Lagi-lagi Bantul, ini sebuah kalimat yang
tak sedap. Memberi citra buruk pada Kabupaten Bantul, utamanya dalam isu atau
pun kasus intoleransi.
Sudah banyak ditulis di medsos, kita tak perlu mengulangi. Hingga yang terakhir, apa yang terjadi di dusun Mangir Lor, ketika konon masyarakat sekitar menolak acara piodalan di salah satu rumah penduduk beragama Hindu. Siapa yang menolak? Yang beragama. Jangan percaya jika MUI mencapnya sebagai tidak beragama. Memangnya boleh di KTP ditulis keterangan 'tidak beragama'?
Sudah banyak ditulis di medsos, kita tak perlu mengulangi. Hingga yang terakhir, apa yang terjadi di dusun Mangir Lor, ketika konon masyarakat sekitar menolak acara piodalan di salah satu rumah penduduk beragama Hindu. Siapa yang menolak? Yang beragama. Jangan percaya jika MUI mencapnya sebagai tidak beragama. Memangnya boleh di KTP ditulis keterangan 'tidak beragama'?
Masalah sepele? Hingga para pejabat Pemda Bantul meminta tak dibesar-besarkan? Para pihak, termasuk Kepolisian Bantul, juga tak perlu berkilah tak ada pelarangan ritual piodalan. Atau bahkan pihak Kemenkominfo memberitakan klarifikasi, bahwa pelarangan peribadatan Hindu di dusun Mangir itu hoax! Hoax matamu!
Wisata Religi. Beberapa tahun lalu, Pemda Bantul ingin mengembangkan ‘wisata religi’, di samping desa kerajinan. Sementara untuk pantai, Bantul mesti ‘bersaing’ dengan Kulon Progo dan Gunung Kidul. Wisata religi memang paling relevan, karena teritori pegunungan dan pantai, membuat Bantul memiliki monumen dan dokumen masa lalu yang bisa jadi bahan baku objek wisata itu.
Apa itu wisata religi? Belum jelas definisinya. Untuk sementara, masih berupa wisata ziarah, umumnya ziarah kubur ke tokoh-tokoh sejarah, yang bisa jadi dulu bergiat dalam lapangan keagamaan. Itu sebabnya jika menyebut wisata religi Bantul hanya bisa menyebut; Makam Raja-raja di Imogiri, Makam Syekh Maulana Maghribi, Syekh Bela-belu, Sunan Geseng. Bagaimana dengan situs-situs seperti Goa Langse, Batu Gilang Parangkusuma, Goa Selarong Pangeran Dipanegara, atau bahkan situs Mangir?
Namun jika ngotot mengembangkan wisata religi, kasus yang terjadi di dusun Mangir Lor (di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta), perlu dituntaskan secara jujur dan terbuka.
Aparat pemerintahan Bantul, mesti berani melakukan perubahan besar-besaran; dalam misi-visinya, orientasi dan sikap mentalnya dalam akselerasi jaman. Tanpa revolusi mental, upaya akan sia-sia. Apalagi jika masih toleran pada intoleransi, yang intinya jiper alias takut pada tekanan majoritas. Itu semua hanya akan membuat Bantul sebagai medan pertempuran empuk bagi golongan khilafiyah, dengan anak-pinaknya seperti maraknya intoleransi, formalisme dalam beragama, dan friksi sosial-politik lainnya.
“Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas,” kata Rama Mangun. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu, tapi munafik, menutup-nutupi masalah. Menimbun kebohongan demi kebohongan atas nama harmoni.
Ideologi Konflik. Meski bisa jadi semua ini, adalah warisan ideologi konflik turun-temurun. Sementara pembacaan kita akan sejarah, belum begitu khatam. Masih terbata-bata. Menanggapi lakon Mangir tulisan Pramoedya Ananta Toer saja, yang berdasar riset berbagai sumber, lebih memunculkan penolakan daripada duduk bersama berdialog. Padahal, dari semua masa lalu yang ditinggalkan dalam rahasia (dengan bahasa pasemon, sanepan, atau simbolik), semuanya sama-sama berangkat dari tafsir. Sementara kini, tafsir sering ditumpangi kepentingan.
Pada titik tertentu, apa yang terjadi pada kasus piodalan Mangir, juga soal tafsir masing-masing. Tak bisa didamaikan secara normatif atau gampangan. Jika merujuk sejarah yang lebih jauh lagi, dari sejak bangkrutnya Majapahit, maka tanah Jawa selebihnya adalah tumbuh dari konflik ke konflik. Kekuasaan yang tersebar di seluruh daerah Jawa (tidak berpusat), memunculkan situasi chaostic.
Perang terjadi, berebut kekuasaan tunggal. Dan itu yang menjadikan tanah Jawa bermandi darah. Bahkan mungkin bisa jadi sampai kini. Ketika Soeharto pada akhir kuasanya membutuhkan legitimasi Islam, dan kini semangat khilafiyah muncul kembali, berhadapan secara diametral dengan konsep negara kesatuan.
Antara Panembahan Senapati dan Mangir (Wanabaya III), masih sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V, yang beristeri 117 (sic)! Munculnya daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada penguasa wilayah di atasnya), memunculkan banyak penguasa, yang kala itu disebut Ki Ageng. Para Ki Ageng ini, rerata keturunan Majapahit. Tapi mereka justeru amprokan dalam konflik (perebutan) wilayah. Tanpa menyadari jika sebenarnya sebagian dari rumpun yang sama.
Ki Ageng Pemanahan yang menguasai Mataram dan mendirikan Kotagede pada 1577, kemudian diteruskan Ngabehi Lor Ing Pasar, naik mentahbiskan diri menjadi Raja Mataram Islam, dengan gelar Panembahan Senapati. Pada saat bersamaan di daerah Perdikan Mangir (tanah perdikan dari Majapahit), tersebutlah tetuanya bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya III (generasi ke-4 dari Ki Ageng Mangir I), yang tak mau tunduk pada Mataram di bawah Panembahan Senapati.
Kisah Mangir kuat diduga sebagai cikal-bakal wilayah Kabupaten Bantul, dan masuknya kawasan ini ke Kraton Ngayogyakarta (bahkan nama Bantul, diduga berawal dari barisan emban yang bercunduk mentul, ketika mengiring pasangan Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Pembayun masuk ke Kraton Ngayogyakarta). Perdikan Mangir, yang dikhawatirkan menjadi pesaing Mataram, mendapat dukungan beberapa Demang seperti Patalan, Jodog, Pandak, dan Pajangan (yang kini semua menjadi bagian wilayah Kabupaten Bantul). Namun bagaimana sejarah konflik itu dalam proses transformasi nilai generasi-generasi sesudahnya?
Politik Identitas. Menguatnya politik identitas, menjadikan interpretasi atau tafsir kita mengenai masa lalu mendapat muatan kepentingan masing-masing. Dalam novel ‘Burung-burung Manyar’, mengenai proses sejarah membersama dalam bingkai kebangsaan Indonesia, YB Mangunwijaya bertanya dengan skeptis, “Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan?”
Meski pun
tentu, membaca sejarah masa lalu harus dikaitkan dengan apa kepentingannya
sekarang ini. Dalam sebuah pertemuan Trah Catur Sagotra (1988) di Jepang, menjelang
mangkatnya, Sri Sultan Hamengku Buwana IX ngendika pada sanak-saudara keturunan
Panembahan Senapati itu, “Kita tak ingin terjebak dalam konflik warisan dari
para leluhur kita. Karena kita hidup di masa kini, bukan masa lalu,…”
Beberapa sejarawan menyebut Mangir adalah wilayah pertahanan terakhir para penganut Hindu, dari kejaran syiar agama Islam dalam periode runtuhnya Kerajaan Majapahit. Ada beberapa bukti secara arkeologis (juga mistis) ditemukan di sana. Namun, para sejarawan juga menyebut, Ki Ageng Mangir III telah merasuk agama Islam dengan menunjuk beberapa prasasti dan peninggalannya yang masih ada. Pada sisi ini, kita bertanya, mana yang benar? Salah satu benar? Atau keduanya benar?
Namun mestikah kita terjebak dalam perspektif dan persepsi masa lalu, dalam melihat kasus Mangir yang belum lama muncul itu? Perlukah cara pembacaan baru, dalam mengartikulasikan sejarah, dengan konteks kepentingan kita hari ini dan masa depan? Bahwa harmoni adalah yang paling utama dalam kehidupan, walaupun kadang tidak rasional, sebagaimana tulis Putu Wijaya dalam novel ‘Perang’? Mungkin itu yang mesti direnungkan. Setidaknya, daripada terus terperangkap dalam ‘teori’ konflik yang tak berkesudahan.
Sudah barangtentu dengan ketentuan dan syarat berlaku. Darimana dimulai? Pemerintah dengan otoritas sebagai regulator, mempunyai peranan penting dalam hal ini. Para artikulatornya di lapangan, para birokrat pejabat pemerintah daerah, juga aparat hukum wilayah itu, mesti memahami persoalannya. Mereka haruslah bagian yang mampu memoderasi, bukannya menunggangi, atau bahkan bagian yang turut bermain karena agenda kepentingannya sendiri.
Menjadikan Harmoni. Dengan situs-situs yang ada, bahkan jika mengingat keinginan Pemda Bantul menjadikan wisata religi, apa yang ada di Mangir justeru memungkinkan wisata religi itu bukan sekedar keindahan tempat. Kemampuannya melakukan transformasi nilai, dimungkinkan karena kandungan sejarah yang dibawa Ki Ageng Mangir. Di mana kerukunan umat beragama, Hindu dan Islam, telah dibuktikan dari anak-turun Ki Ageng Mangir, dan masyarakat pada jamannya. Setidaknya, sebelum politik identitas kembali kumat paska longsornya Soeharto pada 1998.
Beberapa sejarawan menyebut Mangir adalah wilayah pertahanan terakhir para penganut Hindu, dari kejaran syiar agama Islam dalam periode runtuhnya Kerajaan Majapahit. Ada beberapa bukti secara arkeologis (juga mistis) ditemukan di sana. Namun, para sejarawan juga menyebut, Ki Ageng Mangir III telah merasuk agama Islam dengan menunjuk beberapa prasasti dan peninggalannya yang masih ada. Pada sisi ini, kita bertanya, mana yang benar? Salah satu benar? Atau keduanya benar?
Namun mestikah kita terjebak dalam perspektif dan persepsi masa lalu, dalam melihat kasus Mangir yang belum lama muncul itu? Perlukah cara pembacaan baru, dalam mengartikulasikan sejarah, dengan konteks kepentingan kita hari ini dan masa depan? Bahwa harmoni adalah yang paling utama dalam kehidupan, walaupun kadang tidak rasional, sebagaimana tulis Putu Wijaya dalam novel ‘Perang’? Mungkin itu yang mesti direnungkan. Setidaknya, daripada terus terperangkap dalam ‘teori’ konflik yang tak berkesudahan.
Sudah barangtentu dengan ketentuan dan syarat berlaku. Darimana dimulai? Pemerintah dengan otoritas sebagai regulator, mempunyai peranan penting dalam hal ini. Para artikulatornya di lapangan, para birokrat pejabat pemerintah daerah, juga aparat hukum wilayah itu, mesti memahami persoalannya. Mereka haruslah bagian yang mampu memoderasi, bukannya menunggangi, atau bahkan bagian yang turut bermain karena agenda kepentingannya sendiri.
Menjadikan Harmoni. Dengan situs-situs yang ada, bahkan jika mengingat keinginan Pemda Bantul menjadikan wisata religi, apa yang ada di Mangir justeru memungkinkan wisata religi itu bukan sekedar keindahan tempat. Kemampuannya melakukan transformasi nilai, dimungkinkan karena kandungan sejarah yang dibawa Ki Ageng Mangir. Di mana kerukunan umat beragama, Hindu dan Islam, telah dibuktikan dari anak-turun Ki Ageng Mangir, dan masyarakat pada jamannya. Setidaknya, sebelum politik identitas kembali kumat paska longsornya Soeharto pada 1998.
Memang tidak mudah menjadikan harmoni. Seperti
pendapat Simone de Beauvoir, “Antara dua individu, harmoni tidak pernah diberikan.”
Namun menurut filsuf Perancis itu, “harus ditaklukkan tanpa batas.” Karena, jika
hidup bukan tentang kemanusiaan dan kehidupan harmoni, kita tidak tahu untuk
apa hidup itu.
Kita memang hidup dalam dialektika. Bahkan, secara lebih tajam, Immanuel Kant menekankan, "Manusia menginginkan harmoni; tetapi alam lebih tahu apa yang baik untuk spesiesnya: ia menginginkan perselisihan." Seperti lingkaran, yang kita acap menyebut lingkaran setan. Begitulah hidup. Namun perselisihan yang dimaksudkan, bisa diterjemahkan dalam dialektika upaya manusia menemukan yang disebut harmoni, kenyamanan, atau pun kedamaian.
Dan itu hanya lahir dari apa yang disebut dialog, atau dalam bahasa pop disebut cinta. Bukan hanya saling bicara, melainkan juga saling mendengarkan. Bukannya saling menyalahkan mulu, dengan berebut benar. Toh jika Mangir menjadi kawasan wisata religi, bakalan inspiratif bagi tumbuhnya toleransi antarwarga, serta secara ekonomi pun masyarakat juga akan diuntungkan.
Bukan hanya tergantung dari narasi, namun bagaimana masyarakat diajak serta untuk saling mengapresiasi. Dalam hal social engineering inilah, pemerintahan dibentuk untuk menjalankan national and character building. Bukan hanya menyalahkan minoritas, karena jerih dengan tekanan majoritas.
Maka belajarlah sejarah. Karena mereka yang tak belajar dari sejarah, akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita tidak hidup untuk masa lalu, melainkan demi masa depan dengan peradabannya.
Kita memang hidup dalam dialektika. Bahkan, secara lebih tajam, Immanuel Kant menekankan, "Manusia menginginkan harmoni; tetapi alam lebih tahu apa yang baik untuk spesiesnya: ia menginginkan perselisihan." Seperti lingkaran, yang kita acap menyebut lingkaran setan. Begitulah hidup. Namun perselisihan yang dimaksudkan, bisa diterjemahkan dalam dialektika upaya manusia menemukan yang disebut harmoni, kenyamanan, atau pun kedamaian.
Dan itu hanya lahir dari apa yang disebut dialog, atau dalam bahasa pop disebut cinta. Bukan hanya saling bicara, melainkan juga saling mendengarkan. Bukannya saling menyalahkan mulu, dengan berebut benar. Toh jika Mangir menjadi kawasan wisata religi, bakalan inspiratif bagi tumbuhnya toleransi antarwarga, serta secara ekonomi pun masyarakat juga akan diuntungkan.
Bukan hanya tergantung dari narasi, namun bagaimana masyarakat diajak serta untuk saling mengapresiasi. Dalam hal social engineering inilah, pemerintahan dibentuk untuk menjalankan national and character building. Bukan hanya menyalahkan minoritas, karena jerih dengan tekanan majoritas.
Maka belajarlah sejarah. Karena mereka yang tak belajar dari sejarah, akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita tidak hidup untuk masa lalu, melainkan demi masa depan dengan peradabannya.
Sunardian Wirodono,
penulis, tinggal di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar