Oleh Sunardian Wirodono
Isyu SARA (Suku, Agama, dan Ras),
sesungguhnya bukan barang baru di Indonesia, juga di dunia tentu. Hanya yang
mengherankan, hal itu masih terus saja menimbulkan persoalan, hingga hari ini.
Lantas, apakah peran agama, ilmu-pengetahuan, yang keduanya melahirkan
peradaban manusia, dalam perjalanan kehidupan manusia selama ini? Keduanya sama
sekali tidak mengalami perkembangan, secara linier, dengan pembaikan keadaban
manusia?
Penulis memastikan tidak demikian halnya.
Isyu SARA di mana pun, sesungguhnya merupakan gerakan anti-tesis dan bersifat
kasuistis. Anti-tesis dalam pengertian bahwa ia tidak mengalami perkembangan
significant dibanding perikeadaban manusia itu sendiri. Namun secara kasuistis,
dalam momen-momen kelompok kepentingan, isyu ini sering masih dipercaya sebagai
bagian dari senjata untuk ofensive maupun defensive.
Kita bisa deretkan semua kasus yang
memunculkan konflik SARA. Faktor kepentingan antar kelompok, menjadi dominan
karena ia seolah berdiri secara diametral satu-sama lain dan tak bisa
dipertemukan.
Beberapa kerusuhan rasial di Negara-negara
Eropa, juga kecemburuan sosial di Amerika, selalu bersumber pada ordinat dan
sub-ordinat, kepentingan dan kekhawatiran kelompok. Pertarungan antara imigran
dan pribumi, antara pendatang dan yang merasa sebagai penduduk asli (pribumi),
ujung-ujungnya berhenti pada persoalan kepentingan sosial dan ekonomi.
Munculnya isyu SARA dalam pilkada DKI Jakarta
2012, juga bukan sesuatu yang luar-biasa, meskipun cukup mengherankan.
Mengherankan, karena hal itu terjadi di DKI Jakarta, di sebuah kota metropolis,
sebuah area meltingpot yang semestinya lebih toleran dan terbuka, karena boleh
dikata mayoritas adalah pendatang yang beragam. Bagaimana bisa?
Jika itu terjadi 30 tahun lampau, di sebuah
pemukiman kecil di wilayah tempat tinggal saya yang kecil dan terbelakang, saya
bisa memakluminya. Saya ingat bagaimana pada tahun 1980-an, ketika menjadi “tim
perumus” pemilihan Ketua RT (Rukun Tetangga), pun tak terhindarkan dari isyu
kepentingan itu. Beberapa pengurus RW (Rukun Warga, level di atas RT), meminta
saya untuk mencegah agar kepengurusan tidak dipegang oleh yang “palang” (kaum
salib, Kristiani). Demikian juga ketika seorang tetangga perempuan, maju
mencalonkan diri menjadi Kepala Desa, juga dihantam isyu SARA, dengan menyebutkan
ia beragama itu dan bukan beragama ini.
Tetapi “hare gene” di Jakarta, memanfaatkan
isyu SARA? Padahal, dari Suryadharma Ali, Rhoma Irama, Mubarok, orang-orang
PKS, tokoh MUI, Marxuki Alie, dan berbagai tokoh yang “pro Foke”, selalu
mengatakan bahwa Jakarta bisa seperti sekarang ini karena masyarakat Betawi
adalah kelompok etnis yang terbuka, toleran. Menurut mereka, Jakarta tak akan
berkembang jika etnis Betawi adalah masyarakat yang arogan, tertutup. Hal itu
dikatakan, dalam konteks dan sembari ingin menjelaskan, bahwa “bukan mereka”
yang mengeluarkan atau memanfaatkan isyu SARA itu. Bahkan secara ekstrim,
mereka mengatakan itu bukan isyu, melainkan kesadaran keimanan mereka sebagai
orang Islam.
Fakta-fakta di lapangan, sebagaimana
terungkap dari kejadian yang dilakukan oleh Rhoma Irama (yang penyanyi
Ndangdhut), Marzuki Alie (yang Ketua DPR-RI), Suryadharma Ali (yang Menteri
Agama RI), Mahruf Amien (yang Ketua MUI), kemudian diteruskan beberapa ustadz di
berbagai tempat ibadah dan waktu pengajian, menunjukkan sentiment agama dalam
hal “pemimpin se-iman”.
Secara jelas persoalan SARA itu ditembakkan
pada pasangan cagub Jokowi-Ahok, yang notabene “bukan Betawi” dan “bukan Islam”.
Mulai dari ibu dari Jokowi yang “Kristen” (padahal Islam), Ahok yang Cina
(padahal ketika menjadi bupati Belitung ia didukung juga para ulama Islam, dan
pembangunan masjid di sana lebih marak), sampai pada kelak Jokowi tidak
menuntaskan pekerjaannya (karena diproyeksikan jadi capres 2014, sehingga
meninggalkan wagub Kristen dan Cina yang praktis akan naik jadi gubernur, ini
dengan menyontohkan “jika” Jokowi jadi gubernur DKI maka ia meninggalkan wawali
Solo yang katholik naik menjadi walikota, dan seterusnya).
Belum lagi berbagai komentar mengenai Islam
versus Jawa, kembali dipertentangkan, dengan vibrasi yang diharap tentu adalah
Jokowi = Jawa = Klenik = Tidak Islami, dan seterusnya dan sebagainya. Beberapa
ustadz di beberapa masjid di Jakarta, selama Ramadhan, terus mengintrodusir
mengenai bahaya bencana atau laknat Allah akan menimpa jika ummatnya memilih
pemimpin yang “bukan kaumnya”. Secara lebih tegas, Suryadharma Ali dari PPP,
sebagaimana PKS, juga menyebutkan kenapa mendukung Foke-Nara, karena “Islam dan
Betawi”.
Sementara Jakarta sebagai ibukota Republik
Indonesia, dari sejak munculnya Sunda Kelapa, Pangeran Jayakarta, hingga VOC,
tidak pernah terbuktikan dikuasai oleh kelompok etnis tertentu, apalagi Betawi.
Bahkan, etnis ini, sebagai peristilahan demografis, juga baru dikenali pada
tahun 1930-an, itu pun dengan catatan kesejarahan bahwa etnis ini merupakan
“turunan” dari berbagai kelompok etnis.
Sunda Kelapa, sebagai kota Bandar, dengan
dinamika ekonominya yang tinggi, tentu juga berkait dengan mobilitas manusia
yang tinggi, dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, sebagai kota bisnis, wajar
Jakarta pada akhirnya menjadi meltingpot yang memungkinkan banyak suku atau
etnis berdatangan, hilir-mudik dan menetap. Bahkan, hingga pada akhirnya, jika
kaum Betawi meng-klaim sebagai penduduk asli, sebagaimana kaum Indian di
Amerika Serikat, mereka tidak menjadi kelompok dominan, dan akhirnya menyingkir
ke daerah-daerah pinggir.
Beberapa daerah kantong Betawi yang masih
bertahan, bisa disebut misalnya Kemayoran, Klender, Pasar Minggu, Ciganjur,
Ciputat, Pondok Kopi, dan di beberapa tempat dalam kelompok-kelompok kecil, dan
beberapa mencoba survivalitas mereka dengan mendirikan kelompok atau komunitas
bernama Forkabi (Forum Keluarga Betawi), FBR (Forum Betawi Rempug), dan kini
FBB (Forum Betawi Bersatu). Sementara yang “tidak mampu bertahan”, memilih
keluar dari Jakarta, dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, sebagaimana di
Tambun, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Serang (Banten).
Pada sisi itu, urbanisasi yang terjadi
bukan sekedar persoalan Jakarta tempat berputarnya ekonomi nasional (yang konon
mencapai 70% dari sirkulasi perputaran uang nasional), melainkan juga soal
ketersediaan SDM ketika Jakarta sebagai ibukota Negara membutuhkan tenaga-kerja
dari berbagai daerah (utamanya tentu Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Jawa Barat), sebagai pemasok SDM yang lebih siap dalam kuantitas dan kualitas,
sebagaimana dilakukan pemerintahan Sukarno ketika membutuhkan pegawai negeri
secara besar-besaran di beberapa departemen (kemudian mereka di tempatkan di
wilayah Slipi dan Tebet).
Maka, jika kemudian komposisi penduduk
Jakarta mayoritas adalah Jawa (pengertian istilah ini adalah etnis Jawa, antara
lain Jateng, Jatim, dan DIY) yang jika ditambah dengan Sunda (Jabar), hal itu
menjadikan Betawi sebagai minoritas di Jakarta. Belum lagi jika kita juga
menghitung suku-suku se Indonesia Raya dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Papua, Nusa Tenggara, Bali, dan lain sebagainya masuk ke Jakarta.
Jakarta, Ibukota Negara, wajar jika ia
menjadi meltingpot, multiras. Dan itu bukan hanya terjadi di ibukota Indonesia,
melainkan di seluruh dunia, yang bernama ibukota Negara mesti menjadi pusat
dari kaum urban. Hal itu sebagai sebuah kewajaran, kelumrahan, yang tak
terbantahkan.
Adalah paket bunuh diri bagi mereka yang
hendak menjadikan Jakarta sebagai sesuatu yang beridentitas eksklusif, Betawi
misalnya, karena hal tersebut juga terasa a-historis. Dari kalkulasi politik
pun, hal tersebut menunjukkan kesalahan hitung yang cukup fatal.
Munculnya Foke sebagai pemimpin Jakarta,
satu-satunya gubernur Jakarta yang berasal dari etnis Betawi, semestinya juga
tidak harus dinilai apakah ia Betawi atau bukan, karena masyarakat Jakarta yang
dipimpinnya adalah mayoritas non-Betawi. Foke sendiri, berayah kandung dari Malang
(Jawa Timur), sementara isterinya adalah gadis Klaten kelahiran Semarang, anak
Soedjono Hoemardhani, tokoh Kejawen jaman Soeharto. Nachrowi atau Nara, cawagub
Foke, berorangtuakan dari kawasan Tegal (Jawa Tengah). Mereka sendiri adalah
potret kaum urban.
Membicarakan kepemimpinan, yang berujung
pada pelayanan, dengan menautkan pada daerah asal dan agama asal, adalah sebuah
blunder, karena Allah sendiri berfirman bahwa inti persoalannya ialah apa yang
diperbuat manusia itu sendiri.
Jika kita mau lebih tajam lagi; Kita boleh
membandingkan ayat yang mengatakan harus pemimpin yang seiman, namun bagaimana
jika manusia satu kaum dan satu iman itu tidak berhasil memproduksi manusia
yang memenuhi kriteria dan kapasitas itu? Apakah cukup dengan dalil sepintar-pintar
kaum lain masih lebih baik sejelek-jelek kaum sendiri? Bagaimana dengan
ijhtihad yang dibolehkan, bahwa jika tak ada di antara kaummu maka pilihlah
kaum lain, sebagaimana dibukakan apresiasi kita pada dalil yang membolehkan
munculnya tokoh lain, biar pun dia non muslim (tapi bermanfaat), dan di sanalah
sistem demokrasi dipertahankan?
Ada masalah darurat di situ yang
dibolehkan. Pertanyaan untuk kaum Islam, sebagai mayoritas, kenapa bisa terjadi
sesuatu yang darurat sifatnya?
Jadi apa kerjamu selama ini? Karena tidak
bisa memproses, melakukan pendidikan secara induktif, maka kemudian kau
mengancam-ancam, dengan sorga dan neraka? Alangkah mudahnya kerjamu di dunia,
sekiranya kita bandingkan bagaimana Muhammad menjadi begitu gagah justeru
karena ia lembut dan argumentatif?
Jika boleh memprediksi, maka Foke akan
menuai buah blundernya pada 20 September 2012 itu. Karena sesungguhnya yang
sedang dinilai bukanlah ia Betawi atau bukan, Islam atau bukan, melainkan ia
becus atau tidak bekerja sebagai gubernur. Bukan soal lain-lain.
Jika pun siapa yang menginginkan Jokowi
tidak naik dengan menyodor-nyodorkan ia bukan Betawi dan bukan Islam
(misalnya), rasa-rasanya hal itu dilakukan karena mereka percaya agama bersifat
dogmatif dan normative, yang bisa mengikat siapapun untuk mematuhi hal ini.
Dalam hal agama mungkin iya, namun dalam hal politik, ini adalah daerah
ideology yang berbeda domainnya. Setidaknya, dua kali menyebut perolehan PKS
dalam pilkada 2007 (yang mencapai 42%) dengan 2012 yang hanya mencapai seperempatnya
itu, mesti dilihat sebagai betapa tidak selalu cerdasnya kalkulasi politik yang
bersifat elitis itu (baik dari elite partai maupun para ulama, dan bahkan
pengamat politik dari lembaga survey).
Menyebut Betawi identik Islam pun juga
meragukan, karena di Kampung Sawah (Bekasi), etnis ini menganut beragam agama,
seperti Katholik dan Kristen Protestan, bukan hanya Islam. Dan itu telah terjadi berpuluh-puluh tahun
lampau.
Namun sekali lagi juga perlu diingatkan,
kecenderungan memasang unsur kedaerahan Betawi dalam cagub Jakarta, adalah juga
sebuah blunder yang memprihatinkan. Karena apa? Karena etnis Betawi mayoritas
kini justeru berada di luar Jakarta, dan tentu saja tak memiliki hak suara.
Bagaimana mengurus Jakarta? Tentu saja
ialah menjadikannya sebagai daerah khusus Ibukota. Tempat berpusatnya aneka
ragam suku dan budaya Indonesia, ia adalah Indonesia mini. Ada pun dalam
kepentingan “kebudayaan” dan “etnis” Betawi, disitu kebijaksanaan berlandaskan
kebudayaan bisa dilakukan oleh siapapun gubernurnya, tanpa harus ia dari etnis Betawi
atau bukan. Karena jika kita meyakini Foke adalah “satu-satunya” putera daerah
(Betawi) yang menjadi gubernur Jakarta, toh tetap saja keterpinggiran dan
ketergerusan kelompok Betawi ini tetap terjadi. Bahkan keberpihakan Foke pada
kelompok modal di Jakarta, lebih kencang lagi dalam mengguyur kelompok
masyarakat Betawi ini ke pinggir dan makin tidak kompetetif.
Dari sisi ini, isyu SARA yang dilemparkan
ke public, hanyalah dalam konteks dan kepentingan memenangkan pasangan cagub
Foke-Nara, lebih karena tak adanya senjata lain yang dimiliki dari timses
pasangan ini. Sentimen yang dimunculkan, lebih karena kekhawatiran pada para
pihak yang akan “dirugikan” jika pilkada itu menghasilkan pemimpin yang baru.
Artinya, isyu agama atau etnisitas, hanyalah pakaian kedodoran yang makin
menunjukkan ketidakkokohan jiwa dan tubuh pemakainya.
Jakarta, Agustus 2012
Sunardian Wirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar