Banyak orang yang tidakk tahu, bahwa Bung Karno salah satu Presiden yang amat mengerti tata ruang kota dan tata ruang wilayah geopolitik. Dia sendiri sudah mendisain seluruh wilayah Indonesia dengan bagian-bagian pembangunannya, hal ini menjadi satu bagian dari dokumen Deklarasi Ekonomi Djuanda 1960.
Kebanyakan kita mengetahui, Sukarno hanyalah seorang arsitek yang gemar mendisain patung. Disain rumah karyanya, hanyalah beberapa di Bandung yang ia gambar saat bekerja pada Insinyur Rooseno, atau ketika ia baru lulus kuliah THS (ITB), membuat jembatan-jembatan kecil di Jawa Barat.
Bahkan secara sarkastis, mahasiswa-mahasiswa anti Sukarno pada tahun 1965, meledek Bung Karno sebagai "Orangtua pikun, patung kok dikira celana,...". Hal itu untuk meledek pidato Sukarno, bahwa patung itu seperti celana, sebagai sebuah kehormatan bangsa.
Padahal Sukarno adalah seorang pemikir yang mendisain bukan saja patung-patung yang kebanyakan meniru model Eropa Timur. Ia bahkan mendisain kota-kota besar masa depan Indonesia.
Di tahun 1958, setelah pengusiran warga Belanda dan pengambilalihan modal-modal Belanda sebagai bagian pernyataan siap perang Indonesia, dengan merobek-robek perjanjian KMB, Sukarno sudah merancang Djakarta menjadi kota tempur.
Seperti kota Singapura, seluruh bujur jalannya lurus-lurus dan lebar sekali, sebenarnya itu disiapkan untuk menjadi markas atas penguasaan wilayah Asia Tenggara.
Bagi Bung Karno stabilitas Asia Tenggara adalah segala-galanya, untuk melepaskan Indonesia dari politik ketergantungan modal dan politik invasi wilayah-wilayah produk (apa yang ditakutkan Sukarno pernah diucapkan pada Djuanda; "Amerika sekarang tak lebih dengan Belanda, mereka tak berminat terhadap kesatuan wilayah, mereka hanya berminat wilayah-wilayah kaya modal, wilayah produktie, inilah yang menyamakan mereka dengan Belanda di tahun 1947, dimana agresi militer mereka dinamakan dengan sandi "Operatie Produkt").
Wilayah-wilayah yang jadi prioritas Sukarno setelah siap perang dengan Belanda adalah Irian Barat. Merebut Irian Barat menjadi satu bagian NKRI adalah satu syarat, agar bangsa ini menjadi paling kuat di Asia. Selain Irian Barat yang menjadi perhatian penting Bung Karno, adalah Kalimantan.
Awalnya Semaun yang membawa saran tentang perpindahan ibukota (Semaun adalah konseptor besar atas tatanan ruang kota-kota satelit Sovjet Uni di wilayah Asia Tengah), dan ini kemudian disambut antusias oleh Bung Karno, selama satu tahun penuh Bung Karno mempelajari soal Kalimantan ini. Ia berkesimpulan, "masa depan dunia adalah pangan, sumber minyak dan air. Pertahanan militer bertumpu pada kekuatan Angkatan Udara".
Bung Karno membagi dua kekuatan besar itu, pertahanan nasional dalam dua garis besar: Pertahanan Laut di Indonesia Timur dengan Biak menjadi pusat armadanya (ini sesuai dengan garis geopolitik Douglas MacArthur), dan Pertahanan Udara di Kalimantan. Menurut Bung Karno, ia mencari kota yang tepat untuk menjadi 'Pusat Kalimantan'.
Pada suatu malam, di hadapan beberapa orang, Bung Karno dengan intuisinya mengambil mangkok putih di depan peta besar Kalimantan. Ia menaruh mangkok itu ke tengah-tengah peta. Kemudian Sukarno berkata dengan mata tajam ke arah yang mendengarnya, "Itu Ibukota RI!"
Bung Karno menunjuk satu peta di tepi sungai Kahayan. Lalu Bung Karno ke tepi Sungai Kahayan dan melihat sebuah pasar yang bernama Pasar Pahandut. Dari pasar inilah, Bung Karno mengatakan, "Ibukota RI dimulai dari sini!"
Ucapan itu sama persis dengan ucapan Daendels di depan Asisten Bupati Sumedang, saat membangun jalan darat Pos Selatan, untuk gudang arsenal Hindia-Perancis, ketika itu ia menunjuk satu tempat yang kita kenal sekarang sebagai Bandung. "Bandung jadi titik nol wilayah pertahanan Jawa".
Bung Karno kemudian menyusun dasar-dasar kota administrasi provinsi, dengan dibantu eks Gubernur Jawa Timur, RTA Milono. Pada saat penyusunan birokrasi itu, Bung Karno sedang menyiapkan cetak biru besar tentang rancangan tata ruang negara dari Sabang sampai Merauke.
Antara Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, akan dibangun terowongan bawah tanah. Karena rawan gempa, Bung Karno meningkatkan armada pelabuhan antar pulau, dengan memesan kapal dari Polandia. Tapi rencana membuat channel seperti di selat Inggris tetap diprioritaskan, bahkan menjelang kejatuhannya, di tahun 1966, ia bercerita tentang channel bawah tanah yang menghubungkan Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Pusat pelabuhan dagang bukan diletakkan di Jawa, tapi di sepanjang pesisir Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi. Sukarno mempersiapkan rangkaian pelabuhan yang ia sebut sebagai "Zona Tapal Kuda". Wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan.
Kota-kota baru dibangun. Pilot projectnya adalah Palangkaraya dan Sampit. Setelah itu, Jakarta juga dibangun untuk display ruang atau model kota modern. Jakarta tetap dijadikan pusat kota jasa internasional, sementara Palangkaraya menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan militer udara. Biak di Irian Barat menjadi pertahanan militer laut, dan Bandung jadi pusat pertahanan militer darat.
Seluruh jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus, dan menuju satu bundaran besar. Bila perang dengan Inggris benar terjadi, maka jalan-jalan itu diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat Mig21, yang diborong dari Sovjet Uni.
Rencana tata kota ini didisain sampai dengan tahun 1975. Rafinerij atau tambang-tambang minyak milik asing, akan diambil alih dan diberikan pada serikat-serikat buruh. Penguasaan saham diatasnamakan negara, dan uangnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum. Pangdam Kaltim di pertengahan tahun 1960-an, Brigjen Hario Ketjik, salah satu fanatik Sukarnois yang menerapkan rencana ini di Kalimantan Timur.
Pembangunan tata ruang kota Palangkaraya diatur amat teliti, sampai sekarang tata ruang kota Palangkaraya paling rapi di Indonesia.
Visi Sukarno, di tahun 1975, Indonesia akan jadi bangsa terkuat di Asia dan menjadi salah satu negara adikuasa dunia dalam konteks the big five: Amerika Serikat, Inggris, Sovjet Uni, dan Jepang.
Jepang dan Cina menurut Sukarno masih bisa dibawah Indonesia. Dan Indonesia jadi negara terkuat di Asia memimpin tiga zona wilayah (Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur).
Setelah Bung Karno dilongsorkan Suharto (dan Amerika) dalam penguasaan keadaan saat Gestapu 1965, Bung Karno diinternir. Suharto amat takut dengan bentuk persebaran kekuatan wilayah. Ia bertindak seperti Amangkurat I yang paranoid terhadap kekuatan pesisir. Ia tarik seluruh kekuatan modal dan manusia ke satu pusat, yaitu Jawa.
Padahal Jawa disiapkan Sukarno sebagai pulau yang khusus lumbung pangan dan pariwisata, pulau peristirahatan. Sekarang Jawa adalah pusat segala-galanya. Menjadi pulau paling padat sedunia, dan tidak memiliki kenyamanan sebagai sebuah 'surga khatulistiwa'. Sementara Kalimantan dibiarkan kosong melompong.
Sesungguhnya, selalu terbuka kesempatan, untuk menjadi Indonesia Raya! Andai saja akademisi kita tidak ikut-ikutan mengotori dirinya seperti comberan mulut politikus, ada baiknya menggali "rencana-rencana Sukarno" ini, ketimbang mengomentari dan mengamati 'para maling main politik'.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar