Syahdan, pada jaman kini kala, menurut
sahibul hikayat, adalah dua orang yang berdiri berdampingan hendak mendirikan
shalat. Berbarengan keduanya membentang sajadah yang dibawanya. Salah satunya
memiliki sajadah berukuran jumbo, lebih panjang dan lebar. Sementara, satu
lagi, bersajadah lebih kecil.
Orang bersajadah lebar seenaknya saja
membentangkan sajadah, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara yang empunya
sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain, yang
sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah
kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar
tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan shalat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!” berkata Iblis di
sudut ruang, memulai dialognya lagi, setelah terputus beberapa bulan lalu di
wall ini (hiks).
“Yang mana?” sang Kyai Gondrong, karena
memang berambut gondrong dan demikian ia dijuluki jemaahnya, bertanya.
“Ada dua orang yang sedang shalat sunnah
itu,” tukas Iblis, “Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang,
aku akan masuk diantara mereka,…”
Iblis pun lenyap. Sruffuuuthhhhzz, begitu
sound effectnya!
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Kyai Gondrong
hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan shalat sunnah. Ia
menunggu apa yang hendak dilakukan Iblis.
Pemilik sajadah lebar ruqu’ dan kemudian
sujud. Namun sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk,
lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang
kecil berada di bawahnya.
Si sajadah besar kemudian berdiri.
Sementara pemilik sajadah kecil melakukan hal serupa. Ia juga membuka
sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah besar.
Itu berjalan hingga akhir shalat. Bahkan
pada saat shalat wajib pun, kejadian-kejadian itu berulang. Berkali-kali, dan
di beberapa masjid.
Orang lebih memilih menjadi di atas,
ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan
atas lainnya. Siapa memiliki sajadah lebih lebar, maka ia akan meletakkan
sajadahnya di atas sajadah yang lebih kecil.
Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai
pembeda kelas.
“Astaghfirullahal adziiiim,…” geletuk Kyai
Gondrong dalam pertemuan kesekian kalinya dengan Iblis.
“Kau akan menduga, pasti yang memproduksi
sajadah itu orang Yahudi ‘kan? Atau orang Cina?” Iblis mengkili-kili kuping
Kyai Gondrong.
Sang Kyai mendesah, “Oh, no! Siapapun boleh
membuat sajadah, tapi aku tak akan menuding siapa-siapa, kecuali pada diriku
sendiri yang hina, yang lebih mudah tergoda menyalahkan orang lain, karena
kelemahan diriku, dan terjebak dalam cermin tipu daya,…”
“Wah, Kyai nonton Kapai-kapainya Arifin C.
Noer, dong?” selidik Iblis.
Kyai Gondrong tidak menjawab, dari mulutnya
menggeremeng ayat Kursi pada surat Al Baqarah 255.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar