Oleh Sunardian Wirodono
INDONESIA di masa kini, adalah sebuah negara yang sedang mengalami percobaan luar biasa. Seolah kita baru tahu, bahwa kita selama ini tinggal di dalam kondisi dan situasi darurat. Bencana alam yang mendera kita mulai dari Aceh dan Nias 2004, gempa tektonik di Bantul dan sekitarnya 2006, hingga bencana alam di Sulawesi dan Bali, gunung Merapi 2010, dan berbagai bencana lain yang telah memporak-porandakan bangsa dan negara ini. Dan kita sampai pada kecemasan yang luar biasa, apa yang bisa kita harapkan dari semuanya ini?
Mungkin, agak berlebihan kesimpulan ini. Namun, dari kesiapan kita menghadapi berbagai bencana alam, baik pemerintah maupun masyarakat, tidak siap akan semua itu. Sementara, ilmu pengetahuan sudah lama memberitahukan kita, bahwa negeri ini berada dalam kondisi geografis yang labil. Di dalam air dan tanah Indonesia, tersimpan berbagai kemungkinan, entah struktur bumi yang labil, gunung berapa di atas permukaan daratan maupun di dalam lautan, dan belum lagi unsur manusia itu sendiri dalam menjaga keseimbangan alam.
Berbagai bencana yang menimpa kita, jika terus-menerus, tentu akan menguras habis dana-dana sosial masyarakat, pemerintah, dan dengan sendirinya negara. Menipisnya dana-dana sosial itu, akan berpengaruh pada stok dana-dana lainnya, yang diproyeksikan untuk kepentingan-kepentingan lain (yang juga tidak kalah urgennya). Dalam situasi itu, pemikiran tentang prioritas bisa dikacaukan, dan bangsa ini pada titik kritisnya bisa kehilangan arah serta tujuannya ke depan.
Ada dua sebab yang menjadikan kondisi kita semakin kritis, ialah pada tingkat kematarangan struktur kenegaraan dan struktur kemasyarakatan kita. Struktur kenegaraan kita, berada dalam situasi dan proses pematangan yang tak kunjung selesai. Sementara ketidakmatangan struktur masyarakat, tentu dipengaruhi oleh ketidakmatangan struktur di atasnya.
Ketidakmatangan struktur kenegaraan kita, bisa ditengarai dari proses-proses politik kenegaraan, yang dikangkangi oleh elite-elite politik dan ekonomi kita dengan agenda yang berjalan tidak berada dalam satuan gagasan visioner ke depan. Proses membangsa dan menegara Indonesia, dalam satuan kurun waktu 1908, 1928, 1945, kemudian mengalami discontinuity mulai 1957, 1966, 1971 dan seterusnya hingga era yang dinamakan reformasi ini.
Pada jaman Kebangkita Nasional 1908, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan merumuskan gagasan perlunya bangkitnya rasa kebangsaan pada anak-anak bangsa dari penindasan penjajahan atas seluruh struktur masyarakat, muncul kesadaran mengenai perlunya bangsa ini mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang memadai tanpa membedakan status sosial masyarakat.
Demikian pada 1928, ketika para elite bangsa ini merumuskan pandangan kebangsaan untuk mempersatukan seluruh elemen masyarakat, yang sangat heterogen, dengan Sumpah Pemuda, mereka sampai pada pemahaman bahwa kita sebagai bangsa mesti satu dalam berbangsa, bertanah-air, dan berbahasa satu (yakni bahasa persatuan, bukan bahasa yang satu!). Karena dengan itulah, maka kita bisa bersatu-padu menyamakan pandangan demi perjuangan bangsa dan negara.
Hingga pada 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno merumuskan pandangan dasar negara dengan Pancasila, maka kita merasa bahwa semuanya berjalan on the track, pada jalurnya yang benar. Meski pada akhirnya, teriakan-teriakan Bung Karno untuk character and national building, justeru mendapatkan tantangannya sekarang ini ketika kita berada dalam pandangan-pandangan sistem ekonomi dan politik global.
Perdebatan yang tak kunjung selesai antara faham Bung Karno yang merdeka sekarang juga dengan Bung Hatta mengenai perlunya tingkat kematangan masyarakat dalam alam demokrasi modern, seolah tidak berkesudahan, hingga hari ini. Hingga kita melihat, Bung Karno sendiri muncul dengan Demokrasi Terpimpin pada 1957, dan itulah pula awalnya Bung Karno perlahan terjebak dalam permainan kekuasaan.
Konsolidasi kalangan militer dan politikus (serta kekuatan asing) yang melihat Soekarno sebagai ancaman, memunculkan upaya-upaya penggulingan yang membuat Indonesia dalam situasi krisis 1965 hingga 1966. Situasi-situasi yang terbangun berikutnya, adalah situasi status-quo, transisi, dan kemudian perlahan serta sistematis, peran-peran serta atau partisipasi masyarakat perlahan diputus, sehingga yang muncul adalah otoritas kekuasaan yang elitis. Dengan munculnya Soeharto selaku presiden hasil Pemilu 1971, maka semakin jelaslah, Indonesia muncul sebagai negara yang tidak menyertakan peran masyarakat dalam proses membangsa dan menegara.
Kekuasaan politik (ditopang militer) kemudian sangat dominan dan tak terbantahkan. Proses komunikasi antara elite birokrasi dalam struktur kepemerintahan, terputus dengan struktur masyarakat yang tidak memiliki ruang, media, dan tempat. Elite kekuasaan kemudian menjadi begitu hegemonik, dengan watak-watak yang menyertainya. Ketika tingkat partisipasi tertutup, maka daya kritis masyarakat tidak tumbuh dan struktur masyarakat kita berjalan sendiri tanpa pengujian tentang efisiensi dan efektivitasnya. Jika kemudian yang muncul adalah pemerintahan yang korup, bobrok, maka itu adalah sebuah hal yang sangat wajar dan bisa dimengerti karena proses-proses dinamikanya yang tidak berada dalam proses trial and eror.
Maka jika pun kita telah berusia 67 tahun sebagai bangsa dan negara yang merdeka serta berdaulat, itu hanyalah fakta historis, bahwa pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi fakta empiris, kedaulatan negara dan bangsa yang merdeka, rasanya justeru harus dipertanyakan ulang. Karena pada dasarnya kedaulatan kita sebagai negara kehilangan bentuknya, persatuan bangsa mendapatkan tantangan perpecahan, serta pemerintahan kemudian lebih banyak sibuk melayani diri-sendiri, dan berkutat dengan agenda masing-masing.
Tingkat partisipasi masyarakat, lewat Pemilu 1999, 2004, 2009 (yang berbeda jauh dengan 1997), secara substansial tidak jauh berbeda. Bahwa peran negara dan penguasa berbeda posisi dengan sebelumnya, namun tingkat partisipasi masyarakat tidak dalam pengertian demokrasi yang sejati. Masyarakat tetap berada dalam situasi patron-client, demikian pada akhirnya para elite politik menempatkan diri sebagai penguasa-penguasa baru yang karakternya tak jauh berbeda dengan penguasa sebelumnya.
Perjuangan reformasi 1998, tidak menyiapkan bangsa dan negara ini untuk berubah. Masyarakat tidak memahami esensi reformasi demokrasi, unsur-unsur kenegaraan kita tidak mengalami reformasi yang esensial. Birokrasi masih saja korup dengan para birokratnya yang buta dan tuli.
Bencana alam susul-menyusul, jauh lebih cepat daripada sistem birokrasi pemerintahan kita yang tidak tanggap situasi. Di mana-mana, korban bencana mengeluh, bahwa faktual pemerintah bukan pelayan yang baik. Pemerintah adalah kekuasaan yang lamban, baik karena arogan maupun karena korup. Mereka menjadi tidak peka dan hanya pintar berkilah.
Sementara masyarakat sendiri, yang tidak terlatih dalam proses-proses trial and eror dan tidak disiapkan dalam proses pendidikan nasional yang memerdekaan manusia. Masyarakat terjebak dalam kemiskinan bukan saja ekonomi dan struktural, namun juga dalam kemampuan mengembangkan diri sebagai manusia merdeka.
Enam puluh tujuh tahun menjelang kemerdekaan kita, kita masih ribut soal sistem pendidikan nasional, sistem politik nasional, sistem ekonomi nasional. Bersamaan dengan itu, ketika kekuatan global masuk ke seluruh penjuru jaringan kita, kita kemudian hanya menjadi bangsa konsumen. Dengan tingkat konsumsinya yang bisa disetir bangsa lain, maka kita benar-benar akan habis, karena kita tidak terlatih menjadi bangsa yang mampu memproduksi. Jika kemampuan (produksi) tak ada namun keinginan (konsumsi) berlebih, sudah pasti yang terjadi adalah korupsi dan manipulasi.
Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, lembaga-lembaga sosial dan budaya masyarakat kita, seolah juga ikut tak berdaya menghadapi fenomena alam kita. Sama dan sebangun, berada dalam posisi setelah bencana. Sementara membangun persepsi masyarakat (dan juga pemerintah) untuk mengapresiasi fenomena alam, mengalami berbagai kemacetan. Pola komunikasi ilmuwan dan masyarakat, berada dalam jarak yang jauh. Peringatan dini, hanya dipandang dari sisi hard-ware, itupun dalam perawatan dan pemahaman yang disfungsional. Apalagi peringatan dini dari sisi pemahaman kultural, jauh panggang dari api. Dan akhirnya, kita tidak pernah menjadi bangsa yang siap. Juga dalam bencana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar