Minggu, November 17, 2019

Ngayogjazz, Antara Djaduk dan Melting Pot

Tak banyak yang mendapatkan ‘misa kebangkitan’ sebagaimana Djaduk Ferianto. Pada hari ketiga meninggalnya (16/11/2019), ia mendapatkan persembahan dari apa yang sepanjang hayat menjadi gagasan abadinya. Mengenai ‘ngeng-isme’. Sesuatu yang lebih bersifat spiritual dan humanis daripada sekedar obsesi berkesenian. Lebih jembar dari sekedar olah musik. 
 
Semacam Review: Sunardian Wirodono

Ngayogjazz tentulah berangkat dari kegelisahan Djaduk, untuk mempertemukan berbagai hal. Dan ia berjuang membuka ruang-ruang pertemuan itu. Menjadi medan persaudaraan, sebuah melting pot dalam pengertian awalnya. Bukan sebagai soal identitas atau latar belakang, namun mempertemukan berbagai hal. Berupa gagasan dan pemikiran untuk membersama.

Jazz, sebagai jenis atau aliran musik, hanyalah nama. Namun sebagaimana pertunjukan wayang kulit dalam kurun peradaban Jawa beberapa waktu silam, yang lebih penting adalah terjadinya interaksi berbagai-bagai pihak. Di mana sesiapa direkatkan pertunjukan’ wayang kulit yang dimainkan Ki Dalang. Di mana kesenian bertransformasi menjadi olah budaya, dan bahkan merambah dimensi ritual.

Wayang kulitnya menjadi tidak penting. Demikian juga jazz-nya tidak penting. Tetapi pertemuan berbagai pihak, interaksi, pergesekan pemikiran dan kreatifitas, rerasanan, itu jauh lebih penting. Apalagi ketika Didi Kempot, juga Soimah, menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka-mereka yang tak kenal siapa Idang Rasidi, Indro Hardjodikoro, bahkan Frau, atau pun Oele Pattiselano. Belum pula dibukakan ruang bagi komunitas Gedrug Kwagon, Jathilan dan Gamelan Kwagon. Juga komunitas music jazz dari Magelang, Trenggalek, Lampung, Samarinda, Belanda, Jepang, dan sebagainya itu?

Bagaimanakah sebenarnya kita memposisikan kemajemukan? Tidak sangat tepat sebenarnya menyebut ‘Ngayogjazz’ sebagai melting pot, yang berarti ada semacam peleburan berbagai budaya menjadi satu bentuk dalam pot. Dari berbagai  bahan menjadi satu, from heterogenous to homogenous. Disini terjadi proses asimilasi dari masing-masing bagian. Seperti bubur. Kita coba masukan berbagai bumbu-bumbu, beras, santan, akhirnya wujudnya satu.

Rasanya bukan demikian Ngayogjazz, sebagaimana kemudian konsep melting pot ditolak mereka yang memperjuangkan multikulralisme atau heterogenitas. Termasuk salah kaprah melting pot kaum cingkrang dan hijaber. Ngayogjazz mungkin sebagaimana dalam teori sosial yang disebut ‘salad bowl’. Baik itu salad model barat maupun salad versi kita (asal bukan salad model khilafah), akan nampak masing-masing bagian, tapi membentuk satu kesatuan yang bernama salad. Tanpa harus ada peleburan masing-masing bagian. Sepertinya demikianlah Ngayogjazz, dan sebenarnyalah itu ‘ngeng’ yang diinginkan Djaduk.

Karenanya menjadi aktual, justeru di hari ketika dunia internasional memperingati Tolerance Day, meski senyampang itu di belahan Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, beberapa kali digoreng peristiwa intoleransi. Di Bantul, lagi-lagi Bantul, misalnya. Seolah pertarungan Mataram Islam Panembahan Senapati mengejar Ki Ageng Mangir Wanabaya, masih berlanjut. Meski dalam perang asimetris, para pengejarnya kini juga menantang Sri Sultan Hamengku Buwana X.

Namun dalam konstelasi politik itu, sebagai keturunan Sri Sultan HB VII, dengan klaim bahwa kasultanan Ngayogyakarta berhenti pada era kakeknya, apakah juga menjadi bagian dari kesadaran Djaduk, yang penduduk Bantul, menggelar kerajaan jazz-nya di wilayah Sleman?

Kata Sydney Jones, terlalu banyak teori konspirasi di Indonesia. Terlalu spekulatif, juga berlebihan. Karena memahami teori ‘ngeng’ Djaduk, dibutuhkan kesabaran membuang kepentingan masing-masing. Karena yang tiada kini ialah kepentingan bersama. Dari melting pot menjadi salad bowl. Dan agar tidak menjadi sobat ambyar kita butuhkan Lord Didi? Bukan Lord yang Maha Pengasih dan Penyayang?

Kata Sydney Jones, terlalu banyak teori konspirasi di Indonesia. Terlalu spekulatif, juga berlebihan. Karena memahami teori ‘ngeng’ Djaduk, dibutuhkan kesabaran membuang kepentingan masing-masing. Karena yang tiada kini ialah kepentingan bersama. Dari melting pot menjadi salad bowl. Dan agar tidak menjadi sobat ambyar kita butuhkan Lord Didi? Bukan Lord yang Maha Pengasih dan Penyayang?

Terimakasih untuk misa kebangkitanmu di Kwagon itu, Dug! Haru melihat Butet bergoyang kepala, di antara kruwelan penonton dan teriakan cendol dawet Soimah. Dug, ini jazz cendol dawet itu, sekiranya merasa wagu dengan sebutan salad bowl a la kua-etnika! | @sunardianwirodono
 
 
SANG GURITNA YANG JAGOAN

Kematian selalu menggetarkan. Karena selalu serasa tiba-tiba. Selebihnya hanyalah kenangan. Juga penyesalan, atau kesadaran yang terlambat. Dari sanalah ‘ngeng’, sebagai sesuatu yang tak bisa diterjemahkan secara gamblang. Tapi terasakan dengan sempurna. 

Dalam perjalanan produksi ‘Blusukan Butet’ (sebuah program televisi streaming Mola.TV) dari Bali-Banyuwangi-Surabaya, menurut jadwal mestinya sampai tanggal 14 Nopember 2019. Trip terakhir di Surabaya, kami punya dua narsum, Bang Jarwo penjual kopi yang semalam bisa mengantongi duit Rp 800 ribu ketika Gang Dolly belum ditutup Bu Risma. Dan dokter Michael yang suka blusukan menyambangi kaum gelandangan untuk pengobatan gratis.

Ada benturan jadwal karena mesti mengajar mahasiswa S2, Butet harus berada di Yogya tanggal 13 Nopember. Apalagi selain mengajar, malamnya mesti membacakan puisi Jokpin dalam acara yang digagas Opie Andaresta di Societet Yogyakarta. Agak kecewa, tapi kami mengerti.

Syuting terakhir di Gang Dolly Surabaya (12/11), berjalan lancar. Selesai jam 16.00. Jam 17.00 Butet mesti diantar ke Stasiun Gubeng naik kereta ekspress ke Yogya. Tak ada tiket pesawat sebagaimana pada jam yang dikehendaki. Saya bayangkan Butet sampai di Yogya dini hari. Masih bisa istirahat untuk esoknya. Tapi esoknya (13/11), menikmati jenang candhiel yang anyep di hotel, saya ngungun. Djadug meninggal, jam 02.30 pagi hari itu.

Djadug bagian penting dari acara ‘Blusukan Butet’. Ia mengisi illustrasi musiknya. Ketika di Banyuwangi, beberapa kali Djadug menjadi ‘bahan’ pembicaraan kami. Entah itu soal festival jazz gunung (Ijen, Bromo), atau rencana lain lagi dengan juragan kopi Mbanyuwangi. 

Donny Firdaus, produser program kami waktu itu meminta maaf, belum sempat memberikan honor untuk Djadug. Butet bilang, “Ya, sudah hitung saja sudah berapa episode, tinggal ditransfer saja,…” Sembari ditambahkan, Djadug sudah menyerahkan semua album musiknya untuk program acara kakaknya itu.

Di Gang Dolly, waktu pengambilan gambar malam hari (11/11) di bekas lokasi prostitusi terbesar Asia Tenggara itu, kami ditemui Camat Sawahan (membawahi kawasan Gang Dolly) yang antusias dengan ide-ide revitalisasi Gang Dolly. Ia ngomong ke Butet, menantang agar Djadug bikin festival jazz Dolly Masa Kini. Dan seterusnya. 

Termasuk sebelum balik ke Yogya, Butet meminta tolong soundman merekam salah satu puisi yang mesti dibacakan dalam pementasan A Tribute to Jokpin (judul yang mengagetkan, jadi kebayang judul barunya; A Tribute to Djadug). Saya tak tahu, apakah Butet jadi tampil atau mengirimkan rekaman audio dadakannya. Saya sendiri baru tiba di Yogya sudah malam hari (ternyata, sebagaimana nasihat ayahnya, Pak Bagong marhum, Butet tetap datang menjalankan kewajiban berkeseniannya). Bersyukur Butet pulang duluan, dan tiba di Yogya beberapa jam sebelum ditinggal adiknya itu.

Demikianlah sedikit cerita yang lain. Mengenai Djadug, seorang baik. Seorang yang saya tahu ketika sejak kecil, kalau melihat bapaknya mengendang, mengiringi latihan kethoprak atau tari, dia menggelendot di punggung bapaknya. Dua tangannya memperlakukan kepala sang bapak sebagai sebuah kendang. Saya menyaksikan itu bila-bila bapak saya, yang anggota kethoprak Sapta Mandala, mengajak saya ikut latihan kethoprak di Gallery Bagong K., Wirobrajan atau PSBK Kembaran.

Ini tentang seorang yang punya ‘banyak nama’, untuk menyatakan tak penting baginya identitas. Ia menembus batas. Ia penuh toleransi. Seorang Katholik garis lucu. Dan itu membuatnya kaya warna. Bukan hanya dua warna sebagaimana ia ‘memulai karir’ di dunia industri musik melalui RCTI (1996). Meski jauh sebelumnya ia berkibar dengan Kelompok Musik Rheze, dan menggemparkan TIM Jakarta sebagai Juara I Festival Musik Humor (1978).

Diakui atau tidak, dari sanalah berkibar nama Raden Ngabehi Gregorius Djadug Ferianto (19 Juli 1964 - 13 Nopember 2019), atau Djaduk Ferianto sebagaimana dalam akun fesbuknya. Bukan sekedar Raden Mas, sebagai keturunan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, melainkan karena ia mengawaki semua keahlian, sebagai pemusik, sutradara, aktor, penari, bahkan juru-potret amatir, hingga ia menyandang gelar Raden Ngabehi.

Nama awalnya yang diberikan sebagai penanda kelahiran, adalah Guritna (seorang yang piawai menulis). Guritna, nama salah satu Dewa dalam mitologi Jawa, yang menaungi wuku Julungpujud, karakter yang mempunyai tekad tinggi dalam cita-cita. Guritna nama pemberian sang paman, Raden Mas Handung Kussudyarsana. Sedangkan Bagong Kussudiardjo, ayahnya, entah kenapa kemudian mengubah nama itu menjadi Djadug Ferianto. Sekalipun memang terbukti, Djadug seorang yang pandai menulis apa saja, dalam bentuk ngeng, nada, dan kemanusiaan.

Jadug artinya jagoan. Mungkin itu mimpi orangtuanya. Meski ketika berhadapan beberapa reporter newbie di ajang Ngayogjazz, masih saja ia ditanya; siapa namanya dan apa perannya? Djadug dengan ringan menjawab; “Nama saya Kamto, dalam Ngayogjazz berperan menjadi pembantu umum,…”
“Ngayogjazz berlangsung dari jam berapa sampai jam berapa, Pak?” para reporter ngganyik itu bertanya lagi. Djadug menjawab serius, “Ngayogjazz ini tidak pakai jam. Takut kalau nanti dicopet,…”

Selamat berpisah orang baik, dengan selera humor yang baik kita selalu bersua. Ngeng-mu (ngeng adalah istilah Djadug untuk rasa nada atau karakter yang tak bisa diuraikannya) abadi dalam kegelisahan bersama. Sorry, ya, Dug, aku kewengen tekan Yogya!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...