Oleh : Sunardian Wirodono
Mari
sedikit berbincang tentang media online dan media sosial. Ketika media mengutip
omongan Refly Harun, bahwa aksi sosial Jokowi melakukan bagi sembako pada
masyarakat, adalah ‘sebuah pencitraan yang salah’. Tidak significant, dalam konteks kekuasaan, menghadapi bencana nasional
coronavirus dengan berbagai implikasinya; Apa sebenarnya yang kemudian terjadi?
Refly Harun, dalam kasus
pemberitaan atau pengutipan pendapat itu, sesungguhnya berada dalam posisi dirugikan
media pers itu sendiri. Kita masih ingat, bagaimana konon ahli hukum
tata-negara ini mengatakan (usai pencopotan sebagai komisaris salah satu BUMN),
bahwa ia akan mengawasi pemerintahan. Yang baik dia dukung, yang salah akan dia
kritisi secara proporsional.
Pemberitaan mengenai pernyataan
Refly soal aksi bagi sembako Jokowi, sama sekali tak significant untuk janji Refly, untuk tetap kritis dalam mengawasi
kebijakan pemerintah. Karena yang dikritisinya bukan kebijakan pemerintah. Melainkan
aksi individu Jokowi, yang kebetulan adalah Presiden. Lho, kok dikawal Paspampres segala? Karena Jokowi adalah melekat
Presiden, sebagaimana resiko apapun perbuatan dia, bermatra banyak. Kalau dalam
aksi pribadinya mengalami kecelakaan, apa yang terjadi? Itu yang diharap lawan
politik. Apa implikasinya? Bedakan dengan tetangga saya, yang tukang tambal ban,
ketika menjadi pelopor aksi sembako Tetap saja dianggap sudah kewajiban kita
sebagai makhluk sosial, peduli sesama.
Model pemberitaan media, jadi
merugikan Refly karena ada split logika
yang tak terwacanakan. Karena media hanya merekam, anti beropini. Tidak ada
perspektif dan preferensi yang dibangun. Di situ bukan hanya Refly yang
dirugikan, melainkan masyarakat secara umum. Kenapa?
Diskursus Mengenai Media yang Berubah. Karena diskursus yang dibangun media, jadi kontra-produktif. Padal,
kemarin ketika teman-teman pejuang pers mengumandangkan Hari Kebebasan Pers se
Dunia, spirit perjuangan apa yang hendak dikibarkan, atas nama ‘kebebasan pers itu?
Waktu itu, saya kutipkan omongan Thomas Jefferson, “Pers adalah instrumen paling baik dalam
pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral,
dan sosial.”
Tapi, karena pers dalam konteks omongan Thomas
Jefferson (yang hidup di 1743 – 1826) kala itu, dia tak tahu apa yang terjadi 200
tahun setelah kematiannya. Sekali pun tahun 2018 Najwa Shihab dalam buku ‘Mantra
Layar Kaca’ menyebut; “Media
selalu punya kesempatan emas, membangun keterlibatan sosial dan solidaritas.” Bagaimana
kalau sebaliknya? Karena media yang dimaksud keduanya (Thomas Jefferson dan
Najwa), adalah media konvensional, yang bukan lagi media mainstream. Di situ
permasalahan muncul.
Tak bisa dipungkiri, arus utama media kita hari ini
adalah medsos (atau sosmed, terserah).
Salah satu indikasinya, pers sebagai media konvensional kini tidak tabu mengutip
medsos, yang acap jadi pecatu pemberitaannya. Bahkan di tengah perjuangan untuk
mempertahankan eksistensinya, pola penulisan pers pun meniru pola-pola media
online. Hingga tak tabu yang dulunya disebut pers garda depan, memakai gaya click-bait agar tetap bisa mengumpulkan
pembaca. Dengan cara itulah untuk berebut mendapatkan iklan.
Ketidakbebasan pers, masa kini, bukan lagi bernilai heroik,
yang memperhadapkan pers dengan kekuasaan negara atau pemerintah. Melainkan
lebih pada politik kekuasaan atas hukum pasar. Lebih berkaitan dengan eksistensi
masing-masing, atau dengan kata yang lebih sublim:
laba. Pertentangan yang lebih jamak, justeru adalah antara insan (untuk tidak
menyebut buruh) pers dengan perusahaannya.
Media cetak kita, entah itu koran, majalah, tabloid, di
mana-mana jebol pertahanannya. Kompas, dalam dua tahun ini, anjlok 200 ribu tirasnya.
Tempo, baik koran maupun majalah, senyatanya hanya berkisar di Jabodetabek. Ia
masih eksis secara nasional karena narasi yang dibangun, dan berkat vibrasi perbincangan
netizen. Koran-koran grup Jawa Pos, juga Tribune-News Kelompok Gramedia, media
cetaknya hanyalah terusan dari model media online.
Dalam teknologi digital, proses transformasi dari
media cetak ke media online, belum menemukan terobosan yang bisa menyelamatkan eksistensinya.
Dalam media online, misal, para netizen bisa dengan mudah, dan seenaknya, copast atau screenshots dan kemudian share
bebas-merdeka ke mana-mana, yang tentu itu merupakan kendala tersendiri untuk
hajat hidup media, yang berharap dari iklan sebagai sumber satu-satunya
pemasukan. Apa yang dialami media-media berlatar media konvensional itu, persis
sebagaimana hancurnya Republik Cinta milik Ahmad Dhani. Ketika semua hasil produksi
rekamannya ambyar di pasaran, meski lagunya bergema di mana-mana. Dan itu
membuat Dhani frustrasi, hingga kemudian gundul dan seperti sekarang ini.
Apakah demikian pula Refly Harun, di sisi lain? Entahlah.
Kita bahas implikasi lain: Dengan kualitas literasi, serta kualitas
berdemokrasi elementer, kita melihat kekacauan medsos. Separohnya gagal untuk
mediasi sosial, karena separohnya diwarnai dengan berbagai cuitan berisi
pertentangan pendapat, ujaran kebencian, dan hoax.
Media Online, Medsos,
dan Kualitas Literasi Masyarakat. Kita tidak tahu bagaimana cara menghentikan
itu semua. Padal, seperti ujar Taylor Swift, one of the most important things about social
media is knowing when to put the phone down and experience your life. Penyanyi solo dan penulis lagu dengan 7 Grammy
Awards yang fenomenal itu, mengatakan; hal
penting mengenai sosial media adalah mengetahui kapan harus meletakan telepon
dan mengalami pengalaman
hidup (atau kenyataanmu). Meski
pun sihir dunia maya, yang nyata itu, ialah kemelekatan yang dalam. Hingga dari
menjelang tidur sampai terbangun pun, mata manusia seolah dilem oleh monitor
gadget masing-masing.
Manusia sebagai makhluk sosial, berada dalam keramaian
di kesendiriannya. Dan apa yang dipermasalahkan? Tiadanya renungan yang dalam,
hingga slogan sharing lebih kuat daripada
carying. Luncahan medsos, yang
menjadi mainstream, adalah bahasa tak
terperikan ketika dilakukan pembiaran. Pada kasus Refly sebagai contoh, media
bukan jadi penerang atau penengah, tetapi hanya sekedar amplifikasi dari keriuhan masyarakatnya. Lantas di mana peran
penerangnya seperti diomongkan Thomas Jefferson dan Najwa Shihab?
History will
have to record that the greatest tragedy of this period of social transition
was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the
good people, khutbah Martin Luther King (1929 – 1968),
pendeta dan
aktivis HAM dari AS. Sejarah harus mencatat bahwa tragedi
terbesar pada era transisi sosial seperti ini, bukanlah keributan yang dibuat oleh orang-orang jahat, tapi
diamnya orang-orang baik.
Karena sebagaimana pepatah kuna; mulutmu harimaumu,
jari tanganmu harimaumu. Medsos bisa membunuhmu jika kita hanya mengandalkan
nafsu share tanpa care. Karena medsos sesungguhnya diproyeksikan
untuk menjadikan relasi sosial lebih baik. Yang mestinya, ketika suatu ketika
ada himbauan ‘social and physical
distancing’, kita tidak semakin diasingkan dalam relasi sosial. Jika kamu
ingin tumbuh, ujar Jack Ma, temukanlah
kesempatan yang baik. Saat ini, jika kamu ingin menjadi perusahaan yang baik
(termasuk membuat media online),
pikirkanlah permasalahan sosial yang bisa kamu beri solusi, demikian
pendirikan Alibaba itu.
Karena masa depan tak terhindarkan. Bahkan pun pada
suatu ketika, jika parlemen, wakil rakyat, tidak kita perlukan lagi. Karena
masing-masing, dengan gadget digenggaman tangan, bisa menyuarakan aspirasi langsung,
tidak butuh wakil rakyat, yang sampai kini masih cenderung korup dan manipulative.
We all participate in weaving the social
fabric, ujar Anne
C. Weisberg. Kita semua
berpartisipasi dalam menenun jalinan sosial. Karena itu, kita semua harus berpartisipasi dalam
menambal kain ketika mengembangkan lubang ketidakcocokan antara harapan lama
dan kenyataan saat ini. Pertanyaannya, di mana peran media sosial, atau media
online, atau apapun yang mengatasnamankan media massa?
Saya ingin kutipkan Theodore Roosevelt (1858 – 1919),
bukan karena sok-sokan, tapi karena omongannya memang terasa lebih bermutu,
daripada banyaknya cuitan tak bermutu di masa kini, entah itu dari Fadli Zon,
Said Didu, Refly Harun, Tengkuzul dan sebangsanya itu: Saya
tidak mengasihani siapa pun yang melakukan kerja keras yang memang layak untuk
dilakukan. Saya mengaguminya. Saya
kasihan pada makhluk yang
tidak bekerja, di mana pun status sosialnya berada.
Jadi untuk media pers kita, selamat berjuang menemukan
keberadaan dan masa depannya, dengan baik dan benar, tanpa harus merasa heroik,
jika diperkeok perubahan jamannya. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar