Pelajaran apakah yang kita dapat dari peristiwa 20 September 2012 kelak, di DKI Jakarta Raya? Para pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak, hari-hari ini akan menunggu, harap-harap cemas, apa yang akan terjadi.
Benarkah Joko Widodo dan Basuki Cahaya Purnama akan menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, ataukah Fauzi Bowo dan Nachrowie Ramli yang akan memenangkan putaran kedua setelah pada putaran pertama dipecundangi Jokowi-Ahok.
Tentu saja semuanya akan sangat tergantung pada para pemegang hak pilih, dan juga kejujuran serta ketidakberpihakan para panitia pemilihan sehingga bisa menegakkan pemilihan yang fairness. Dalam hal ini, para ahli dan tukang survey, tak berani lagi jumawa memprediksi hasilnya, setelah analisis ilmiah mereka terjungkalkan pada pemilihan putaran pertama yang dimenangkan Jokowi-Ahok.
Tapi poin penting yang menginspirasi dalam peristiwa ini, ada ghirah politik rakyat, yang memposisikan head-to-head melawan parpol, sekalipun Jokowi-Ahok bukan dari jalur independen (melainkan dari PDI Perjuangan dan Gerindra). Namun personalitas Jokowi-Ahok mengalahkan partai politik pendukungnya, melawan parpol mayoritas yang mendukung Foke-Nara. Kotak-kotak phenomenon.
Jika pasangan Jokowi-Ahok menang, maka ini isyarat penting bagi parpol, bahwa hari-hari ini, rakyat sedang mengirimkan sinyal peringatannya. Bahwa para demagog dan oligarkis parpol tak lagi bisa main-main dengan daulat rakyat. Dan itu mesti menjadi renungan penting mereka menjelang 2014.
Namun jika Foke-Nara yang memenangkan partarungan politik ini, banyak hal perlu dicermati pengaruh-pengaruhnya, yakni akan bermunculkan klaim-klaim politik atas nama dan bendera-bendera eksklusivisme yang bisa jadi tidak produktif, mengenai isyu-isyu kepolitikan, suku, ras, dan agama, yang banyak dikatakan oleh elite politik kita sebagai sesuatu yang wajar (seperti dikatakan oleh Marzuki Alie, Mubarok, Anas Urbaningrum, Wiranto, Suryadharma Ali, Rhoma Irama, para elite PKS, FPI, dan sejenisnya, yang melontarkan wacana isyu SARA bisa ditolerir).
Senyampang dengan itu, jika kemungkinan Foke-Nara menang, maka semakin kuat dugaan kita, bahwa jejaring sosial-media di Indonesia, bukanlah pencerminan kenyataan sosial-politik kita, melainkan hanyalah benar-benar dunia maya kelas sosial tertentu, yang tidak terintegrasikan dengan kenyataan sosialnya. Lebih celaka lagi, jika jejaring sosial itu hanya dipakai sebagai masturbasi politik, euforia seolah demokratisasi sedang berjalan. Karena juga tak bisa ditutupi, para pendukung Jokowi-Ahok di dunia maya sebagian tentu bukanlah pemegang kartu-suara Pilkada Jakarta 2012, sebagaimana kita juga tak tahu seberapa besar dari 7 juta pemegang kartu suara itu mengakses media internet dan aktif di jejaring sosial media.
Adakah benar-benar Jokowi dan Ahok, sebagaimana para cowboy dari desa-desa di Amerika (dengan baju kotak-kotaknya yang khas, dengan muka kotor-berdebu, namun suka cengar-cengir ndesit itu), memenangkan pertarungan melawan para petinggi kotapraja, yang dalam film-film western suka digambarkan duduk di kursi goyang menunggu setoran? Cobalah tonton film-film western klasik tahun-tahun 1970-an, dan pindahkan settingnya di Jakarta September 2012.
Semoga kita mendapatkan pelajaran bermutu, dari kampanye-kampanye politik yang tidak bermutu dari siapapun para kandidat yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta ini.
Tentu saja semuanya akan sangat tergantung pada para pemegang hak pilih, dan juga kejujuran serta ketidakberpihakan para panitia pemilihan sehingga bisa menegakkan pemilihan yang fairness. Dalam hal ini, para ahli dan tukang survey, tak berani lagi jumawa memprediksi hasilnya, setelah analisis ilmiah mereka terjungkalkan pada pemilihan putaran pertama yang dimenangkan Jokowi-Ahok.
Tapi poin penting yang menginspirasi dalam peristiwa ini, ada ghirah politik rakyat, yang memposisikan head-to-head melawan parpol, sekalipun Jokowi-Ahok bukan dari jalur independen (melainkan dari PDI Perjuangan dan Gerindra). Namun personalitas Jokowi-Ahok mengalahkan partai politik pendukungnya, melawan parpol mayoritas yang mendukung Foke-Nara. Kotak-kotak phenomenon.
Jika pasangan Jokowi-Ahok menang, maka ini isyarat penting bagi parpol, bahwa hari-hari ini, rakyat sedang mengirimkan sinyal peringatannya. Bahwa para demagog dan oligarkis parpol tak lagi bisa main-main dengan daulat rakyat. Dan itu mesti menjadi renungan penting mereka menjelang 2014.
Namun jika Foke-Nara yang memenangkan partarungan politik ini, banyak hal perlu dicermati pengaruh-pengaruhnya, yakni akan bermunculkan klaim-klaim politik atas nama dan bendera-bendera eksklusivisme yang bisa jadi tidak produktif, mengenai isyu-isyu kepolitikan, suku, ras, dan agama, yang banyak dikatakan oleh elite politik kita sebagai sesuatu yang wajar (seperti dikatakan oleh Marzuki Alie, Mubarok, Anas Urbaningrum, Wiranto, Suryadharma Ali, Rhoma Irama, para elite PKS, FPI, dan sejenisnya, yang melontarkan wacana isyu SARA bisa ditolerir).
Senyampang dengan itu, jika kemungkinan Foke-Nara menang, maka semakin kuat dugaan kita, bahwa jejaring sosial-media di Indonesia, bukanlah pencerminan kenyataan sosial-politik kita, melainkan hanyalah benar-benar dunia maya kelas sosial tertentu, yang tidak terintegrasikan dengan kenyataan sosialnya. Lebih celaka lagi, jika jejaring sosial itu hanya dipakai sebagai masturbasi politik, euforia seolah demokratisasi sedang berjalan. Karena juga tak bisa ditutupi, para pendukung Jokowi-Ahok di dunia maya sebagian tentu bukanlah pemegang kartu-suara Pilkada Jakarta 2012, sebagaimana kita juga tak tahu seberapa besar dari 7 juta pemegang kartu suara itu mengakses media internet dan aktif di jejaring sosial media.
Adakah benar-benar Jokowi dan Ahok, sebagaimana para cowboy dari desa-desa di Amerika (dengan baju kotak-kotaknya yang khas, dengan muka kotor-berdebu, namun suka cengar-cengir ndesit itu), memenangkan pertarungan melawan para petinggi kotapraja, yang dalam film-film western suka digambarkan duduk di kursi goyang menunggu setoran? Cobalah tonton film-film western klasik tahun-tahun 1970-an, dan pindahkan settingnya di Jakarta September 2012.
Semoga kita mendapatkan pelajaran bermutu, dari kampanye-kampanye politik yang tidak bermutu dari siapapun para kandidat yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar