Pada tahun 1958, ketika Indonesia dipilih menjadi penyelenggara Asian
Games ke-4 pada 1962, Presiden Sukarno pun ngebut membangun infrastruktur. Apa
yang kini disebut Stadion GBK (Gelora Bung Karno), menjelaskan bagaimana gelora
semangat Indonesia waktu itu. Menjadi bangsa dan negara yang berkelas, mampu
bersaing, dan bermartabat.
Hingga kemudian 58 tahun sudah, stadion itu masih berdiri megah, dan
tetap sebagai stadion termegah di kawasan Asia, yang mempesona sampai ketika
penyelenggaraan Asian Games 18 ketika Indonesia kembali menjadi tuan rumah
pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu. Karena jika tak memiliki infrastruktur,
bagaimana bisa menyelenggarakan event international, sementara pada waktu itu
kita sama sekali tak punya berbagai fasilitas modern, untuk olahraga sekali
pun. Itu juga, Jokowi pun kemudian mengatakan; tanpa pembangunan infrastruktur,
mustahil kita bisa berkompetisi dengan negara-negara lain.
Bukan hanya stadion GBK, tetapi juga jalan MH Thamrin, Gatot Soebroto,
Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, dan berbagai landmark patung-patung karya
seniman Indonesia, di beberapa titik-titik kota Jakarta, sampai sekarang tetap gagah
menjadikan Jakarta pantas menyambut para tamunya. Semua karena mimpi Sukarno,
sebagai bangsa besar di antara bangsa-bangsa Asia. Bahkan jika rencana
pembangunan Bung Karno tak dijegal Soeharto, dengan Peristiwa 1965, maka pada
tahun 1975, sebagaimana proyeksi Sukarno, Indonesia akan melampaui Jepang.
Mimpi itu tak tewujud, karena setelahnya, pemerintahan Soeharto dengan
nama Orde Baru, mencoba menghapus jejak Sukarno. Dan kemudian endingnya,
setelah 32 tahun kekuasaannya, Soeharto jatuh meninggalkan berbagai masalah,
termasuk utang luar negeri. Pada situasi itu, tiba-tiba muncul paradoks
Indonesia, dalam bentuk pesimisme Prabowo Subianto, yang mengutip sebuah novel
fiksi, bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. Juga, pernyataan terbarunya, kita
akan berada sebagai bangsa yang dikutuk kemiskinan abadi.
Tapi, jika demikian halnya, mengapa seseorang bisa sangat ambisius
mencapreskan diri? Karena senyampang itu, ia ingin mengatakan, “dengan
nasionalisme yang tinggi, maka saya terpanggil untuk berkuasa!” sebagai pidato
pencapresannya pada Agustus 2018.
Caranya? Berada di barisan oposisi, Prabowo memilih peran antagonis.
Pilihan yang blunder karena tergesan ia sendiri tak punya alternatif. Ia mendelegitimasi
pemerintahan yang sedang berjalan dengan klaim-klaim kegagalan. Apakah nilai
rupiah yang terpuruk, pertumbuhan ekonomi lamban, angka pengangguran, bahkan
kemudian angka utang luar negeri yang juga naik. Dan ketika
pernyataan-pernyataan itu dilakukan secara sepihak, bukan dari sebuah kajian
kritis yang fair, semuanya menjadi buruk adanya. Itu semua adalah wajar dalam
sebuah kontestasi politik yang buruk. Dan karakter politik kekuasaan, berbeda
dengan politik hati-nurani, memang selalu buruk.
Mimpi dan
Optimisme.
Sejarah peradaban kita, selalu mencatat negeri ini berdiri karena optimisme. Sebagian
besarnya dibangun dari mimpi, sebagaimana Bung Karno dulu mengobarkan semangat
kemerdekaan. Imagination, imagination, imagination, teriak Bung Karno untuk
bangsa semeter kurang sedepa ini. Dan seperti ujar John Lennon, mimpi seorang
diri bukanlah impian, tetapi mimpi yang diimpikan bersama itulah kenyataan.
Ketika Jokowi menargetkan 16 emas, dan masuk 10 Besar dalam Asian Games
18 pada Agustus 2018, seorang yang pesimis meski pernah jadi Menpora sekalipun,
akan mengatakan target itu tidak realistis. Kenyataannya menjadi makin tidak
‘realistis’ ketika ternyata mendapat 31 emas, dan masuk ke 4 besar. Karena
kehilangan kata-kata, kelompok oposan diwakili Fadli Zon, dengan enteng
mengatakan; “Pemerintahan harus segera memenuhi janji untuk mencairkan hadiah para
atlit.” Omongan jajaran Ketua DPR ternyata cuman
kayak gitu.
The pessimist
complains about the wind; the optimist expects it to change; the realist
adjusts the sails, ujar William Arthur Ward (1921-1994)
penulis dari AS. Kaum pesimis mengeluhkan embusan angin; kaum optimis mengharapkan
angin itu berubah; kaum realis menyesuaikannya dengan layar. Dan yang lebih edan lagi, bagi Rene Descartes, “Seorang
optimis melihat sebuah cahaya ketika kegelapan, tapi mengapa orang pesimis
harus selalu menghilangkan cahaya itu?”
Dengan mengatakan
Indonesia akan bubar, apakah variable utang luar negeri itu sebagai penyabab
utamanya? Utang Indonesia dari luar negeri, selama ini menjadi fokus kritik dan
bulan-bulanan bagi upaya-upaya pendelegitimasian pemerintahan. Di atas meja dan
dalam ruangan yang tenang, hal ini bisa dijelaskan secara baik pada proporsinya.
Karena fluktuasi utang itu dihitung sebagai utang negara, bukan utang
pemerintah-per-pemerintah, dan apalagi utang masing-masing presiden. Dari sana
akan jelas perjalanan utang luar negeri kita, dari sejak jaman Sukarno,
Soeharto, hingga sampai Jokowi. Kita akan melihat angka-angka dengan jelas,
siapa sesungguhnya yang memanipulasi data dan angka, hanya demi menjatuhkan
kredibilitas presiden satu dan lainnya.
Bahkan, di jaman banyak pengamat ini, pemerintahan era Presiden Jokowi
dinilai hampir sama dengan era Soeharto. Mereka dianggap sama-sama mencetak utang
yang besar. Jika Soeharto dihitung meninggalkan utang USD 53,8 miliar, untuk
satu tahun (2018) ini , pemerintah Jokowi menurut data Bank Dunia baik dari
penjualan obligasi, sekuritas, maupun pinjaman langsung, sudah mencapai Rp 569
triliun, atau jika dipukul-rata menggunakan kurs berlaku saat ini, nilai utang
30 tahun Soeharto hanya lebih sedikit dengan 1 tahun utang Jokowi. Jika kursnya
dihitung berbeda sesuai zamannya, utang Jokowi dua kali lipat dari utang Sukarno.
Perbandingan yang adil?
Presiden dari
Utang ke Utang. Membandingkan utang satu presiden ke presiden lainnya, tentu saja tak
adil. Terlalu simplistis jika hanya berkutat pada angka-angka. Bukan pada
nilainya, baik nilai rupiah maupun nilai penggunaan, serta persoalan-persoalan
peripheralnya.
Pemerintahan
Jokowi masih menerima utang warisan pemerintahan sebelumnya, dan dengan
perimbangan anggaran pendapatan dan belanja yang belum tercapai, pemerintahan
Jokowi masih memerlukan utang pula. Tapi
benarkah pemerintahan Jokowi raja utang? Untuk itu, kita bisa meninjau besaran utang tiap
pemerintahan selama Republik Indonesia berdiri.
Tradisi
utang agaknya diwarisi dari pemerintahan sebelum Indonesia merdeka. Yakni pada
pemerintahan Hindia Belanda yang meninggalkan warisan utang senilai US$4
milliar. Pemerintahan Sukarno sendiri mempunyai utang Indonesia senilai US$2,3
miliar.
Utang
pemerintah Republik Indonesia, bertambah menjadi US$ 67.328 milyar dalam rezim
kekuasaan Soeharto. Dengan kurs US$ 1 sama dengan 10.000 rupiah, berarti utang era
Soeharto sebesar Rp673,28 trilyun. Berapa coba, jika nilai kurs kita pakai
angka Rp 14,700 seperti sekarang ini.
Pada masa pemerintahan BJ Habibie, utang Indonesia
menjadi US$75.862 milyar, setara dengan
Rp758,62 trilyun. Pada jaman Presiden Abdurrahman
Wahid, utang Indonesia turun menjadi US$72.197 milyar, atau Rp721,97 trilyun.
Sementara pada masa Presiden Megawati
Soekarnoputri, data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Volume I Februari
2010, menunjukkan pemerintahan Megawati meninggalkan utang sebesar US$83,296
milyar, atau setara Rp832,96 trilyun. Harap diingat, tinggalan utang (yang
tertunggak) itu bukan berarti besaran nilai utangan yang diajukan pemerintahan
berjalan, melainkan akumulasi dari warisan utang yang belum terbayar pada
pemerintahan sebelumnya, dan besaran utang yang dilakukan oleh pemerintahan
yang sedang berkuasa.
Maka
kita bisa melihat, bagaimana pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), yang memerintah selama dua periode. Peningkatan utang
pemerintah tercatat cukup besar. Pada periode pertama (berakhir 2009), utang
pemerintah tercatat US$98.859 milyar atau Rp 968,59 trilyun. Kemudian pada
bulan Juli 2014, ketika pemerintahan SBY hendak mengakhiri periode kedua, utang
luar negeri melejit menjadi US$ 134.150 miliar atau Rp1.341,5 trilyun.
Selama
10 tahun pemerintahan SBY, telah membuat utang pemerintah bertambah Rp508,23
trilyun dari Rp832,92 trilyun menjadi Rp1.341,15 trilyun. Itu baru utang pemerintah.
Apabila utang swasta juga diperhitungkan, sesuai data DJPU Kementerian Keuangan
selama 10 tahun menjabat (sejak 2014), pemerintahan SBY telah menambah utang
luar negeri menjadi Rp1.232,31 triliun, naik 94,82 persen hingga Agustus 2014.
Angka tersebut terlihat dari posisi utang Desember 2004 sebesar Rp1.299,5
triliun hingga Agustus 2014 sebesar Rp2.531,81 triliun.
Ketika
pemerintahan SBY mengakhiri masa jabatannya Oktober 2014, data BI menunjukkan
utang luar negeri Indonesia tembus USD 294,5 miliar, setara dengan Rp 3.727
triliun. Penambahan utang paling dahsyat memang terjadi di era SBY. Kini (2018),
BI mengungkapkan utang luar negeri Indonesia mencapai Rp4.234 triliun.
Memang,
berutang merupakan pilihan terburuk sebuah bangsa dalam melakukan pembangunan.
Banyak negara akhirnya berjuang menghapus utangnya tatkala tak mampu
membayarnya, seperti halnya Argentina. Dan tatkala pemerintahan Jokowi masih
berutang, hal itu memang patut disesalkan. Tapi utang negara, yang akumulatif
dan fluktuatif, tentu harus dilihat teliti, karena bukan utang orang-per-orang
atau presiden-per-presiden.
Gubernur
Bank Indonesia (BI), Ferry Warjiyo, mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN)
Indonesia, pada akhir April 2018 berada pada angka US$356,9 miliar atau setara
dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS). ULN tersebut masih
dalam kategori aman dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB). Jangan
dilihat nominalnya, sebab ukuran ini relatif. Satu dollar AS sekarang berbeda
dengan satu dollar AS 10 tahun lalu.
Utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara
(APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan
bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan. Memakan lebih dari
separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52%
dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 triliun. Jumlah
utang negara Indonesia kepada sejumlah negara asing (negara donor) di luar
negeri, pada posisi finansial 2006 mengalami penurunan sejak 2004 lalu. Utang
luar negeri Indonesia kini 'tinggal' USD 125.258 juta atau sekitar Rp1250
triliun lebih.
Lima kali pergantian presiden, nampaknya belum mampu
mengantar Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia
keluar dari utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet
warisan utang untuk presiden selanjutnya. Indonesia semakin terperangkap dalam
kebiasaan utang. Jangan heran jika Indonesia seakan sulit melepaskan dari jerat
utang. Kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung.
Presiden Jokowi pernah menjelaskan di awal pemerintahannya, posisi
utang mencapai Rp 2.700 triliun sebagai warisan pemerintahan SBY. Tiap tahun
jumlah yang harus dibayar Rp 250 triliun. Dengan kondisi itu, Jokowi meminta
penyusunan RAPBN 2018 terfokus pada sasaran-sasaran yang ingin dicapai
pemerintah, yaitu bidang infrastruktur, pengentasan kemiskinan dan mengurangi
kesenjangan. Upaya penghematan dan efisiensi anggaran, harus tetap diperketat.
Warisan utang itu tentunya menjadi
beban tersendiri bagi pemerintah. Wajar saja, sebab pemerintah harus membayar
utang senilai Rp250 triliun setiap tahunnya. Lantas, bagaimana dengan daya
kemampuan dari pendapatan negara? Jika pemerintah Jokowi terpaksa berhutang,
karena beban-beban pembelanjaannya. Pembangunan infrastruktur, terpaksa harus
dilakukan karena pemerintah sebelumnya (dengan nilai utang per-pemerintah yang
besar), tidak melakukan hal itu. Sementara pembangunan infrastruktur menjadi
penting, sebagai bagian dari cara untuk memperbesar target pendapatan negara.
Politisasi
Utang Luar Negeri. Tetapi dalam dunia politik, ruang-ruang penjelasan semacam itu, akan
dihindari pihak-pihak yang mencoba mengkritisi pemerintah, dan lebih-lebih kelompok
oposan. Jika 2019GantiPresiden agresif membuat berbagai deklasrasi di
ruang-ruang terbuka, bukan dengan argumentasi tetapi memakai cara agitasi
sebagai gerakan politik.
Dengan demikian, isu utang membesar sebagai bentuk kegagalan pemerintah,
akan terlihat dominan. Dengan manipulasi
data, dan kebohongan yang terus-menerus dibangun, sebagaimana anjuran Hitler, hal
itu akan dipercaya publik yang lapar dan marah. Dalam praktik politik, segala
cara bisa halal.
Padahal seperti mengelola keuangan rumah-tangga, biaya pengeluaran dan
pemasukan dengan gampang bisa dilihat. Ketika kita terpaksa utang (sebagaimana
pemerintahan sebelumnya), semua tentu terletak pada rasionalisasinya. Untuk apa
dan bagaimana? Ini persoalan yang sebenarnya mudah dijelaskan, dengan bahasa
sederhana. Namun kita cenderung tidak proporsional, atau tidak adil sejak dalam
pikiran, seperti kata Pram (yang sekarang diubah menjadi: Tidak adil sejak
dalam capres pilihan).
Klaim tentang negara kaya tetapi penduduknya miskin, selalu
didengungkan untuk mendiskreditkan pemerintah. Pandangan menyesatkan ini,
sebagian besar diterima dalam logika masyarakat kita, karena pemahaman tentang
sistem politik dan sistem ekonomi yang lemah atau tidak ada sama sekali. Seolah
negara hanya karena kebijaksanaan Presiden, yang pada kenyataannya dalam sistem
politik kita diikat begitu banyak aturan, dimana quasi parlementer begitu sangat digdaya.
Sementara Presiden untuk keseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan,
perlu menggenjot kinerja ‘perusahaan rumahnya’. Untuk bisa menggerakkan bukan
hanya sektor makro, melainkan juga sektor ekonomi real masyarakat, Presiden dan
kabinetnya tak bisa bekerja sendiri. Semua komponen negara, termasuk di
dalamnya rakyat, harus berada dalam aturan, sistem, infrastruktur,
suprastruktur, utnuk bekerja sama.
Ukuran
Kemajuan Adalah Manusianya. Kemajuan sebuah negara, ukurannya bukan lagi sda (sumber
daya alam), melainkan lebih terletak pada sdm (sumber daya manusia) di mana
terletak pula kualitas manusianya, baik berada dalam struktur pemerintahan yang
dipercaya, maupun pada masyarakatnya sendiri.
Dalam ukuran dan data negara-negara maju, persoalan kualitas sdm
menjadi sangat penting dan dominan. Yakni terutama pada karakter, sikap, dan
perilaku masyarakatnya. Baik itu berkait daya saing, kualitas sdm, tingkat edukasi
dasar dan daya literasi, kreativitas, inovasi, serta produktivitasnya.
Kita melihat kenyataan-kenyataan yang mengerikan. Misal, begitu banyak
wakil rakyat yang tertangkap karena korupsi. Bahkan di beberapa daerah, di atas
80 persen wakil rakyat ditangkap KPK karena korupsi. Belum lama lalu, baru
sekitar 7 bulan diangkat sebagai menteri, Idrus Marham menjadi tersangka kasus
korupsi.
Kwik Kian Gie, yang kini menjadi timses Prabowo, dulu ketika masih di
PDIP yang beroposisi dengan pemerintahan SBY, pernah mengatakan jika saja 30% uang
korupsi bisa dikembalikan ke negara, ekomomi kita akan sangat tertolong. Kita
tidak tahu, berapa nilai dari 30% itu, sehingga kita bisa bayangkan, berapa
sesungguhnya duit yang dikorupsi.
Upaya penegakan hukum, yang menjadi syarat mutlak pemerintahan yang
bersih, juga masih terkendala dengan kinerja lembaga judikatif. Bukan hanya
jaksa dan hakim, bahkan dalam lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, tak luput dari perilaku koruptif. Beberapa petinggi
lembaga tinggi itu, kini beberapa berstatus sebagai napi korupsi.
Dalam posisi itu, membangun Indonesia adalah nonsens jika hanya memposisikan
Presiden sebagai segalanya. Presiden memerlukan rekanan kerja, baik dari
Parlemen (legislatif) juga lembaga lain seperti MA dan MK (judikatif), dan
lembaga-lembaga negara lain seperti misalnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dan KY (Komisi Yudisial), untuk munculnya pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien, sebagai
tuntutan global.
Hal tersebut menjadi syarat mutlak, untuk mewujudkan bukan hanya clean governement, melainkan juga
menumbuhkan iklim ekonomi atau iklim investasi di tingkat lokal, nasional dan
global. Di situ Presiden bukanlah segala-galanya. Tetapi bagaimana dalam sebuah
orkestrasi pembangunan, semuanya terlibat, bahu-membahu, tetapi juga dengan
niatan yang sama, yakni membangun Indonesia. Bukannya mencegat di tengah jalan,
atau mencuri dalam lipatan. Dan itu sungguh persoalan kita, karena persatuan
hanyalah kata-kata lamis.
Dalam sebuah tulisannya yang syahdu, Onghokham (Sukarno: Mitos dan Realitas, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah. 1979),
menuturkan: Sukarno sendiri insaf, bahwa
dia hanya seorang diri. Setelah bulan September 1965, Presiden Sukarno dalam
salah satu pidatonya mengatakan; “... Apa yang bisa saya buat? Dari permulaan
saya dikelilingi suatu pemerintahan,...”
Apa maksudnya? Soal bagaimana akselerasi bangsa dan negara dalam
perubahan-perubahan. Yang dimaksudkan di sini adalah “dengan suatu establishment”. Elite baru Indonesia oleh Sukarno secara
bersendagurau sering disebutnya sebagai
orang-orang yang berlaku seperti pemegang saham, dalam sebuah perseroan
terbatas, yang namanya Republik Indonesia.
Akselerasi
Demokrasi dan Partisipasi. Yang demikian mencolok mengenai Sukarno, adalah dia
berdiri sendirian. Tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang
sebanding. Sukarno tidak memiliki tangan kanan dan tangan kiri yang terpercaya,
kecuali (mungkin) pada akhir-akhir kekuasaannya. Untuk itu Sukarno hanya
memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut, serta para pengagum
dan bukannya partner.
Persis seperti Jokowi ketika mencanangkan Revolusi Mental. Akhirnya
Jokowi pun mental (e dibaca seperti dalam kata ‘beban’) sendiri. Karena gagasannya tidak
begitu nyaman bagi sebagian besar masyarakat kita, yang akselerasinya rendah.
Di mana tingkat kompetensi dan kompetisinya juga parah. Belum lagi sikap malas,
atau pun juga korup, yang melanda hampir semua kelas. Kita melihat kasus tragis
yang dialami Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta (2017). Ia bahkan mungkin diposisikan
sebagai common enemy, lebih karena
gagasan-gagasan perubahannya yang begitu cepat dan drastis.
Jokowi dalam sebuah pidato di kampus Universitas Indonesia (2018),
menantang perguruan tinggi untuk segera beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi. Bukan hanya sekedar metoda pengajaran, melainkan juga program studi,
kurikulum, bahkan lembaga riset dan laboratoriumnya. Intinya adalah dunia
berubah menghadapi apa yang dinakan revolusi industri 4.0. Jika kaum akademisi
tak berubah, omong kosong tentang peningkatan kualitas sdm yang kompeten dan
kompetitif itu.
Bung Karno begitu bangga dengan kosakata ‘gotong royong’, yang
merupakan intisari sila-sila Pancasila. Namun ia boleh kecewa melihat kenyataan
hari ini. Ketika politik demokrasi kita, dalam hal pilpres misalnya, walaupun
rakyat memilihnya langsung, tetapi masih dalam demokrasi paling awal. Bukan
hanya sekedar normatif, prosedural, formal, melainkan masuk dalam jebakan eksploitasi,
dan bukannya eksplorasi.
Pilpres kita masih kayak
jaman Ken Arok merebut kekuasaan raja Kediri. Penuh intrik dan bunuh-bunuhan, hanya
karena kepercayaan bahwa sang calon raja (presiden) adalah keturunan ini dan
itu. Kita tak pernah melihat soal track-record,
kinerja, juga reputasi dan prestasi, apalagi gagasan, betapapun palsunya.
Bahkan dalam perbandingan Jokowi dan Prabowo pun, masyarakat bisa
terbelah dalam hitam dan putih sebegitu tajam. Siapa yang bermain dalam hal
ini? Hingga bahkan, para elite nasional kita, para politikus, dan kaum
oligarkis, seolah tidak takut lagi memerankan karakter-karakter antagonis.
Bahkan hal itu tampak disengaja, dan nyatanya mendapat dukungan masyarakat
juga. Masyarakat yang mana?
Air Kotoran
Atap ke Pelimbahan. Apa pun yang kita cari, di mana pun, dan juga dalam situasi seperti
apapun serta bagaimana pun cara, segala sesuatunya akan sangat tergantung
kejernihan kita. Air yang kotor, tak pernah bisa memperlihatkan apapun, selain
hanya memberikan ruang persembunyian. Bisa jadi ia menenteramkan, namun hanya
sejenak, sekiranya tak jadi megap-megap kehabisan oksigen.
Semua membutuhkan waktu, untuk melihat semuanya mengendap. Segala debu
dan kotoran, perlahan akan membukakan pintu, untuk menjadikan air dan udara
jernih. Mereka yang mengikuti ego dan emosinya, kata pepatah Melayu, akan
kehilangan adabnya. Karena berenang di air kotor, bukan hanya membuat kita tak
bisa melihat, melainkan juga makin membuat dada kita sesak. Reformasi 1998,
ketika Soeharto longsor, sebetulnya belumlah lama berlalu. Masih hangat dalam
ingatan, namun betapa kita cepat melupakannya.
Jika pemilihan presiden sebagaimana yang dikatakan Herbert Feith, hanya
berhenti pada pesona personalitas belaka, mungkin seperti halnya sebuah
kontestasi untuk mencari seorang pria metro-sexual, sebagai pembacaan mereka
atas apa yang dinamakan generasi milenial dan partai emak-emak. Politik hanya
sekedar remeh-temeh seperti itu. Sama sekali tak menyangkut pada substansi
kepemimpinan. Berupa kebijaksanaan, kejujuran, dan nilai-nalai kemanusiaan.
“Lihatlah politisi kita.
Mereka adalah sekumpulan yoyo,” ujar Saul Bellow, sastrawan AS pemenang hadiah
Novel Sastra. “Merebut posisi presiden sekarang adalah satu persilangan antara
kontes popularitas dan debat anak SMA, dengan ensiklopedi yang terutama berisi
kata-kata klise.”
Dan kita akan
mengulang-ulang kisah lama, “Apa yang diajarkan pengalaman dan sejarah, adalah
ini: rakyat dan pemerintah tidak pernah belajar sesuatu dari sejarah, atau
bertindak tidak berdasarkan prinsip,” seperti ditulis George Wilhelm Hegel,
filsuf Jerman.
Itu semua lebih karena system
politik kita yang elitis, yang memiliki ketergantungan pada kaum elite. Dan
ketika system politik elitis masih dalam tataran prosedural formal, masih
berada dalam ranah eksploitasi (hanya memanfaatkan, dan karena itu manipulative), ia tak pernah mampu
mengeksplorasi masyarakat, untuk tumbuh dan berkembang, apalagi kritis. Dan lagi-lagi,
kita akan minum air cucuran atap di pelimbahan sebagai air comberan.
Bahkan lebih gila lagi,
ketika engkau tidak peduli, “Sembilan puluh delapan persen orang dewasa di
negeri ini adalah terhormat, pekerja keras, dan jujur. Hanya sekitar dua persen
yang jelek, yang mendapatkan publikasi. Tetapi, kemudian kita memilih mereka,”
celoteh Lily Tomlin, sang pelawak.
Sunardian Wirodono, dari berbagai sumber
Yogyakarta, 3 September
2018