Dimanakah Sang Malaikat Menyembunyikan Sayap?
Sebuah Pelajaran untuk Menjadi Biasa.
Oleh: Sunardian Wirodono
Mbah Tari, atau Eyang Tari, atau Ibu Lestari Projosuto,
adalah manusia biasa. Namun, ia menjadi begitu luar biasa, sekiranya kita jujur
melihat diri kita. Betapa yang telah dilakukannya, untuk memuliakan kemanusiaan,
bisa jadi masih merupakan angan-angan kita. Atau baru merupakan kesadaran
ideologis belaka. Dengan berbagai dalih.
Setidaknya, jika kita melihat bagaimana Ibu Lestari memulai
kerja-kerja kemanusiaan, nun jauh sebelum kita sampai kini pun belum
menyadarinya. Pada pertengahan dekade 70-an, ketika waktu itu Ibu Lestari
menyusuri jalanan dan kampung-kampung kumuh di Jakarta. Mencari anak-anak
terlantar. Menemui dan membujuknya untuk bersekolah.
Bersekolah, hingga sampai pada awal-awal kekuasaan Orde
Baru, bagi anak-anak dari keluarga miskin, masih merupakan kemewahan. Bahkan
sebagian besar orangtua mereka, menganggap bersekolah sebagai sesuatu yang
sia-sia. Karena tak terjangkau, dan hanya menyadarkan pada posisi mereka, yang bukan
saja terpinggirkan, melainkan disingkirkan.
Situasi-situasi itu, di mana negara abai, saya kira yang
kemudian mewarnai bagaimana sikap keras Ibu Lestari, dalam menghadapi
permasalahan secara sendiri dan mandiri. Ibu Lestari bahkan sampai pada
pernyataan, kepada siapapun yang ingin membantunya, untuk tidak merusuhinya
dengan tetek-mbengek masalah administrasi, dan aturan birokrasi. Jika ingin
membantu, bantu begitu saja. Ibu Lestari ogah direcoki untuk laporan ini-itu
dan sebagainya.
Sebuah sikap yang bukan tanpa alasan. Sekalipun kelak di
kemudian hari, hal ini memunculkan permasalahan baru. Setidaknya, masalah
internal di Yayasan Hamba, yang juga berhadapan dengan jaman yang berubah.
Sebuah tantangan tersendiri dalam apa yang selalu disebut tragedi perubahan.
Namun justeru pada sisi itu, Ibu Lestari adalah sosok yang
unik, otentik, sekaligus problematik. Dan itu menantang saya, untuk menyusuri
jejaknya. Karena itu pula, senang bisa mengikuti ‘misi rahasia’ Ketua Yayasan
Hamba, Ibu Kona’ah Anisasri Melani, menemui anak-anak asuh Ibu Lestari semasa
di Jakarta, dan anak-anak Yayasan Hamba yang kini tinggal di Jakarta.
Dalam film dokumenter sepanjang 75 menit yang saya buat, mengenai
anak-anak asuh Ibu Lestari di Jakarta, antara tahun 1976 – 1995 (yang kemudian
berlanjut di Yogyakarta dari 1995 hingga sekarang, tanpa henti), saya
menjudulinya dengan; Melacak Jejak Cinta di Jakarta.
Menemui anak-anak asuh Ibu Lestari, yang mereka kemudian
beranak dan sebagiannya menitipkan anak (bahkan cucu) mereka pula kepada Ibu
Lestari di Yogya, sungguh dengan jelas hal itu memunculkan sosok Ibu Lestari,
sejatinya. Manusia dengan spirit altruisme yang sangat dalam. Spirit
kemanusiaa.
Ibu Lestari tak suka sama sekali dengan politik. Bahkan
ketika mendapat tawaran untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
ketika hendak memilih jurusan sosial hal itu dibatalkannya. Hanya karena di
Indonesia, fakultas ilmu sosial selalu digabung dengan ilmu politik. Maka dipilihlah kuliah S2 di Asian Social Institute di Manila, Filipina. Karena nama jurusannya
tak mengandung istilah politik. Ibu Lestari mengambil jurusan sosiologi, dengan
tesis tentang anak-anak jalanan di Manila City, dan lulus tahun 1976.
|
Satu pribadi lebih berharga dari seluruh dunia. |
Ibu Lestari lebih berselibat dengan panggilan altar jalanan.
Ia mendapatkan panggilannya, untuk pelayanan dan merawat kaum papa. Mereka yang
terpinggirkan secara kultural dan struktural. Anak-anak yang melarikan diri ke
jalanan, karena kemiskinan ekonomi dan kemiskinan kasih sayang.
Kemiskinan struktural adalah kata kunci, di mana negara pada
waktu itu, tak mampu memenuhi sebagaimana tuntutan Undang-undang Dasar 1945,
khususnya pasal 33. Sebuah situasi yang bahkan pun hingga kini belum beranjak
jauh.
Anak-anak, yang tentu sesungguhnya adalah penerus estafeta
generasi suatu bangsa, selalu menjadi korban, dari sebuah era pemerintahan yang
belum genah-diri.
Mendengarkan penuturan Pak Maman yang kerja mengayak di selokan-selokan
kawasan Senen, Bang Sofyan sang pemulung di daerh Semper, Bu Hartini atau pun ibunya
Dian yang pengupas bawang di Pasar Senen, atau Pak Ruslan di Rusunawa
Jatinegara Kaum, atau juga Sugeng, Bang Pe’i, dan angkatan pertama anak-anak
asuh Ibu Letari, saya seolah dipertontonkan sebuah film; bagaimana cara Tuhan
bekerja melalui para malaikatnya.
Ibu Lestari menyantuni anak-anak, yang umumnya mudah
didapati di kampung-kampung miskin dan kumuh di Jakarta Utara, atau di
daerah-daerah tak jauh dari pangkalan kereta api, bus, atau pun pasar seperti
Pedongkelan, Pasar Minggu, Jatinegara, Srengseng, Senen, Koja, Penjaringan,
Sunter, dan lain sebagainya.
Di Rusunawa Jatinegara, Pak Ruslan dari Pedongkelan, bahkan
mengatakannya pada saya, “Jika tak ada Bu Lestari, anak-anak Pedongkelan itu
tidak bakal kenal sekolah selamanya,…"
Pedongkelan adalah pemukiman liar, yang pada jaman Ahok
mereka digusur dan dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara pada 2017. Sayangnya,
Ahok terlambat datang, karena tak hadir pada saat Ibu Lestari berkiprah di
Jakarta. Sekiranya mereka bertemu, saya kira Ahok akan mengerti, bahwa masalah
manusia bukan sekedar difasilitasi. Tetapi juga dimanusiakan dengan kasih
sayang, dipersiapkan dengan pendidikan dan keterampilan.
Pernyataan seperti yang disampaikan Pak Ruslan, juga disampaikan
Ibu Hartini, atau juga ibunya Dian dan Wiwin. Bagaimana anak-anak, terutama
anak-anak perempuan, akan terus menjadi korban dari situasi yang tak
berkesudahan. Menjadi kaum korban dalam piramida korban manusia.
Salah satu contoh kecil rangkaian cara Tuhan bekerja, saya
kira bisa dilihat pada cerita Monika, yang terjaring ikut program pertukaran
pelajar. Anak yang diasuh di Yayasan Hamba itu, anak seorang penjual kopi
jalanan, mendapat kesempatan gratis untuk pergi ke Kanada dan Eropa. Para
pengasuh Yayasan Hamba pusing mencari alamat orangtua Monika, untuk mengurus
paspor. Ibu Monika tak punya rumah, tinggal di kolong jembatan secara nomaden.
Karena berita anak penjual kopi melanglang dunia menjadi viral di media, akhirnya
Dinas Sosial Jakarta memberi rumah untuk orangtua Monika, di sebuah rusunawa
Jakarta.
Dengan menyekolahkan anak-anak, yang pada mulanya ‘ogah
bersekolah’, karena merasa sia-sia (di samping karena tak mampu membiayai), Ibu
Lestari mengajak mereka beranjak. Menginjak pada satu dataran. Tumbuhnya
kesadaran baru tentang sikap mental, dignity, integrity.
Tidak beranjak dari kata-kata besar, karena ketidaksabaran
untuk mengangkat level atau derajat manusia Indonesia. Ibu Lestari melakukannya.
Dengan diam-diam. Dalam sunyi sendiri.
Cerita Enny Winingsih, salah satu anak asuh Ibu Lestari,
yang bisa kuliah sampai D3 dan bekerja di bank swasta, menohokkan pertanyaan;
Bagaimana nasibnya andai tidak bertemu dengan Mbah Tari, dalam kehidupannya?
Sebagaimana pengakuan Wiwin, anaknya Empok yang tinggal di kontrakan sempit di
Gaplok, tak jauh dari Senen.
Anak-anak asuh Ibu Lestari ini, sering adalah anak-turun,
atau sesaudara. Seperti Pak Maman dan Bang Sofyan, hampir semua anaknya
dititipkan pada Ibu Lestari. Hanya bedanya, Bang Sofyan tak pernah menjadi anak
asuh, sebagaimana Pak Maman yang ikut Ibu Lestari sejak masih umur 10 tahun.
Enny Winingsih, tiga adiknya bersama Ibu Lestari. Demikian juga lainnya seperti
Mega, David kakak dari Monika.
Itu adalah kepercayaan.
Jika pada bagian awal saya menyebutkan tentang betapa
pribadi Ibu Lestari juga problematik, karena betapa tidak mudah menerjemahkan
spirit altruis itu menjadi sesuatu yang nyata, sederhana dan operasional. Ibu
Lestari sangat menekankan kebebasan bagi anak-anak asuhnya, sesuatu yang
menjadi bermasalah untuk anak-anak masa kini.
Ada perbedaan karakter yang sangat menonjol pada anak-anak
asuh Ibu Lestari dalam kurun 40-an tahun perjalanannya. Pada masa-masa awal,
yang direngkuh Ibu Lestari adalah anak-anak jalanan, anak-anak gelandangan,
anak-anak yang melarikan diri dari rumah. Mereka adalah anak-anak yang berani
menantang hidup. Kebebasan adalah sebuah ideologi, sebuah traktat perang,
karena rumah atau orangtua, dan juga sistem nilai, tidak memberi ruang dan
peran bagi anak-anak. Tak ada tempat, tak ada media, tak ada kepercayaan.
Pada masa-masa kemudian, bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi
masyarakat, meski tetap saja belum adil dan merata, namun yang tumbuh kemudian
adalah generasi rumahan, yang mendapatkan perlindungan orangtua secara lebih
berlebihan. Perlindungan dengan proyeksi ke depan, yang belum tentu setepatnya
diterapkan.
Apalagi pada kenyataannya, anak-anak asuh di Yayasan Hamba,
bukan saja sejak kecil, melainkan bahkan sejak dalam kandungan ibunya, sudah
berada di Hamba. Mereka yang dibuang atau terbuang dari keluarga dan
masyarakatnya. Mereka tumbuh sebagai anak asuh hingga mereka dianggap mampu
berdiri-sendiri pada usia dewasa, atau dikembalikan ke orangtunya, ketika
keluarga mereka telah bisa menerimanya kembali.
Di situ saya kira, kata ‘kebebasan’ menjadi bias, karena
berangkat dari formulasi yang berbeda. Kebebasan sebagai frame, kini menjadi
sesuatu yang dilematis. Justru karena ketidakpandaian kita dalam
memformulasikan ukuran kebebasan itu sendiri.
Spirit altruisme Ibu Lestari Projosuto, saya kira menarik
untuk direnungkan dari sisi ini, ketika kita mencoba membandingkan anak-anak
asuhnya, dalam lintas generasi, dari 1976 hingga sekarang ini, pada tahun 2018,
ketika usia Ibu Lestari mencapai 75 tahun, dengan masa pengabdian 42 tahun yang
luar biasa.
|
Mbah Tari di rumahnya yang sederhana. |
Ibu Lestari Projosuto, dari keluarga Katholik yang saleh.
Kakaknya, Franciscus Xaverius Rocharjanta Prajasuta, almarhum, adalah monsinyur
di Keuskupan Banjarmasin. Bahkan Ibu Lestari pernah pula masuk Biara Ordo Sancta Ursula, sambil kuliah di
Sekolah Tinggi Kateketik Katolik di Jl. Gereja Theresia Jakarta.
Seorang manusia yang
sederhana, dengan rumah yang juga sangat sederhana di Samirono, Yogyakarta. Tak
menyimpan kekayaan harta dunia, selain buku, Rosario dan Bunda Maria, disamping
beberapa potong pakaian yang semuanya adalah pemberian saudara dan sahabat.
|
Gedung dan kantor Yayasan Hamba, di kawasan Pakem, bantuan dari teman-teman pribadinya dari Belanda. |
Jika pun Yayasan Hamba
memiliki gedung yang luas dan asri di kawasan Pakem, Kabupaten Sleman, D.I.
Yogyakarta, semua itu karena simpati dan bantuan teman-teman pribadinya di
Belanda. Gedung itu untuk kantor, juga rumah tinggal para pengasuh dan anak
asuh yang kini semuanya berjumlah sekitar 60-an, dari usia beberapa bulan,
kelas TK, SD, SMP hingga SMA. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang
terbuang dari keluarga, atau yang lahir tak dikehendaki.
Saya pernah mendengar, bahwa keberadaan Yayasan Hamba di
Pakem, dicurigai sebagai tempat kristenisasi. Saya sungguh sangat marah mendengar
hal itu. Betapa kefanatikan beragama membuat rasa kemanusiaan justeru mati.
Melacak jejak cinta Ibu Lestari di Jakarta, semua orang akan
mengerti. Bahwa Ibu Lestari adalah pejuang kemanusiaan tanpa pamrih. Tanpa
mempedulikan latar belakang suku dan, apalagi, agama. Pengakuan dari Yanti,
Akim, juga anaknya Bang Pe’i yang muslimah taat, semoga bisa membukakan kepicikan
orang-orang yang mencurigai, apa yang dilakukan Ibu Lestari. Betapa berbahayanya
kepicikan itu.
Seingat saya, tak pernah ada pembicaraan soal agama. Bukan
karena tak penting. Tetapi itu laku peribadatan masing-masing orang dengan
pilihannya. Di Yayasan Hamba, jelas mayoritas adalah Islam, demikian juga
pengurus dan pengasuhnya, di samping agama lainnya seperti Kristen Protestan, Katholik,
juga Buddha. Mereka lebur dalam bahasa agama yang paling hakiki, ialah
kemanusiaan, yang adil dan beradab.
Ibu Lestari adalah manusia biasa. Tapi dia seorang altruis
sebenarnya. Karenanya ia menjadi luar biasa. Lebih karena kita tidak terbiasa,
atau tidak biasa, atau bahkan tidak bisa, melakukan hal-hal yang sebagaimana
telah dilakukannya. Jika saya, atau kami, atau kita, menyebutnya sebagai
malaikat yang menyembunyikan kedua sayapnya; Saya kira agar kaum papa yang
terpinggirkan itu, tidak ketakutan dan curiga, sebagaimana negara menyingkirkan
dan menghardik nasib mereka menjadi pecundang.
Dalam psikologi pecundang, kepada siapa suara mereka
didengarkan, hanyalah pada mereka yang dipercaya dan diharapkan. Maka akan
dibukakan hati dan kesediaannya untuk bersama. Karena mereka bukan sekedar
angka-angka statistik, atau deret ukur dalam nomina anggaran pemerintah. Mereka
adalah manusia.
Betapa kita melihat, ada begitu banyak manusia-manusia
biasa, mengepakkan sayap-sayap malaikat di kedua bahu mereka. Dan betapa justeru
menakutkan. Mencemaskan. Atau lebih jauh lagi, mencurigakan. Karena betapa
palsunya dengan label-label di sekujur tubuh dan kata-kata.
Ibu Lestari menyembunyikan kedua sayapnya, dalam spirit
altruisme. Ia tak ingin anak-anak ketakutan melihatnya, atau bahkan
mencurigainya. Ia sembunyikan kedua sayapnya, di dalam bahasa kemanusiaan yang
nyata, yang membuat perbedaan itu kikis. Pada kenyataannya, lebih banyak yang bersedia
menolong karena merasa berbeda. Bahkan sering dilabeli mantra-mantra, ‘tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah,…’ Begitu pentingkah kata ‘lebih
baik’ itu?
Kata sesama, lebih sering lamis. Sementara Ibu Lestari,
karena sesama maka ia membersama. Melebur dalam jagat cilik dan jagat gedhe
anak-anak asuhnya. Tanpa jarak.
Sentuhan kasih sayangnya, yang terbungkus dalam tubuh kecil kurus
itu, bahkan mampu melumpuhkan seorang bajingan bandel sekelas Mose, atau pun
Robot Gedek yang sohor dulu. Karena bukan hanya menyembunyikan sayap, melainkan
Ibu Lestari menyediakan telinga, juga hatinya, untuk mendengarkan.
Mendengarkan, bagi Ibu Lestari, ialah memanusiakan. Memberi kesempatan.
Terimakasih Ibu Lestari Projosuto, malaikat yang
menyembunyikan sayapnya.
Bersamanya, kita berada
di suatu tempat di mana kita dibolehkan ikut belajar, mengenai kasih sayang,
ketulusan, dan bahasa-bahasa kemanusiaan yang sederhana. Membumi.
Jauh dari kata-kata besar, yang disuci-sucikan, yang
dinyata-nyatakan dalam delusi, glorifikasi, dan megalomania.
Buku kado ultah ini pun, pasti juga akan menjadi masalah
bagi Ibu Lestari, karena di luar perkenannya. Namun alangkah sombongnya kita,
jika tak mau berbagi penghormatan pada manusia baik ini. Agar kita semua boleh
turut serta, belajar kepada kesederhanaan.
Tuhan besertamu, Ibu Lestari Projosuto, sang altruis.
Yogyakarta, 11 Mei 2018
Sunardian Wirodono, volunteer Hamba.
MALAIKAT
YANG MENYEMBUNYIKAN SAYAPNYA
| Pernah mendengar dongeng bidadari
bernama Nawang Wulan, yang tak bisa kembali ke kahyangan, karena ulah
Jaka Tarub? Ini kisah tentang bukan sekedar bidadari (yang dalam dongeng
selalu hanya sebagai sosialita, dan tak pernah membawa misi sosial
nyata). Ini kisah nyata tentang malaikat yang menyembunyikan kedua
sayapnya. Kisah Ibu Lestari Projosuto, atau Maria Immaculata Roch Endah
Lestari Prajasuta, yang lebih dikenal di kalangan anak jalanan dengan
sebutan Bu Tari, Mbah Tari, atau Eyang Tari, yang lahir di Klaten, 11
Mei 75 tahun silam.
Kemarin malam kami merayakan ultahnya, juga
mengenang 42 tahun lebih perjalanan cintanya kepada orang-orang papa,
mereka yang terpinggirkan dan tersingkirkan. Ibu Tari adalah ibu para
gelandangan dan anak-anak jalanan Jakarta, pada dekade 70-an. Bagi kami,
saya dan teman-teman, Ibu Tari adalah sosok yang menguatkan, dan
mengingatkan bukan dengan kata-kata. Yang meneguhkan untuk meyakini,
bahwa ada kebenaran dan keadilan, sekali pun itu mesti harus
diperjuangkan.
Tahun 1976 lulus S2 dengan tesis mengenai
anak-anak jalanan di Manila (Asian Social Institute, Filipina), Ibu Tari
kembali ke Indonesia. Meneruskan apa yang sudah dilakukan sebelum
akhirnya melepaskan kaul, dari Biara Ordo Ursulin Bidang Pelayanan yang
dijalani selama 17 tahun. Alasannya sangat sederhana; “Saya keluar dari
biara Ursulin karena tidak enact dengan teman-teman. Hampir setiap hari
saya baru bisa pulang ke biara pukul 23.00 atau 24.00, sementara
teman-teman lainnya sedang doa bersama. Kesibukan saya mengurus para
gelandandan dan anak-anak jalanan membuat saya tidak bisa mengikuti
kegiatan di komunitas seperti teman-teman lainnya. Daripada mengganggu
ketenteraman komunitas lebih baik saya mundur,…”
Ketika ke
Jakarta menemui beberapa mantan anak asuh Ibu, saya mendengar banyak
pengakuan, bagaimana seandainya anak-anak itu tidak disambangi Ibu.
Anak-anak di daerah Pangkalan Asem, Sunter, Srengseng, Jatinegara,
Gaplok, Senen, Pademangan, Kampung Sawah, Pedongkelan. Nama Ibu Tari
yang lebih mereka kenali, daripada para jagoan media yang kemudian
banyak disebut. Hampir nama-nama sohor anak-anak jalanan legendaris pada
70-an, adalah anak-anak yang mengenal Ibu Tari. Termasuk Robot Gedek
yang mulia itu, juga Musa yang bisa menebas tangan orang dengan samurai,
tetapi luluh dalam pangkuan Ibu Tari. Juga bagaimana semua anak-anak
jalanan yang ditangkep laler ijo, selalu menyebut nama sebagai Sugeng
binti Lestari, Maman binti Lestari, Musa binti Lestari,…
Tahun
1995, Ibu Tari memboyong anak-anak, terutama yang puteri, dari Jakarta
ke Yogyakarta. Hingga kemudian beliau mendirikan Yayasan Hamba, untuk
anak-anak yang kehadirannya ditolak keluarga dan lingkungan. Anak-anak
yang dibuang, bahkan oleh keluarga dan ibunya sendiri. Beberapa bersama
di Hamba sejak bayi, hingga mereka dewasa dan bisa kuliah, kemudian
bekerja di tempat-tempat terhormat. Mereka anak-anak keluarga miskin,
meski satu-dua ada anak orang kaya dan terhormat, yang entah kenapa
tiba-tiba hamil.
Setelah acara formal dengan para undangan
selesai, kami anak-anak Mbah Tari, yang datang dari Jakarta, Solo,
Manado, Kudus, dari angkatan Amalia 1976 hingga HaMba 2017, membuat
lingkaran bersama Ibu Tari. Malam dingin larut di lereng Merapi semalam,
kami semua tercekat, ketika Ibu Tari menutup acara dengan
kalimat-kalimat pendek. Semua terdiam. Ibu Tari hanya lebih banyak
mengucapkan terimakasih, bahkan kepada rerumputan yang menjadi alas
kami. Semua menunduk, tak berani menatap mata Ibu yang berkaca-kaca.
Kami pun berkaca-kaca. Selalu ada manusia yang begitu hebat, tidak dalam
kata-kata, tetapi justeru lebih karena keberaniannya, pengorbanannya.
Para pengabdi kemanusiaan yang membuat kutbah-kutbah agama menjadi
begitu kerdil.
Bukan para maling dan koruptor, apalagi mantan
militer macam Prabowo yang membuat kami gentar. Tetapi hilangnya rasa
kemanusiaan dan nalar keadilan, membuat kami sering hanya bisa menangis
di hadapan Ibu. Kami kadang tak sabar, melihat Ibu yang tidak taktis,
tidak strategis. Karena ada begitu banyak pahlawan kesiangan, atau
bahkan sebenarnya penjahat pecundang, yang disubya-subya media sebagai
malaikat.
Kemarin kami sungguh sedih tak bisa berbuat apa-apa.
Kami membuat buku kenangan untuk Ibu Tari, tapi hanya hanya bisa
mencetak dua eksemplar buku untuk beliau. Kami ngotot untuk menuliskan
buku itu, meski Bu Tari pasti akan menolaknya. Tetapi, bagi kami, adalah
dosa besar membiarkan semua itu lewat tak tercatat. Moga-moga ada
malaikat lain membantu mengujudkannya.
Ini tentang kristenisasi,
atau katholikisasi? Bukan. Anak-anak Bu Tari sangat beragam, dan yang
terbanyak tetaplah anak-anak keluarga miskin dari kalangan muslim. Dalam
penelusuran beberapa waktu lalu di Jakarta, saya tahu anak-anak yang
kebanyakan berjilbab, sangat merasakan ketulusan Bu Tari, malaikat
mereka. Bahkan, secara mengejutkan, kami semacam mendapat jaminan dari
Bang Rodjak, salah satu keponakan Abah Ba'asyir dari Ngruki, yang bisa
menurunkan ratusan orang untuk membela Bu Tari, yang sedang dalam teror
rekanan kerjanya dulu dari Jakarta soal tanah yayasan.
Terimakasih Ibu, malaikat yang menyembunyikan sayapnya, lebih karena
agar orang-orang papa tidak ketakutan, melihat keagungan-keagungan yang
semakin semu, yang semakin dinyatakan tetapi semakin hambar. Ibu
Lestari, kekasih kaum papa, di mana semoga tuhan masih sudi tinggal
bersama, dengan segala hormat. @sunardian
FUNDRISING PENERBITAN BUKU ‘MALAIKAT YANG
MENYEMBUNYIKAN SAYAPNYA’ | Untuk mendokumentasikan karya kemanusiaan Ibu
Lestari Projosuto (75) yang semula concern pada anak-anak jalanan (1970-an) dan
kini lebih berfokus pada anak-anak yang sejak kelahirannya ditolak oleh
keluarga dan bahkan oleh ibunya, dan untuk menginspirasi serta memotivasi para
pengabdi dan penggiat sosial, kami akan mencetak
buku ‘Malaikat yang Menyembunyikan Sayapnya’, ukuran 17,5 x 25 cm.,
full-collour, 117 halaman, ditulis oleh Sunardian Wirodono dan Nusya Kuswantin, dengan biaya cetak sebesar Rp 17.000.000 (tujuhbelas
juta rupiah) sebanyak 500 eksemplaar. Bagi yang berkenan membantu pencetakan
buku tersebut, bisa mengirimkan bantuannya secara sukarela ke rekening
Sunardian Wirodono, BCA No. 0373042223 dan mohon dituliskan dalam berita
transfer; Buku Lestari. Sertakan nama dan alamat Anda selengkapnya beserta bukti
transfer tersebut ke WA No. 081393979400, untuk ke mana bukti buku akan saya
kirimkan sebanyak 2 (dua) eksp untuk masing-masing donatur. Buku akan kami
luncurkan ke masyarakat luas, bersamaan kegiatan Yayasan Hamba pada bulan
Agustus 2018.