Rabu, Juni 10, 2020

Menuding Buzzer tapi Buzzer Pula



Oleh : Sunardian Wirodono

Demokrasi tak bisa dibangun dengan tuding-menuding. Meski kontestasi demokrasi selalu bernuansa kompetisi. Namun  yang acap dilupa adalah spirit dialog. Kemauan mendengarkan, dan kedisiplinan pada kesepakatan yang dijadikan konsensus atau bahkan hukum.

Pada mereka yang mendaku pelaku dan pelakon demokrasi, tiga syarat utama itu juga acap sengaja dilanggar, dengan berbagai argumen yang dicari-cari. Kecenderungan melakukan klaim (atas keunggulan diri) dan hujatan (atas liyan), menunjukkan watak buruk demokrasi, yang sering hanya beralas pada yang diagung-agungkan sebagai pemenuhan ‘hak azasi mansuia’ dan ‘kebebasan berpendapat’ (kebebasan mimbar, kebebasan akademik).

Tanpa sama sekali disadari, dan sering dilakukan dengan menunjukkan diri tak mengerti apa yang bermanfaat, apa yang mudharat, dan apa yang prioritas. Di situ, wajah demokrasi seolah tanpa tujuan. Tanpa agenda. Demokrasi hanya untuk demokrasi. Sama sekali tidak beralamat pada keadilan, kemanusiaan, apalagi berlabuh pada kesejahteraan rakyat.

Competition whose motive is merely to compete, to drive some other fellow out, never carries very far, tulis Henry Ford boss mobil Ford yang di Indonesia kita mengenalinya juga ‘sebagai’ funding The Ford Foundation. Persaingan yang tujuannya hanya untuk bersaing, untuk mengalahkan orang lain, tak pernah mendatangkan banyak manfaat.

Makanya, menyedihkan ketika YLBHI meminta Presiden Jokowi menertibkan buzer-buzernya. Lebih menyedihkan, karena lembaga bantuan hukum yang bermisi membantu rakyat miskin (lihat logonya) itu, justeru memposisikan dirinya secara diametral dengan ‘sesama’ rakyat.

Saya kutipkan pernyataan dari Ketua Yayasan LBH Indonesia;

“Ada buzzer yang biasa saja, tapi ada yang sangat keterlaluan, ada pernyataan yang meluluh lantakan demokrasi kita. Yang gitu harus dikasih tahu dong, kan tidak mungkin kalau buzzer atau influencer bergerak apabila dihambat." Pihak YLBHI lantas menggambarkan hubungan antara pendukungnya dengan Jokowi ibarat sebuah grup musik. Kata dia, dalam hubungan grup musik dengan fans, ketika fans berulah maka grup musik tersebut bisa menegur fansnya agar berhenti. Hal itu seharusnya juga dilakukan Jokowi. Namun, kata dia hal itu sepertinya tidak ada pada Jokowi, sehingga sinyal yang diterima masyarakat adalah pemerintah memberikan restu kepada buzzer. Padahal Jokowi memimpin langsung Kapolri, dan jajaran menteri. Contohnya, Jokowi bisa meminta Kapolri untuk mengusut dan menangkap para pelaku teror terhadap diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu. Kemudin, Jokowi juga bisa meminta Kominfo untuk mengevaluasi kasus-kasus peretasan terhadap akun sosial media orang-orang yang mengkritik pemerintah yang kerap terjadi belakangan. Menurutnya, hal itu tidak dilakukan Jokowi bukannya karena tidak mampu, tapi tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut. "Ada yang namanya unwiling, dan unable. Kalau itu namanya bukan unable, bukan tidak mampu, itu tidak mau," ucap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati (sebagaimana dikutip tempo.co dari diskusi daring yang digelar ILUNI UI, 09/6/20).

Saya mencoba mengutipnya lebih lengkap, agar mengetahui gradasi dan perspektif berpikirnya. Namun semakin lengkap informasi, semakin menjadi aneh ketika Ketua YLBHI tidak melakukan himbauan yang sama pada Presiden; Untuk juga menertibkan para penyebar hoax, ujaran kebencian dan fitnah, yang dilakukan mereka yang memfitnah Jokowi, atau sebutlah pada para ‘pendukung’-nya.

FENOMENA BUZZER & KADRUN. Menyedihkan ketika YLBHI sama sekali tak bisa menyebut siapa saja buzzer yang dimaksud? Apalagi menyebut buzzer rupiah secara serampangan. Dengan tanpa menyebutkan bukti-bukti tertulis, sementara jejak digital sekarang bisa menjadi alat bukti hukum. Dalam persoalan hukum, tentu saja yang menuding harus membuktikan. Bukan yang dituding. Apalagi dengan menyamakan buzzer alias pendengung itu berelasi dengan Jokowi sebagaimana fans fanatik sebuah grup musik.

Bagaimana sampai pada penyamaan seperti itu? Apakah karena yang dipelajari hanya hukum pidana semata? Ataukah mungkin sebagai pecinta grup musik yang lain, tak sempat belajar hukum tata-negara? Padal, dengan munculnya Reffly Harun sebagai ahli hukum tata-negara, asyik lho sekarang. Pasal-pasal kebijakan Presiden ditinjau dari hukum tata-negara model Reffly Harun.

Lagi pula menggambarkan hubungan pendukung fanatik Presiden sebagaimana grup musik, sangat menyederhanakan masalah. Many more people in the world are concerned with sports than with human rights, tulis Samuel Huntington dengan sinikal dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Banyak orang di dunia lebih peduli dengan olahraga daripada dengan hak asasi manusia.

Yang kadang sering dilupakan, dengan cara serampangan mengambil kesimpulan; Seolah mereka yang membela Jokowi adalah buzzer. Itu lebih karena cara berfikir buzzer sebagai entitas, bukan sebuah fenomena yang lahir di ruang pengap. Meski baru dugaan, saya kira tak sedikit yang membela Jokowi karena merasa bagian yang dikadali pula. Yang disebut buzzer, tidak muncul dengan sendirinya. Karena ada kelompok lain di luar mereka, yang posisinya bagai pertanyaan klasik 'duluan mana antara telor dengan ayam'. Kalau secara saintifik, sudah dinyatakan lebih dahulu ayam. Beranikah kita secara saintifik juga menyatakan lebih duluan kampret daripada kecebong, atau sebaliknya? Lebih duluan mana pula antara HTI dan kadrun misalnya?

TIDAK DI RUANG HAMPA. Apapun sebutannya, entah itu buzzer, pendengung, atau bahkan kadrun, tidak lahir di ruang hampa. Mereka muncul dari problema membangsa dan menegara. Menyederhanakan masalah dengan mengatakan hanya menjadi tugas Jokowi (karena ia punya TNI, Kepolisian, Kehakiman, Menkominfo, dan lain sebagainya, tentu saja karena presiden). Karena hal itu juga hanya sekedar menunjukkan, betapa banyak lembaga masyarakat, ormas, entah itu yang bergerak di bidang kemanusiaan, hukum, politik, telah gagal dalam menjalankan perannya masing-masing.

Apalagi dengan tidak bertanggtungjawab menggebyah-uyah buzzer rupiah, dengan menutup mata dan telinga. Bahwa ada adab, martabat, harga diri, bahkan integritas moral serta etik yang dipertaruhkan mereka yang tanpa pamrih membela Jokowi. Ialah mereka, yang sejak 2014 menolak masuknya kelompok Prabowo ke ruang kekuasaan. Meski kelompok ini juga kecewa ketika Jokowi memasukkan Wiranto ke pemerintahan, juga apalagi kemudian mencemplungkan Prabowo ke kabinetnya.

Apa yang sebetulnya terjadi, di balik itu atau sebelumnya? Serta lebih jauh lagi sebelum dari sebelumnya itu? Tak ada asap tak ada api. Munculnya para pembela Jokowi, tak lepas dari situasi-situasi yang melingkupi. Sejak dari Jokowi Walikota, Gubernur, hingga kenapa kemudian bisa dua periode Presiden. Mari jernih dalam melihat hal ini.

Kita tak bisa menuding, apalagi menyalahkan (sebutlah yang dinamai) buzzer, dengan mengabaikan munculnya satuan kelompok yang mencoba menegasi Jokowi. Kita tak bijak pula menafikan munculnya kelompok tertentu, yang memakai agama (bahkan kini dengan alasan kebebasan akademik, setelah sebelumnya ada isu bangkitnya PKI, antek aseng, dan anti asing). Pada tingkatan tertentu, ditujukan secara lebih keji. Apa bukti dan ukurannya? Lihat saja teks-teks dalam jejak digital kita. Hoax ditebar dan fitnah pada pribadi Jokowi, dan juga pada mereka yang mendukungnya, bukan sesuatu yang sulit dilacak.

Dalam ilmu psikologi massa, hal itu wajar terjadi. Jika justeru memunculkan fanatisme, demikianlah faktanya. Bahkan pembelaan itu bisa diekspresikan secara militan, dengan sama sekali mengabaikan tudingan klasik sebagai kelompok bayaran. Hal ini tidak hanya berlaku pada Jokower (kalau mau disebut begitu) dengan sebagaimana kelompok Prabowoer, dan yang lain seperti Soehartoer meski karena transaksi pragmatis saja. Harus dilihat juga kelompok orang yang mendukung Jokowi, karena memang sama sekali tak menginginkan masuknya Prabowo dalam kekuasaan, sebagai bagian jalan panjang Reformasi 1998.

MENUDING SEBAGAI BAGIAN APA & SIAPA. Kelompok pembela sukarela Jokowi, meski kecewa dengan masuknya Wiranto, juga bahkan Prabowo, adalah kelompok indenpenden. Lebih banyak muncul karena hati-nurani serta keyakinan atas kesadaran bahwa demokrasi itu menuntut kesabaran, karena jalan berliku dan penuh onak-duri. Kelompok independen ini bukan perengek dan pengeluh. Mereka melakukan peranan masing-masing, bukan karena rupiah, bahkan mungkin tidak tertarik atau tergoda masuk ke kursi kekuasaan. Dengan sadar mengambil jarak.  Dan lebih karena meyakini, bahwa hati-nurani juga berhak dinyatakan dalam negara demokrasi.

Tudingan adanya buzzer rupiah, bisa jadi juga lebih karena memakai ukuran dirinya sendiri. Yang selalu mengukur segala sesuatu dengan rupiah (walau kadang berwujud dollar atau pun real). Seolah semua pihak sebagaimana diri dan kelompoknya.

Meski pun juga perlu diselipkan pertanyaan sederhana; Kenapa Jokowi tak disuruh menertibkan pula ujaran dan hujatan kebencian, yang jelas-jelas melanggar UU-ITE, bahkan melampaui keadaban manusia? Apakah itu persoalan Jokowi tidak tahu (walau sebagai korban), tidak mau, atau tidak mampu? Atau tidak satu pun dari hal itu? Atau karena mereka takut mengusulkan itu? Nah, bukankah mendiamkan (padal tahu), apakah bisa dituding YLBHI bagian dari yang didiamkan itu, karena demikianlah logikanya?

Tak semudah itu bukan? Hanya karena tak setuju UU-ITE , tak berarti UU itu tidak ada bukan? Padal sebagai orang yang bergerak di ranah hukum, sesungguhnya mudah saja. Terhadap yang melanggar hukum, tuntut dan ajukan ke sistem hukum yang berlaku. Bukannya diseret ke ranah interpretatif yang sama sekali tak dikuasai. Apalagi  hanya karena memposisikan diri sebagai pihak yang suka dan tak suka.

YLBHI hanya semacam contoh, dari fenomena perubahan akibat demokratisasi yang muncul di tengah situasi transisi dan proses transformasi yang liar. Baik karena kegagalan partai politik dalam menginisiasi dialog nasional, maupun secara bersamaan pula arus deras teknologi informasi dan komunikasi yang tak terelakkan. Mendadak medsos, yang tak sejalan dengan akselerasi pemahaman masyarakat, dengan modal literasi yang minim (termasuk literasi hukum).

TABRAKAN DEMOKRASI. Di situ muncul tabrakan-tabrakan demokrasi, justeru ketika mandala-mandala demokrasi seperti dunia hukum, dunia akademik, dunia agama, tak lagi mempunyai otoritas. Mereka tidak lagi menjadi faktor dominan, atau bahkan kehilangan otoritas dan wacana. Dengan medsos, kini netijen bisa mendegradasi (atau down-grade) kepercayaan publik pada macam platform Bukalapak. Atau bagaimana netijen mampu menggoyang bursa saham yang membuat grup media Tempo, serta yang terbaru Detik, langsung terobok-obok perutnya.

Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, ujar sang peramal John Naisbit, namun informasi di tangan orang banyak. Tapi jika engkau kelimpungan dalam situasi transisi ini (seperti misalnya mereka yang bekerja di area pembelaan publik berkeluh-kesah), persoalannya bukan pada rakyat, atau buzzer pihak mana pun. Bisa jadi pada krisis moral mereka-mereka yang mengaku sebagai pendamping masyarakat.  

Walaupun selalu ada kesempatan, bagi kelompok yang lain lagi. Siapa tahu setelah muncul LBH Pers,  bakal ada LBH Agama, LBH Akademisi, LBH Kadrun, LBH Buzzer, LBH Fesbuker, dan lain sebagainya. Dalam situasi pagebluk ini, di luar lahirnya paceklik juga, muncul kreativitas serta oportunity bukan? Bisa dimaklumi. Apalagi banyak orang kehilangan pekerjaan. Tapi itu bisa dianggap pernyataan menghina. Dan kemudian kita dituding sebagai buzzer? Buzzer rupiah pula! 

Persis orang-orang putus asa, yang jika terdesak terus nuding; “Kamu PKI! Kamu kafir! Kamu buzzer!” Dengan cara yang sama PKI-nya, sama kafirnya, sama buzzernya! Sama dan sebangun! | @sunardianwirodono

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...