Para pendekar pendidikan
dan kebudayaan, bisa dipastikan menyebut Nadiem Makarim sosok tak layak di
posisi Kemendikbud. Bayangkan, pendidikan dan kebudayaan. Dua hal yang dibangga-banggakan
oleh yang membanggakan. Karena yang tak membanggakan pastilah tidak
bangga!
Biasanya para senior, memuja-muja
pendidikan dan kebudayaan sebagai sesuatu yang sangat mulia. Karena itu disangar-sangarkan.
Apalagi mereka yang berada dalam zona nyaman. Lebih-lebih mereka yang penggiat ‘proyek
pendidikan’ dan ‘proyek kebudayaan’ yang akrab dengan ‘proposal pendidikan’ dan
‘proposal kebudayaan’.
Orang-orang itu, mungkin
sebagian besarnya, bukan karena cemas betapa pendidikan dan kebudayaan akan
hancur, karena dipegang anak bau kencur. Siapa sih Nadiem ini? Hanya karena
sukses bikin aplikasi Go Jek? Itu sebagian kecil kekhawatiran. Kekhawatiran
terbesar sesungguhnya, karena para pendekar pendidikan dan kebudayaan takut
kehilangan lahan kosong yang selama ini dikuasainya.
Apa sih pemahaman kita tentang
pendidikan? Menjadi pinter? Kemudian lulus sekolah dapat pekerjaan? Nggak juga.
Bahkan sejak pendidikan dirumuskan Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan. Atau
oleh Kartini dan adik-adiknya, untuk para gadis-gadis kampung di sekitar
istana. Tidak juga sebagaimana Bung Karno mengadakan ‘kursus politik’ bagi para
perempuan, di beranda belakang Gedung Agung Yogyakarta, ketika Ibukota Republik
berada di kota itu.
Yang ingin dilahirkan
adalah manusia independent, merdeka dan berkarakter. Berdaya nalar, berpikir merdeka,
mandiri, yang antara lain menjadikannya kreatif, inovatif, inisiatif. Tapi
sejak kapan pendidikan, juga kebudayaan, justeru membelenggu manusia menjadi
dependen? Tergantung pada sistem? Dari dulu demikian.
Ketika pendidikan dan
kebudayaan disatukan dalam satu lembaga kementriaan, kita tak pernah melihat negara
mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan benar. Karena pendidikan dan
kebudayaan, sama halnya agama, adalah sesuatu yang hidup di masyarakat suatu
bangsa itu sendiri. Tak ada urusan dengan negara sesungguhnya. Karena bukti
juga sudah nyata, ketika negara menguasai kurikulum, dan berbagai aturan yang
dikendalikan, kualitas pendidikan (senyampang itu kebudayaan) kita, yang terasa
adalah bangsa yang mengalami involusi pendidikan dan kebudayaan. Di mana
kesalahannya?
Pendidikan hanya dimaknai
dengan ‘sekolah’. Padahal, lembaga sekolah hanya terlihat bermanfaat ketika ia
mengajarkan ilmu, bukan sekedar pengetahuan. Maka konsep link and match hanya
cocok untuk sekolah khusus seperti SMK (Sekolah Menengah Khusus), bukan SMU
(Sekolah Menengah Umum), atau ke lembaga perguruan tinggi, yang dibagi menjadi
fakultas-fakultas, jurusan, atau program studi. Di situ seorang siswa, atau
mahasiswa, ditempa dengan ilmu tertentu. Untuk kemudian masuk ke dunia kerja.
Sementara yang sekolah
umum, atau drop out, apakah tidak bisa hidup? Atau tidak bisa pinter? Tetap
bisa. Bahkan tak sedikit yang sukses, meski yang gagal juga banyak. Apakah
karena berkait sekolah formalnya? Tak ada hubungan. Kesuksesan dan kegagalan
ditentukan mentalitasnya, karakter pribadinya. Sama seperti lulusan SMK dan
perguruan tinggi, juga belum tentu sukses hidupnya, meski jadi bintang pelajar dan punya keterampilan.
Lantas apa yang akan
dilakukan Nadiem Makarim? Ada sisi lain yang selama ini kita abai. Membangun sistem
pendidikan dan kebudayaan kita (sekiranya kebudayaan mengenal sistem). Yakni
dari sisi manajemen atau pengelolaan. Nadiem saya kira oleh Jokowi akan lebih
ditempatkan dalam konteks membangun infrastruktur pendidikan yang selama ini
abai. Infrastruktur dalam konteks ekosistem. Sementara soal content, soal
pendidikan dan kebudayaan, para pakar tak perlu kehilangan pekerjaan atau
keahliannya. Tapi juga jangan suka mencak-mencak. Apalagi tak mau kompromi
karena merasa paling pinter dan bener. Wong yang disebut guru pun, belum tentu
ngerti apa perbedaan ilmu dan pengetahuan.
Sepandai-pandai Mendikbud
kita, dari sejak Ki Hadjar Dewantara, Daoed Joesoef, Fuad Hassan, apakah kita
puas dengan sistem pendidikan dan kebudayaan kita? Jujur sajalah! Kenapa?
Banyak soal di situ. Sampai ketika kementrian itu kemarin dipisah, satunya
adalah Kemenristek dan Dikti. Dengan anggaran puluhan trilyun setiap tahun, apa
hasilnya? Menguap dalam spirit korupsi’isme. Hanya melahirkan kertas-kertas
kerja, paper akademik. Tapi kagak ada hasil yang nyata. Contoh lain, kurang
ahli pendidikan apa Anies Baswedan, yang dulu menginisiasi ‘Indonesia Mengajar’?
Tapi kenapa dia sebagai Mendiknas kemudian dicopot oleh Jokowi? Karena apa?
Dari catatan Sri Mulyani sebagai Menkeu waktu itu, lebih pada soal penggunaan
anggaran yang tak proporsional.
Dalam praksisnya, dunia
pendidikan dan kebudayaan di Indonesia, ketika menjadi lembaga, tak luput dari
spirit korupsi. Dulu Chairil Anwar pernah berkata, hidup hanyalah menunda
kekalahan dari cinta sekolah rendah. Sekolah hanya sekedar agar kita punya
status. Tetapi lulus sekolah, dan nggak bisa apa-apa, tetap jadi benalu,
meneketehek. Yudhistira ANM Massardi, yang juga penyair, bahkan pernah
menyodorkan pikiran keluar dari sekolah. Ngapain sekolah?
Di Jepang dengan kualitas
SDM lebih bagus dari kita, beban pelajaran untuk para siswanya tak
seberat anak-anak sekolah di Indonesia. Sampai kelas 3, anak-anak Jepang tak
dapat banyak pelajaran. Mereka difokuskan untuk pendidikan etika dan karakter.
Pada sisi lain, di Findlandia, yang konon mencontoh pola Ki Hadjar Dewantara,
mereka belajar tentang kehidupan, TbL (Think by Logic). Sama sekali tak ada
mata pelajaran agama di sekolah. Agama adalah urusan privat. Dan kalian, hai
para ahli pendidikan dan kebudayaan, bisakah melawan absolutisme pandangan
yang mencokok kepala kita selama ini? Bahkan sebagian kenyataannya, tak
hanya takut dituding kafir, tapi malahan ikut nuding-nuding kafir pada yang tak
sejalan. Bagaimana mungkin sekolah formal jadi sumber mekarnya radikalisme (atau puritanisme) agama?
Orang terdidik adalah yang
siap berubah. Tapi meski ngomong soal nilai pendidikan dan kebudayaan, jika
merasa paling bener sendiri dan suka melecehkan liyan, itu contoh orang tak
berpendidikan dan berkebudayaan. Sekarang ini, mending negara mau
mengakui sistem pendidikan out-schooling atau home schooling (meski jika
memerlukan sertifikasi negara dimungkinkan mengikuti sistem Ujian Akhir Nasional yang diselenggarakan negara).
Kini banyak persekolahan alternative,
dalam berbagai bentuk, yang diadakan di luar sekolah formal negara. Mengapa
kita tak mempertanyakan? Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita? Karena apa? Apalagi pada kenyataanya, guru yang brengsek juga ada. Sebagaimana
siswa sebuah sekolah formal, juga bisa menusuk gurunya hingga tewas.
Terus kita sangka, Nadiem
Makarim akan berdiri di depan kelas, mengajari murid-murid untuk membuat
aplikasi? Atau membuat meme tentang kebudayaan, sebagaimana di medsos kini
banyak yang menghina-dina mantan CEO Go Jek ini? Pantes saja pendidikan dan
kebudayaan tak menjadi basic nilai, lha wong para stakeholder-nya juga tak
memperlihatkan sebagai manusia terdidik dan berbudaya.
Ki Hadjar Dewantara bersesanti untuk para pendidik, dengan budaya 'ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani'. Memahami artinya? Nadiem Anwar Makariem justeru telah dengan bagus menerapkannya, dengan apa yang sudah dilakukannya. Ini soal mindset, dan kalian pura-pura nggak ngerti soal revolusi mental itu kayak apa. | @sunardianwirodono
Terima kasih sudah mengajak kami merenungi nasib sebagai produk sistem pendidikan di negeri ini.
BalasHapus