Bagi manusia tak
beridentitas, identitas adalah penting. Mari sepakat dulu, apa itu identitas.
Dalam KBBI, identitas mengandung pengertian mengenai kepribadian (personality, individuality, selfhood), atau ciri khas (specialty, particularity). Jika demikian halnya, adakah manusia hidup, sebagai makhluk sosial, tidak mempunyai identitas? Apalagi ditambah d KTP sekarang ada NIK, dan ada kolom agama pula!
Meski tanpa NIK dan kolom agama pun, semua manusia punya identitas. Identitas adalah inheren, dengan sendirinya. Ia integrated dengan diri atau individu itu sendiri. Maka manusia genah diri, ialah mereka yang memiliki integritas berdasar ukuran-ukuran atau konvensi masyarakat (kumpulan individu) itu.
Barulah kemudian menjadi persoalan, ketika masing-masing melakukan self-claiming, berkait dengan strata, status, kelas, level, aseli, sejati, tingkatan, dan berbagai-bagai nilai. Sampai perlu ada yang ngaku turun nabi tapi minggat karena ketahuan chat-sex. Individu manusia, selalu ingin lebih unggul dibanding lainnya. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, “Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.”
Apa itu politik? Politik adalah seni atau cara menggapai tujuan, dengan jubah kesempurnaan yang dinamakan idealisme (ideologi) untuk memenangi pertarungan, menaklukkan lawan, mendapat pengakuan, atau pun berkuasa. Namun dalam pada itu, menurut Napoleon Bonaparte, “Dalam politik, kedunguan bukanlah halangan.”
Celakanya, dalam kedunguan itu, ada juga tingkatan-tingkatan. Yakni dungu seperti Rocky Gerung, tapi ada yang lebih dungu lagi, yakni yang mempercayainya. Maka dalam pasar bebas nilai, identitas menjadi penting bagi mereka yang “merasa tak mempunyai” identitas.
Sepanjang satu generasi, 32 tahun kekuasan Orde Soeharto Bau, rakyat Indonesia dipaksa dengan ideologi pragmatisme. Mementingkan apa yang bermanfaat secara praktis, dan tinggalkan proses. Yang muncul management by product, bukan management by process. Dalam kompetisi yang tinggi, juga sistem korup, tidak fair, mencuri dalam lipatan dan potong kompas tidak tabu dilakukan.
Tak mudah mengubah kebiasaan yang telah tertanam dalam sistem sosial kita. Karena yang korup bukan hanya pejabat. Juga tukang parkir, kuli bangunan, netizen pun, bisa korupsi. Celakanya, yang jujur tak selalu beruntung. Penjahat bisa dikira malaikat. Hanya karena semat dan pangkat, yang disalahmengerti sebagai derajat, harkat, martabat.
Pada sisi itu, kita boleh saja menertawakan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan entah apalagi (sementara temen saya mendirikan Kraton Asu, karena piara asu dalam jumlah hadeh). Tapi dalam semua level masyarakat (miskin banget, agak kaya, kaya banget, juga super bodoh, agak bodoh dan lumayan pinter), jual beli identitas model itu sudah berlangsung lama.
Bisa lewat yang bernama partai politik, agama, dunia akademi, club moge, arisan berlian, umroh berkah, pemukiman syariah mawadah wa rohmah. Bahkan sampai hal paling sederhana; Ibu-ibu di beberapa kampung memakai kerudung. Bukan karena transformasi nilai keimanan, melainkan lebih karena ‘daripada jadi rasanan’ di arisan atau layatan tetangga. Yang ditakuti bukan tuhan, tetapi sesama manusia yang lebih galakan daripada tuhan.
Di situ ada praktik jual-beli yang bersifat pragmatis, demi mendapatkan legitimasi, bukan identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada pribadi seseorang. Tetapi kejamnya pertarungan dan kompetisi, identitas hilang karena yang dibutuhkan adalah legitimasi.
Ciri-ciri menonjolnya, adalah tumbuhnya manusia gerombolan, keroyokan dalam waham komunalisme. Karena yang berbeda adalah liyan, musuh, mereka. Bukan kita atau kami. Maka ada begitu banyak simbol-simbol yang mestinya proses pribadi seorang individu, di-extract begitu rupa. Menjadi izim, jimat, mantra, sim-salabim.
Tak ada proses belajar-mengajar. Tak ada proses transformasi yang berjalan simultan, berkelanjutan. Kita terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek, atas nama pragmatisme tadi. Bahkan untuk urusan menjadi presiden dan masuk sorga. Apakah kita bisa membedakan antara yang ikut Keraton Agung Sejagat dan sejenisnya, dengan yang dulu ikut patungan dengan A’a Gym, Yusuf Mansyur, dan lain-lainnya seperti ‘kita bisa dotkom’?
Kenapa banyak orang beragama ketipu umroh atau rumah Syariah tapi bodong? Karena jaminan sorga atau saking murahnya? Yang percaya sorga bisa dibeli dengan murah (tanpa proses spiritualitas), ialah mereka yang bisa ditipu. Demikian juga dalam kasus PAW Harun Masiku. Siapa sebetulnya yang dungu? Hasto Kristiyanto, Harun Masiku, atau Wahyu Setiawan? Apa yang mereka cari? Legitimasi formal dalam kelas dan kasus masing-masing. Untuk bisa PAW Harun Masiku, Hasto mesti ke MA segala. Minta fatwa untuk legitimasi.
Tak ada soal dalam jual-beli dalam kehidupan ini. Karena memang begitu fitrahnya. Yang terbaik tentu, sepanjang adil dan tak ada proses tipu-tipu di dalamnya. Bahkan termasuk mendirikan agama baru, sekte, komunitas, atau keraton agung. Wong Kanjeng Senopati dulu, ketika mendirikan Kraton Kotagede, juga pake proses jual-beli. Lu jual gua beli. Siapa kuat, dapat legitimasi. Hingga perlu mengorbankan Pembayun, putrinya sendiri, untuk menggelembuk Ki Ageng mangir Wanabaya. Semuanya dengan ketentuan dan syarat berlaku.
Tentu ada yang demen dan percaya teori konspirasi. Tapi mereka yang suka teori gothak-gathuk dengan sumber data yang tak kalah klenik, bisa jadi juga korban rumors. Baik sebagai pelaku sekaligus korban, seperti model Sinuwun Toto Santosa maupun Jenderal Besar Ki Ageng Rangga Sasana. Tapi siapa yang memulai politik identitas ini?
Jaman sekarang mau jadi raja kraton? Daku-dakuannya terlalu jauh, sebagai keturunan Majapahit, atau bahkan lebih lagi sebagai turun Nabi Adam. Gimana ngebukti'in sanad dan ijazahnya? Lha wong anak Presiden yang sekarang lagi berkuasa, mau nyalon walikota saja, bisa dibully mereka yang konon aktivis demokrasi tapi tak percaya sistem yang dibangunnya. Maka, semoga ujar Jawaharlal Nehru benar, “Politik dan Agama telah kedaluwarsa. Waktunya telah tiba untuk Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas.”
Kedaluwarsa bukan berarti tidak berguna lho. Lagian ilmu pengetahuan dan spiritualitas sesungguhnya bukan ancaman bagi politik dan agama. Kecuali kedua hal tersebut, politik dan agama, memang nggak mutu blas. Ya, mutu, tapi rendah. Inget ‘kan nasihat Sukarno, “beragama (mestinya juga berpolitik) tanpa ilmu pengetahuan, bagai orang buta kehilangan tongkat.”
Jika Rocky Gerung menyamakan para raja kraton dagelan itu sama dengan Presiden Jokowi, artinya Rocky sedang menghina 54% yang waktu Pilpres 2019 memilih Jokowi daripada Prabowo. Nyatanya pemilih Jokowi cerdas. Daripada milih Prabowo dapetnya Rizieq Shihab dan Amien Rais, mending milih Jokowi. Dapat bonus Prabowo juga. | @sunardianwirodono
Dalam KBBI, identitas mengandung pengertian mengenai kepribadian (personality, individuality, selfhood), atau ciri khas (specialty, particularity). Jika demikian halnya, adakah manusia hidup, sebagai makhluk sosial, tidak mempunyai identitas? Apalagi ditambah d KTP sekarang ada NIK, dan ada kolom agama pula!
Meski tanpa NIK dan kolom agama pun, semua manusia punya identitas. Identitas adalah inheren, dengan sendirinya. Ia integrated dengan diri atau individu itu sendiri. Maka manusia genah diri, ialah mereka yang memiliki integritas berdasar ukuran-ukuran atau konvensi masyarakat (kumpulan individu) itu.
Barulah kemudian menjadi persoalan, ketika masing-masing melakukan self-claiming, berkait dengan strata, status, kelas, level, aseli, sejati, tingkatan, dan berbagai-bagai nilai. Sampai perlu ada yang ngaku turun nabi tapi minggat karena ketahuan chat-sex. Individu manusia, selalu ingin lebih unggul dibanding lainnya. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, “Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.”
Apa itu politik? Politik adalah seni atau cara menggapai tujuan, dengan jubah kesempurnaan yang dinamakan idealisme (ideologi) untuk memenangi pertarungan, menaklukkan lawan, mendapat pengakuan, atau pun berkuasa. Namun dalam pada itu, menurut Napoleon Bonaparte, “Dalam politik, kedunguan bukanlah halangan.”
Celakanya, dalam kedunguan itu, ada juga tingkatan-tingkatan. Yakni dungu seperti Rocky Gerung, tapi ada yang lebih dungu lagi, yakni yang mempercayainya. Maka dalam pasar bebas nilai, identitas menjadi penting bagi mereka yang “merasa tak mempunyai” identitas.
Sepanjang satu generasi, 32 tahun kekuasan Orde Soeharto Bau, rakyat Indonesia dipaksa dengan ideologi pragmatisme. Mementingkan apa yang bermanfaat secara praktis, dan tinggalkan proses. Yang muncul management by product, bukan management by process. Dalam kompetisi yang tinggi, juga sistem korup, tidak fair, mencuri dalam lipatan dan potong kompas tidak tabu dilakukan.
Tak mudah mengubah kebiasaan yang telah tertanam dalam sistem sosial kita. Karena yang korup bukan hanya pejabat. Juga tukang parkir, kuli bangunan, netizen pun, bisa korupsi. Celakanya, yang jujur tak selalu beruntung. Penjahat bisa dikira malaikat. Hanya karena semat dan pangkat, yang disalahmengerti sebagai derajat, harkat, martabat.
Pada sisi itu, kita boleh saja menertawakan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan entah apalagi (sementara temen saya mendirikan Kraton Asu, karena piara asu dalam jumlah hadeh). Tapi dalam semua level masyarakat (miskin banget, agak kaya, kaya banget, juga super bodoh, agak bodoh dan lumayan pinter), jual beli identitas model itu sudah berlangsung lama.
Bisa lewat yang bernama partai politik, agama, dunia akademi, club moge, arisan berlian, umroh berkah, pemukiman syariah mawadah wa rohmah. Bahkan sampai hal paling sederhana; Ibu-ibu di beberapa kampung memakai kerudung. Bukan karena transformasi nilai keimanan, melainkan lebih karena ‘daripada jadi rasanan’ di arisan atau layatan tetangga. Yang ditakuti bukan tuhan, tetapi sesama manusia yang lebih galakan daripada tuhan.
Di situ ada praktik jual-beli yang bersifat pragmatis, demi mendapatkan legitimasi, bukan identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada pribadi seseorang. Tetapi kejamnya pertarungan dan kompetisi, identitas hilang karena yang dibutuhkan adalah legitimasi.
Ciri-ciri menonjolnya, adalah tumbuhnya manusia gerombolan, keroyokan dalam waham komunalisme. Karena yang berbeda adalah liyan, musuh, mereka. Bukan kita atau kami. Maka ada begitu banyak simbol-simbol yang mestinya proses pribadi seorang individu, di-extract begitu rupa. Menjadi izim, jimat, mantra, sim-salabim.
Tak ada proses belajar-mengajar. Tak ada proses transformasi yang berjalan simultan, berkelanjutan. Kita terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek, atas nama pragmatisme tadi. Bahkan untuk urusan menjadi presiden dan masuk sorga. Apakah kita bisa membedakan antara yang ikut Keraton Agung Sejagat dan sejenisnya, dengan yang dulu ikut patungan dengan A’a Gym, Yusuf Mansyur, dan lain-lainnya seperti ‘kita bisa dotkom’?
Kenapa banyak orang beragama ketipu umroh atau rumah Syariah tapi bodong? Karena jaminan sorga atau saking murahnya? Yang percaya sorga bisa dibeli dengan murah (tanpa proses spiritualitas), ialah mereka yang bisa ditipu. Demikian juga dalam kasus PAW Harun Masiku. Siapa sebetulnya yang dungu? Hasto Kristiyanto, Harun Masiku, atau Wahyu Setiawan? Apa yang mereka cari? Legitimasi formal dalam kelas dan kasus masing-masing. Untuk bisa PAW Harun Masiku, Hasto mesti ke MA segala. Minta fatwa untuk legitimasi.
Tak ada soal dalam jual-beli dalam kehidupan ini. Karena memang begitu fitrahnya. Yang terbaik tentu, sepanjang adil dan tak ada proses tipu-tipu di dalamnya. Bahkan termasuk mendirikan agama baru, sekte, komunitas, atau keraton agung. Wong Kanjeng Senopati dulu, ketika mendirikan Kraton Kotagede, juga pake proses jual-beli. Lu jual gua beli. Siapa kuat, dapat legitimasi. Hingga perlu mengorbankan Pembayun, putrinya sendiri, untuk menggelembuk Ki Ageng mangir Wanabaya. Semuanya dengan ketentuan dan syarat berlaku.
Tentu ada yang demen dan percaya teori konspirasi. Tapi mereka yang suka teori gothak-gathuk dengan sumber data yang tak kalah klenik, bisa jadi juga korban rumors. Baik sebagai pelaku sekaligus korban, seperti model Sinuwun Toto Santosa maupun Jenderal Besar Ki Ageng Rangga Sasana. Tapi siapa yang memulai politik identitas ini?
Jaman sekarang mau jadi raja kraton? Daku-dakuannya terlalu jauh, sebagai keturunan Majapahit, atau bahkan lebih lagi sebagai turun Nabi Adam. Gimana ngebukti'in sanad dan ijazahnya? Lha wong anak Presiden yang sekarang lagi berkuasa, mau nyalon walikota saja, bisa dibully mereka yang konon aktivis demokrasi tapi tak percaya sistem yang dibangunnya. Maka, semoga ujar Jawaharlal Nehru benar, “Politik dan Agama telah kedaluwarsa. Waktunya telah tiba untuk Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas.”
Kedaluwarsa bukan berarti tidak berguna lho. Lagian ilmu pengetahuan dan spiritualitas sesungguhnya bukan ancaman bagi politik dan agama. Kecuali kedua hal tersebut, politik dan agama, memang nggak mutu blas. Ya, mutu, tapi rendah. Inget ‘kan nasihat Sukarno, “beragama (mestinya juga berpolitik) tanpa ilmu pengetahuan, bagai orang buta kehilangan tongkat.”
Jika Rocky Gerung menyamakan para raja kraton dagelan itu sama dengan Presiden Jokowi, artinya Rocky sedang menghina 54% yang waktu Pilpres 2019 memilih Jokowi daripada Prabowo. Nyatanya pemilih Jokowi cerdas. Daripada milih Prabowo dapetnya Rizieq Shihab dan Amien Rais, mending milih Jokowi. Dapat bonus Prabowo juga. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar