu dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Kualitas Demokrasi dan Rendahnya Literasi. Meski pun tentu kita juga mengetahui, Negara Indonesia baru berada dalam situasi transisi, Dari situasi-situasi kritis peninggalan 32 tahun, dari rezim otoriter ke era yang didorong untuk lebih demokratis. Di situ pada akhirnya daripada ngomongin new normal, akibat pandemi corona, terasa lebih penting ke pokok dasarnya. Yakni sikap mental dan perilaku bangsa ini menghadapi perubahan (apapun). Pandemi corona, mungkin justeru bisa diletakkan sebagai pemicu. Sebagaimana beberapa kasus kematian yang terjadi secara massal, di antaranya adalah tidak selalu oleh corona virus. Melainkan karena penyakit-penyakit bawaan atau yang sudah diidap sebelumnya.
Penyakit bangsa ini, soal kualitas demokrasi dan rendahnya daya literasi. Dangkalnya daya penalaran, yang menjadi kontraprodukif, justeru karena lebih bersandar pada klaim-klaim nilai yang dianggap substansial, padal pada sisi lain, tidak relevan. Misal, munculnya puritanisme (di luar radikalisme), yang mengagungkan agama sebagai satu-satunya nilai, dengan menisbikan nilai-nilai lainnya. Padal agama-agama itu sendiri tak sedikit membawa pesan; agar manusia berpikir, menggunakan akal, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Jangankan hal itu, ajaran welas asih dan kesalehan sosial, bisa diabaikan.
Sebagai penutup tulisan ini, apa yang terjadi pada orang yang disebut habib di Bangil (Jawa Timur), ketika berurusan dengan Kepolisian. Bagaimana kemudian kasus itu diselesaikan. Kedua belah pihak, sama-sama tak proporsional dilihat dari status atau posisinya secara sosial. Hal itu nyata, serta dalam beberapa hal, umum terjadi. Bagaimana seorang ahli agama memalsukan BPKB kendaraannya? Bagaimana petugas negara yang menjalankan aturan pemerintah justeru meminta maaf pada pelanggarnya? Itu sungguh sesuatu banget, dan nyata banget. | @sunardianwirodono
Yogyakarta, Malam Lebaran, 24 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar