Sabtu, Februari 08, 2020

Mempertanyakan Jokowi: Antara Harapan dan Kekecewaan


Dalam survey kebijakan publik yang dilakukan sebuah lembaga survey di Jakarta, masyarakat Jakarta sebenarnya lebih bisa menerima dan mendukung kebijakan Ahok daripada Anies Baswedan. Apalagi soal penanganan banjir dan penanganan sungai.

Namun jawaban seperti itu terjadi ketika pertanyaan mengenai bentuk dan jenis kebijakan yang sama sekali tak menyebutkan nama.  Responden ditanya mengenai substansi kebijakan, tanpa menyebut kebijakan siapa. Sedang pada pertanyaan yang menyebut nama pemilik kebijakan, responden lebih mendukung Anies daripada Ahok. Sekali pun, kebijakan itu tidak tepat, atau pun tidak dipahami.

Kesimpulannya bukan saja masih adanya polarisasi warga, namun persoalannya adalah dukungan pada Anies bukan karena kapasitas dan kapabelitas. Lebih karena pertimbangan subjektif, dan bukan objektif, sebagaimana jauh sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017 ditetapkan, telah diproyeksikan dengan tepat oleh Eep Saefulloh sebagai konsultan politik cawagub Sandiaga Uno (dalam Pilkada 2017).

Begitulah persoalan kita (seandainya dianggap persoalan, dan oleh kita). Sebagaimana masyarakat dan Pemda Natuna menolak 238 WNI yang hendak dievakuasi ke Pulau Natuna, karena kekhawatiran terkena dampak penyebaran virus Corona. Walhal, WNI yang sebelumnya tinggal di Wuhan, Tiongkok itu, hendak diorbservasi, Apakah sudah terdampak virus Corona.

Senyampang itu, berapa orang atas nama HAM (juga diam-diam atas nama agama), meminta Pemerintah Indonesia memulangkan para kombatan dan korban ISIS dari Indonesia. Padal, semua tentu mesti dilihat persoalan aturan hukum dan undang-undang, serta menimbang prioritasnya. Berdasar UU Kewarganegaraan Indonesia, baik kombatan atau pun korban, bukan lagi WNI (Warga Negara Indonesia). Meski pun tentu pendapat ini bisa ditentang pakar hukum tata-negara lainnya mengenai azas Due Process of Law and a Fair Trial Principles. Lantas, di mana proporsi pemerintah Indonesia dalam hal ini?

Pada sisi ini, meski mengaku menganut paham negara demokrasi dan hukum, banyak elite kita, termasuk para SJW, sering tidak persisten dan disiplin mengedepankan hukum sebagai prasyarat seorang demokrat di negara berdemokrasi. Selalu saja yang muncul adalah kepentingan subjektifnya. Persis orang masjid mengutuk China tapi menggunakan TOA made in China.

Pemerintah atau kita harus melihat sejarah, atau asbabul wurudnya? Lha, bagaimana sejarah para kombatan dan korban ISIS dari Indonesia ini? Mereka tidak mengakui pemerintahan dan negara Indonesia. Mereka membakar ‘identitas’ keindonesiaannya. Bahkan, yang pernah jadi teroris lintas batas negara dan direhabilitasi di Indonesia, tetap saja melakukan aksi terorisme. Aktivitas dan aksi mereka ini juga harus secara adil dinilai dari sisi HAM. Ada korban yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka dan dari kelompok mereka. Posisinya adalah mereka dan kita. Bagaimana menjadi ‘kami’?

Mengapa kita mengistimewakan ISIS, hingga perlu Menag pertama kali berniat memulangkan, tapi kemudian esuk dele sore tempe? Sehari kemudian ngomong beda lagi, karena katanya ISIS sadis dan jahat.

Kalau saya (nyebut kita, nanti disalahin), gampang saja. Siapa elite kita yang ngomong perlunya pemulangan ISIS ini? Entah itu politikus, anggota parlemen, atau Menteri agama sekalipun (sudah meralat). Kalau Amien Rais nggak ikut ngomong, berarti dia tidak ikut proyek ini, atau nggak diajak. Entah kalau Ridwan Saidi. Kalau PKS? Ya, itu maqam-nyalah.

Sementara dalam soal lain, kita pura-pura tak mendengar. Bagaimana dengan orang-orang Pro Sukarno dulu, sebelum 1965, yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, namun ditolak balik ke Indonesia (kecuali mau tandatangan bersetia pada Soeharto)? Belum lagi soal HAM dengan isu PKI. Atau soal Timor Timur, Papua, Aceh, Tragedi Semanggi, Munir, Wiji Thukul, Komunitas Kamisan, atau Novel Baswedan yang mbulet?

Apa prioritas kita? Negara ini tak punya roadmap. Tak punya langkah-langkap prioritas. Omong kosong dengan para elitenya, yang tak bisa bersatu-padu, gotong royong secara serius memikirkan negara. Masih kayak tinggal di jaman kerajaan, dengan seorang raja titisan Tuhan yang jadi tumpuan harapan dan persoalan semua orang. Padal di sisi lain, semua orang pengin jadi raja. Bukan hanya Toto Santosa, Rangga Sasana, atau Dony Pedro. Tak heran, jika setiap rezim mudah diombang-ambingkan kepentingan sekelompok pressure group, dan para penumpang gelap.  

Sementara kita juga mengetahui, betapa sangat menyebalkan jika semua hal diurus negara. Selain tentunya, hal itu menunjukkan betapa lemahnya rakyat. Padal, Negara bukanlah agen moral. Rakyatlah agen moral, kata Noam Chomsky, dan dapat memaksa standar moral kepada institusi yang berkuasa. Memang akan sangat tergantung rakyat memaknai dan memposisikan para elite-nya. Dan pula, kita tak bisa memastikan perubahan di pundak satu orang, sekali pun ia bernama presiden yang kita percaya. Rakyat kuat negara kuat, kata Bung Karno. 

Di awal pidato pelantikan periode keduanya, Jokowi bilang nothing to lose. Saya juga nothing to lose untuk menanyakan langkah strategis Jokowi. Tak usah dijawab di sini, Pak. Dalam hati nuranimu saja, untuk persoalan legacy di luar soal infrastruktur! | @sunardianwirodono




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...