Dalam acara buka puasa (30 Mei
2019) di rumah besannya, Amien Rais menyatakan ada pihak-pihak yang ingin
mempertemukannya dengan Presiden Jokowi. Sayangnya, Amien tak bersedia
menjelaskan pihak mana dan siapa namanya. Pernyataan model begini, tak bisa
dipertanggungjawabkan. Karena nilai bohongnya tinggi.
Persis sebagaimana pihak BPN dan
Partai Gerindra. Katanya, kubu Jokowi menawarkan kursi menteri untuk
rekonsiliasi. Gerindra menolak. Nah, sayangnya pula, mereka juga tak mau
menyebut siapa yang menawari. Konon untuk menjaga etika. Padahal, jika tak mau
menyebut nama, akan lebih etis jika tak dinyatakan ke publik. Karena bisa
mengundang fitnah.
Amien menyatakan tak ingin datang
ke istana. Tak ingin dianggap sowan menemui Jokowi. Karena khawatir diplintir
sebagai upaya Amien mendukung Jokowi. Amien Rais meminta Jokowilah yang
menyambangi rumahnya di Yogyakarta.
Tak lebih dari seminggu kemudian,
Jokowi ke Yogya. Menyambangi Amien Rais? Boro-boro. Padahal selama dua hari
kunjungan ke Yogyakarta, acara Jokowi tidaklah padat. Ia lebih banyak ngendon
di Gedung Agung. Jika pun ada yang dikunjungi, menemui Sri Sultan Hamengku
Buwana X.
Acara Jokowi, setiba di
Yogyakarta Kamis (6/6), adalah ngajak Jan Ethes ke Malioboro Mall, ke Kraton
Yogyakarta, shalat Jumat di masjid Syuhada, Kotabaru (7/6), dan mengajak
keluarga belanja batik di Pasar Beringharjo (8/6), kemudian kembali ke
Solo. Tak ada acara lain. Dalam waktu
longgar itu, tak sedikit pun disinggung soal Amien Rais.
Realitas sosial dan politik,
Jokowi adalah Presiden. Juga pemenang Pilpres yang baru saja berlangsung (17
April 2019). Sedang Amien Rais, bukan presiden, bukan siapa-siapa. Meski dia adalah sesepuh PAN, penasihat PA-212, pengusaha pendidikan di Budi Mulia, dan seterusnya. Tapi apa pun, pada sisi itu,
Jokowi dalam acara santai dua hari dua malam di Yogya, tak menggubris Amien
Rais sama sekali. Apalagi menyambangi sesuai permintaan Amien.
Kita tak tahu, bagaimana Amien
Rais, sesama wong Solo, memaknai hal itu. Namun membandingkan berbagai
pernyataan verbal dan kasar Amien pada Jokowi, dari soal bebek lumpuh, ingin
mengantarkan pulang ke Solo, hingga Tuhan yang malu; Amien sama sekali tak
dianggep. Jokowi yang dibebeklumpuhkan, men-cuekbebek-innya.
Orang salah mengira. Dengan latar
belakang paria, Jokowi dianggap anak bodoh, tak ngerti apa-apa. Tapi sebagai
pembelajar yang cepat, dari kasta a politik di tengah para serigala haus-darah,
Jokowi menjadi mahir bagaimana berkelit di antaranya. Hingga ketika menjadi
Presiden, bisa dipecundanginya para kakap yang hendak menjebak.
Ia pribadi matang dan tegar. Pengambil
keputusan yang berani dan mandiri. Teguh karena tulus. Kuat karena nothing to
lose. Ia gambaran berbeda dibanding para lawannya, yang kebanyakan sarat agenda
dan tendensi. Manusia-manusia penuh trik dan manipulasi, baik dengan
pengetahuan dan agama. Jokowi membuat para seniornya kelicutan karena segan.
Para penghina, penghujat,
pemfitnah Jokowi akan tahu, bahwa mereka berada di ruang hampa udara.
Melayang-layang tak menyentuh bumi pijak. Sementara, Jokowi, yang jika kelak
usai periode ke-dua, kemungkinan besar kembali ke Solo. Sebagai rakyat biasa.
Menjadi kakek dari cucunya. Jalan-jalan ke mall atau iseng mendisain meubel
gaya milenial.
Akan susah kita lenyapkan dalam
sejarah politik kita, Jokowi sebagai sang nothing to lose. Tak terkena post
power syndrome. Jokowi seolah diselipkan Tuhan. Numpang lewat dalam sejarah
kekuasaan Indonesia. Sebagai pembanding dari begitu banyak politikus,
akademikus, budayawanikus, para mereka yang di ruang hampa udara. Dengan
gelembung-gelumbung udara bernama ngomdo.
Mungkin ini berlebihan, khususnya
bagi yang membenci berlebihan pada Jokowi. Meski kaum pembenci takkan pernah bisa
menjelaskan; Mengapa, juga karena apa, dan demi apa kebencian itu. Karena
Jokowi adalah mimpi ideal sebagian besar rakyat Indonesia. Yang menginginkan
pemimpin amanah dan fatonah. Yang kesidiqan dan tablighnya harus diterjemahkan
dengan cara berbeda. Bukan dengan cara Rocky Gerung, Effendy Ghazalie, atau
apalagi model kyai-kanjengan. Jokowi mesti dibaca dengan cara rakyat jelata yang tulus mencintai
tanah air kebudayaannya.
Karena begitu banyak warna dipakai sebagai legitimasi, sementara syaraf otaknya cuma item-putih mulu. Yang intinya, tak beda jauh dengan Si Brisik Rizieq.
Sunardian Wirodono, penulis tinggal di Yogyakarta
Tak terkoreksi..top dah
BalasHapus(y)
HapusBahasa politik yg halus dan penuh makna berhasil ditangkap dan dijabarkan oleh penulis. Ga semua orang tau dan mau tau. Semoga tulisan ini bisa membuka wawasan bagi yg membaca. Terima kasih buat penulis.
BalasHapusTerimakasih balik.
Hapustop markotop 👍👍👍
BalasHapuspinjem yaa 🙏🙂 ..
yg benci Jokowi cuma 4 kategori:
1. koruptor, mafia, perampok bangsa
2. pecundang bangsa yg gak cinta NKRI, Pancasila & UUD'45
3. Kroni2nya kelompok 1 & 2 di atas
4. orang2 pekok yang otaknya digadè'in dan mau aja dibego'in sama ketiga kelompok di atas