Ketika Jokowi
berpendapat agama dan politik jangan dicampuradukkan, Amien Rais marah-marah. Politik
tak bisa dipisahkan dengan agama, katanya, dan demikian pula sebaliknya.
Untuk pendapat Amien
Rais, pertanyaannya; dalam kondisi berkeagamaan seperti apa, dan dalam kondisi
berkepolitikan seperti apa? Sebagaimana kita juga tak percaya begitu saja aras dalil
“perbedaan itu rahmat”. Karena rahmat akan terjadi sekiranya pandangan kita
akan perbedaan itu sama, sama dewasanya. Dalam masyarakat yang tak mau memahami
liyan, intoleran, perbedaan adalah bencana.
Perbedaan adalah rahmat
dengan ketentuan dan syarat berlaku. Politik dan agama bisa dipersatukan,
diintegrasikan, dengan syarat dan ketentuan berlaku pula. Karena politik dan
agama dua entitas yang sama sekali berbeda, lebih pada persoalan karakternya.
Jika politik lebih bergerak ke luar, agama bergerak ke arah dalam diri kita.
Maksud ketentuan dan
syarat berlaku, agama menjadi frame internalisasi, pembangunan jiwa manusia,
sehingga dalam langkah ke luar (berpolitik), out-putnya akan dibingkai oleh
nilai-nilai moralitas, keberagamaan, atau karakter-karakter kemuliaan.
True religion is real living; living
with all one's soul, with all one's goodness, ujar Mbah Kyai Albert Einstein
(1879 – 1955). Agama sejati adalah hidup yang sesungguhnya, hidup dengan
seluruh jiwa seseorang, dengan seluruh kebaikan dan kebajikan seseorang. Karena
itu, ahli fisika dari Jerman keturunan Yahudi itu mengatakan; Ilmu pengetahuan
tanpa agama adalah pincang. Agama tanpa ilmu adalah buta.
Mengintegrasikan dua hal itu, adalah
proses atau upaya menjadi manusia genah diri. Buya Hamka (1908 – 1981),
sastrawan kita yang pernah menjadi Ketua MUI, berujar “hujung akal itu fikir,
pangkal agama itu zikir.” Bukan cuma tokbar-takbir dan teriak kopar-kapir.
Ketika dua hal itu terpisah, fenomena
seperti Habib Rizieq, ataupun habib satunya lagi yang sedang hit sekarang (karena
mengatakan Jokowi lagi mens), sangat mungkin bisa terjadi. Karena tidak
terjadinya integrasi diri atas nama agama dan ilmu pengetahuan, sebagaimana
tutur Mbah Kyai Einstein. Mereka, dan yang sejenis itu, bukan manusia genah
diri.
Tidak relevan menautkan “kualitas
diri” seseorang dengan keturunan siapa. Itu pernyataan yang dalam konsep reliji
sama halnya merendahkan Sang Maha Pencipta. Semua makhluk diberi dan
mendapatkan modal serta kesempatan sama, yakni bagaimana bergelut dengan
kenyataan-kenyataan sekitarnya.
Jika tidak ada integrasi antara
agama dan politik, maka yang terjadi hanyalah klaim-klaim yang susah untuk
dikonfirmasikan, di-check kebenarannya (juga seberapa besar hoaxnya). Misal
banjir suatu wilayah adalah musibah, mengatasinya? Dengan berdoa atau shalat.
Atau seperti pernah dikatakan Amien Rais, isyarat langit jelas, bahwa Prabowo
adalah presiden!
Di situ agama dieksploitasi,
dipolitisasi, dikapitalisasi, agar orang percaya dan tidak menudingnya sebagai
manusia bodoh, yang sedang menutupi ketidakmampuan, atau tak bertanggungjawab
dalam mengatasi masalah yang diamanatkan (rakyat) padanya. Sementara manusia
(yang tak mengetahui agama), gampang gemetaran diancam; Kalau nggak nurut
(agama) neraka hukumannya!
Maka wajar banyak korupsi ayat
agama, dibohongi pakai ayat, agar umat tidak protes. Nurut saja. Dari sisi
itulah, maka kita bisa membedakan dengan mudah, ulama baik dan ulama buruk,
sebagaimana Imam Ghazali mengajari kita untuk bisa membedakan ulama yang
sejati dan palsu. Karena bagaimana mungkin ulama sebagai ahli agama, sebagai
penerus ajaran nabi, justeru menebarkan kebencian? Mulutnya mudah menghujat
sana-sini-situ? Menyampaikan dakwah dengan bahasa yang kasar? Itu ajaran nabi?
Bagi Gus Dur, kyai dan presiden kita
dulu; “Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya.” Sesuatu
yang sangat sederhana untuk melihat seseorang itu membawa pesan kedamaian atau kekacauan. Karena, menurut Dalai
Lama XIV, my religion is very simple. My religion is kindness. Agama saya
sangat sederhana. Agama saya adalah kebaikan. Feminis kita, Kartini (1879 – 1904),
ngendika; Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa
banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?
Berapa banyak coba? Lagian, negeri
ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu
agama, sebagaimana kata Sukarno pada 1 Juni 1945 yang kemudian ditetapkan
sebagai dasar negara kita. “Negeri kita bukan milik suatu kelompok etnis, bukan
juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang
sampai Merauke!” demikian pidato Bung Karno dalam merumuskan apa yang kemudian
disebut sebagai Pancasila itu.
Jika sekarang ada kelompok yang
ingin ganti presiden (kata teman saya istilah ‘ganti presiden’ itu merujuk pada
preferensi ‘hisbut tahrir’, yang artinya bukan sekedar ganti pemimpin, tetapi
ganti sistem), yang ingin mengganti Pancasila dengan faham kilafiyah. Maukah
kita kembali ke sistem di mana rakyat akan diperbudak dan diperbodoh, oleh
elite politik yang tidak (bisa dan) boleh dikontrol karena mereka (mendaku)
sebagai utusan atau yang dipercaya Allah? Bagaimana mengecek SK sebagai utusan
dan dipercaya itu, jika kita lihat ada Polisi Syariah memperkosa napi syariah?
Ada menteri agama korupsi? Ada Pangeran Arab Saudi ditersangkakan sebagai
pembunuh seorang wartawan?
Atau yang ringan-ringan saja,
mengapa ada yang mengaku turun nabi di Indonesia kemudian pergi tanpa pamit ke Arab Saudi, nggak pulang-pulang? Mau pulang ke Indonesia saja ribet,
berbagai alasan dikemukakan. Padahal semua itu lebih mencerminkan ketakutannya,
karena kasus hukum yang membelitnya bukan? Jika tidak, ngapain takut? Ngapain
mesti Prabowo sebagai capres memberi jaminan, akan menjemput pulang ke Indonesia?
Kok heboh banget. Di situ logikanya tidak nyambung. Apalagi jika dikaitkan
dengan kasus chatting sexnya, menjadi DPO Kepolisian Indonesia, dan seterusnya.
Lantas Reuni 212 hari ini? Untuk
apa? Merayakan kemenangan? Kemenangan atas apa? Dan siapa? Ahok memang
dipenjara karena kasus yang direkayasa secara hukum. Tapi dengan terpilihnya
gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta kemudian, rakyat Jakarta yang paling tahu
apa sesungguhnya yang terjadi.
Pihak yang tak setuju agama
dipisahkan dari politik, karena agama menjadi tak bisa dipakai sebagai alat
legitimasi. Alat penekan atau pengancam. Agama tidak bisa dieksploitasi untuk
kepentingan politik, yang manipulatif. Perselingkuhan politik dan agama, itu dianggap penting karena bisa menjadi senjata ampuh. Jadi, siapa sebenarnya yang melakukan
penistaan agama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar