Politics
is more difficult than physics, ujar Mbah Kyai Albert Einstein. Politik lebih
sulit daripada fisika. Benarkah? Tapi mengapa Napoleon Bonaparte malah berkata
dalam politik kebodohan itu bukan suatu penghambat? Meski memang ada yang
absurd, seperti kata Will Rogers, yang pelawak politik: Politik itu mahal,
bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang.
Tulisan ini, dibangun dengan
banyak kutipan pemikir, filsuf, jurnalis, pelaku, untuk sekedar membuktikan,
bagaimana politik sudah membuat persoalan sejak lahirnya. Dan juga untuk
berusaha jujur, bahwa tidak ada pemikiran baru di dunia ini. Sebagaimana ujar
Pramoedya Ananta Toer, hanya tafsirnya yang tampak hebat.
Lihat skandal PDIP sekarang ini,
berkait kasus PAW-nya yang heboh. Sebagai partai politik pemenang
Pemilu, bahkan menguasai parlemen. Undang-undang Pemilu mereka (parlemen) yang
membuatnya. Tapi ketika pilihan sistem proporsional terbuka merugikan, mereka
melakukan uji materi atas produk mereka sendiri. Kebodohan mana lagi kau
dustakan? Benar kata Napoleon di atas, bodoh nggak soal!
Politik adalah seni mencari
masalah, menemukan di mana-mana, mendiagnosis itu salah, dan menerapkan solusi
yang salah, ujar Groucho Marx. Memang, sebagaimana dirumuskan Paul Krugman,
ekonom AS; Politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan
memiliki kebenaran. Sementara Clement Attlee, yang pernah menjadi PM Inggris,
mengatakan; Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi,
namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.
Bagaimana cara menutup mulut
orang lain? Ya, itu tadi, menang-menangan dengan sebutan dan besutan
demokrasi atau hukum. Dan praktik kekuasaan (bukan praktik kebenaran) itu, akan
makin subur dalam warga negara yang cuek. Yang hanya akan teriak-teriak ketika
kerugian menimpa dirinya dan kelompoknya semata. Jika kepentingan liyan yang
jadi korban, cuek bebek dengan berkata; Bukan urusan saya. Saya, mah, gini aja udah
bahagia.
Maka benarlah Hitler, alangkah beruntungnya
penguasa, bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Apalagi, lanjut Hitler, aku tidak
perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah. Mungkin sebagaimana
pendapat Henry Ford, pendiri Ford Motor: Berpikir adalah pekerjaan terberat,
karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakan otaknya.
Bagaimana politik menjadi sulit
dan menyebalkan? Ketika politikus
berkhianat, seperti dikatakan Joseph Schumpeter. Tugas politikus sesungguhnya
melaksanakan kehendak rakyat. Namun, tambah Joseph, yang terjadi mereka hanya mementingkan
dirinya sendiri.
Sementara kita
tahu, sebagaimana dirumuskan sastrawan Inggris, Aldous Huxley; Paling kurang
dua-per-tiga kemalangan kita berasal dari kebodohan manusia, kebencian manusia,
dan para motivator dan hakim penentu kebencian dan kebodohan, idealisme,
dogmatisme, dan penyepuhan label atas nama berhala agama atau politik.
Setidaknya, dusta atau kebohongan itu, bersimaharajalela di tengah masyarakat
abai. Abai terhadap apa? Abai pada permasalahan bersama, dan hanya asyik karena
ia sendiri merasakan kenyamanan.
Sementara itu,
ada sisi lain, sebuah monster kekuasaan bergerak, justeru mengatasnamakan
kepentingan bersama. Partai politik, sebagaimana agama, menjadi kekuatan, atau
kekuasaan, yang korup. Pada akhirnya menjadi predator bagi peradaban
kemanusiaan. Tak semua politikus busuk, iya. Ada banyak manusia yang punya prinsip
di partai-partai politik sebuah negara, namun menurut Alexis de Tocqueville,
sejarawan dan pemikir politik Perancis, tak ada partai yang punya prinsip.
The whole art of politics
consists in directing rationally the irrationalities of men, tulis Reinhold
Niebuhr. Seluruh seni politik terdiri dari mengarahkan secara rasional irasionalitas
manusia. Hasto Kristianto, dan beberapa elite PDIP hari-hari ini misalnya,
mempraktikkan seni permainan itu. Victim playing. Mereka mengatakan korban dari
sebuah framing media. Sembari terus mengatakan keberpihakan pada wong cilik,
moralitas, demokrasi. Sebagaimana ditulis aktivis sosialis Jerman, Oscar
Ameringer; Politik adalah seni
halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya,
dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain. Itu kenapa seolah tiba-tiba
ada orang baik budi, seperti Harun Masiku. Mengeluarkan uang ratusan juta,
mungkin sampai milyar rupiah, untuk disebut Hasto sebagai ‘orangnya bersih’ dan
‘track-record’-nya jelas. Tapi tega nyuap!
Tidak ada sikap dan aksi yang jahat, atau
khianat yang partai politik tak mampu lakukan, ujar Benjamin Disraeli. Karena
apa? Kata orang yang pernah jadi PM Inggris itu, dalam politik tidak ada
kehormatan! “Saya dahulu bilang bahwa politik
adalah profesi tertua ke-dua di dunia,” berkata Ronald Reagan, Presiden AS
beberapa tahun lampau. “Yang pertama adalah prostitusi. Namun saya baru
menyadari bahwa politik sama kotornya dengan prostitusi.”
Maka, di negara di mana setiap orang dianggap
bersalah, satu-satunya yang bisa dibilang kriminal hanyalah mereka yang
tertangkap, dan satu-satunya yang bisa dianggap dosa adalah kebodohan. Itu
tulis Hunter Thompson, jurnalis Amerika Serikat. Kalau partai politik, PDIP,
bisa menunda penyelidikan KPK atas ruangannya, tetapi senyampang itu menyatakan
mereka komit mendukung penegakan hukum, kita hanya bisa ketawa kecut. Dan politikus
seperti Hasto, tentu tak akan sebodoh Harun Masiku. Makanya jadi sekjen.
“Kalau partai politik tak punya fondasi dalam
memajukan keadaan menjadi lebih benar dan bermoral,” berucap mantan Presiden
AS, Dwight Eisenhower, “maka itu bukanlah partai politik, melainkan hanya
konspirasi untuk merebut kekuasaan!” Namun itu yang terjadi bukan? Dan
konyolnya, seperti sindiran Charles de Gaulle, politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru
terkejut bila rakyat mempercayainya.
Dan mereka bisa membodohi majoritas
masyarakat diam. Meski di situ berkumpul orang pintar dan dengan keyakinan
moral lebih bagus. Itu membuktikan kebenaran omongan Jesse Jackson, aktivis HAM
AS; Dalam politik, satu minoritas yang terorganisasi adalah satu mayoritas
politik. Itu bukan hanya berlaku untuk parpol macam PDIP, Gerindra, atau
Golkar. Tapi juga berbagai lembaga seperti PKS yang juga parpol, FPI, PA-212, dan
bahkan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah. Dan sebagainya.
“Berpikir
tentang perubahan sosial yang mendalam, kaum konservatif selalu mengharapkan
bencana,” kata Carolyn Heilburn, feminis. “Sementara kaum revolusioner dengan
percaya diri mengharapkan utopia. Keduanya salah!” Kritik tajam Gustave le Bon,
sosiolog dan psikolog dari Perancis; “Fase pertama evolusi demokrasi yang menang adalah
menghancurkan aristokrasi lama, yang kedua untuk menciptakan yang baru.” Sama
saja!
Maka
sebagaimana pemikiran lama yang
kini berkembang kembali, sebagaimana ditulis dalam buku Tremendous Trifles
(1955) oleh Gilbert Keith Chesterton (1874 – 1936); You can never have a revolution in order
to establish a democracy. You must have a democracy in order to have a
revolution. Anda tidak akan pernah bisa menegakkan demokrasi dengan revolusi.
Anda harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi.
Tapi seperti
lingkaran setan. Diserahkan ke partai politik? Politikus? De Gaulle bahkan
sampai pada kesimpulan, “Politik urusan yang
terlalu serius untuk ditangani para politikus semata.” Jika sebuah system nilai, baik dalam politik
maupun agama (dan apalagi jika keduanya dikawinkan), dipercaya begitu saja,
atau didiamkan berkeliaran, ia akan sungguh berbahaya. Sebagaimana dikatakan Anais
Nin, wartawan dan penulis Perancis, “Bila kita secara buta menerima sebuah
agama, sebuah sistem politik, kita menjadi robot. Kita berhenti bertumbuh.”
Indonesia pada
tahun-tahun ini, pasca 1998 dan menjelang 2045, ialah sebuah negara yang berada
dalam persimpangan peradaban. Apakah akan setback ke masa-masa Orde Baru dan
sebelumnya? Atau melangkah dengan generasi milenialnya dalam transformasi sosial
masyarakatnya? George Santayana, filsuf dari Spanyol mengingatkan, “Mereka yang tidak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi
kesalahan yang sama.”
Apakah kita akan membiarkan semuanya ini? “Guna mengatur dunia,” berkata Konfusius, filsuf agung dari Cina, “pertama-tama
kita harus mengatur bangsa; mengatur bangsa, pertama-tama kita harus mengatur
keluarga; mengatur keluarga, pertama-tama kita harus mengembangkan kehidupan
pribadi kita; pertama-tama kita harus menempatkan hati kita secara benar.”
Itulah sebabnya,
John Adams, yang pernah jadi Presiden AS, menulis memoarnya; “Saya mesti
belajar politik dan perang, agar anak-anak saya mendapatkan kebebasan untuk
belajar matematika dan filsafat. Anak-anak saya harus studi matematika dan
filsafat, geografi, sejarah alam, arsitektur laut, navigasi, perdagangan dan
pertanian agar mewariskan hak kepada anak-anaknya untuk belajar melukis, puisi,
musik, arsitektur, pembuatan patung, pembuatan kue, dan porselin.”
Art, freedom and creativity will
change society faster than politics, tulis Victor Pinchuk. Seni, kebebasan,
dan kreativitas akan mengubah masyarakat lebih cepat daripada politik. Tapi
kalau seniman jadi anteng dan tertib dengan dana keistimewaan? Itu juga tidak
istimewa lagi. Tak bisa diharap banyak.
You may fool all the people some
of the time, you can even fool some of the people all of the time, but you
cannot fool all of the people all the time, ujar Abraham Lincoln. Kamu mungkin
dapat menipu semua orang selama beberapa waktu, kamu bahkan dapat menipu
beberapa orang sepanjang waktu, tetapi kamu tidak dapat menipu semua orang
sepanjang waktu. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar