Selasa, Mei 12, 2020

Didi Kempot, dalam Persimpangan Budaya Ambyar

 
 
Oleh : Sunardian Wirodono
 
Didi Kempot adalah persimpangan budaya, dalam dunia industri musik pop Indonesia.
Ketika teman-teman XMal Sindikasi memproduksi acara musik di televisi, dengan bintang utama Didi Kempot (Es Campur Es, TV7, 2002 – 2005), kala itu sebenarnya popularitas DK sudah empot-empotan. Masa booming DK sudah lewat? Entah. Sebenarnya, boleh dikata selalu ada hit-nya tiap tahun. Tapi pasar anyep saja. Mulai dari Plong (2000), Ketaman Asmara (2001), Pokoke Melu, Cucakrawa (2003), tak sanggup ngadepin ndangdhut koplo.
Di panggung musik khalayak (dalam pengertian kultur pop), setelah mencoba berkiat dengan congdhut (keroncong ndangdhut) sebagai differensiasi, mungkin DK sudah putus asa. Atau mungkin karena karakternya, menerima segala tiba sekira masanya sudah lewat. Tak ngotot. Toh ia ‘Superstar Jawa’ yang tak terkalahkan di Suriname, selama 20 tahun terus-menerus. Presiden Suriname pun pandhemen DK.
Lagu ‘Kalung Emas’ yang nge-hit 2013, atau ‘Suket Teki’ di 2016, belum juga bisa mengentaskan dari tidur panjang. Hampir 20 tahun, nyaris persis sama panjang dengan masa kejayaannya di Suriname. Baru kemudian 2019; Didi Kempot Reborn!  Saya tidak tahu persis, siapa yang berperan, Jarkiyo, Agus Magelangan, Gofar Hilman, atau Gus Miftah yang konon dikeluhi DK ‘gimana cara agar viral!
Tapi mungkin juga tak terpikirkan siapapun, juga oleh beberapa nama yang disebut tadi. Kecuali post-factum, sila bikin sejarah. Bahkan pun warga milenial (warga-net sih sebenarnya), sebagai pengusung, tak bisa merumuskannya. Ini sejarah yang berbeda dengan kegelisahan DK waktu itu. Ini fenomena munculnya perang simbolik yang juga masuk ke pola perang asimetris. Apalagi di era teknologi komunikasi dan informasi yang mengubah segala. Termasuk konon matinya kepakaran.
DK menjadi ikon generasi muda, meski dalam perjumpaan yang ‘too late’. Ketika generasi baru Indonesia, dari industri musik pop (sebagai bagian dari kebudayaan pop, dan anak kandung kapitalisme), tidak menemukan pahlawannya. Apalagi ketika menghadapi K-Pop, serta produk ikutannya, dalam komodifikasi jaman kiwari.
Kenapa bukan Iwan Fals, atau Slank? Tentu masing-masing memiliki pemujanya. Meski mengikuti beberapa pertunjukan Iwan Fals, Slank, dan Didi Kempot, di berbagai tempat, mereka memiliki irisan sama. Generasi yang gundah, dengan keambyaran yang sama.
Tapi DK punya nilai simbolik berlebih, karena (bisa jadi) dianggap lebih otentik, untuk berhadapan, aple to aple, sebagai counter-culture. Perjalanan musik DK lebih bisa diterima. Bahkan dibandingkan terobosan Koes Plus, juga A. Riyanto dengan Favourite’s Group, serta Manthous yang telah mewarnai jagat industri musik pop kita dengan ‘Pop Jawa’, dan yang kemudian dikembangkan Manthous dengan istilah campursari (1993).
Koes Plus dan Favourites Group, mungkin berada dalam kutukan industri pop. Disitu saya kira Manthous salah membaca pasar, jika kita ngomong strategi dalam komodifikasi. Ia menjadi eksklusive dengan kesadaran puitika Jawa yang adiluhung. Meski mengangkat nilai tradisi, Manthous dinilai kurang otentik, dan kurang nonjok.
Sebagai pengamen jalanan, DK mewakili sebuah kelas secara lebih pepal. Apalagi ia sendiri pernah jadi korban pertarungan komodifikasi budaya itu (hingga membuat dia nyungsep setelah puncak popularitasnya di awal dekade 2000). Periode campursari dan keroncong pop DK, sedikit mendapatkan jalan, ketika dimunculkan istilah congdhut. Namun, hampir persis dengan Gambang Kromong yang dipopulerkan Benyamins S, yang lebih nge-hit dibanding Pop Betawi-nya. Secara kuantitatif, dalam industri pop, gambang kromong tak masuk kriteria industri besar karena sempitnya pasar. Congdhut juga tak mendapatkan juru-bicara. Ia sendiri (congdhut itu), punya problem dengan komunitas buaya keroncong.
Generasi muda, untuk menyebut generasi baru, secara psikologis dan politis, akan cenderung anti-mainstream, out of the box, anti-kemapanan. Orang gelisah dan ambyar, akan lebih berempati pada kaum pinggiran, kaum underdog. Apalagi dalam dunia perlawanan simbolik (yang sebenarnya berangkat dari realitas kekalahannya, namun terus melawan, meski dengan simbol-simbol). DK memenuhi syarat sebagai bendera perlawanan simbolik bagi ‘sobat ambyar’ di segala lapis keambyaran. Coba sekiranya ia anak orang kaya, atau kaya banget, karena kerja-keras dan kerja-cerdasnya. Jangan baper jika saya sebut contoh Belva, apalagi menjadi stafsus presiden.
Dalam pada itu, DK Reborn saya kira karena kisah syahdu DK. Bagaimana pun didewasakan dari debu jalanan, menjadikan lebih diterima sebagai simbol keterasingan atau keterbelahan. Apalagi syair-syair DK dirasa lebih otentik, jujur, denotative. Bukan hanya bisa dimengerti, tetapi bisa diterima. Tak membutuhkan tafsir sangat canggih dan arkaik, karena idiom-idiomnya cablaka, berterus-terang, prasaja. Sebagaimana cara pandang DK dengan pahit-getir kehidupan. Di situ, kenapa Inul Daratista tidak sebagaimana DK? Inul selesai dipanggung, dengan vibrasi sesaat ketika kita menontonnya. Tidak terbawa dalam kegelisahan kita, karena mungkin juga kita membutuhkannya hanya ‘sesaat’, untuk membunuh kegelisahan belaka.
Dalam industri musik pop kita, yang nge-hit ialah yang berurusan dengan impersonalitas. Sesuatu yang empatik, terasakan, dan dekat karena ada reasoning yang dibangun. Hal ini juga saya kira berlaku untuk Chrisye, Slank, Iwan Fals. Lagu-lagu evergreen mereka, adalah yang berkait dengan pengalaman hidup yang empirik, otentik, sedikit reflektif, namun tidak menyimpulkan, apalagi menggurui. Daya resonansinya akan lebih pekat.
Penabalan Didi Kempot, sebagai The Godfather of Broken Heart, Lord Didi, Bapak Patah Hati Nasional, dan sebagainya, bisa jadi buah keisengan biasa. Atau luar biasa tapi tak mengerti bagaimana memformulasikannya. Hingga terlihat tidak sangat konseptual. Namun itu merupakan komplotan otentik. Dan DK perekat ajaibnya.
Terimakasih Didi Kempot, telah menyediakan ruang dan pilihan. Sebuah oase dalam keringnya simbol-simbol, yang sering dipaksakan untuk menjadi verbal. Termasuk soal sorga dan neraka. | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...