Masih
bermimpi menjatuhkan presiden Jokowi? Setelah penggalangan opini politik, isyu
nasionalisme melalui jalur moneter dengan menumpang melemahnya rupiah,
tampaknya juga akan kandas.
Saya bukan ahli ekonomi, namun membaca tulisan Erizeli
Bandaro, yang memahami masalah perbankan dan moneter, membuat kita (setidaknya saya) bisa memahami
masalah sedikit lebih baik. Setidaknya pula, tidak asal ngawur mempertontonkan ketidaktahuan kita
dengan bangga di media sosmed, yang agaknya untuk beberapa pribadi menjadi
pembomed (pembodohan via media).
Saya coba susun ulang
berdasar tiga tulisan Erizeli Bandaro tanpa mengubah substansinya:
Menurut data riset, dari total kredit
sektor perbankan sebesar Rp 3.045,51 triliun (Juli 2013), 30%-nya atau Rp. 1000
Triliun, disalurkan pada perusahaan publik (emiten) yang jumlahnya 479. Ingat,
hanya 479 perusahaan menguasai 30% sumber dana permodalan nasional lewat system
perbankan.
Bagaimana kualitas pemberian kredit
ke sektor tradable, yakni sektor yang dapat menghasilkan devisa (baik dari jasa
maupun barang) dan dapat meningkatkan standar hidup masyarakat yang bedampak
langsung kepada penyerapan angkatan kerja)? Hanya sekitar 25%.
Artinya sebagian besar kredit perbankan
disalurkan ke sektor non-tradable atau yang tidak berdampak kepada penyerapan
angkatan kerja secara tetap (hanya musiman, seperti property dan konsumsi
produk impor). Karenanya, selama 10 tahun belakangan (pada jaman SBY), kita
menciptakan ekonomi balon. Membesar tapi tak ada isi. Kemakmuran semu.
Bagaimana peran perbankan nasional
terhadap masayarakat bawah? Walau Bank Indonesia membuat ketentuan minimum 20%
dana perbankan harus disalurkan untuk kredit usaha kecil, tapi belum sepenuhnya
tercapai, dan sebagian besar kredit konsumsi, bukan produksi.
Padahal Jumlah UMKN saat ini, mencapai
56,5 juta unit, dengan 98,9 persen adalah usaha mikro, dan jumlah koperasi di
Indonesia mencapai 200.808 unit.
Apakah perbankan kita melaksanakan
fungsi sebagai agent of development?
Pastinya; tidak.
Perbankan kita bukan problem solving
terhadap melemahnya sektor riel, tapi justru sebagai trouble maker. Mengapa?
Karena lebih dari 50% saham perbankan kita dikuasai oleh Asing. Artinya lebih
Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun, dikuasai asing.
Bagaimana kita bisa berharap mereka membela kepentingan nasional, dan peduli
kepada program wong cilik?
Melemahnya rupiah terhadap dollar, akan
berdampak terhadap bank yang portfollio kreditnya sebagian besar kepada debitur
sektor non-trabable. Sama dengan jatuhnya perbankan di Amerika yang terjebak
dengan kredit non-trabable.
Kadang bila system keuangan nasional tidak
bekerja untuk keadilan sosial, maka diperlukan cara cerdas untuk
memperbaikinya. Cara ini, sangat keras dan pahit dirasa bagi orang yang sudah
menikmati kenyaman dari cara-cara yang tidak adil.
Bagaimana pun, Bank BUMN tetap kuat,
karena ada Rp. 300 Triliun dana fiscal parkir di bank BUMN untuk disalurkan. Ini
likuiditas yang murah dan mampu membuat mereka bertahan di tengah badai.
Dan asing, atau afiliasi asing di
sektor perbankan, siap-siap tambah modal untuk selamat dari hit kurs melemah,
atau mereka keluar (ada banyak pengusaha swasta nasional yang mau ambil alih
bank mereka).
Anda mungkin tidak percaya, bahwa 52 % pangsa pasar
asuransi dan reinsurance dikuasai oleh hanya 6 (enam) perusahaan asuransi
Asing; yaitu Prudential, Manulife, AXA Mandiri, Allianz Life Indonesia, PT
Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG, serta PT AIA Financial. Ini melibatkan turn over
sales sebesar USD 6 miliar atau Rp. 56 triliun.
Dari Rp. 189 Triliun dana yang ditempatkan di dalam
Reksadana, melalui manajer investasi , Rp. 112 Trilun atau 60% dikuasai hanya
oleh tiga perusahaan sekuritas Asing; yaitu PT
Schroder Investment Management, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, dan PT
BNP Paribas Investment Partners.
Bila tahun 2008 perbankan nasional hanya 48% dikuasai
asing, maka pada tahun 2013, asing telah menguasai diatas 50%. Artinya lebih Rp
1.551 triliun dari total aset perbankan (Rp 3.065 triliun) dikuasai asing. Akan
bertambah lebih besar lagi bila proses pengambilalihan Danamon oleh DBS Holding
(Singapura) dan Bank Mestika oleh RHB Capital asal Malaysia selesai.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp 15.000 per dollar AS
akan menghantam permodalan lima bank nasional. Penyataan tersebut
didasarkan pada hasil stress test yang dilakukan OJK terhadap perbankan di
Indonesia, Karena itu OJK sudah memanggil manajemen bank yang kinerjanya
berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah. Namun secara keseluruhan, keadaan perbankan
nasional masih sehat.
Membaca berita tersebut, sangat
menggelikan. Mengapa? Karena sudah bisa ditebak, bahwa kondisi perbankan
nasional kita sangat rentan dengan gejolak mata uang akibat dari faktor
eksternal.
Perbankan kita masih tertinggal dari
Negara ASEAN apalagi dengan Negara maju. Berturut tiga bank besar ASEAN adalah
milik Singapura, yaitu DBS (bermodal US$ 26,5 miliar), UOB (US$ 19,2 miliar),
dan OCBC (US$ 18 miliar). Pada sisi kapitalisasi pasar, bank terbesar di ASEAN
adalah DBS (dengan nilai US$ 33,1 miliar) dan diikuti oleh OCBC (US$ 27,7
miliar). Termasuk dari sisi aset, 3 bank Singapura ini pula menempati 3 besar
di ASEAN, yaitu DBS (dengan aset US$ 318,4 miliar), OCBC (US$ 268,1 miliar),
dan UOB (US$ 225,2 miliar). Perbankan Indonesia, hanya 3 bank yang masuk
listing 15 Bank di ASEAN; yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan
Bank Central Asia (BCA). Dari sisi permodalan, Bank Mandiri peringkat (8) modal
US$ 7,3 miliar, diikuti BRI (10) modal US$ 6,5 miliar, dan BCA (13) modal US$
5,3 miliar. Bahkan gabungan ketiga bank ini, masih di bawah modal DBS.
Berkaitan dengan kapitalisasi pasar,
BCA peringkat (6) senilai US$ 19,4 miliar, diikuti Bank Mandiri (8) senilai US$
15,1 miliar, kemudian BRI (10) dengan nilai US$ 14,7 miliar. Jadi memang perbankan Indonesia belum
terlalu kuat sebagai penyangga perekeonomian nasional, dengan APBN Rp.2000
triliun dan GNP mendekati USD 500 miliar.
Dengan kenyataan itu, Indonesia
terlalu kuat untuk bisa jatuh (too big to fail), hanya karena melemahnya rupiah
sebagai akibat faktor eksternal. Mengapa? Ada tujuh sendi kekuatan (points of
strength) yang membuat perekonomian Indonesia terlalu kuat.
Pertama, jumlah penduduk yang besar (sekitar 240 juta
jiwa), merupakan pasar yang menarik bagi para pelaku usaha. Kedua, sumber daya
alam yang berlimpah di sektor pertanian dan pertambangan. Ketiga, Indonesia
memiliki bonus demografi hingga 20-30 tahun ke
depan, di mana sekitar 50 persen dari jumlah penduduk adalah kelompok usia
produktif, yang akan merupakan engine of economy growth.
Keempat, cadangan devisa yang besar, di mana Indonesia
bisa merespons setiap perubahan lingkungan, baik eksternal dan internal, secara
cepat. Dalam hal ini, pemerintah dan Bank Indonesia mempunyai crisis management
protocol sebagai tindakan pencegahan krisis. Kelima, Indonesia memiliki Bank
BUMN yang sehat dengan daya tahan yang kuat. Dengan kondisi yang demikian baik,
perbankan pun dipandang mampu menghadapi gejolak yang ada.
Keenam, Indonesia memiliki kestabilan politik, karena
didukung oleh sistem politik yang demokratis (jika pun masih sering muncul
gejolak politik, setidaknya masih under-controll, sw). Ketujuh, kekuatan
ekonomi Indonesia terletak pada capaian peringkat layak investasi dari sejumlah
lembaga pemeringkat internasional.
Sesungguhnya, dengan melemahnya rupiah,
sekarang ini, adalah moment yang tepat untuk terjadinya konsolidasi perbankan
nasional, dan re-orientasi visi dari komersial semata, menjadi agent of development, mitra tangguh
pemerintah untuk mencitptakan keadilan sosial. Berubah dengan cara yang benar.
Financial resource domestik dikuasai asing mayoritas, dan
mereka inilah trouble maker yang menjadi pemeras terhormat melalui pasar uang.
Pemain pasar percaya tentang historical data sebagai
dasar mengambil posisi investasi. Mereka semua paham, apabila terjadi pelemahan
rupiah sekian, maka BI akan melakukan intervensi sekian, dan sekian pula mereka
mendulang laba. Ini aksi profit taking. yang berulang dan berulang. Menikmati
laba dengan hanya menciptakan situasi terkondisikan.
Itulah asing. Dan sekarang, semua mereka meradang marah
dengan segala umpatan, karena Pemerintah tidak melakukan hal yang sama seperti sebelumnya
(jaman pemerintahan SBY). Dan yang lebih marah lagi, adalah ketika pemerintah
dan BI kelihatan tidak peduli. Para trader hopeless, meski mereka tetap
berharap miracle, agar kekuatan pressure group yang dibayarnya (entah siapa,
bisa para professional, ahli, politikus, atau medsos abal-abal, sw), mampu mengubah
kebijakan Jokowi. Tapi semakin lama, agaknya semakin hilang harapan. Dan
tinggal tunggu timing untuk cut loss!
Demikian tulisan Erizeli Bandaro, yang bisa kita pakai
untuk bahan diskusi yang proporsional. Kita akan lihat dalam rapat antara DPR dan Pemerintah mendatang, soal
melemahnya rupiah ini. Apakah wakil rakyat kita itu akan membela kepentingan
rakyat, dan kepentingan nasional, atau hanya akan menjadi juru bicara
kepentingan asing, dengan retorika nasionalisme yang dogol?
Belum lagi
celometan para cocomeo di berbagai media sosmed, dan media abal-abal, yang
mengalihkan persoalan sebenarnya. Atau justeru mereka sedang memamerkan
ketidaktahuannya, hingga dengan suka-rela justeru menguntungan kekuatan asing
dan para kompradornya.
Apa yang dikawatirkan? Saatnya kerja
keras. Cara yang termudah, misalnya, tarik uang Anda di bank-bank yang
dikuasai asing itu, dan tanam di bank-bank BUMN milik kita sendiri. Sangat
sederhana, tapi dibutuhkan kerelaan berubah, kecerdasan menguasai masalah, dan
kehendak untuk tidak kebanyakan berdebat supaya sok gagah.
Itu misalnya lho, jangan dibaca secara verbal dan seolah satu-satunya. Tentu saja banyak sekali cara sebagaimana sering disampaikan oleh para ahli ekonomi kita. Dan di Indonesia ini, orang pintar banyak sekali. Yang kurang, adalah orang yang punya integritas,... *
* Kata-kata terakhir itu saya kutip dari Andri Rizky Putra (24). Bukan seorang ustadz atau elite polisik Indonesia. Tetapi beliau adalah seorang sarjana hukum lulusan cum laude UI, yang menempuh S1-nya selama 3 tahun (diwisuda ketika umur 20), yang sebelumnya adalah lulusan Kejar Paket C selama 1 tahun karena memilih keluar dari sekolah formal, dan waktu SMP sudah berani protes pelaksanaan UN yang korup, dan melapor ke berbagai lembaga seperti ICW, KPK, Polisi, dan sebagainya, tapi tidak ditanggapi.
It is time to change or never.
Itu misalnya lho, jangan dibaca secara verbal dan seolah satu-satunya. Tentu saja banyak sekali cara sebagaimana sering disampaikan oleh para ahli ekonomi kita. Dan di Indonesia ini, orang pintar banyak sekali. Yang kurang, adalah orang yang punya integritas,... *
* Kata-kata terakhir itu saya kutip dari Andri Rizky Putra (24). Bukan seorang ustadz atau elite polisik Indonesia. Tetapi beliau adalah seorang sarjana hukum lulusan cum laude UI, yang menempuh S1-nya selama 3 tahun (diwisuda ketika umur 20), yang sebelumnya adalah lulusan Kejar Paket C selama 1 tahun karena memilih keluar dari sekolah formal, dan waktu SMP sudah berani protes pelaksanaan UN yang korup, dan melapor ke berbagai lembaga seperti ICW, KPK, Polisi, dan sebagainya, tapi tidak ditanggapi.
It is time to change or never.
berapa prosen rakyat indonesia yang simpan di bank dan perusahaan2 asuransi asing? itu kan hanya konglomerat dan gol.ekonomi menengah ke atas om Sunardian, rakyat kita jumlahnya 250 juta yang sebagian besar masih di bawah garis kemiskinan dan banyak yg tidak ngerti simpan uang/modalnya di bank apalagi ikut asuransi,,,hehe tidak sederhana gitu mas utk memperbaiki kurs rupiah banyak sekali strategi ekonomi yg perlu dilaksanakan pemerintah misalnya kebijakan fiskal,pajak, peningkatan ekspor menurunkan impor dan banyak sekali lainnya bukan hanya narik uang gitu mas. hehe
BalasHapusOh, iya tentu, tidak sesederhana contoh kecil itu, karena untuk contoh kecil itu pun kita pasti juga akan berdebat. Saya bukan ahli ekonomi, mohon maaf. Tulisan di medsos, sepalagi lewat blog, tentu saja lebih banyak ditujukan untuk para pengguna medsos (di Indonesia yang menggunakan internet terdata mutakhir sebanyak 73 juta, dan 80an persen lebih untuk tema-tema yang bersifat reaktif dan temporer. Sementara itu, seperti tulis Anda sendiri, 250 juta sebagian besar masih dibawah garis kemiskinan, artinya tak berkait dengan dollar meski mungkin akan terkena dampak. Tapi saudara-saudara saya di desa yang tak terhubung dengan bank, tak terhubung dengan berbagai produk bertarif dollar, mereka tak terkena imbas melemahnya rupiah. Malah para pengrajin tembikar di desa Pundong dan Kasongan (Bantul, DIY), bisa merasa beruntung karena melemahnya rupiah. Jadi gimana dong? Saya setuju pendapat Anda, untuk memperbaiki kurs rupiah perlu banyak sekali strategi ekonomi, misalnya ini itu dan sebagainya. Kalau saya, sebagai rakyat bloger yang malas, kini sedang mencari bank murni milik Indonesia yang pelayanannya baik. Oh, ya, itu juga sebabnya saya posting tulisan ini di blog (bukan fb) lebih untuk membatasi pembaca, dengan anggapan para bloger adalah bla-bla-bla. Demikian, dan terimakasih komentarnya.
HapusKang iman, mungkin kalo lihat rasio jumlah penduduk memang tidak masuk akal, namun faktanya, kaum kelas atas bisa menggelontorkan ratusan juta bahkan milyaran, walaupun jumlah kaun elit hanya 1% dari seluruh masyarakat, mereka punya kekayaan melebihi puluhan ribu rakyat kecil..
BalasHapus