Sabtu, Mei 25, 2019

Amien Rais dan Gunung yang Berpindah


Pasca tumbangnya Soeharto, Habibie naik dan menjamin pemilu bebas. Dua tahun setelah Golkar menang di atas 70% pada Pemilu 1997, PDIP membalik sejarah. Partai politik Megawati itu, menang dengan suara 33,74% pada Pemilu 1999.

Pemilu pertama di jaman resformasi itu diikuti 48 (empatpuluh delapan) partai politik! Tapi empat partai tidak menandatangani hasil penghitungan suara Pemilu 1999. Yakni, Golkar (sebagai nomor dua, 22,44%), PPP (10,71%), PKB (12,61%), dan PAN (7,12%).

Tanpa tentara dan PNS, yang harus monoloyalitas ke Golkar, partai yang identik Orba itu rontok tanpa Soeharto. Golkar dikalahkan PDIP, representasi solid dari perjuangan Megawati dalam pertarungan politiknya dengan Soeharto. Megawati menjadi symbol perlawanan waktu itu.

Memang bukan pilpres langsung, karena presiden waktu itu masih dipilih oleh MPR-DPR. Disitu Amien Rais melakukan berbagai manuver, untuk mencegah kemungkinan naiknya Megawati sebagai presiden. Kenapa? Karena dia perempuan? Karena dia nasionalis-sekuler, yang berbeda dalam konsepsi politik Amien Rais.

Ketika mendengar Gus Dur dicapreskan Amien Rais, di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Abah Buntet mengumpulkan beberapa Kyai Langitan. Di depan para kyai, Abah Buntet ngendika, “Kalau ada gunung berpindah, percayalah!” (maksud Abah, jangan percaya Amien Rais yang tiba-tiba dari penentang Gus Dur menjadi mendukung Gus Dur sebagai capres).

Celakanya, Gus Dur mempunyai perhitungan sendiri. Ia tak menolak tawaran Amien Rais, dan memang mengalahkan Megawati dalam voting pilpres di Senayan. Jakarta nyaris meledak, namun Gus Dur menjadi tameng hebat untuk merandek ledakan lebih luas lagi. Meski pun pada akhirnya, kita tahu, Amien Rais juga, sebagai ketua MPR-RI, menghentikan langkah Gus Dur (dengan terlebih dulu Amien meyakinkan Megawati untuk dinaikkan  sebagai presiden menggantikan Gus Dur).

Amien Rais sebenarnya punya peluang menjadi Presiden, sebagai diceritakan Yusril Ihza Mahendra. Setelah tahu dari Habibie, bahwa para elite (di kubu Habibie) sepakat mendukung Amien jadi capres, Amien sudah terlanjur mencalonkan Gus Dur. Dan Gus Dur ketika diminta mundur dari pencapresan oleh Amien, balik meminta Amien mengumumkannya langsung di depan media.

Tentu saja Amien jadi blunder mengenai hal itu. Hingga kemudian Amien tak berani balik memberi laporan kepada Habibie, soal kesediaan dicalonkan jadi Presiden. Baru pada Pemilu 2004, dengan system pilihan langsung oleh rakyat, Amien Rais mencapreskan diri, dengan wakil Siswono Yudohusodo, tapi rontok di putaran pertama. Amien kemudian memilih menjadi oposan, menjadi pengritik paling keras rezim SBY, dan khusus menulis buku tentang keburukan pemerintahan SBY.

Kritik kerasnya pada SBY, ia tuliskan dalam buku; “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia (2008)”. Berisi 10 kritik atas kepemimpinan SBY. Tak ada jejak sama sekali sebagai murid dari Mohamad Arkoun atau Ali Syari'ati. Apalagi ketika pada akhirnya bergandengan tangan dengan Rizieq Shihab, sebagaimana sebelum ia bergabung pada Prabowo, tentara pecatan yang 1998 oleh Amien didesak untuk dimahmilubkan. Amien menuding Prabowo terlibat penculikan aktivis demokrasi. 

Dalam Pilpres 2004, meski menuduh pasangan capres kompetitor menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (Rohmin Dahuri), termasuk pasangan SBY-JK (selaku pemenang pilpres 2004), pada Mei 2007, Amien Rais mengakui semasa kampanye pemilihan presiden waktu itu, ia menerima dana non bujeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan, sebesar Rp 200 juta. Pengakuan terlambat itu, diulangi saat jaksa dalam persidangan kasus korupsi Alkes, Siti Fadilah, bahwa Amien Rais tak mengelak menerima uang dari Soetrisno Bachir sebesar Rp 600 juta untuk aktivitas politiknya.

Tersingkir dari pusat kekuasaan, Amien Rais melakukan banyak gerakan politik. Dari sejak 2006, hingga 10 tahun kemudian. Bandul politiknya makin ke kanan, dengan mendukung Prabowo, yang bisa jadi asal bukan Megawati (dalam hal ini center of excelent Jokowi). Dan kenyataan politiknya, makin jauh lagi melempar Amien Rais ke kanan, ketika Jokowi mengalahkan Prabowo (Pilpres 2014).

Syahwat politik Amien Rais, bisa jadi sedikit terpuaskan ketika Ahok bisa disingkirkan dari kursi kegubernuran DKI Jakarta. Anies Baswedan (yang juga didukung Prabowo), lebih sesuai dengan mimpi politik Amien. Dari sini kita melihat, bagaimana Amien yang berubah. Ia yang dulu begitu dan begini, kini begini dan begitu.

Komentar-komentar Amien Rais, pada akhirnya, makin jauh dari gambaran seorang intelektual. Ia adalah gambaran politikus gagal. Ia bangga berada dalam anggapan yang berhasil menggusur Soeharto, menggeser Megawati dan Gus Dur, juga Ahok. Dan itulah modalitas Amien, yang dibawa-bawa untuk menyingkirkan Jokowi di Pilpres 2019.

Ketika upayanya ditengarai gagal, Amien Rais kembali membuat ulah. Ia memakai istilah people power, untuk mendeligitimasi Pemilu dan terutama Jokowi. Namun setelah dipanggil sebagai saksi (24/5) tersangka Eggy Sujana, Amien berkilah, people power adalah istilah unjuk rasa. Ia menyebut people power enteng-entengan, dan bukan untuk menjatuhkan presiden. Kilah khas pecundang.

Ingat-ingatlah ekspresi wajahnya di depan kamera televisi, ketika mengatakan hal itu. Ia jiper juga jika dari saksi naik jadi tersangka. Meski sebelumnya, ia bikin manuver lain dengan mengubah istilah people power menjadi gerakan nasional kedaulatan rakyat. Amien memperkosa demokrasi dengan menafikan separoh lebih rakyat pemilik kedaulatan, yang telah menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Amien justeru ingin menjatuhkan Jokowi.

Akankah Amien Rais memakan karma, sebagaimana Sengkuni tewas di ujung peperangan? Entahlah. Kita telusuri saja riwayat penyakitnya. Dan kita percayai saja jika ada gunung berpindah, karena yang tetap pada manusia adalah kepentingannya yang berubah-ubah. Esuk dele sore tempe. | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...