Dalam survey kebijakan publik yang dilakukan sebuah lembaga
survey di Jakarta, masyarakat Jakarta sebenarnya lebih bisa menerima dan
mendukung kebijakan Ahok daripada Anies Baswedan. Apalagi soal penanganan banjir
dan penanganan sungai.
Namun jawaban seperti itu terjadi ketika pertanyaan mengenai
bentuk dan jenis kebijakan yang sama sekali tak menyebutkan nama. Responden ditanya mengenai substansi kebijakan,
tanpa menyebut kebijakan siapa. Sedang pada pertanyaan yang menyebut nama pemilik
kebijakan, responden lebih mendukung Anies daripada Ahok. Sekali pun, kebijakan
itu tidak tepat, atau pun tidak dipahami.
Kesimpulannya bukan saja masih adanya polarisasi warga,
namun persoalannya adalah dukungan pada Anies bukan karena kapasitas dan
kapabelitas. Lebih karena pertimbangan subjektif, dan bukan objektif,
sebagaimana jauh sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017 ditetapkan, telah diproyeksikan
dengan tepat oleh Eep Saefulloh sebagai konsultan politik cawagub Sandiaga Uno
(dalam Pilkada 2017).
Begitulah persoalan kita (seandainya dianggap
persoalan, dan oleh kita). Sebagaimana masyarakat dan Pemda Natuna menolak 238 WNI
yang hendak dievakuasi ke Pulau Natuna, karena kekhawatiran terkena dampak
penyebaran virus Corona. Walhal, WNI yang sebelumnya tinggal di Wuhan, Tiongkok
itu, hendak diorbservasi, Apakah sudah terdampak virus Corona.
Senyampang itu, berapa orang atas nama HAM (juga diam-diam
atas nama agama), meminta Pemerintah Indonesia memulangkan para kombatan dan korban
ISIS dari Indonesia. Padal, semua tentu mesti dilihat persoalan aturan hukum dan
undang-undang, serta menimbang prioritasnya. Berdasar UU Kewarganegaraan
Indonesia, baik kombatan atau pun korban, bukan lagi WNI (Warga Negara
Indonesia). Meski pun tentu pendapat ini bisa ditentang pakar hukum tata-negara
lainnya mengenai azas Due Process of Law and a Fair Trial
Principles. Lantas, di mana proporsi pemerintah Indonesia dalam
hal ini?
Pada sisi ini, meski mengaku menganut paham negara
demokrasi dan hukum, banyak elite kita, termasuk para SJW, sering tidak
persisten dan disiplin mengedepankan hukum sebagai prasyarat seorang demokrat di
negara berdemokrasi. Selalu saja yang muncul adalah kepentingan subjektifnya. Persis orang masjid mengutuk China tapi menggunakan TOA made in
China.
Pemerintah atau kita harus melihat sejarah, atau asbabul
wurudnya? Lha, bagaimana sejarah para kombatan dan korban ISIS dari Indonesia
ini? Mereka tidak mengakui pemerintahan dan negara Indonesia. Mereka membakar ‘identitas’
keindonesiaannya. Bahkan, yang pernah jadi teroris lintas batas negara dan
direhabilitasi di Indonesia, tetap saja melakukan aksi terorisme. Aktivitas dan
aksi mereka ini juga harus secara adil dinilai dari sisi HAM. Ada korban yang
ditimbulkan akibat perbuatan mereka dan dari kelompok mereka. Posisinya adalah
mereka dan kita. Bagaimana menjadi ‘kami’?
Mengapa kita mengistimewakan ISIS, hingga perlu Menag
pertama kali berniat memulangkan, tapi kemudian esuk dele sore tempe? Sehari
kemudian ngomong beda lagi, karena katanya ISIS sadis dan jahat.
Kalau saya (nyebut kita, nanti disalahin), gampang
saja. Siapa elite kita yang ngomong perlunya pemulangan ISIS ini? Entah itu politikus,
anggota parlemen, atau Menteri agama sekalipun (sudah meralat). Kalau Amien
Rais nggak ikut ngomong, berarti dia tidak ikut proyek ini, atau nggak diajak. Entah
kalau Ridwan Saidi. Kalau PKS? Ya, itu maqam-nyalah.
Sementara dalam soal lain, kita pura-pura tak
mendengar. Bagaimana dengan orang-orang Pro Sukarno dulu, sebelum 1965, yang
dikirim untuk belajar ke luar negeri, namun ditolak balik ke Indonesia (kecuali
mau tandatangan bersetia pada Soeharto)? Belum lagi soal HAM dengan isu PKI.
Atau soal Timor Timur, Papua, Aceh, Tragedi Semanggi, Munir, Wiji Thukul,
Komunitas Kamisan, atau Novel Baswedan yang mbulet?
Apa prioritas kita? Negara ini tak punya roadmap. Tak
punya langkah-langkap prioritas. Omong kosong dengan para elitenya, yang tak
bisa bersatu-padu, gotong royong secara serius memikirkan negara. Masih
kayak tinggal di jaman kerajaan, dengan seorang raja titisan Tuhan yang jadi
tumpuan harapan dan persoalan semua orang. Padal di sisi lain, semua orang pengin jadi raja. Bukan hanya
Toto Santosa, Rangga Sasana, atau Dony Pedro. Tak heran, jika setiap rezim mudah
diombang-ambingkan kepentingan sekelompok pressure group, dan para penumpang
gelap.
Sementara kita juga mengetahui, betapa sangat menyebalkan jika semua hal diurus negara. Selain tentunya, hal itu menunjukkan betapa lemahnya rakyat. Padal, Negara bukanlah agen moral. Rakyatlah agen moral, kata Noam Chomsky, dan dapat memaksa
standar moral kepada institusi yang berkuasa. Memang akan sangat tergantung rakyat memaknai dan memposisikan para elite-nya. Dan pula, kita tak bisa memastikan perubahan di pundak satu orang, sekali pun ia bernama presiden yang kita percaya. Rakyat kuat negara kuat, kata Bung Karno.
Di awal pidato pelantikan periode keduanya, Jokowi
bilang nothing to lose. Saya juga nothing to lose untuk menanyakan langkah
strategis Jokowi. Tak usah dijawab di sini, Pak. Dalam hati nuranimu saja, untuk
persoalan legacy di luar soal infrastruktur! | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar