Membacai surat Imam B. Prasodjo, mengenai manuver Polri mengangkat Budi Gunawan menjadi wakapolri, kita seolah
dihadapkan pada suatu kebuntuan. Imam mengaku mewakili orang-orang tak jelas,
dan karena itu memang tak jelas. Sama tak jelasnya dengan Jaya Suprana yang
membuat surat terbuka kepada Ahok, agar menahan diri dan bersikap sopan. Mereka bisa melakukan tindakan lebih jelas dan strategis sesungguhnya, sekiranya mau.
Tak jelas bagaimana? Tak jelas justeru karena
masalahnya jelas. Negeri ini membutuhkan keberpihakkan, mana yang ingin
memotong masa lalu menuju ke situasi baru, atau memberi ruang untuk kelompok
yang bermain-main di daerah abu-abu, karena menjadi korban dari perubahan itu,
dengan seonggok alas an demokratisasi dan HAM?
Pada reformasi 1998, sesungguhnya persoalan
kita jelas. Stop Soehartoisme, dan pemerintahan Orde Baru tutup buku. Tapi
pikiran kita kemudian dijungkir-balikkan dengan berbagai isyu hanya untuk
menerima pembenaran bahwa Soeharto, seperti kata Tommy, adalah masa lalu. Untuk
pembenaran, anaknya sendiri pun bisa mengatakan demikian. Benarkah?
Indonesia hari ini, benar-benar mencapekkan,
bikin gemes, jengkel, marah, sengit, gemedheg, poyang-payingan, dan sejenisnya
dan sebagainya.
Jokowi benar-benar membuat kita seperti dalam
sebuah jet-coaster, dalam irama rock 'n roll yang mengocok isi perut kita.
Dan lebih meriuh-rendah lagi, manakala
Indonesia masa kini begitu akrabnya dengan yang bernama sosmed, di tengah media
mainstream yang ternyata juga makin hari bercitarasa sosmed, yang partisan dan
spontan. Ini memang jaman fast & furious.
Berbagai tudingan dialamatkan pada pemerintahan
Jokowi, entah yang ini dan itu, tudingan-tudingan klasik neolib (istilah sejak
jaman SBY), sampai tudingan yang takfiriah, tapi kita tak pernah mendapatkan
penjelasannya.
Meski pun tentu saja, semuanya itu ialah
kemeriahan media, yang akan menjadi begitu berbeda jika kita masuk ke jantung
kehidupan rakyat, di pelosok desa, di sudut lembah dan ngarai, di pucuk-pucuk
bukit dan gunung nun jauh dari Jakarta Raya dan kota-kota besar yang penuh
gadget dan internet.
Kadar cuitan di sosmed hanya sibuk dengan
gesture dan verbalitas. Yang menuding Jokowi boneka Megawati (karena menuang
air minum ke ketum PDIP), berbalik a-simetris ketika Jokowi menuang air minum
pada gelas Aher yang PKS.
Pola semacam itu, sama dengan orang-orang yang
hanya senang dengan kepentingannya sendiri. Tiba-tiba setelah membully
sana-sini dengan batu loncatan kasus-kasus pihak lain, tahu-tahu dimunculkan
isu: Golkar harus dipegang Keluarga Cendana, dan Tommy Soeharto siap menjadi
ketua umum. Jangan lupa pemilu 2019 kelak berbarengan pilpres dan pileg, akan
mendorong ketum partai ialah capres. Maka menjadi ketum parpol, penting bagi
Yusril Ihza Mahendra (meski partainya nyungsep), SBY (dengan Demokrat), dan
mungkin partai lain seperti PDIP dan Golkar itu sendiri.
Senyampang dengan itu, problema Jokowi tidaklah
ringan, karena gaya komunikasinya yang tak bisa dibaca oleh Polri. Sementara
persoalan KPK belum juga beres, dan Jokowi dituding terjebak pada transaksi
politik parlemen dengan pembangunan gedung baru di DPR. Dan seterusnya.
Namun pada sisi lain soal Mary Jane dan Nenek
Asyani diserahkan pada mekanisme hukum. Dan setelah pidato di Bandung yang
menyodok PBB, Jokowi tak peduli himbauan Bang Ki-moon. Soal kejahatan narkoba
sangat debatable. Indonesia menganggap serius, tetapi beberapa negara (termasuk Sekjen PBB)
menganggapnya tidak. Kita, para netizen, berada di posisi mana? Mendukung negara,
Mary Jane, Nenek Asyani, atau teriak-teriak untuk mengubah sistem dan mekanisme
hukum dalam sekejap keinginan?
Negeri ini memang blangsak. SBY meminta Jokowi
jangan selalu menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Tapi memang Indonesia hari
ini tak bisa dilepaskan dari rentetan sejarahnya, dari sejak Sukarno, Soeharto,
dan seterusnya hingga SBY. Semuanya bisa dilihat di mana pangkal soalnya, jika
kita jernih berfikir dan sabar, tanpa pretensi dan agenda kepentingan sendiri.
Pola kritik model Tommy Soeharto, yang endingnya ingin memimpin Golkar dan
menjadi capres priode mendatang, adalah model kritik bertendens dan bermutu
rendah.
Problem kita memang hilangnya semangat
kegotong-royongan, enggan bersatu-padu membangun negeri. Kita seolah kehilangan
keikhlasan untuk berkorban dengan menahan diri. Keikhlasan? Mungkin kata Jakob
Oetama lebih pas, negeri ini kehilangan ketulusan, untuk melakukan retret
sejenak, menemukan akar masalah, mundur beberapa langkah untuk maju sekian
langkah.
Kita semua tak sabar, sama persis dengan dunia
sepakbola kita. Pokoknya maju terus pantang-mundur, apapun masalahnya. Karena
hanya dengan begitulah kekuasaan dan kepentingan bisa dipertahankan, untuk
menjadi semakin blangsak. Sementara kaum oportunis berkelindan di antaranya, dengan
berbagai proposal dan fundingnya. Dan kita cukup puas menguploadnya di sosmed
doang, dengan heroiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar