Minggu, Mei 19, 2019

Prabowo Sebagai Contoh Korban


JIKA PEMILU SERENTAK DINYATAKAN sebagai terburuk dalam penyelenggaraan Pemilu selama ini, bisa dipastikan hal itu karena (1) hadirnya pasangan capres bernama Prabowo dan Sandiaga. (2) penumpang gelap yang nebeng pilpres, (3) manajemen teknis penyelenggaraan oleh KPU.

Pada faktor ke-3, lambannya tak bisa dilepaskan dari lambannya kerja parlemen, dalam proses revisi UU Pemilu, yang baru beres beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilu Serentak. Hal itu membuat KPU tidak mempunyai kesiapan matang. Jatuhnya korban yang hampir 500 jiwa pada para petugas KPPS, adalah salah satu bukti akibat ketidaksiapan itu. Di samping tentu saja tekanan psikologis (dan politis), khususnya dalam proses penghitungan surat suara di masing-masing TPS.

Lambannya penyelesaian penghitungan rekapitulasi di tingkat propinsi seperti DKI Jakarta, menunjukkan alotnya proses penghitungan. Kita juga bisa melihat, ketika akhirnya para sakti kubu Prabowo tidak ikut menandatangani hasil penghitungan bersama, itu juga bukti alotnya perdebatan mengenai hasil. Dari beberapa pengakuan petugas KPPS, tekanan fisik jelas karena durasi kerja mereka benar-benar overtime dan overload. Bisa jadi mereka bukan hanya bekerja 24 jam sejak pagi, melainkan lebih dari itu. Dari proses persiapan malam sebelumnya, hingga proses pengesahan C1 plano di TPS.

Petugas KPPS bekerja dalam tekanan waktu dan kepentingan masing-masing partai politik yang menjadi peserta. Tapi senyampang itu, di tingkat desa juga kecamatan, akan terlihat kemampuan masing-masing partai, utamanya dalam menerjunkan kader-kadernya sebagai saksi. Tak semua TPS disaksikan lengkap kader peserta pemilu. Baru pada tingkat kabupaten/kota atau propinsi, relatif bisa didapatkan saksi yang lengkap.

Proses penghitungan dinyatakan final jika sudah disepakati bersama petugas KPPS dan saksi-saksi peserta pemilu (parpol). Di situ tekanan terberatnya. Karena kesalahan sedikit atau kecil saja (kadang juga karena tak cermatnya saksi), bisa membuat proses penghitungan secara manual itu diulang dari awal. Sementara human eror petugas KPSS sangat dimungkinkan karena faktor kelelahan fisik dan saraf mereka. Beban pekerjaan bukan hanya fisik, melainkan psikis. Bahkan boleh dikata untuk istirahat sejenak pun, petugas KPPS tidak ditoleransi saksi-saksi. Mereka ingin proses penghitungan segera selesai, dan segera ketahuan hasilnya.

Sialnya, tidak semua partai punya saksi di TPS. Kadang seorang saksi dari partai (biasanya partai gurem), berpindah-pindah TPS karena harus jadi saksi di beberapa TPS. Hal ini ‘sedikit meringankan’ proses penghitungan manual di TPS, tapi terbukti tidak di tingkat atasnya. Entah kecamatan, kabupaten/kota, dan apalagi propinsi. Karena masing-masing partai pada tingkat itu bisa menghadirkan saksinya. Sayangna saya tak mempunyai data, saksi dari partai apa yang paling ngotot. Kalau saya menyebut saksi dari PKS dan Gerindra yang paling ngotot, hanya asumsi saya karena mereka sudah sejak awal memposisikan sebagai pasangan oposan.

Dalam simulasi Pemilu Serentak, KPU hanya mengukur dari sisi penyelenggaraan saat pencoblosan surat suara. Proses setelahnya, tidak tercemati bagaimana faktor-faktor eksternal, utamanya resistensi dalam proses penghitungan, akan menjadi faktor terpenting dalam tekanan fisik dan psikis petugas KPPS. Dengan sistem penghitungan terbuka dan berjenjang, kita tahu betapa lambat dan penuh tekanan proses itu. Karena berkait dengan hasil, di mana semua kontestan cenderung menomorsatukan kepentingan sendiri.


Sinergitas Prabowo dan Pendukungnya. Mengenai penyebab 1 dan 2 (yakni kualitas capres dan penumpang gelap), dua hal itu saling berkelindan. Tak jelas siapa menumpang siapa, atau siapa menumpang apa. Tetapi tampak dalam hal itu sinergitas keduanya.

Dalam masa kampanye, jelas terlihat masjid dan berbagai aktivitas keagamaan (Islam utamanya), menjadi instrumen penting dalam kampanye Pemilu Serentak ini, utamanya tentang Pilpres. Salah satu pasangan capresnya, adalah hasil ijtima’ ulama yang lebih berafiliasi dan/atau diinisiasi oleh PA-212, yang notabene bagian dari garis FPI dengan poros utamanya Rizieq Shihab, yang kabur keluar negeri karena kasus hukum.

PKS di mana Mardani Ali Sera menjadi ketua tim pemenangan sekaligus arsitek gerakan tager ‘2019 Ganti Presiden’, adalah partai yang sangat diuntungkan dalam situasi itu. Setidaknya, dengan numpang biaya kampanye Pilpres 02, partai ini bisa lebih powerfull. PKS mampu tampil secara aktif dan terfasilitasi di berbagai panggung kampanye Pilpres yang bagaimana pun satu paket dengan Pileg. PKS yang diduga bakal tak lolos electoral threshold meraup suara lebih dari 7%, jauh dari prediksi yang angkanya tak akan melebihi 4%.

Isu yang mencuat dalam berbagai kampanye kubu Prabowo, lebih kuat aroma politik identitasnya. Kelompok ini terus menggoreng isu-isu yang menyerang lawan dari sisi ideologi dan agama. Isu komunisme dan anti-Islam dilekatkan mereka pada pribadi Jokowi. Secara terstruktur, sistemik dan massif, isu itu terus digalang dari kelas yang mereka sebut ulama hingga mak-emak. Senyampang itu, serangan pada Jokowi juga terus disampaikan seperti tukang bohong (salah satu wacananya, karena janji pertumbuhan ekonomi di atas 7% namun hanya tercapai 5%), tukang utang (salah satu wacananya, jumlah utang di era Jokowi, tanpa mengurai akumulasi utang dan perimbangan rasio utang dengan kemampuan ekonomi negara), dan sosok Jokowi yang dicitrakan anti Islam dengan mengkriminalisasi ulama (padahal banyak sosok Islam yang tersandung kasus kriminal, termasuk Rizieq Shihab). Ditambah dengan isu-isu lain seperti jika Jokowi menang adzan akan dihilangkan, LGBT dihalalkan, dsb, dsb.

Di mana Prabowo di atas semuanya itu? Sebagai pasangan capres-cawapres yang didukung ijtima ulama, Prabowo agaknya menikmati hal itu. Demikian juga Sandiaga, yang semula dinilai masih proporsional. Dalam berbagai pernyataan keduanya, turut serta membenturkan teori pecah-belah bambu. Yakni pembelaannya pada kelompok Islam yang katanya menjadi korban intimidasi pemerintah (Jokowi). Pasangan ini, dan tim pemenangannya, bahkan tampak memanfaatkan isu-isu itu.

Ujaran kebencian yang mencuat dari beberapa masjid, dan pemanfaatan ritual agama (misal, mendorong militansi dan fanatisme keagamaan dengan gerakan pejuang shalat subuh). Hingga pada akhirnya orasi-orasi politik yang selalu dibungkus jargon-jargon dan dogma-dogma agama. Bahkan menyerang pihak lain sebagai musuh yang harus dibasmi, dilawan, untuk bukan hanya dikalahkan tetapi dienyahkan.

Pada sisi lain, bukan hanya perilaku, tetapi sikap dalam menghadapi hasil Pemilu, utamanya Pilpres. Pasangan Prabowo-Sandiaga sama sekali bukan teladan yang baik dalam berdemokrasi. Tak mau menanggung malu atas kekalahan, pasangan ini sudah pasang kuda-kuda dengan berbagai tudingan. Entah itu soal pemilu curang, penyelenggara tidak netral, pertahana memakai fasilitas negara, dan berbagai tudingan lain, yang ketika ditanya berbagai buktinya, mereka tak mampu menjelaskan.


Deklarasi Kemenangan dan Menutup Aib. Demikian juga berbagai dugaan kecurangan, di samping tak bisa dibuktikan, mereka sendiri tak hendak menggugatnya ke MK. Tentu saja itu aneh bin ajaib. Termasuk mengklaim kemenangan namun senyampang itu menegasi Pemilu sebagai sesuatu yang bersih, adil, dan jujur. Prabowo meniadakan aturan dan undang-undang, yang semestinya mengikat dalam kesepahaman peserta. Semua peserta, tentu sudah mengetahui akan hal itu, dari sejak persiapan hingga proses penghitungan.

Mendeklarasikan kemenangan dengan data yang tidak kredibel, tetapi di sisi lain menolak lembaga survei yang membuat quickcount, adalah keanehan lainnya. Termasuk klaim-klaim kemenangan yang berubah-ubah angka, sementara KPU sendiri belum menyelesaikan proses rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota. Sementara proses penghitungan KPU minta dihentikan, karena tak ada gunanya. Namun sikap yang tak mau menandatangani C1, bahkan dalam hasil rekapitulasi nasional yang menentukan pemenangan, menunjukkan kubu Prabowo sudah mengakui kekalahan tanpa perlawanan. Sikap perlawanan (terhadap hasil) hanyalah cara mereka untuk mempertanggungjawakan pada sponsor dan konstituen. Agar tidak malu-maluin banget. Meski dari sisi logika dan moral politik, Prabowo sudah habis sama sekali. Tak ada harganya.

Yang menarik, dalam berbagai deklarasi dan pernyataan kemenangan itu, Prabowo lebih banyak didampingi orang-orang dari kelompok ijtima ulama daripada partai koalisi. Bahkan PKS yang menjadi mitra utama, tak banyak menampakkan diri. Mardani Ali Sera bahkan sama sekali tidak menongolkan diri di situ, disamping menyatakan programnya Ganti Presiden sudah digulungnya.

Dalam detik-detik akhirnya, berkait hasil penghitungan suara, kita melihat Prabowo makin ditinggalkan partai koalisinya, bahkan PKS sendiri yang tak bisa menyembunyikan sikapnya. Mereka lebih bisa menerima hasil Pemilu karena diuntungkan. PAN dan Demokrat, sebagai partai politik dengan nilai oportunisme yang tinggi, sudah dulu menyatakan sikap dengan membatasi ‘koalisi’ sebatas 22 Mei 2019. Sedangkan Partai Berkarya, yang tak lolos ET, setelah wait and see dan mengetahui hasil final, diam-diam hanya bisa berdiam diri.

Tinggal Prabowo sendirian, dan cocomeonya, yang kebetulan mereka lebih berafiliasi ke kelompok PA-212, dengan poros Rizieq Shihab, yang sedang dalam pelarian ke luar negeri. Beberapa kali dalam janji kampanyenya, Prabowo jelas mengatakan, akan menjemput Rizieq Shihab pulang ke Indonesia, sehari setelah dilantik jadi Presiden. Tapi kapan?


Prabowo Tak Memiliki Ideologi yang Jelas. Melihat gelagat kekalahannya, yang dilakukan adalah menutupi aibnya begitu saja. Maka salah satu jalan bagi Prabowo adalah melawan. Hal itu untuk merawat dukungan padanya. Karena bagaimana pun juga, perolehan suara di atas 40%, adalah sesuatu banget. Pada Pilpres 2014 pun, Prabowo punya modal sebesar itu, lebih gede banhkan. Sayangnya, ia tidak mampu mengkristalisasikannya menjadi sesuatu yang produktif. Bahkan Prabowo justru tampak di bawah bayang-bayang. Ia memanfaatkannya secara keliru. Pandangan politiknya yang parsial menjadikan kontra-produktif. Kelompok menengah atas dan yang terdidik, yang mungkin anti Jokowi, tidak terakomodasi. Apalagi ketika Prabowo kemudian lebih dikelilingi kelompok ijtima’ ulama.

Ulama dari golongan mana? Kita semua sudah tahu, mereka dari kelompok-kelompok yang melihat Jokowi sebagai bagian dari Islam Nusantara. Musub dari kelompok Islam Khilafah yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Namun karena kelompok ini tidak terorganisasi dengan baik, karena kualitas SDM dan kemampuan logistiknya, mereka menjadi pragmatis dan oportunistik dengan strategi ‘lawannya musuh kita adalah kawan kita’. Prabowo, yang sedang berkontestasi dengan Jokowi, menjadi kuda tunggang yang menarik. Apalagi dia butuh suara sebanyak-banyaknya.

Namun dengan militansi yang tinggi, Prabowo tidak menyadari kelompok ini hanya lebih keras gaung suaranya. Kelompok yang bersuara keras karena TOA. Tidak paralel dengan jumlah real di masyarakat, yang lebih didominasi kelompok Islam yang ‘biasa saja’. Islam tidak neka-neka. Islam yang kafah. Meski dalam kelompok NU dan Muhammadiyah pun, prgamatisme politik juga terjadi, dengan mengatakan mereka netral dan kritis. Cuma sayangnya, kritis seperti apa, ketika mereka juga tak bisa menjelaskan sikapnya dengan fenomena politisasi agama model Prabowo dan Rizieq Shihab.

Kelompok lain yang tidak jelas orientasinya, seperti Amien Rais, Kivlan Zein, Rizal Ramli, Eggy Sudjana, Permadi, apalagi Lius Sungkharisma, mereka hanyalah bagian dari pasukan hore, tim tempik sorak, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. Berkali-kali teriak ‘people power’, mereka sendiri energi dan militansinya terbatas. Tak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali gemanya saja yang berdenging bikin pusing. Nyatanya sekali gertak dari kepolisian, mereka tercerai-berai. Apalagi m ereka tidak berangkat dari pemikiran ideologi yang kuat. Dengan tanpa malu-malu, Amien Rais ganti jualan, dengan mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat’.

Sebagai doktor politik, Amien Rais tampak begitu bodohnya. Bahkan justeru ketika ia pura-pura tidak tahu, akan makin kelihatan bodohnya. Karena ‘kedaulatan rakyat’ sudah dilakukan oleh setidaknya 80% dari 180-an juta rakyat yang memiliki hak suara dalam Pemilu Serentak kemarin. Kalau hasilnya satu persen di atas 50 persen dimenangkan Jokowi, tak ada kekuatan konstitusional bisa membendungnya. Jika ada tudingan kecurangan, maka persoalannya adalah pembuktian mengenai hal itu. Meskipun kecurangan Pemilu di Indonesia, sekarang ini, sesuatu yang muskil dilakukan  karena ketatnya kontestasi dan sistem pengawasan melekat, serta proses penghitungannya yang terbuka, manual dan berjenjang.

Amien Rais cum suis, sayangnya menjadi kompor dengan gas bocor. Karena mereka yang teriak-teriak di depan hanya akan minta dimaklumi di belakangnya. Termasuk inkonsistensinya dalam mengubah-ubah konsep ideologi hanya sebatas persoalan semantika belaka.


Saatnya Rakyat Bergerak ke Depan. Pemilu Serentak 2019 baru pertama kali. Pasti banyak cacat atas hal itu. Namun tergesa-gesa mengubahnya lagi, juga tidak bijaksana. Karena hanya akan membuat kita berada dalam trial and eror terus, Di samping menunjukkan tidak adanya jaminan dukungan para akademisi dalam hal ini. Para aktivis demokrasui, yang menjadi pengusul Pemilu Serentak, juga hanya berhenti pada ide. Tidak mampu mengelaborasi dari sisi teknis dan manjemen. Termasuk tidak adanya asuransi kerja, plus honorarium yang kecil, hingga minimnya SDM.

Rakyat yang selalu berada dalam  under-estimate, tidak memiliki problem yang serius mengenai Pemilu Serentak. Dalam banyak hal, mungkin mereka juga lebih dimudahkan. Karena hanya sekali dalam lima tahun mereka berhadapan masalah yang ribet dan penuh janji dan kamuflase. Persoalannya lebih pada penyelengara dan peserta Pemilu. Merekalah yang lebih tidak siap, termasuk parlemen yang punya kepentingan besar atas hal itu. Yang terakhir itu, bukan haya tidak siap, melainkan juga tidak tulus dalam pengabdiannya melalui jalur yang kita sebut demokrasi.

Coba saja lihat, dua ketua dewan dari parlemen, menyebut Proses Pemilu dalam pandangan yang negatif. Tak peduli pujian beberapa negara tetangga, mereka memberikan pernyatan mengenai kesuksesan Indonesia terbesar dalam dunia internasional. Ttetapi tanpa melihat persoalannya secara menyeluruh dan adil. Mereka juga hanya memberikan pernyataan, tetapi tanpa solusi. Itu menunjukkan karena mereka memiliki pretensi politik tertentu.

Dalam praktik poilitik yang buruk dari elite kita, entah dari dunia politik, kampus, maupun  agama (ulama), kita melihat Prabowo adalah contoh korban. Yakni, seorang yang tidak mampu melihat,  bahwa jaman sudah berubah. Generasi baru telah lahir, dan superioritas masa lalu (Orba) sudah selesai.

Indonesia ke depan, setidaknya lima tahun lagi, masih lebih banyak berharap balik pada Jokowi. Daripada balik kanan, ke masa lalu.



Yogyakarta, 19 Mei 2019
Sunardian Wirodono, dari Yogyakarta

2 komentar:

  1. Thank for sharing,. sukses terus ..

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...