Kamis, November 21, 2019

Melihat Sisi Politik Pengritik Ahok


Setelah Rizal Ramli, ada lagi kini mantan menteri berkomentar sumir terhadap Ahok. Namanya Dahlan Iskan, yang adalah juga pernah sebagai Menteri BUMN jaman SBY. Dengan segala hormat atas suksesnya memimpin Jawa Pos, DI rasanya tidak proporsional menilai Ahok. Lepas dari apapun kepentingannya.

Dalam tulisan di blog pribadinya, disway, DI menulis, "Apakah BTP itu orang berprestasi? Sehingga akan ditempatkan di salah satu BUMN?" tulis Dahlan (16/11). Menurut mantan CEO Jawa Pos ini, orang berprestasi cenderung sukses ditempatkan di mana pun. Kesimpulan itu datang dari pengalaman 30 tahun menggeluti dunia manajemen.

Setelah muter-muter definisi sukses dan  prestasi, DI sampai pada penilaian, meski dalam wujud pertanyaan, "Bagaimana kalau ada penilaian BTP itu hanya berprestasi dalam membuat kehebohan? Terserah yang menilai dan yang diberi nilai." Sinisme khas DI.

DI mewanti-wanti ada prinsip yang harus dipegang, bahwa perusahaan perlu ketenangan. Ia mengatakan suatu perusahaan tak bisa maju kalau hebohnya lebih besar ketimbang kerjanya.

Wanti-wanti DI soal ketenangan bagi perusahaan, normative benar. Namun tanpa mengetahui alasan di balik penunjukan itu (baik dilakukan Erick Thohir maupun Jokowi yang menyetujui), menjadikan penilaian DI tak representative. Asumsinya sumir, dan kontra produktif.

Mestinya, sekelas DI, juga RR jika mau disebut, tahu bagaimana kinerja dan situasi beberapa BUMN di Indonesia. Demikian juga prestasinya serta capaian-capaian, serta apa sebab dan akibatnya karena hal itu. Kita, rakyat, yang ingin tahu dan belajar, jadi tak mendapatkan apa-apa kecuali komentar sama gilanya dengan Arie Gumilar, Presiden Serikat Pekerja Pertamina, yang kini banyak diam kena serangan Cilacap-13!

FSPPB di Jakarta maupun Cilacap, tak memiliki alasan logis menolak Ahok menjadi Dirut atau Komut Pertamina. Apalagi penolakan yang dilakukan PA-212, yang lebih politis lagi karena tudingan yang rasialis dan diskriminatif. Persoalan karakter Ahok selalu diangkat untuk mempengaruhi publik. Katanya rakyat tak menghendaki. Rakyat yang mana? Bagaimana juga, pemerintahan Jokowi terbentuk karena menang Pilpres, ada lebih banyak yang memilih Jokowi.

Memang, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Ahok kerap marah-marah. Tapi karena apa? Karena birokratnya tak memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Juga banyaknya koruptor dan predator di aparatnya. Bahasa yang keras adalah cara Ahok melawan mereka yang korup, bermain-main anggaran daerah. Pada masyarakat, yang baik dan taat hukum, Ahok tak kalah baik. Menurut penilaian Imam Besar Masjid Istiqlal, Ahok menjalankan kepemimpinan yang islami. Selama kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, pasar tak menunjukkan respons negative. Hanya dari pengusaha hitam yang suka pat-gulipat, Ahok tentu tak disuka.

Jika ditempatkan di dalam korporat pemerintah, benarkah Ahok akan membuat onar? Membuat onar dalam sisi membersihkan perusahaan dari koruptor dan predator, sangat dinanti rakyat, dan dunia usaha yang makin membutuhkan trust dari publik. Di situ Ahok diharap sangat paham di mana akan diam dan kapan bicara lantang.

Ketika terkait masalah korporasi dan strategi bisnis, Ahok telah menunjukkan sebagai pejabat pemerintahan yang proper, jangan sampai strategi bisnisnya diketahui lawan bisnis. Namun sebagai pucuk pimpinan dalam perusahaan, ia pasti akan lantang dan tegas untuk menggebug tikus-tikus brengsek. Keriuhan, keonaran, atau kehebohan dalam konteks ini, justeru diharapkan oleh dunia usaha yang ukurannya kini adalah trust dengan standar presisi secara internasional.

Pada sisi lain, jika Ahok mendapat pembelaan atau dukungan dari rakyat secara luas, hal ini juga harus dilihat untuk menilai posisi Ahok. Tidak adil melihat Ahok dalam framing dan labeling mereka yang tak setuju atas penunjukkan itu. Biar adil, suara lain juga harus didengar, dengan berbagai alasan yang bisa diukur, dan dibuktikan. Ahok mempunyai track-record yang positif dan produktif. Soal ia pernah menjadi narapidana, harus dilihat secara jujur dan adil, karena kasus apa. Ahok menjadi bagian dari apa yang diimpikan rakyat mengenai bagaimana kriteria seorang pejabat negara atau pemerintah.

Pada sisi lain, RR setelah mengatakan Ahok sekelas Glodok, menyebutkan yang lebih tepat dibanding Ahok, adalah Ignatius Jonan atau Tommy Lembong. Wah, ternyata kelasnya karena ini dan itu. Jika demikian, kenapa RR tak menjadi Menteri BUMN saja? Tentu karena tak ditunjuk Jokowi, meski dulu pernah jadi Kabinet Kerja Jokowi tapi kemudian dicopot. 

Tudingan lain pada Ahok, dalam asumsi hukum, sebagaimana digembar-gemborkan Addie Massardi berkait KPK atau pun BPK, sayangnya hanya berhenti pada asumsi, kecurigaan, tuduhan tak berdasar, kekhawatiran, bahkan fitnah, yang sudah barang tentu tak pasti ukurannya. Addie Massardi, dan kelompoknya, tampak memiliki agenda tersendiri mengenai hal itu.

Kita tahu karakter Jokowi. Ia akan memakai rekan atau tim kerja jika cocok. Seperti misal, Budi Hartono dari sejak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, hingga kini. Atau Basuki Hadimulyono, Mentri PUPR. Kenapa Jonan (juga Archandra) tak dipakai lagi? Karena ada kasus tertentu. Demikian juga Susi Pudjiastuti tak dipakai lagi, yang penggantinya ternyata tak lebih bagus? Jika membandingkan SP dengan Ahok, akan makin jelas, Jokowi sangat percaya Ahok orang yang proper untuk penugasan khusus. Di sini kita menunggu, bagian dari janji tanpa kompromi Jokowi.

Dalam hal ini, Jokowi dan Erick Thohir yang ngerti persis, mengapa menunjuk ini dan itu. Bukan menunjuk RR dan DI. Jika RR dan DI menginginkan orang lain, bukannya Ahok, seyogyanya mereka berjuang jadi Menteri BUMN. Atau Presiden sekalian, meski syaratnya maju dalam Pilpres 2024 mendatang. Siapa tahu, pasangan RR dan DI bisa menjadi presiden dan wapres yang mumpuni. Mungkin Demokrat, PKS dan Partai Berkarya mau mendukung mereka.

Bukankah dalam konvensi presiden  Partai Demokrat, 2014, DI mengungguli capres lainnya? Sayangya, Pardem sebagai parpol defisit dukungan rakyat. Hingga DI tak bisa dimajukan sebagai capres oleh Pardem. Hingga Jokowi muncul sebagai pemenang Pilpres 2014, mengalahkan Prabowo Subianto. Kadang, politik sesuatu yang sederhana. Soal kalah menang. Dan kalah itu memang perih, Jenderal! Apalagi jika tak ikhlas menerima takdir. | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...