Selasa, Mei 05, 2020

Dari Kasus Refly Harun: Antara Media Online & Media Sosial


Oleh : Sunardian Wirodono

Mari sedikit berbincang tentang media online dan media sosial. Ketika media mengutip omongan Refly Harun, bahwa aksi sosial Jokowi melakukan bagi sembako pada masyarakat, adalah ‘sebuah pencitraan yang salah’. Tidak significant, dalam konteks kekuasaan, menghadapi bencana nasional coronavirus dengan berbagai implikasinya; Apa sebenarnya yang kemudian terjadi?

Refly Harun, dalam kasus pemberitaan atau pengutipan pendapat itu, sesungguhnya berada dalam posisi dirugikan media pers itu sendiri. Kita masih ingat, bagaimana konon ahli hukum tata-negara ini mengatakan (usai pencopotan sebagai komisaris salah satu BUMN), bahwa ia akan mengawasi pemerintahan. Yang baik dia dukung, yang salah akan dia kritisi secara proporsional.

Pemberitaan mengenai pernyataan Refly soal aksi bagi sembako Jokowi, sama sekali tak significant untuk janji Refly, untuk tetap kritis dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Karena yang dikritisinya bukan kebijakan pemerintah. Melainkan aksi individu Jokowi, yang kebetulan adalah Presiden. Lho, kok dikawal Paspampres segala? Karena Jokowi adalah melekat Presiden, sebagaimana resiko apapun perbuatan dia, bermatra banyak. Kalau dalam aksi pribadinya mengalami kecelakaan, apa yang terjadi? Itu yang diharap lawan politik. Apa implikasinya? Bedakan dengan tetangga saya, yang tukang tambal ban, ketika menjadi pelopor aksi sembako Tetap saja dianggap sudah kewajiban kita sebagai makhluk sosial, peduli sesama.  

Model pemberitaan media, jadi merugikan Refly karena ada split logika yang tak terwacanakan. Karena media hanya merekam, anti beropini. Tidak ada perspektif dan preferensi yang dibangun. Di situ bukan hanya Refly yang dirugikan, melainkan masyarakat secara umum. Kenapa?

Diskursus Mengenai Media yang Berubah. Karena diskursus yang dibangun media, jadi kontra-produktif. Padal, kemarin ketika teman-teman pejuang pers mengumandangkan Hari Kebebasan Pers se Dunia, spirit perjuangan apa yang hendak dikibarkan, atas nama ‘kebebasan pers itu? Waktu itu, saya kutipkan omongan Thomas Jefferson, “Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial.”

Tapi, karena pers dalam konteks omongan Thomas Jefferson (yang hidup di 1743 – 1826) kala itu, dia tak tahu apa yang terjadi 200 tahun setelah kematiannya. Sekali pun tahun 2018 Najwa Shihab dalam buku ‘Mantra Layar Kaca’ menyebut; “Media selalu punya kesempatan emas, membangun keterlibatan sosial dan solidaritas.” Bagaimana kalau sebaliknya? Karena media yang dimaksud keduanya (Thomas Jefferson dan Najwa), adalah media konvensional, yang bukan lagi media mainstream. Di situ permasalahan muncul.

Tak bisa dipungkiri, arus utama media kita hari ini adalah medsos (atau sosmed, terserah). Salah satu indikasinya, pers sebagai media konvensional kini tidak tabu mengutip medsos, yang acap jadi pecatu pemberitaannya. Bahkan di tengah perjuangan untuk mempertahankan eksistensinya, pola penulisan pers pun meniru pola-pola media online. Hingga tak tabu yang dulunya disebut pers garda depan, memakai gaya click-bait agar tetap bisa mengumpulkan pembaca. Dengan cara itulah untuk berebut mendapatkan iklan.

Ketidakbebasan pers, masa kini, bukan lagi bernilai heroik, yang memperhadapkan pers dengan kekuasaan negara atau pemerintah. Melainkan lebih pada politik kekuasaan atas hukum pasar. Lebih berkaitan dengan eksistensi masing-masing, atau dengan kata yang lebih sublim: laba. Pertentangan yang lebih jamak, justeru adalah antara insan (untuk tidak menyebut buruh) pers dengan perusahaannya.  

Media cetak kita, entah itu koran, majalah, tabloid, di mana-mana jebol pertahanannya. Kompas, dalam dua tahun ini, anjlok 200 ribu tirasnya. Tempo, baik koran maupun majalah, senyatanya hanya berkisar di Jabodetabek. Ia masih eksis secara nasional karena narasi yang dibangun, dan berkat vibrasi perbincangan netizen. Koran-koran grup Jawa Pos, juga Tribune-News Kelompok Gramedia, media cetaknya hanyalah terusan dari model media online.

Dalam teknologi digital, proses transformasi dari media cetak ke media online, belum menemukan terobosan yang bisa menyelamatkan eksistensinya. Dalam media online, misal, para netizen bisa dengan mudah, dan seenaknya, copast atau screenshots dan kemudian share bebas-merdeka ke mana-mana, yang tentu itu merupakan kendala tersendiri untuk hajat hidup media, yang berharap dari iklan sebagai sumber satu-satunya pemasukan. Apa yang dialami media-media berlatar media konvensional itu, persis sebagaimana hancurnya Republik Cinta milik Ahmad Dhani. Ketika semua hasil produksi rekamannya ambyar di pasaran, meski lagunya bergema di mana-mana. Dan itu membuat Dhani frustrasi, hingga kemudian gundul dan seperti sekarang ini.  

Apakah demikian pula Refly Harun, di sisi lain? Entahlah. Kita bahas implikasi lain: Dengan kualitas literasi, serta kualitas berdemokrasi elementer, kita melihat kekacauan medsos. Separohnya gagal untuk mediasi sosial, karena separohnya diwarnai dengan berbagai cuitan berisi pertentangan pendapat, ujaran kebencian, dan hoax.

Media Online, Medsos, dan Kualitas Literasi Masyarakat. Kita tidak tahu bagaimana cara menghentikan itu semua. Padal, seperti ujar Taylor Swift, one of the most important things about social media is knowing when to put the phone down and experience your life. Penyanyi solo dan penulis lagu dengan 7 Grammy Awards yang fenomenal itu, mengatakan; hal penting mengenai sosial media adalah mengetahui kapan harus meletakan telepon dan mengalami pengalaman hidup (atau kenyataanmu). Meski pun sihir dunia maya, yang nyata itu, ialah kemelekatan yang dalam. Hingga dari menjelang tidur sampai terbangun pun, mata manusia seolah dilem oleh monitor gadget masing-masing.

Manusia sebagai makhluk sosial, berada dalam keramaian di kesendiriannya. Dan apa yang dipermasalahkan? Tiadanya renungan yang dalam, hingga slogan sharing lebih kuat daripada carying. Luncahan medsos, yang menjadi mainstream, adalah bahasa tak terperikan ketika dilakukan pembiaran. Pada kasus Refly sebagai contoh, media bukan jadi penerang atau penengah, tetapi hanya sekedar amplifikasi dari keriuhan masyarakatnya. Lantas di mana peran penerangnya seperti diomongkan Thomas Jefferson dan Najwa Shihab?

History will have to record that the greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people, khutbah Martin Luther King (1929 – 1968), pendeta dan aktivis HAM dari AS. Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar pada era transisi sosial seperti ini, bukanlah keributan yang dibuat oleh orang-orang jahat, tapi diamnya orang-orang baik.

Karena sebagaimana pepatah kuna; mulutmu harimaumu, jari tanganmu harimaumu. Medsos bisa membunuhmu jika kita hanya mengandalkan nafsu share tanpa care. Karena medsos sesungguhnya diproyeksikan untuk menjadikan relasi sosial lebih baik. Yang mestinya, ketika suatu ketika ada himbauan ‘social and physical distancing’, kita tidak semakin diasingkan dalam relasi sosial. Jika kamu ingin tumbuh, ujar Jack Ma, temukanlah kesempatan yang baik. Saat ini, jika kamu ingin menjadi perusahaan yang baik (termasuk membuat media online), pikirkanlah permasalahan sosial yang bisa kamu beri solusi, demikian pendirikan Alibaba itu.

Karena masa depan tak terhindarkan. Bahkan pun pada suatu ketika, jika parlemen, wakil rakyat, tidak kita perlukan lagi. Karena masing-masing, dengan gadget digenggaman tangan, bisa menyuarakan aspirasi langsung, tidak butuh wakil rakyat, yang sampai kini masih cenderung korup dan manipulative.

We all participate in weaving the social fabric, ujar Anne C. Weisberg. Kita semua berpartisipasi dalam menenun jalinan sosial. Karena itu, kita semua harus berpartisipasi dalam menambal kain ketika mengembangkan lubang ketidakcocokan antara harapan lama dan kenyataan saat ini. Pertanyaannya, di mana peran media sosial, atau media online, atau apapun yang mengatasnamankan media massa?

Saya ingin kutipkan Theodore Roosevelt (1858 – 1919), bukan karena sok-sokan, tapi karena omongannya memang terasa lebih bermutu, daripada banyaknya cuitan tak bermutu di masa kini, entah itu dari Fadli Zon, Said Didu, Refly Harun, Tengkuzul dan sebangsanya itu:  Saya tidak mengasihani siapa pun yang melakukan kerja keras yang memang layak untuk dilakukan. Saya mengaguminya. Saya kasihan pada makhluk yang tidak bekerja, di mana pun status sosialnya berada.

Jadi untuk media pers kita, selamat berjuang menemukan keberadaan dan masa depannya, dengan baik dan benar, tanpa harus merasa heroik, jika diperkeok perubahan jamannya. | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...