Setelah pilpres Juli 2014, perdebatan kita masih saja
sama. Seolah kita tak mau tahu, bahwa sejak Oktober 2014, Republik Indonesia
telah mempunyai presiden baru dengan masa jabatan hingga 2019.
Alih-alih hingga lima tahun ke depan, belum juga enam
bulan, kini bahkan santer terdengar upaya untuk menggulingkannya. Mei bulan
depan, ada yang mengancam mahasiswa akan turun ke jalan lebih hebat dari Mei
1998. Sri Bintang Pamungkas, bak pahlawan 1998 yang bangun tidur kesiangan,
meneriakkan revolusi. Revolusi dari Hong Kong?
Ada apa gerangan? Rasanya itu hanya keriuhan media, dan
kegenitan medsos. Di media, seperti media televisi bernama TV-One, atau berbagai
media online yang tak sudi menampilkan siapa redaktur dan di mana alamatnya,
hiruk-pikuk politik bahkan bercampur dengan persoalan agama dan tuhan. Bahkan,
muncul isyu lama yang digoreng ulang soal Jokowi yang keturunan Cina dan
komunis (tapi senyampang itu juga masih pula dituding agen Yahudi, Kristen,
liberal, sosialis, dan sebagainya,… jika perlu agen pulsa dan air gallon).
Tampak bahwa persoalan kita kini tetap saja, meski kini
konfigurasinya sedikit berubah. Yakni kini isyu-isyu media lebih dikuasai
Jokowi-Hater versus Bukan-Jokowi-Lover. Apa bedanya? Jokowi-Hater mungkin pembenci
Jokowi sejak mula-kala, tetapi Bukan-Jokowi-Lover adalah pecahan baru dari
Prabowo Lover, PKS, para mantan pencinta Jokowi yang kecewa, atau pun pendatang
baru dari kubu JK, PDIP, Nasdem, dan para petualang politik yang mengajuk-ajuk
pada mahasiswa agar turun ke jalan.
Apa pasal? Tudingan pada pemerintahan Jokowi pun
cem-macem, meski tak ada kebaruan di sana. Yang semuanya itu tentu adalah
tafsir. Namun hanya orang bodohlah yang menyembah tafsir tunggal dalam politik,
sementara pada kitab-kitab suci dan kitab-kitab hukum, orang bisa berdebat
hebat dengan tafsir.
Para pengamat, politikus, anggota parlemen, fesbuker, di
negeri liberal ini bebas dengan segala tafsirnya. Dan tafsir boleh dilakukan
dengan alasan dan logika paling ngawur sekalipun, tak jauh beda dengan
meluncaskan kemarahan. Dan kata Aristoteles, marah itu hal paling gampang. Tapi
marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang
tepat, serta dengan cara yang benar, itu yang sulit kata sang filsuf.
Kita menutup mata pada prestasi Jokowi yang mampu
meningkatkan anggaran infrastruktur Indonesia Rp. 290 triliun (meningkat 41
persen dari tahun lalu) dengan pengurangan subsidi BBM yang signifikan
turun drastis. Baru pada Jokowi APBN-P terbebaskan dari sandera subsidi BBM,
yang sementara ini dinikmati oleh siapa? Jawablah dengan jujur, rakyat miskin
atau orang kaya dengan para elite dan para pemain ekspor migas? Penghematan itu
kemudian dialihkan pada dana anggaran infrastruktur yang jauh lebih terasa adil,
dibandingkan subsidi BBM yang gampang dimanipulasi angka-angkanya.
Demikian juga pemerintahan Jokowi diam-diam mampu
membebaskan diri dari jebakan betmen yang dimainkan para pialang
the-six-million-dollar-man, hingga Negara tak perlu menggelontorkan uang untuk
para spekulan, yang melakukan buy-back atas dollar mereka sendiri. Bayangkan
jika pemerintah menggelontorkan rupiah pada bank-bank yang lebih banyak
dikuasai asing. Siapa yang untung dengan alasan untuk penguatan rupiah itu?
Bukan rakyat jelata, tapi hanya segelintir para petualang dollar.
Bangsa yang nasionalismenya hancur, adalah sasaran empuk
untuk dirusak bangsa lain, demikian kata Muammar Khadafi. Dan kita adalah
bangsa yang tak pernah mengetahui apa agenda masa depan untuk kejayaan bangsa
dan Negara kita. Selalu ribut sebagaimana anjing-anjing geladak berebut tulang,
sementara kerja belum apa-apa.
Jangkauan kita hanya pendek, demi personalitas. Demi
Prabowo, demi PKS, demi JK, demi Megawati, demi Jokowi, demi Amien Rais, demi
Sri Bintang, demi Yusril Ihsa Mahendra, demi KAHMI, demi KAMMI, demi Wahabi,
demi HTI, demi Arifin Ilham, demi FPI, demi kantong dan perut sendiri,…
Mengapa kita tak bisa berdemokrasi secara proporsional?
Karena alasan kecewa? Apa itu kekecewaan? Apa ukurannya jika itu hanya tafsir,
atau bahkan hanya hasrat dan syahwat politik semata? Apakah dikira situasinya
tidak akan menjadi lebih buruk? Apakah para akademisi bayaran dan partisan
mengetahui akibatnya?
Pertanyaan usang terpaksa kita ajukan, mengapa dalam pilpres 2014 kita membiarkan semuanya terjadi, hingga hanya ada Jokowi versus Prabowo? Mengapa Partai Demokrat dan Partai Golkar yang berpeluang memunculkan capres ke-tiga tidak berani mengajukan nama lain? Jika hanya Jokowi dan Prabowo yang menjadi capres, siapa yang salah ketika (apakah) Jokowi atau Prabowo yang kemudian akan menjadi presiden?
Di mana nama-nama yang kini (tiba-tiba) muncul atas nama kekecewaan, menyodorkan nama atau pilihan yang lain? Musuh yang menghalalkan cara untuk memenangkan pertandingan (di luar ring pertandingan), adalah musuh peradaban. Dan mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya, kata George Santayana.
Pertanyaan usang terpaksa kita ajukan, mengapa dalam pilpres 2014 kita membiarkan semuanya terjadi, hingga hanya ada Jokowi versus Prabowo? Mengapa Partai Demokrat dan Partai Golkar yang berpeluang memunculkan capres ke-tiga tidak berani mengajukan nama lain? Jika hanya Jokowi dan Prabowo yang menjadi capres, siapa yang salah ketika (apakah) Jokowi atau Prabowo yang kemudian akan menjadi presiden?
Di mana nama-nama yang kini (tiba-tiba) muncul atas nama kekecewaan, menyodorkan nama atau pilihan yang lain? Musuh yang menghalalkan cara untuk memenangkan pertandingan (di luar ring pertandingan), adalah musuh peradaban. Dan mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya, kata George Santayana.
Songsonglah 2019 dengan gagah-berani, bukan sekedar
menjadi penggunting dalam lipatan, karena tak berani bertarung secara baik dan
benar.
Bukan hanya karena UU Politik dan sistem ketatanegaraan
kita, namun di mana pun pemerintahan yang gagal menyediakan pangan buat
rakyatnya akan jatuh dengan mudah, kata antropolog Nusya Kuswantin.
Tapi pemerintahan yang digoyang dengan rumors media
online gratisan (dan abal-abal), hanya memberi kepuasan libido recehan pada
para petualangan, yang sibuk menawarkan proposal revolusi rakyat, dan akan hangus
dalam diskusi-diskusi yang kalap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar