Indonesia pertama kali menyelenggarakan Pemilu pada 1955, 10
tahun setelah merdeka. Dari berbagai poster kampanye saat itu, ternyata “saling
serang” antarkontestan adalah bagian tak terpisahkan.
Persaingan di
Pemilu 1955 berlangsung sengit. Partai-partai politik saling serang, termasuk
menjelek-jelekkan satu sama lain. Apalagi
antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masjumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), serta PNI (Partai Nasional Indonesia) di sisi
lain.
Sesungguhnya pengadaan Pemilu akan dilangsungkan satu tahun
setelah Proklamasi Kemerdekaan. Namun karena alasan situasi keamanan dan
politik, membuat Pemilu 1946 batal dilaksanakan.
Pemilu
pertama menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dari
masyarakat. Orang rela menempuh jarak yang jauh, untuk datang ke Tempat
Pemungutan Suara (TPS), meski harus berjalan kaki, atau bahkan menyeberang
pulau. Terhitung jumlah daftar pemilih tetap 43.104.464 orang.
Meski
diselenggarakan dengan majoritas penduduk yang masih buta huruf, Pemilu 1955
mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu
dinyatakan terselenggara dengan aman, lancar, jujur, adil, dan demokratis.
Herberth Feith, peneliti asal Australia, yang dipekerjakan Pemerintah RI, kemudian menuliskannya dalam buku "The Indonesian
Elections of 1955." Feith menggambarkan suasana persaingan dengan detail. Isu
penistaan agama, sudah muncul saat itu. Bahkan aksi
demonstrasi menentang penistaan agama, penolakan pemakaman komunis, hingga
intimidasi yang dilakukan aparat.
Masyumi beradu dengan PNI soal aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia. Ada momentum yang menyulut ketegangan itu ketika Presiden Sukarno di Amuntai Kalimantan Selatan (Januari, 1953), memperingatkan bahwa usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam, akan menyulut perpecahan dari daerah-daerah yang penduduknya bukan Islam. Jadi, isu soal kilafah bukan hal baru bukan?
Berkait dengan pidato Bung Karno itu, kalangan Islam bereaksi keras. Anggota
DPR dari Masyumi, Kiai Hadji Isa Anshary, dalam kampanyenya selalu mengutuk
pemimpin partai politik non-Muslim, sebagai munafik dan kafir. Sebaliknya, PNI menilai Isa
Anshary sebagai ekstremis, karena selalu menentang simbol-simbol nasionalisme. Masyumi beradu dengan PNI soal aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia. Ada momentum yang menyulut ketegangan itu ketika Presiden Sukarno di Amuntai Kalimantan Selatan (Januari, 1953), memperingatkan bahwa usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam, akan menyulut perpecahan dari daerah-daerah yang penduduknya bukan Islam. Jadi, isu soal kilafah bukan hal baru bukan?
Dalam buku yang lain, "The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia",
Feith menuliskan kasus penistaan agama yang dilakukan pihak Permai (Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia). Organisasi
Islam, yang didominasi Masyumi, kemudian menggerakkan demonstrasi (Februari 1954),
mengecam Permai dan PNI. Sebenarnya ini demo lanjutan dari isu sebelumnya, yakni
digantinya Walikota Jakarta Raya, dari Masyumi (Sjamsuridjal) ke orang
PNI (Sudiro).
Pemilu 1955 juga makan korban jiwa yang pertama, seorang Kapten TNI yang menjaga
keamanan kampanye. Konon setengah juta orang turun ke jalan, dan berujung
rusuh. Sementara PKI menghubung-hubungkan Masyumi dengan pemberontak Darul
Islam, dan punya niat mendatangkan pihak asing pada sektor perkebunan dan
tambang.
Masyumi menuding PKI sebagai partai yang tunduk pada
Moskow. Masyumi juga selalu mengingatkan publik soal peristiwa pemberontakan
Madiun 1948 yang dilakukan oleh PKI. Dalam pandangan Masyumi, yang disampaikan dalam berbagai
kampanye; komunis sama saja dengan atheis, maka komunis adalah kafir. Jasadnya
harus ditolak jika hendak dimakamkan di pemakaman muslim.
Saat berkampanye di Jawa, PNI menyebut Masyumi sebagai partainya orang
Sumatra. Namun Masyumi dalam kampanye di Sumatra menyatakan PNI partainya orang Jawa saja. Masyumi dan NU sama-sama berkampanye bahwa hanya yang memilih
partainyalah yang bisa masuk surga. Kalau tidak pilih partai itu, maka bisa
masuk neraka.
Hoax atau kabar bohong juga sudah muncul. Misal, tentang , adanya kapal selam yang segera merapat, menyerang Indonesia. Kabar bohong kedua, orang-orang kulit putih yang sembunyi di gunung-gunung, bakal menyambangi kota dan menyerang dengan bantuan pasukan hantu.
Hoax berikutnya, orang-orang di Jawa dilaporkan banyak yang keracunan beberapa hari sebelum dan sesudah Pemilu DPR. Terjadi persekusi terhadap penjual makanan. Bukan hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat. Bahkan isu makanan beracun menjadi pembicaraan di kabinet. Selama empat hari, Institut Bakteriologi Eijkman di Rumah Sakit Pusat Jakarta, menerima 600 sampel makanan yang diduga beracun. Setelah diperiksa, tak ada racun dalam sampel-sampel makanan itu.
Pemilu 1955 diikuti 39 partai politik peserta pemilu. Muncul empat besar dari hasil
Pemilu itu; Partai Nasional Indonesia (PNI, meraih 57 kursi), Masyumi
(57 kursi), Nahdlatul Ulama (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia (PKI, 39
kursi).
| Dikutipkan dari hasil pengamatan dan penelitian Herbeth Feith.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar