Pasca
tumbangnya Soeharto, Habibie naik dan menjamin pemilu bebas. Dua tahun setelah
Golkar menang di atas 70% pada Pemilu 1997, PDIP membalik sejarah. Partai politik
Megawati itu, menang dengan suara 33,74% pada Pemilu 1999.
Pemilu pertama
di jaman resformasi itu diikuti 48 (empatpuluh delapan) partai politik! Tapi
empat partai tidak menandatangani hasil penghitungan suara Pemilu 1999. Yakni,
Golkar (sebagai nomor dua, 22,44%), PPP (10,71%), PKB (12,61%), dan PAN
(7,12%).
Tanpa
tentara dan PNS, yang harus monoloyalitas ke Golkar, partai yang identik Orba
itu rontok tanpa Soeharto. Golkar dikalahkan PDIP, representasi solid dari
perjuangan Megawati dalam pertarungan politiknya dengan Soeharto. Megawati
menjadi symbol perlawanan waktu itu.
Memang bukan
pilpres langsung, karena presiden waktu itu masih dipilih oleh MPR-DPR. Disitu
Amien Rais melakukan berbagai manuver, untuk mencegah kemungkinan naiknya
Megawati sebagai presiden. Kenapa? Karena dia perempuan? Karena dia
nasionalis-sekuler, yang berbeda dalam konsepsi politik Amien Rais.
Ketika
mendengar Gus Dur dicapreskan Amien Rais, di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon,
Abah Buntet mengumpulkan beberapa Kyai Langitan. Di depan para kyai, Abah
Buntet ngendika, “Kalau ada gunung berpindah, percayalah!” (maksud Abah, jangan
percaya Amien Rais yang tiba-tiba dari penentang Gus Dur menjadi mendukung Gus
Dur sebagai capres).
Celakanya,
Gus Dur mempunyai perhitungan sendiri. Ia tak menolak tawaran Amien Rais, dan
memang mengalahkan Megawati dalam voting pilpres di Senayan. Jakarta nyaris meledak,
namun Gus Dur menjadi tameng hebat untuk merandek ledakan lebih luas lagi.
Meski pun pada akhirnya, kita tahu, Amien Rais juga, sebagai ketua MPR-RI,
menghentikan langkah Gus Dur (dengan terlebih dulu Amien meyakinkan Megawati
untuk dinaikkan sebagai presiden
menggantikan Gus Dur).
Amien Rais
sebenarnya punya peluang menjadi Presiden, sebagai diceritakan Yusril Ihza
Mahendra. Setelah tahu dari Habibie, bahwa para elite (di kubu Habibie) sepakat
mendukung Amien jadi capres, Amien sudah terlanjur mencalonkan Gus Dur. Dan Gus
Dur ketika diminta mundur dari pencapresan oleh Amien, balik meminta Amien
mengumumkannya langsung di depan media.
Tentu saja
Amien jadi blunder mengenai hal itu. Hingga kemudian Amien tak berani balik
memberi laporan kepada Habibie, soal kesediaan dicalonkan jadi Presiden. Baru pada
Pemilu 2004, dengan system pilihan langsung oleh rakyat, Amien Rais
mencapreskan diri, dengan wakil Siswono Yudohusodo, tapi rontok di putaran
pertama. Amien kemudian memilih menjadi oposan, menjadi pengritik paling keras rezim SBY, dan khusus menulis buku tentang keburukan pemerintahan SBY.
Kritik kerasnya
pada SBY, ia tuliskan dalam buku; “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia
(2008)”. Berisi 10 kritik atas kepemimpinan SBY. Tak ada jejak sama
sekali sebagai murid dari Mohamad Arkoun atau Ali Syari'ati. Apalagi ketika pada
akhirnya bergandengan tangan dengan Rizieq Shihab, sebagaimana sebelum ia
bergabung pada Prabowo, tentara pecatan yang 1998 oleh Amien didesak untuk
dimahmilubkan. Amien menuding Prabowo terlibat penculikan aktivis demokrasi.
Dalam Pilpres 2004, meski
menuduh pasangan capres kompetitor menerima dana dari Departemen Kelautan dan
Perikanan (Rohmin Dahuri), termasuk pasangan SBY-JK (selaku pemenang pilpres
2004), pada Mei 2007, Amien Rais mengakui semasa kampanye pemilihan presiden
waktu itu, ia menerima dana non bujeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan, sebesar Rp 200 juta. Pengakuan terlambat itu, diulangi
saat jaksa dalam persidangan kasus korupsi Alkes, Siti Fadilah, bahwa Amien Rais tak
mengelak menerima uang dari Soetrisno Bachir sebesar Rp 600 juta untuk
aktivitas politiknya.
Tersingkir
dari pusat kekuasaan, Amien Rais melakukan banyak gerakan politik. Dari sejak
2006, hingga 10 tahun kemudian. Bandul politiknya makin ke kanan,
dengan mendukung Prabowo, yang bisa jadi asal bukan Megawati (dalam hal ini
center of excelent Jokowi). Dan kenyataan politiknya, makin jauh lagi melempar Amien Rais
ke kanan, ketika Jokowi mengalahkan Prabowo (Pilpres 2014).
Syahwat
politik Amien Rais, bisa jadi sedikit terpuaskan ketika Ahok bisa
disingkirkan dari kursi kegubernuran DKI Jakarta. Anies Baswedan (yang juga didukung Prabowo), lebih sesuai
dengan mimpi politik Amien. Dari sini kita melihat, bagaimana Amien yang
berubah. Ia yang dulu begitu dan begini, kini begini dan begitu.
Komentar-komentar
Amien Rais, pada akhirnya, makin jauh dari gambaran seorang intelektual. Ia
adalah gambaran politikus gagal. Ia bangga berada dalam anggapan yang
berhasil menggusur Soeharto, menggeser Megawati dan Gus Dur, juga Ahok. Dan
itulah modalitas Amien, yang dibawa-bawa untuk menyingkirkan Jokowi di Pilpres
2019.
Ketika
upayanya ditengarai gagal, Amien Rais kembali membuat ulah. Ia memakai istilah
people power, untuk mendeligitimasi Pemilu dan terutama Jokowi. Namun setelah
dipanggil sebagai saksi (24/5) tersangka Eggy Sujana, Amien berkilah, people
power adalah istilah unjuk rasa. Ia menyebut people power enteng-entengan, dan
bukan untuk menjatuhkan presiden. Kilah khas pecundang.
Ingat-ingatlah
ekspresi wajahnya di depan kamera televisi, ketika mengatakan hal itu. Ia jiper
juga jika dari saksi naik jadi tersangka. Meski sebelumnya, ia bikin manuver lain
dengan mengubah istilah people power menjadi gerakan nasional kedaulatan
rakyat. Amien memperkosa demokrasi dengan menafikan separoh lebih rakyat
pemilik kedaulatan, yang telah menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Amien justeru
ingin menjatuhkan Jokowi.
Akankah
Amien Rais memakan karma, sebagaimana Sengkuni tewas di ujung peperangan?
Entahlah. Kita telusuri saja riwayat penyakitnya. Dan kita percayai saja jika
ada gunung berpindah, karena yang tetap pada manusia adalah kepentingannya yang
berubah-ubah. Esuk dele sore tempe. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar