Rabu, Desember 11, 2019

Lantas di Mana Peran Agama, Antara Radikalisme & Korupsi


Setelah ngomong soal dampak buruk korupsi, Saut Situmorang dalam Hari Anti Korupsi Sedunia (8/12) mengatakan, “Korupsi juga ternyata menjadi salah satu penyebab radikalisme.” Pimpinan KPK yang sebentar hari lagi diganti itu, antara lain menambahkan, “Ketidakadilan bahkan isu radikalisme itu banyak dari isu korupsi di depannya.”

Tak jelas maksud kalimatnya. Penguasaan bahasanya perlu dibenahi, agar tidak korup bahasa. Menurut Saut, bentuk radikalisme itu berbeda-beda. Mulai dari radikalisme agama hingga ekonomi. Kita tidak tahu, bagaimana itu radikalisme ekonomi. Apakah ngamuk dengan meledakkan bom, yang di dalamnya berisi duit? Sehingga orang miskin suka-cita menyambutnya?

Pernyataan korupsi, ketidakadilan, yang kemudian menyebabkan munculnya bibit kawit radikalisme, bahkan terorisme, bukan hal baru dari KPK. Dulu Busyro Muqodas juga menyatakan hal yang sama. “Ketimpangan ekonomi, bisa sangat mudah memunculkan radikalisme yang bisa berujung pada tindakan terorisme,” kata Busyro dalam sebuah diskusi ilmiah (2018). Kita tak tahu, apakah pernyataan-pernyataan itu memiliki hubungan dengan isyu yang menyebut adanya KPK Thaliban di sana.

Sementara itu, di sisi lain, belum lama lalu, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Said Aqil Siradj mengatakan, tak sedikit universitas yang terpapar paham radikalisme. Tak sedikit itu artinya bukan hanya banyak, melainkan menurut Said Aqil, semua universitas sudah terpapar radikalisme (10/12).

Pernyataannya yang paling menarik, hal itu karena ketimpangan ekonomi, ketidakadilan dalam ekonomi, yang menjadikan tumbuhnya radikalisme. Tak usah ditanyakan padanya, jika semua universitas, itu apakah hanya mahasiswa miskin atau juga mahasiswa yang kaya? Termasuk dosen yang miskin dan dosen yang kaya. Karena premis Said Aqil adalah ketimpangan ekonomi.

Dari KPK dikatakan korupsi bisa menyebabkan radikalisme, sementara Said Aqil mengatakan kesenjangan ekonomi bisa jadi akar radikalisme. Di antara keduanya tak ada yang menyatakan kesenjangan ekonomi menyebabkan korupsi. Mungkin dalam pengertian mereka korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, yang punya kekuasaan. Mereka tidak tahu, bagaimana tukang parkir kaki-lima, yang tidak kaya, juga bisa melakukan korupsi. Artinya, mereka (KPK maupun Said Aqil dan yang diwakili atau mewakili), tak pernah mengaitkan perilaku korupsi dengan soal adab, akhlak, karakter, atau watak manusia. 

Saya mengabaikan omongan Saut Situmorang dan Busyro Muqodas. Anggap saja itu pengakuan kegagalan mereka dalam upaya pemberantasan korupsi. Claim mereka mengatakan index korupsi kita turun. Tapi dalam menilai pemerintah, mereka memberi label Pemerintah kurang serius dalam pemberantasan korupsi. Di mana korelasinya? Korelasinya ada dalam inkonsistensi mereka. Claiming dan labeling dipakai sebagai senjata untuk membela diri (dan menyerang liyan). 


KEMISKINAN SEBAGAI KORBAN. Yang paling menggelitik, tentu ucapan Said Aqil. Dikatakan; ketimpangan ekonomi menjadikan radikalisme merebak. Dari semula bernama intoleran, kemudian berpaham radikal, terus ke bentuk terorisme. Saya (jika tak boleh menyebut kita) merasa aneh dengan argumentasi itu. Jika demikian, lantas di mana peran agama, yang konon seusai Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wassallam dipegang oleh kaum ulama, sebagai pewaris nabi? Ini kalau kita ngomong dalam konteks Said Aqil, dengan pemahaman keislamannya. Kalau Rama Magnis Suseno ngomong kayak gitu, mungkin kita akan ngomong juga dalam komteks kekatholikan.

Bukankah menurut Al Baihaqi, Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ngendika; “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak”? Apa itu akhlak? Kata akhlak berasal dari kata khuluk (Arab), artinya watak, kelakuan, tabiat, perangai, budi pekerti, tingkah laku dan kebiasaan. Pengertian akhlak dalam Islam adalah perangai serta tingkah laku yang terdapat pada diri seseorang yang telah melekat, dilakukan dan dipertahankan secara terus menerus.

Kalau orang miskin melihat orang kaya kemudian iri, dengki, jengkel, marah, apalagi marah pada tuhan, bagaimana agama yang dibawa Kanjeng Nabi tadi ditransformasikan dalam ajaran-ajaran pengikutnya kemudian? Menjadi tanggung jawab siapa? Kalau para ulama mengaku sebagai pewaris nabi, bukanlah itu artinya kegagalan mereka, dalam meneruskan ajaran? Apakah karena itu, kemudian mencari kambing hitam atas nama ketimpangan ekonomi, atau korupsi?

Sekali lagi, jika demikian halnya, lantas apa peran agama? Setidaknya dalam mereduksi situasi social chaostic dengan isyu-isu ratu adil, imam mahdi, messiah sang penyelamat, atau sorga yang dijanjikan? Kenapa sorga justeru lebih banyak dijanjikan pada mereka yang berjihad dengan paham radikalisme, dan melakukan terorisme?

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kita acap ambivalen antara lari dari dan lari ke agama. Ketidakbecusan dalam national and character building, menyalahkan persoalan ekonomi. Ketidakmampuan mengatasi persoalan korupsi, lari ke nilai-nilai agama. Sementara buat apa kita membuat cem-macem undang-undang, aturan negara? Karena kita enggan menganggap semua aturan manusia sebagai social religion. Padahal, senyampang itu, agama langit tidak pula operasional dalam membangun nilai-nilai kemuliaan manusia.

Menjadi menggelikan jika orang miskin menjadi kambing hitam dalam persoalan ini. Sudah miskin dikutuk pula jadi biang radikalisme. Sementara kita pura-pura tidak tahu, bagaimana agama dipakai kedok. Bahkan sangat tidak jarang, para pelaku terorisme dan intoleransi hapal ayat-ayat kitab suci masing-masing. Tapi apakah mereka paham maknanya?

Kebanyakan orang miskin, yang tak punya akses dan tak banyak pilihan, menjadi korban kiri-kanan. Termasuk korban dari mereka yang suka claiming dan labeling tadi. Dan biasanya pula, orang miskin lebih acap diam saja, pasrah ngalah. Lantas siapa yang menjadikan mereka berani, dan memberontak? Pertanyaan kritisnya; jangan-jangan justeru agama itu sendiri!

Radikalisme yang kita maksudkan di sini, bukan dalam persoalan semantik. Melainkan lebih pada istilah politik. Sebagai suatu paham atau aliran, yang menginginkan  perubahan atau pembaruan politik dengan cara-cara kekerasan, ekstreem, dan drastis.


NILAI KEADILAN DAN MASA KINI. Tapi mungkin juga kita kadang terlalu mendewa-dewakan pahlawan. Termasuk soal tafsir yang berlebihan atas nama keyakinan. Bayangkan, Pangeran Dipanegara (1785 – 1855), yang dalam beberapa hal mengaku sebagai Imam Mahdi atau Herucakra, menuliskan dalam diarynya: “Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.”

Bagaimana jika generasi kini, atau kemudian, tidak mampu mengaktualisasikannya, dalam bahasa dan cara masa kini? Yang tak lagi sederhana, sebagaimana jaman Dipanegara, atau bahkan jaman Kanjeng Nabi nun dahulu kala? Tapi jika persoalannya adalah keadilan, menurut Anatole France, peraih Nobel Sastra (1921) dari Perancis; “Keadilan berarti menegakkan hukum terhadap ketidakadilan.” Sederhana bukan?

Persoalannya, “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: Keadilan,” sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006), sastrawan sohor Indonesia. Dan disitulah masalahnya.

Karena, apapun aturannya, juga agamanya, “dalam keadaan terbaik, manusia binatang yang paling mulia; dipisahkan dari hukum dan keadilan, manusia adalah yang terburuk,” ujar Aristoteles (384 - 322 SM). Lantas, lagi-lagi, di mana peran agama, jika tak bisa turut memperbaiki akhlak? Termasuk dalam hal tidak mau introspeksi? Mengakui kegagalan atau ketidakmampuan mengatasi masalah? Kecuali agama memang hanya sebatas ormas, yang lebih sibuk dengan kekuasaan manusia, daripada kekuasaan illahiah. 

Itu mah, memang lain lagi. Maka sering ada sebutan elite agama, dan rebutan kursi deket Presiden. Sesuatu yang sudah jadi persoalan sebagaimana dikatakan Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, pada abad 12 tentang ulama ‘su. Tentang mereka yang palsu, yang ilmunya hanya untuk mendapatkan uang dan kekuasaan.

Di situ, agama tak berperan apa-apa, kecuali hanya sebagai legitimasi politik. Dan tak berkaitan dengan akhlak, sebagaimana awal kelahirannya ketika ada yang diutus untuk menyempurnakan hal itu.







Yogyakarta, 10 Desember 2019

Sunardian Wirodono, adalah penulis. Tinggal di Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Saya tergolong orang yang sangat bosen (muak) dengan seminar moderasi, toleransi, dst., yang dipandang dari sudut pandang agama, karena bukan di situ persoalannya. Orang beragama mengakui bahwa perdamaian, moderasi, dan toleransi adalah satu hal yang baik. Maka tidak heran jika ada kejadian di mana segerombolan FPI memberi jalan bagi rombongan yang mau ke Katedral (dan mereka bangga dengan tindakannya ini). Lalu di mana persoalannya? adalah ketidakadilan ekonomi, tepatnya ekonomi global. Ini tentang siapa yang menguasai dunia. Memang ada banyak varian motif radikalisme agama, tidak melulu ekonomi, tetapi dominannya adalah disebabkan ketidakadilan ekonomi global. Agama tidak hanya mengurusi soal akhlak, tetapi juga pranata lain yang menuju perbaikan akhlak. Jika agama difungsikan sebagaimana yang disampaikan bung di atas maka agama tidak lebih dari candu. Agama juga punya daya gerak, punya daya juang. Jadi tidak selalu ke dalam, boleh juga diarahkan kekuatan itu keluar untuk merombak apa-apa yang belum beres.Jadi saya kira gak perlu sinis lah bung terhadap ungkapan bahwa radikalisme disebabkan ketimpangan ekonomi global, bukan ekonomi perorangan, nanti absurd. Maturnuwun.

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...