Pertama kali masuk kerja di dunia televisi, di Indosiar tepatnya, saya
benar-benar sama sekali tidak tahu, jenis pekerjaan apa kiranya yang
hendak dilakukan.
Hilman Hariwijaya waktu itu hanya memberi gambaran
sebagaimana kerja di media penerbitan (cetak). Dan saya percaya karena
si pengarang Lupus itu yang merekrut saya. Saya agak tenang, karena
media cetak bukan dunia asing. Sejak dari Yogyakarta hingga hijrah ke
Jakarta (1980) saya bergelut di dunia itu. Bukan dari reporter, tapi
justeru pertama menjadi redaktur, dan berpindah-pindah baik sebagai
reporter, redaktur, hingga stringer dan freelance.
Tapi televisi?
Memang sama sekali buta. Beruntunglah karena Indosiar waktu itu
mempersiapkan dengan baik. Hampir setahun (1994) kami dididik dan
dilatih oleh tenaga-tenaga profesional dari TVB Hong Kong yang merupakan
bagian dari Star TV London. Karena Indosiar bukan saja hendak menjadi
stasiun penyiaran melainkan juga broadcasting production. Semua program
acara adalah produksi sendiri. Mulai dari sinetron, talkshow,
infotainment, news, hingga Indosiar menjadi stasiun pertama yang juga
mengadopsi berbagai kesenian tradisi menjadi mata acaranya. Sistem
produksi sendiri itu, yang kemudian dibajak habis oleh Ishadi SK dengan
juga memboyong anak-anak Indosiar yang sudah terdidik dan terlatih,
untuk membangun Trans TV (tanpa perlu keluar biaya pendidikan).
Setahun digojlog di daerah Rawamangun yang sumpeg, sampai frustrasi
rasanya. Bukan karena digojlog oleh profesional Hong Kong yang notabene
TKA dan China pula, tapi karena menjadi tidak sabar ingin segera siaran.
Karena kerja di televisi tapi setahunan tak ada outputnya. Tiap hari
hanya melakukan try-out dan pendadaran tak habis-habis baik dari sejak
konsep hingga post-production, dan terutama team-work serta manajemen
produksi. Ini sesuatu yang baru karena hampir kebanyakan kami dulunya
adalah pekerja individu, dengan otoritas yang relatif penuh.
Tapi
dari itulah, sembari menunggu gedung Indosiar di daerah Daan Mogot siap,
kami (setidaknya saya) merasa siap untuk bekerja. Karena kita bukan
saja merasakan apa itu transfer of technologie, tetapi lebih dari itu
adalah transfer of knowledge, sampai faham betul bahwa setiap teknologi
mempunyai karakter dan filosofinya sendiri.
Sampai ketika bertemu
dengan seorang reporter NHK di Jakarta, yang menawari saya sebagai
stringer untuk 'Asian Programme", saya menolaknya karena merasa belum
cukup dengan ilmu dan pengetahuan saya. Saya merasa berada dalam situasi
yang menyenangkan, karena belajar dari yang lebih ahli dan
berpengalaman, dan merasa sayang jika ditinggalkan.
Tapi bukan tanpa
masalah, masuknya beberapa nama besar (seniman individu) di Indosiar,
dan beberapa orang (yang sudah) tua dan senior di pertelevisian
Indonesia, bereaksi. Isyunya sudah sangat rasis dengan ujung keyakinan;
Ngapain kita didikte orang-orang China itu, sementara kita sendiri bisa
melakukannya!
Ketika Indosiar sudah pindah ke Daan Mogot dan mulai
siaran, terjadilah konflik yang kami khawatirkan. Permasalahan tenaga
kerja (profesional) asing itu meledak ke permukaan, hingga sempat
dilaporkan ke DPR-RI segala. Kita tidak tahu konteksnya, dan kita tahu
akhirnya apalagi Indosiar diketahui umum adalah milik Liem Soei Liong.
Hingga akhirnya, para profesional dari Hong Kong itupun disudahi kontrak
kerjanya. Padahal jumlah mereka, tidak lebih dari 15 orang yang tentu
tak sebanding dengan kami yang mencapai 800-an orang di segala lini,
administrasi, produksi dan teknis.
Ketika menyiapkan produksi
sinetron untuk menyambut 50 Tahun Indonesia merdeka (1995), saya
dipercaya memimpin persiapan dengan tim produksi drama (sinetron)
perjuangan. Tim sutradara, tim penulis, dipilih untuk membuat disain
program. Rapat berlangsung hampir sehari-semalam, sejak pagi hingga
sore, dua kali break, tak ada keputusan. Dilanjutkan malam hari, tapi
akhirnya tetap tanpa keputusan. Kenapa? Karena satu kepala tak hanya
berangkat dari satu ide, semuanya ngotot idenya paling benar dan susah
mendengarkan pendapat orang lain.
Kami waktu itu yang muda-muda,
frustrasi karena tak bisa mempraktikkan pengetahuan kami tentang
bagaimana membangun tim. Egosentrisme yang besar mengalahkan sistem yang
hendak dibangun, hingga proyek itu gagal. Bukan karena tidak
menghasilkan output, tapi ketika sampai proposal produksi, hambatan lain
muncul. Disain cerita yang kami sodorkan ditolak mentah-mentah pengawas
siaran internal, yang waktu itu semua stasiun televisi punya, biasanya
adalah perwira tinggi TNI-AD. Ini masih jamannya Soeharto, Bung!
Saya masih ingat kata-kata pati TNI (yang sekarang aktif di sebuah
partai politik) itu; Cerita yang hendak kami angkat, dituding menghina
sejarah. Padahal kami melakukan riset pustaka dan mewawancarai puluhan
saksi hidup dan pelaku perjuangan kemerdekaan 1945. Waktu itu,
disemangati film Tom Hanks "Forrest Gump", kami memang menyodorkan tesis
anti-hero. Ingin membuat cerita perjuangan yang tak hanya berisi bambu
runcing dan teriakan Allahu Akbar yang selalu memenangkan perang
(padahal faktanya tidak selalu seperti itu).
Tapi, saya sangat
berterimakasih pada para instruktur kami dari Hong Kong itu, yang juga
mengajari kami 'i love writing i hate rating'. Meski kami belum bisa
melakukan perubahan, karena industri televisi di Indonesia juga belum
tumbuh dengan baik dan benar. Bajak-membajak masih terjadi, karena
perputaran uang di dalamnya bukan main besarnya, juga yang digelapkan.