Oleh : Sunardian Wirodono
Didi Kempot adalah persimpangan budaya, dalam dunia
industri musik pop Indonesia.
Di panggung musik khalayak (dalam pengertian kultur
pop), setelah mencoba berkiat dengan congdhut (keroncong ndangdhut) sebagai
differensiasi, mungkin DK sudah putus asa. Atau mungkin karena karakternya, menerima
segala tiba sekira masanya sudah lewat. Tak ngotot. Toh ia ‘Superstar Jawa’
yang tak terkalahkan di Suriname, selama 20 tahun terus-menerus. Presiden
Suriname pun pandhemen DK.
Lagu ‘Kalung Emas’ yang nge-hit 2013, atau ‘Suket Teki’
di 2016, belum juga bisa mengentaskan dari tidur panjang. Hampir 20 tahun,
nyaris persis sama panjang dengan masa kejayaannya di Suriname. Baru kemudian
2019; Didi Kempot Reborn! Saya tidak
tahu persis, siapa yang berperan, Jarkiyo, Agus Magelangan, Gofar Hilman, atau
Gus Miftah yang konon dikeluhi DK ‘gimana cara agar viral!
Tapi mungkin juga tak terpikirkan siapapun, juga
oleh beberapa nama yang disebut tadi. Kecuali post-factum, sila bikin sejarah. Bahkan
pun warga milenial (warga-net sih sebenarnya), sebagai pengusung, tak bisa
merumuskannya. Ini sejarah yang berbeda dengan kegelisahan DK waktu itu. Ini
fenomena munculnya perang simbolik yang juga masuk ke pola perang asimetris.
Apalagi di era teknologi komunikasi dan informasi yang mengubah segala.
Termasuk konon matinya kepakaran.
DK menjadi ikon generasi muda, meski dalam perjumpaan
yang ‘too late’. Ketika generasi baru Indonesia, dari industri musik pop
(sebagai bagian dari kebudayaan pop, dan anak kandung kapitalisme), tidak
menemukan pahlawannya. Apalagi ketika menghadapi K-Pop, serta produk ikutannya,
dalam komodifikasi jaman kiwari.
Kenapa bukan Iwan Fals, atau Slank? Tentu masing-masing
memiliki pemujanya. Meski mengikuti beberapa pertunjukan Iwan Fals, Slank, dan
Didi Kempot, di berbagai tempat, mereka memiliki irisan sama. Generasi yang
gundah, dengan keambyaran yang sama.
Tapi DK punya nilai simbolik berlebih, karena (bisa
jadi) dianggap lebih otentik, untuk berhadapan, aple to aple, sebagai
counter-culture. Perjalanan musik DK lebih bisa diterima. Bahkan dibandingkan
terobosan Koes Plus, juga A. Riyanto dengan Favourite’s Group, serta Manthous
yang telah mewarnai jagat industri musik pop kita dengan ‘Pop Jawa’, dan yang
kemudian dikembangkan Manthous dengan istilah campursari (1993).
Koes Plus dan Favourites Group, mungkin berada dalam
kutukan industri pop. Disitu saya kira Manthous salah membaca pasar, jika kita
ngomong strategi dalam komodifikasi. Ia menjadi eksklusive dengan kesadaran
puitika Jawa yang adiluhung. Meski mengangkat nilai tradisi, Manthous dinilai kurang
otentik, dan kurang nonjok.
Sebagai pengamen jalanan, DK mewakili sebuah kelas
secara lebih pepal. Apalagi ia sendiri pernah jadi korban pertarungan komodifikasi
budaya itu (hingga membuat dia nyungsep setelah puncak
popularitasnya di awal dekade 2000).
Periode campursari dan keroncong pop DK, sedikit mendapatkan jalan,
ketika dimunculkan
istilah congdhut. Namun, hampir persis dengan Gambang Kromong yang
dipopulerkan Benyamins
S, yang lebih nge-hit dibanding Pop Betawi-nya. Secara kuantitatif,
dalam industri
pop, gambang kromong tak masuk kriteria industri besar karena sempitnya
pasar. Congdhut juga tak mendapatkan juru-bicara. Ia sendiri (congdhut
itu), punya problem dengan komunitas
buaya keroncong.
Generasi muda, untuk menyebut generasi baru, secara psikologis
dan politis, akan cenderung anti-mainstream, out of the box, anti-kemapanan. Orang
gelisah dan ambyar, akan lebih berempati pada kaum pinggiran, kaum underdog.
Apalagi dalam dunia perlawanan simbolik (yang sebenarnya berangkat dari
realitas kekalahannya, namun terus melawan, meski dengan simbol-simbol). DK
memenuhi syarat sebagai bendera perlawanan simbolik bagi ‘sobat ambyar’ di
segala lapis keambyaran. Coba sekiranya ia anak orang kaya, atau kaya banget, karena
kerja-keras dan kerja-cerdasnya. Jangan baper jika saya sebut contoh Belva, apalagi
menjadi stafsus presiden.
Dalam pada itu, DK Reborn saya kira karena kisah syahdu
DK. Bagaimana pun didewasakan dari debu jalanan, menjadikan lebih diterima
sebagai simbol keterasingan atau keterbelahan. Apalagi syair-syair DK dirasa lebih
otentik, jujur, denotative. Bukan hanya bisa dimengerti, tetapi bisa diterima.
Tak membutuhkan tafsir sangat canggih dan arkaik, karena idiom-idiomnya cablaka,
berterus-terang, prasaja. Sebagaimana cara pandang DK dengan pahit-getir kehidupan.
Di situ, kenapa Inul Daratista tidak sebagaimana DK? Inul selesai dipanggung,
dengan vibrasi sesaat ketika kita menontonnya. Tidak terbawa dalam kegelisahan
kita, karena mungkin juga kita membutuhkannya hanya ‘sesaat’, untuk membunuh
kegelisahan belaka.
Dalam industri musik pop kita, yang nge-hit ialah yang berurusan dengan impersonalitas.
Sesuatu yang empatik, terasakan, dan dekat karena ada reasoning yang
dibangun. Hal ini juga saya kira berlaku untuk Chrisye, Slank, Iwan
Fals. Lagu-lagu evergreen mereka, adalah yang berkait dengan
pengalaman hidup yang empirik, otentik, sedikit reflektif, namun tidak
menyimpulkan, apalagi menggurui. Daya resonansinya akan lebih pekat.
Penabalan Didi Kempot, sebagai The Godfather of Broken
Heart, Lord Didi, Bapak Patah Hati Nasional, dan sebagainya, bisa jadi buah keisengan
biasa. Atau luar biasa tapi tak mengerti bagaimana memformulasikannya. Hingga
terlihat tidak sangat konseptual. Namun itu merupakan komplotan otentik. Dan DK
perekat ajaibnya.
Terimakasih Didi Kempot, telah menyediakan ruang dan pilihan.
Sebuah oase dalam keringnya simbol-simbol, yang sering dipaksakan untuk menjadi
verbal. Termasuk soal sorga dan neraka. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar