Oleh : Sunardian Wirodono
Demokrasi tak bisa dibangun dengan tuding-menuding.
Meski kontestasi demokrasi selalu bernuansa kompetisi. Namun yang acap dilupa adalah spirit dialog. Kemauan
mendengarkan, dan kedisiplinan pada kesepakatan yang dijadikan konsensus atau
bahkan hukum.
Pada mereka yang mendaku pelaku dan pelakon demokrasi,
tiga syarat utama itu juga acap sengaja dilanggar, dengan berbagai argumen yang
dicari-cari. Kecenderungan melakukan klaim (atas keunggulan diri) dan hujatan
(atas liyan), menunjukkan watak buruk demokrasi, yang sering hanya beralas pada
yang diagung-agungkan sebagai pemenuhan ‘hak azasi mansuia’ dan ‘kebebasan
berpendapat’ (kebebasan mimbar, kebebasan akademik).
Tanpa sama sekali disadari, dan sering dilakukan
dengan menunjukkan diri tak mengerti apa yang bermanfaat, apa yang mudharat, dan
apa yang prioritas. Di situ, wajah demokrasi seolah tanpa tujuan. Tanpa agenda.
Demokrasi hanya untuk demokrasi. Sama sekali tidak beralamat pada keadilan,
kemanusiaan, apalagi berlabuh pada kesejahteraan rakyat.
Competition whose
motive is merely to compete, to drive some other fellow out, never carries very
far, tulis Henry Ford boss mobil Ford yang di Indonesia kita mengenalinya
juga ‘sebagai’ funding The Ford Foundation. Persaingan yang tujuannya hanya untuk bersaing, untuk
mengalahkan orang lain, tak pernah mendatangkan banyak manfaat.
Makanya, menyedihkan ketika YLBHI meminta Presiden
Jokowi menertibkan buzer-buzernya. Lebih menyedihkan, karena lembaga bantuan
hukum yang bermisi membantu rakyat miskin (lihat logonya) itu, justeru
memposisikan dirinya secara diametral dengan ‘sesama’ rakyat.
Saya kutipkan pernyataan dari Ketua Yayasan LBH Indonesia;
“Ada
buzzer yang biasa saja, tapi ada yang sangat keterlaluan, ada pernyataan yang
meluluh lantakan demokrasi kita. Yang gitu harus dikasih tahu dong, kan tidak
mungkin kalau buzzer atau influencer bergerak apabila dihambat." Pihak YLBHI lantas menggambarkan hubungan antara pendukungnya dengan Jokowi ibarat sebuah grup
musik. Kata dia, dalam hubungan grup musik dengan fans, ketika fans berulah
maka grup musik tersebut bisa menegur fansnya agar berhenti. Hal itu seharusnya
juga dilakukan Jokowi. Namun, kata dia hal itu
sepertinya tidak ada pada Jokowi, sehingga sinyal yang diterima masyarakat
adalah pemerintah memberikan restu kepada buzzer. Padahal
Jokowi memimpin langsung Kapolri, dan jajaran menteri. Contohnya, Jokowi bisa
meminta Kapolri untuk mengusut dan menangkap para pelaku teror terhadap diskusi
di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu. Kemudin, Jokowi juga bisa meminta Kominfo
untuk mengevaluasi kasus-kasus peretasan terhadap akun sosial media orang-orang
yang mengkritik pemerintah yang kerap terjadi belakangan. Menurutnya, hal itu tidak dilakukan Jokowi
bukannya karena tidak mampu, tapi tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut. "Ada yang namanya unwiling, dan unable.
Kalau itu namanya bukan unable, bukan tidak mampu, itu tidak mau," ucap Ketua
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati (sebagaimana dikutip tempo.co dari diskusi daring yang digelar ILUNI UI, 09/6/20).
Saya mencoba mengutipnya lebih lengkap, agar mengetahui
gradasi dan perspektif berpikirnya. Namun semakin lengkap informasi, semakin
menjadi aneh ketika Ketua YLBHI tidak melakukan himbauan yang sama pada Presiden;
Untuk juga menertibkan para penyebar hoax, ujaran kebencian dan fitnah, yang
dilakukan mereka yang memfitnah Jokowi, atau sebutlah pada para ‘pendukung’-nya.
FENOMENA BUZZER & KADRUN. Menyedihkan ketika YLBHI
sama sekali tak bisa menyebut siapa saja buzzer yang dimaksud? Apalagi menyebut
buzzer rupiah secara serampangan. Dengan tanpa menyebutkan bukti-bukti tertulis,
sementara jejak digital sekarang bisa menjadi alat bukti hukum. Dalam persoalan
hukum, tentu saja yang menuding harus membuktikan. Bukan yang dituding. Apalagi
dengan menyamakan buzzer alias pendengung itu berelasi dengan Jokowi sebagaimana
fans fanatik sebuah grup musik.
Bagaimana sampai pada penyamaan seperti itu? Apakah
karena yang dipelajari hanya hukum pidana semata? Ataukah mungkin sebagai pecinta
grup musik yang lain, tak sempat belajar hukum tata-negara? Padal, dengan munculnya
Reffly Harun sebagai ahli hukum tata-negara, asyik lho sekarang. Pasal-pasal kebijakan
Presiden ditinjau dari hukum tata-negara model Reffly Harun.
Lagi pula menggambarkan hubungan pendukung fanatik
Presiden sebagaimana grup musik, sangat menyederhanakan masalah. Many more people in the world are concerned
with sports than with human rights, tulis Samuel Huntington dengan sinikal
dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Banyak orang di dunia lebih peduli dengan
olahraga daripada dengan hak asasi manusia.
Yang kadang sering dilupakan, dengan cara serampangan
mengambil kesimpulan; Seolah mereka yang membela Jokowi adalah buzzer. Itu lebih
karena cara berfikir buzzer sebagai entitas, bukan sebuah fenomena yang lahir
di ruang pengap. Meski baru dugaan, saya kira tak sedikit yang membela Jokowi
karena merasa bagian yang dikadali pula. Yang disebut buzzer, tidak muncul dengan
sendirinya. Karena ada kelompok lain di luar mereka, yang posisinya bagai
pertanyaan klasik 'duluan mana antara telor dengan ayam'. Kalau secara
saintifik, sudah dinyatakan lebih dahulu ayam. Beranikah kita secara saintifik juga
menyatakan lebih duluan kampret daripada kecebong, atau sebaliknya? Lebih
duluan mana pula antara HTI dan kadrun misalnya?
TIDAK DI RUANG HAMPA. Apapun sebutannya, entah itu
buzzer, pendengung, atau bahkan kadrun, tidak lahir di ruang hampa. Mereka
muncul dari problema membangsa dan menegara. Menyederhanakan masalah dengan mengatakan
hanya menjadi tugas Jokowi (karena ia punya TNI, Kepolisian, Kehakiman,
Menkominfo, dan lain sebagainya, tentu saja karena presiden). Karena hal itu
juga hanya sekedar menunjukkan, betapa banyak lembaga masyarakat, ormas, entah
itu yang bergerak di bidang kemanusiaan, hukum, politik, telah gagal dalam
menjalankan perannya masing-masing.
Apalagi dengan tidak bertanggtungjawab menggebyah-uyah
buzzer rupiah, dengan menutup mata dan telinga. Bahwa ada adab, martabat, harga
diri, bahkan integritas moral serta etik yang dipertaruhkan mereka yang tanpa
pamrih membela Jokowi. Ialah mereka, yang sejak 2014 menolak masuknya kelompok
Prabowo ke ruang kekuasaan. Meski kelompok ini juga kecewa ketika Jokowi
memasukkan Wiranto ke pemerintahan, juga apalagi kemudian mencemplungkan
Prabowo ke kabinetnya.
Apa yang sebetulnya terjadi, di balik itu atau
sebelumnya? Serta lebih jauh lagi sebelum dari sebelumnya itu? Tak ada asap tak
ada api. Munculnya para pembela Jokowi, tak lepas dari situasi-situasi yang melingkupi.
Sejak dari Jokowi Walikota, Gubernur, hingga kenapa kemudian bisa dua periode
Presiden. Mari jernih dalam melihat hal ini.
Kita tak bisa menuding, apalagi menyalahkan (sebutlah
yang dinamai) buzzer, dengan mengabaikan munculnya satuan kelompok yang mencoba
menegasi Jokowi. Kita tak bijak pula menafikan munculnya kelompok tertentu,
yang memakai agama (bahkan kini dengan alasan kebebasan akademik, setelah
sebelumnya ada isu bangkitnya PKI, antek aseng, dan anti asing). Pada tingkatan
tertentu, ditujukan secara lebih keji. Apa bukti dan ukurannya? Lihat saja teks-teks
dalam jejak digital kita. Hoax ditebar dan fitnah pada pribadi Jokowi, dan juga
pada mereka yang mendukungnya, bukan sesuatu yang sulit dilacak.
Dalam ilmu psikologi massa, hal itu wajar terjadi. Jika
justeru memunculkan fanatisme, demikianlah faktanya. Bahkan pembelaan itu bisa
diekspresikan secara militan, dengan sama sekali mengabaikan tudingan klasik
sebagai kelompok bayaran. Hal ini tidak hanya berlaku pada Jokower (kalau mau
disebut begitu) dengan sebagaimana kelompok Prabowoer, dan yang lain seperti
Soehartoer meski karena transaksi pragmatis saja. Harus dilihat juga kelompok
orang yang mendukung Jokowi, karena memang sama sekali tak menginginkan
masuknya Prabowo dalam kekuasaan, sebagai bagian jalan panjang Reformasi 1998.
MENUDING SEBAGAI BAGIAN APA & SIAPA. Kelompok pembela
sukarela Jokowi, meski kecewa dengan masuknya Wiranto, juga bahkan Prabowo, adalah
kelompok indenpenden. Lebih banyak muncul karena hati-nurani serta keyakinan
atas kesadaran bahwa demokrasi itu menuntut kesabaran, karena jalan berliku dan
penuh onak-duri. Kelompok independen ini bukan perengek dan pengeluh. Mereka melakukan
peranan masing-masing, bukan karena rupiah, bahkan mungkin tidak tertarik atau
tergoda masuk ke kursi kekuasaan. Dengan sadar mengambil jarak. Dan lebih karena meyakini, bahwa hati-nurani
juga berhak dinyatakan dalam negara demokrasi.
Tudingan adanya buzzer rupiah, bisa jadi juga lebih
karena memakai ukuran dirinya sendiri. Yang selalu mengukur segala sesuatu
dengan rupiah (walau kadang berwujud dollar atau pun real). Seolah semua pihak
sebagaimana diri dan kelompoknya.
Meski pun juga perlu diselipkan pertanyaan sederhana;
Kenapa Jokowi tak disuruh menertibkan pula ujaran dan hujatan kebencian, yang
jelas-jelas melanggar UU-ITE, bahkan melampaui keadaban manusia? Apakah itu persoalan Jokowi tidak tahu (walau sebagai korban), tidak mau, atau tidak mampu? Atau tidak satu pun dari hal
itu? Atau karena mereka takut mengusulkan itu? Nah, bukankah mendiamkan (padal
tahu), apakah bisa dituding YLBHI bagian dari yang didiamkan itu, karena
demikianlah logikanya?
Tak semudah itu bukan? Hanya karena tak setuju UU-ITE , tak berarti
UU itu tidak ada bukan? Padal sebagai orang yang bergerak di ranah hukum, sesungguhnya
mudah saja. Terhadap yang melanggar hukum, tuntut dan ajukan ke sistem hukum
yang berlaku. Bukannya diseret ke ranah interpretatif yang sama sekali tak
dikuasai. Apalagi hanya karena memposisikan
diri sebagai pihak yang suka dan tak suka.
YLBHI hanya semacam contoh, dari fenomena
perubahan akibat demokratisasi yang muncul di tengah situasi transisi dan
proses transformasi yang liar. Baik karena kegagalan partai politik dalam
menginisiasi dialog nasional, maupun secara bersamaan pula arus deras teknologi
informasi dan komunikasi yang tak terelakkan. Mendadak medsos, yang tak sejalan dengan akselerasi pemahaman
masyarakat, dengan modal literasi yang minim (termasuk literasi hukum).
TABRAKAN DEMOKRASI. Di situ muncul tabrakan-tabrakan demokrasi, justeru
ketika mandala-mandala demokrasi seperti dunia hukum, dunia akademik, dunia
agama, tak lagi mempunyai otoritas. Mereka tidak lagi menjadi faktor dominan,
atau bahkan kehilangan otoritas dan wacana. Dengan medsos, kini netijen bisa
mendegradasi (atau down-grade) kepercayaan publik pada macam platform Bukalapak. Atau bagaimana
netijen mampu menggoyang bursa saham yang membuat grup media Tempo, serta yang
terbaru Detik, langsung terobok-obok perutnya.
Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam
genggaman tangan beberapa orang,
ujar sang peramal John Naisbit, namun informasi di tangan orang banyak. Tapi jika engkau kelimpungan dalam
situasi transisi ini (seperti misalnya mereka yang bekerja di area pembelaan
publik berkeluh-kesah), persoalannya bukan pada rakyat, atau buzzer pihak mana
pun. Bisa jadi pada krisis moral mereka-mereka yang mengaku sebagai pendamping
masyarakat.
Walaupun selalu ada kesempatan, bagi kelompok yang lain
lagi. Siapa tahu setelah muncul LBH Pers, bakal ada LBH Agama, LBH Akademisi, LBH
Kadrun, LBH Buzzer, LBH Fesbuker, dan lain sebagainya. Dalam situasi pagebluk
ini, di luar lahirnya paceklik juga, muncul kreativitas serta oportunity bukan?
Bisa dimaklumi. Apalagi banyak orang kehilangan pekerjaan. Tapi itu bisa
dianggap pernyataan menghina. Dan kemudian kita dituding sebagai buzzer? Buzzer
rupiah pula!
Persis orang-orang putus asa, yang jika terdesak terus nuding; “Kamu
PKI! Kamu kafir! Kamu buzzer!” Dengan cara yang sama PKI-nya, sama kafirnya,
sama buzzernya! Sama dan sebangun! | @sunardianwirodono
Wah tulisan yg menohok.
BalasHapus