Oleh Sunardian Wirodono
Tentu saja kita tahu, bahwa Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) dan
Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), keduanya diusung oleh PDI Perjuangan dan
Gerindra dalam pilkada DKI Jakarta 2012.
Namun, sosok Jokowi dari Solo, dan juga fenomena Ahok dari
Belitung, tampaknya mampu membebaskan keduanya dari simbolisasi partai. Bahkan,
personalitas Jokowi dan Ahok jauh melampaui kedua partai pengusungnya, dan
lebih khusus lagi hal itu melampaui sosok sang pertahana Dr. Ing. H. Fauzie
Bowo, apalagi Nachrowi Ramlie.
Itu yang menyebabkan Jokowi-Ahok menjadi top-idolatry, yang
baju kotak-kotaknya merambah ke seluruh Indonesia, meski dipasaran berharga
cukup mahal mencapai Rp 300-400 ribu. Bukan saja dari anak-anak yang tidak
mempunyai hak pilih, melainkan bahkan ke berbagai lapisan masyarakat di luar
yang ber-KTP DKI Jakarta.
Ghirah semacam itu, sesuatu yang melesat di luar batas-batas
teori kenormalan para pengamat dan pelaku politik, yang berkutat dengan asumsi
dan angka-angka. Biasanya hal itu sesuatu yang sulit untuk direkayasa.
Sudah pada ghalibnya, calon incumbent yang tidak mempunyai
prestasi menonjol, akan kesulitan membendung melejitnya sang penantang. Apalagi
jika sang incumbent ini pun tidak mempunyai cukup amunisi untuk “menghabisi”
lawan. Yang ada kemudian hanyalah kemarahan dan kelinglungan, karena
serangan-serangan yang dimuntahkan menjadi tidak proporsional.
Meski tidak mengakui bahwa serangan itu merupakan rancangan
tim incumbent, namun munculnya berbagai statement verbal dari orang-orang
partai pendukung incumbent tampak, bahwa itulah material dan tema utama mereka.
Menyerang dari sisi suku dan agama. Ahok dianggap sisi paling lemah dari Jokowi
yang tak terelakkan, tanpa melihat bagaimana dulu Ahok sebagai bupati dari
Belitung, yang sangat didukung dan dicintai oleh masyarakatnya yang mayoritas
muslim (karena kepemimpinannya oleh para ulama setempat dinilai sangat islami).
Menggarap isyu SARA di Jakarta, sungguhlah konyol.
Menganalogikan mayoritas penduduk Indonesia Islam (bahkan dalam jumlah Islam
terbanyak di dunia) dengan kepatuhan “keislaman”, tidak relevan sama sekali.
Karena Islam sebagai ideology, bukan sesuatu yang bulat, dari sejak adanya
mazhab-mazhab dan bahkan kini sampai pada pertentangan garis keras dan garis
lunak, sampai pada munculnya fenomena fron-fron pembela keislaman dengan
konflik-konflik kelompok yang mencoba menyingkirkan Ahmadiyah dan kemudian
Syiah. Bahkan, untuk soal penetapan Ramadhan dan Syawal sendiri, kita melihat
ambivalensi antara mazhab agama dan Negara.
Berbagai
rilis lembaga survei belakangan ini, satu suara menyebutkan elektabilitas
partai Islam turun. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Asvi Warman Adam mengatakan, hal itu semakin menegaskan partai Islam tidak akan
menjadi partai pemenang Pemilu.
"Dalam
sejarahnya, partai Islam tidak pernah bersatu, apalagi pada masa Orde Baru
hanya satu partai Islam, yakni PPP, tapi banyak faksi dan friksinya,"
ujarnya (jaringnews.com, 22/8/12).
Masyarakat tidak pernah
menginginkan partai agama yang menjadi partai penguasa. Masyakat Indonesia
mayoritas beragama Islam tapi dalam partai mereka lebih memilih sekuler,
ketimbang agama.
Meski penganut agama Islam mayoritas di Tanah Air, masyarakat
cenderung tidak menginginkan hukum Islam atau syariat Islam diterapkan di
Indonesia.
"Mereka lebih nyaman dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Ketimbang penerapan hukum Islam," demikian tutur Asvi.
Sementara
jika isyu yang dipakai adalah kesukuan, jauh lebih celaka lagi, karena dalam
hampir sejarah populasi penduduk di ibukota Negara mana pun (kecuali Timur
Tengah, mungkin), taka da kebudayaan yang dominan. Jika pun Jawa sebagai
mayoritas di situ, maka kebudayaan yang lebih kental adalah kebudayaan kaum
urban, yang relative lebih cair, terbuka, cosmopolitan. Sekali pun kaum urban
di Jakarta memiliki karakter yang
berbeda dengan kaum urban di kota-kota dunia yang struktur masyarakat
dan ekonominya mapan.
Mayoritas
masyarakat Jawa, tentu mempunyai kaitan emosionalitas, psikologis, dan personal
dengan Jokowi, dan itu tak terbantahkan.
Pada
sisi itu saja, maka berbagai himbauan ulama, ustad, tokoh agama, pemimpin politik
formal, untuk tidak memiliki Jokowi-Ahok dengan argument-argumen demagognya, tidak
akan sangat berpengaruh.
Kaum
apatis dan golput boleh saja mengatakan bahwa; “Siapapun gubernurnya, taka da
ngaruhnya”, namun sama seperti ketika seseorang menonton sepakbola antara Barca
dan Madrid, apa kepentingan kita atas kemenangan dan kekalahan satu di
antaranya? Taka da, kecuali factor-faktor psiko-sosiologis yang nyambung antara
masyarakat pendukung dan yang didukungnya.
Menakar
tebal-tipis hal yang terakhir itu, yang biasanya tak bisa dilakukan oleh
siapapun yang sudah terkontaminasi kepentingan. Contohnya, rontoknya semua
lembaga survey, yang dulunya mengunggulkan Foke-Nara.
Ada
yang patut dicermati di sini. Jika para pengamat dan praktisi politik selalu
mengaitkan Pilkada DKI Jakarta 2012 ini dengan Politik Indonesia 2014,
masyarakat sipil pendukung Jokowi-Ahok justeru berangkat dari tesis berbeda,
yakni ingin berunjuk rasa pada kekuatan kartel politik, yang selama ini
mengkhianati daulat rakyat.
PDI
Perjuangan dan Gerindra tidak bisa menafikan ini, kecuali keduanya juga ingin
sama bodohnya dengan partai-partai yang mendukung Foke-Nara.
Artinya,
jika Jokowi-Ahok mampu dimenangkan oleh pendukungnya pada 20 September
mendatang, maka itu warning penting dan genting bagi para elite politik, untuk
melakukan pertaubatan nasional. Dan itu saatnya, rakyat menyodorkan surat
kontrak politik yang tidak akan memberikan keleluasaan, bagi para politikus tanpa
reserve.
Pertarungan terpentingnya, bukan antara Jokowi-Ahok melawan Foke-Nara, namun justeru lebih pada kaum elite partai-partai politik itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar