Jumat, Mei 24, 2019

Logika Bengkok Menkominfo tentang Pembatasan Medsos

Hoax turun setelah Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) melakukan pembatasan postingan gambar dan video di medsos. Begitu jawaban Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informasi) Republik Indonesia, Rudiantara, menjawab Kompas TV (23/5). 

Tentu saja. Nggak usah jadi menteri atau kader parpol, juga tahu. Itu sama dengan ketika ditanya, kenapa pertumbuhan penduduk bisa menurun drastis? Oh, karena kemarin banyak penis dibekukan, sehingga penyaluran sperma berkurang drastis. 

Sementara ketika ditanya soal tingginya kepercayaan (atau mudahnya dikibuli) berita hoax karena rendahnya daya literasi? Jawaban Mas Menteri, kegiatan peningkatan daya literasi digital terus dilakukan. Dicontohkan, proyek pembinaan literasi digital di Jawa Tengah yang dipimpin Ibu Gubernur. Hadeh, proyek ekonomi.

Saya mengelus dengkul mendengar jawaban itu. Pemblokiran gambar dan video di beberapa medsos, saya kira cara jadul, sia-sia, dan juga kurang adab. Jadul karena para tim IT, buzer, massa digital bayaran, dengan mudah membobol via aplikasi VPN dan lainnya. Pada posisi itu, yang nyebar gambar hoax bisa terus leluasa, sementara orang-orang baik yang bermedsos amatiran, jadi korban. Tidak bisa melakukan counter atau kontra narasi. 

Kecuali jika itu yang dimaksudkan Rudiantara. Yakni sengaja memberi ruang bebas pada buzer untuk nyebar hoax. Sementara kita-kita yang gaptek, tapi berhati mulia (karena tidak pernah nyebar hoax), jadi tak bisa melawan gambar hoax yang terus berlangsung itu. Persis adegan tinju, di mana para aktivis hoaxer berada dalam posisi bebas, sementara kita diikat tangan dan kakinya. Menerima pukulan bertubi-tubi.

Lagian, apakah Kemenkominfo punya data, berapa akun medsos dengan data valid dan data palsu? Berapa persen pemilik ponsel percaya hoax dan tidak percaya? Pernah riset? Tahukah dengan hasil Pilpres dan Pileg kemarin itu, bahwa Indonesia masih memenangkan Jokowi? Tidak dimenangkan capres yang bergelimang ujaran kebencian dan hoax? Sementara berapa jumlah pendemo rusuh kemarin di Jakarta? Darimana saja mereka? Apakah mereka korban gambar hoax di medsos? Ataukah mereka korban ujaran hoax yang dibalut politik identitas dan ideologi agama para elitenya? Jawab!

Menkominfo apakah juga menyadari, niat mulia memberantas hoax itu, adalah senyampang dengan penutupan lapak-lapak rakyat di pasar online? Ini sesuatu yang paradoksal dengan keinginan Jokowi membuka pasar-pasar digital. Persis demo kerusuhan 21-22 Mei lalu, di mana aktivitas Pasar Tanah Abang mengalami kerugian ratusan milyar. Para pedagang pasar digital juga mengalami hal sama. Celakanya, ada netizen dengan enteng berkomentar; setidaknya keputusan Rudiantara bisa bikin kita sedikit rileks, istirahat dari sosmed.

Sementara memblokir gambar, juga video, tapi tidak teks-nya sekalian, sama konyol dengan melarang ngencuk, tapi tetap menyediakan kamar untuk spik-spik mesum. Dikiranya teks tidak bisa menyebarkan hoax? Logika bengkok cem mana pula kek ‘gitu itu?

Yang dilakukan Kemenkominfo lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Militansi para pendemo dan perusuh tak hanya dibangun karena gambar hoax. Adilkah kita membiarkan berbagai pernyataan dan statemen parno para elite macam Amien Rais, Tengku Zulkarnaen, atau mereka yang main-main diksi keagamaan untuk tujuan politik mereka? Militansi atau fanatisme mak-emak, juga lebih dibangun di majelis-majelis takelim.

Langkah Rudiantara, apalagi ketika ditanya sampai kapan pemblokiran (katanya sampai menunggu situasi reda), adalah contoh kemalasan berpikir dan bekerja. Narasi (hoax) mesti dilawan dengan kontra narasi. Di situ Kemenkominfo tidak terlihat inisiasi dan gagasannya. Dengan aksi blokirnya, Kemenkominfo juga membungkam netizen yang selama ini melakukan kontra narasi hoax. Persis seperi gagasan membangun ‘polisi tidur’ di jalan rata. Tak berani menegur 2-3 tukang ngebut, tapi dengan membuat 'polisi tidur' yang kena hukuman puluhan hingga ratusan orang tak bersalah.

Jika sebuah keputusan merugikan yang jahat dan yang baik, maka hal itu sama dengan membela yang jahat. Pemblokiran dengan pembatasan pukul rata, menunjukkan Menkominfo tak bisa melindungi warganya (netizen) yang baik-baik. Kalau demikian, buat apa registrasi pada pembelian nomor perdana? Jika registrasi benar adanya, tak ada barang anonim pada netizen yang tak bisa dilacak. Take-down itu mestinya diawali dengan penengaraan karakter, identifikasi netizen. Apakah Kemenkominfo mempunyai data netizen?

Cara registrasi nomor ponsel di Indonesia, hanya berpikir tentang keuntungan dan pasar. Sementara di negara maju seperti Eropa dan Amerika, registrasi kepemilikan nomor ponsel dilakukan secara manual. Datang ke kantor negara, mendaftar dengan bukti diri, on paper. Jika hendak memiliki nomor ganda, harus menandatangani perjanjian tertulis dan tertentu. Sementara di Indonesia, ada yang jual kartu perdana Rp 5 ribu, registrasi cukup dengan cara online. Meski dengan data palsu, termasuk pengisian NIK palsu, bisa diterima dan operasional. Bagaimana bisa seperti itu? Makanya di Indonesia siapapun bisa memiliki nomor ponsel sampai 50 biji. 

Pada sisi lain, Pemerintahan Jokowi mestinya juga memaksimalkan TVRI dan RRI, sebagai media atau corong pemerintah. Tak harus model Orba dan Harmoko dulu. Karena di tengah persaingan media komersial yang tak terkendali, media milik pemerintah (sebagaimana di Perancis, Jepang, AS), menjadi referensi standar untuk rakyatnya. Sayangnya, dipimpin Helmy Yahya, karakter TVRI menjadi tak jelas. Tiru-tiru TV Swasta yang hedon dan eksploitatif. Benahi TVRI dan RRI, agar rakyat punya saluran informasi yang formal atau resmi, sebagai perbandingan yang proporsional.

Kembali ke soal pemblokiran medsos, menunjukkan Kemenkominfo mengkhianati tugas pokoknya. Bukannya menjalin komunikasi dan informasi. Tapi malah memutus dan membatasi. Alasan dengan pembatasan maka hoax turun, adalah jawaban konyol. Jika demikian halnya, ngapain bikin Kemenkominfo? Hilangkan saja sekalian ponsel, biar orang tak bisa chatting sex, tak saling berkabar hoax, tapi juga tak saling berkabar mulia. 

Sebagai warga negara independen, yang bayar pajak, jika pembatasan itu terus dilakukan tanpa batas dan argumentasi jelas, saya akan menuntut ke MK, MA, atau PTUN. Saya merasa dirugikan. | @sunardianwirodono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...