PENGANTAR | Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia, dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”
Hampir separuh anggota badan tersebut menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar, untuk di atasnya dibangun Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945 (Selasa Pon, 18 Jumadilawal 1364 H), Bung Karno mendapat giliran, menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakan Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu, diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin) yang bertugas “merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”
Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi, akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan, untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 (diambil dari Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).
Inilah pidato yang bersejarah itu.
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda, Philosofische grondslag (dasar filosofi, ed.) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda, ed.). Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini, zwaarwichtig (seolah-olah amat berat, dalam bahasa Belanda, ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig, sampai, kata orang Jawa njelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai njelimet, maka saya bertanya kepada Tuan-Tuan sekalian, kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula, jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat, Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun (juta, ed.) rakyat Rusia adalah rakyat Musyrik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama, ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoy dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI, ed.)! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampain jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka,... sampai di lubang kubur!
(Hadirin tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, in one night only, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan enam orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau pengembara, dalam bahasa Belanda, ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade diubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-Tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtua bekerja, ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-Tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-Tuan punya semangat, jikalau Tuan-Tuan demikian, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang dua milyun banyaknya. Dua milyun ini menyampaikan seruan pada saya, dua milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka sekarang!
(Hadirin tepuk tangan-riuh)
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan tiga kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Hadirin tepuk tangan-riuh)
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya, ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang, ed.) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen Urusan Umum, ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen, ed.) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang dua milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?
(Hadirin menjawab serentak: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Hadirin tepuk tangan bergemuruh)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya. Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyrik-musyrik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa Belanda, ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.
(Hadirin tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul (empuk, nyaman, ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk anak-anak, dalam bahasa Belanda, ed.), barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu meja makan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai, dalam bahasa Belanda, ed.), lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk (jurutulis, dalam bahasa Belanda, ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: Kawin.
Sang Ndoro (atau bandoro, majikan atau tuan dalam bahasa Jawa, ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak listrik, dalam bahasa Belanda, ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda, ed.), belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara!
(Hadirin tepuk tangan dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu. Tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda, ed.) satu set plus kinder-uitzet, buat tiga tahun lamanya!
(Hadirin tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence,... saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Hadirin tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa Belanda, ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan jembatan. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-Tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko (beraneka-macam, dalam bahasa Jawa, ed.), yang njelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Hadirin menjawab: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.
Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup, dalam bahasa Jerman, ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national sozialistische Weltanschauung, filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-Tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.”, Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia, walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru. Direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu.
Tidakkah pula Hitler demikian? Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, Weltanschauung ini, dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People's Principles, San Min Chu I; Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen, Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui. Pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918,… ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.
Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda, ed.), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah bangsa Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis, ed.), syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d'etre ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer (pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria, ed., di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib, ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.
Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd! Sudah tua! Memang Tuan-Tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geo-politik.
Kemarin, kalau tidak salah, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan atau persatuannya, dalam bahasa Jerman, ed.) dan perasaan orangnya, l'ame et le desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis, ed.) Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuat peta dunia, menyusun peta dunia.
Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan. Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d'etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d'etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira dua milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d'etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d'etre ensemble, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d'etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d'etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Hadirin tepuk tangan gemuruh)
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony, ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat.
Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyakrakusuma, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tuan-Tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo (Wakil Ketua, maksudnya Soeroso, ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid, perikemanusiaan!
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun '17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People's Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People's Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk ke lobang kubur.
(Hadirin anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara! Tetapi,... tetapi,... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem, ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles” (Indonesia di atas semua bangsa, ed.). Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, bangsa Aria, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-Tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-tiga? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam, maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-Tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan yang jujur, ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan. Prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy, Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara?
Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa Belanda, ed.).
Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris, ed.). Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda, ed.), tidak dapat makan suatu apa.”
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa Belanda, ed.).
Kita akan bicarakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda, ed., turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis, menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan empat prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Shalaullahu Allaihi Wassallam, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Hadirin bertepuk tangan)
Nabi Muhammad Shallaullahu Allaihi Wassallam telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda, ed.), tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: Bahwa prinsip ke-lima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda, ed.), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip, kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi, saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas ke-lima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Hadirin bertepuktangan riuh)
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demoratie, yaitu politieke demoratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi.
Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-Tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Hadirin bertepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karya, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu, bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Hadirin bertepuk tangan riuh-rendah)
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Berhubungan dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan darurat, dalam bahasa Belanda, ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! De Mensch, manusia, harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa Belanda, ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (hitam di atas putih, dalam bahasa Belanda, ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka! “Merdeka atau mati!”
(Hadirin bertepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa Belanda, ed.) itu.
Terima kasih!
(Hadirin bertepuk tangan riuh-rendah dan panjang)
Kamis, Mei 31, 2012
Rabu, Mei 30, 2012
Kesamaan Antara Anas Urbaningrum dan Bung Karno
Para Sukarnois jangan ngamuk dulu, memang ada kesamaan antara Anas Urbaningrum dan Sukarno. Setidaknya ada dua. Keduanya, paling tidak sama-sama ada bau Blitar (Jawa Timur), dan keduanya sama-sama pernah bikin nomor plat mobil sendiri, alias plat mobil palsu.
Ya, Sukarno, alias Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, pernah membuat plat nomor mobil sendiri. Plat nomor tersebut adalah REP 1. Padahal, polisi telah melarang. Berikut kisah yang ditulis Mangil, salah satu pengawal pribadi Bung Karno dalam buku "Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967":
Ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada suatu hari, Mangil diperintah Bung Karno meminta plat nomor mobil kepada polisi Yogyakarta. Mangil pun lantas menghadap Kepala Polisi Lalu Lintas Soenarjo, meneruskan permintaan Bung Karno supaya mobil merek Buick yang dibawa Bung Karno dari Jakarta diberi nomor polisi REP 1.
Sayangnya, permintaan Bung Karno ini tak dikabulkan Soenarjo, dengan penjelasan tidak ada dalam undang-undang dan peraturan lalu lintas. Jadi, permintaan presiden ini tidak dapat dikabulkan polisi. Mangil melaporkan hal tersebut kepada Bung Karno.
Setelah mendengar laporan ini, Bung Karno berkata, ’’Ya sudah, tidak apa-apa. Saya akan bikin sendiri plat nomor mobil itu.’’
Bung Karno lalu memerintah sopirnya, Arif, untuk membuat plat nomor REP 1. Plat itu kemudian dipasanglah di mobil Bung Karno. Depan dan belakang. Plat ini selalu dipakai Bung Karno dalam perjalanan resmi dalam kota Yogyakarta, dengan dikawal polisi lalu lintas anak buah Soenarjo. Dalam perjalanan ke luar daerah Yogyakarta pun, mobil Bung Karno selalu memakai nomor REP 1. Dan aman.
Bedanya dengan Anas, Bung Karno meminta ijin resmi dulu pada Polisi, meski tak diijinkan (dan Bung Karno tidak sok kuasa mentang-mentang Presiden). Bung Karno mengakui dia yang menyuruh sopirnya.
Dan beda yang menonjol, Sukarno yang membuat Monas, bukan yang meminta digantung di sana.
BUNG KARNO, PRESIDEN DENGAN MOBIL CURIAN DAN BERNOMOR PALSU | Beberapa hari setelah 17 Agustus 1945, tentu Republik Indonesia ini masih compang-camping. Situasinya sangat heroik dan revolusioner. Termasuk dalam segala hal yang berbau darurat situasional. Salah satunya, mobil kepresidenan.
Syahdan adalah pengikut Sukarno yang setia, Sudiro namanya, teringat kepada sebuah mobil Limousine merek Buick. Mobil itu besar dan cantik, bahkan tercantik di Jakarta. Mobil itu muat tujuh orang, bahkan memakai kain jendela di bagian belakangnya.
Tapi, problemnya, mobil itu kebetulan kepunyaan seorang Jepang yang menjabat Kepala Jawatan Kereta Api.
Tapi Sudiro mengesampingkan hal itu. Ini suasana revolusi.
Maka, keputusan revolusioner pun diambil, diiringi sejumlah pengikut setia Bung Karno yang lain, Sudiro mendatangi rumah pemilik Buick yang cantik itu. Kebetulan Sudiro kenal baik sopir mobil itu. Maka setelah memekik salam 'Merdeka!', Sudiro melontarkan maksudnya, “Heh, saya minta kunci mobilmu.”
Tentu saja sang pengemudi gelagapan. Kepalanya penuh tanda tanya, “Kenapa? Kenapa?”
Di tengah raut wajah kebingungan, Sudiro segera menimpali, “Karena saya bermaksud hendak mencurinya buat Presidenmu!”
Si sopir yang patriotis itu meringis, sambil keluar dari mobil dan menyerahkan kunci itu.
Si sopir segera disuruh pulang kampung di Jawa Tengah. Mobil itu, seperti diceritakan Mangil, di Yogyakarta diberi nomor Rep-1, nomor kreasi Sukarno sendiri, alias nomor palsu. | Diulik dan digubah dari tulisan Roso Daras.
Spesifikasi mobil limousine Buick Rep-1 itu, disebut sebagai Buick Eight, buatan Buick. Mobil ini hanya diproduksi sebanyak 1451 unit pada tahun 1939. Dan memiliki kapasitas sebesar 5248cc, dengan mesin empat langkah yang memiliki 8 silinder dan 2 katup di setiap silindernya.
Mobil yang menyandang nomor polisi Rep-1 ini juga memiliki perbandingan kompresi yang cukup prima, yaitu, 6.35:1. Selain itu, mobil ini pun dapat mengeluarkan tenaga yang cukup mumpuni pada zamannya, yakni, dapat mencapai 141 hp pada 3600 rpm. Serta memiliki perbandingan Bore X Stroke, 87.3 X 109.5.
Mobil Buick Limited-8 ini secara visual memang terlihat sangat berwibawa. Apalagi untuk menunjang kemewahan serta guna menjaga ‘rahasia negara’ yang mungkin terucap di dalam kabin mobil tersebut, maka mobil ini pun dilengkapi selembar kaca yang memisahkan penumpangnya dengan pengemudi yang dapat dibuka dengan sebuah tuas yang diputar. Kendaraan kepresidenan itu kini tersimpan rapi di Gedong Joang 45.
Ya, Sukarno, alias Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, pernah membuat plat nomor mobil sendiri. Plat nomor tersebut adalah REP 1. Padahal, polisi telah melarang. Berikut kisah yang ditulis Mangil, salah satu pengawal pribadi Bung Karno dalam buku "Kesaksian tentang Bung Karno 1945–1967":
Ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada suatu hari, Mangil diperintah Bung Karno meminta plat nomor mobil kepada polisi Yogyakarta. Mangil pun lantas menghadap Kepala Polisi Lalu Lintas Soenarjo, meneruskan permintaan Bung Karno supaya mobil merek Buick yang dibawa Bung Karno dari Jakarta diberi nomor polisi REP 1.
Sayangnya, permintaan Bung Karno ini tak dikabulkan Soenarjo, dengan penjelasan tidak ada dalam undang-undang dan peraturan lalu lintas. Jadi, permintaan presiden ini tidak dapat dikabulkan polisi. Mangil melaporkan hal tersebut kepada Bung Karno.
Setelah mendengar laporan ini, Bung Karno berkata, ’’Ya sudah, tidak apa-apa. Saya akan bikin sendiri plat nomor mobil itu.’’
Bung Karno lalu memerintah sopirnya, Arif, untuk membuat plat nomor REP 1. Plat itu kemudian dipasanglah di mobil Bung Karno. Depan dan belakang. Plat ini selalu dipakai Bung Karno dalam perjalanan resmi dalam kota Yogyakarta, dengan dikawal polisi lalu lintas anak buah Soenarjo. Dalam perjalanan ke luar daerah Yogyakarta pun, mobil Bung Karno selalu memakai nomor REP 1. Dan aman.
Bedanya dengan Anas, Bung Karno meminta ijin resmi dulu pada Polisi, meski tak diijinkan (dan Bung Karno tidak sok kuasa mentang-mentang Presiden). Bung Karno mengakui dia yang menyuruh sopirnya.
Dan beda yang menonjol, Sukarno yang membuat Monas, bukan yang meminta digantung di sana.
BUNG KARNO, PRESIDEN DENGAN MOBIL CURIAN DAN BERNOMOR PALSU | Beberapa hari setelah 17 Agustus 1945, tentu Republik Indonesia ini masih compang-camping. Situasinya sangat heroik dan revolusioner. Termasuk dalam segala hal yang berbau darurat situasional. Salah satunya, mobil kepresidenan.
Syahdan adalah pengikut Sukarno yang setia, Sudiro namanya, teringat kepada sebuah mobil Limousine merek Buick. Mobil itu besar dan cantik, bahkan tercantik di Jakarta. Mobil itu muat tujuh orang, bahkan memakai kain jendela di bagian belakangnya.
Tapi, problemnya, mobil itu kebetulan kepunyaan seorang Jepang yang menjabat Kepala Jawatan Kereta Api.
Tapi Sudiro mengesampingkan hal itu. Ini suasana revolusi.
Maka, keputusan revolusioner pun diambil, diiringi sejumlah pengikut setia Bung Karno yang lain, Sudiro mendatangi rumah pemilik Buick yang cantik itu. Kebetulan Sudiro kenal baik sopir mobil itu. Maka setelah memekik salam 'Merdeka!', Sudiro melontarkan maksudnya, “Heh, saya minta kunci mobilmu.”
Tentu saja sang pengemudi gelagapan. Kepalanya penuh tanda tanya, “Kenapa? Kenapa?”
Di tengah raut wajah kebingungan, Sudiro segera menimpali, “Karena saya bermaksud hendak mencurinya buat Presidenmu!”
Si sopir yang patriotis itu meringis, sambil keluar dari mobil dan menyerahkan kunci itu.
Si sopir segera disuruh pulang kampung di Jawa Tengah. Mobil itu, seperti diceritakan Mangil, di Yogyakarta diberi nomor Rep-1, nomor kreasi Sukarno sendiri, alias nomor palsu. | Diulik dan digubah dari tulisan Roso Daras.
Spesifikasi mobil limousine Buick Rep-1 itu, disebut sebagai Buick Eight, buatan Buick. Mobil ini hanya diproduksi sebanyak 1451 unit pada tahun 1939. Dan memiliki kapasitas sebesar 5248cc, dengan mesin empat langkah yang memiliki 8 silinder dan 2 katup di setiap silindernya.
Mobil yang menyandang nomor polisi Rep-1 ini juga memiliki perbandingan kompresi yang cukup prima, yaitu, 6.35:1. Selain itu, mobil ini pun dapat mengeluarkan tenaga yang cukup mumpuni pada zamannya, yakni, dapat mencapai 141 hp pada 3600 rpm. Serta memiliki perbandingan Bore X Stroke, 87.3 X 109.5.
Mobil Buick Limited-8 ini secara visual memang terlihat sangat berwibawa. Apalagi untuk menunjang kemewahan serta guna menjaga ‘rahasia negara’ yang mungkin terucap di dalam kabin mobil tersebut, maka mobil ini pun dilengkapi selembar kaca yang memisahkan penumpangnya dengan pengemudi yang dapat dibuka dengan sebuah tuas yang diputar. Kendaraan kepresidenan itu kini tersimpan rapi di Gedong Joang 45.
Selasa, Mei 29, 2012
Wahai Manusia, Belajarlah pada Binatang
Konon, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia ini. Kata siapa? Tentu saja kata manusia, yang bisa bicara, membuat dokumen, menulis buku, bikin aneka status di fesbuk, dan memaksakan pendapatnya tentu.
Namun kurang perfect apa Tuhan menciptakan burung, semut, lebah, dan bahkan anjing?
Kau lihatkah burung-burung yang tiap pagi keluar sarang mencari makan? Apakah ia ngerti ke mana hendak mencari di mana makanan berada? Bagaimana jika sore hari ia pulang tanpa membawa makanan, dan anak-anak mereka kelaparan di sarang?
Kita tak pernah lihat burung bunuh diri karena kegagalannya itu. Tak kemudian duduk di pojok sarang, menyendiri, dan menulis status melow dengan bahasa alay. Jika pun ada, pastilah dalam dunia kartun, yang dicipta manusia berdasar preferensi manusia tentu.
Kau bilang, disitulah manusia lebih unggul, karena bisa berhitung dan menabung. Tapi, bagaimana dengan semut? Kita sering menggambarkan semut dengan kebiasaan bergotongroyong. Kepeduliannya terhadap sesama semut untuk saling membantu. Sebesar dan seberat apapun pekerjaan, dihadapi dengan team-work yang baik.
Tapi, bukankah semut juga rajin menabung? Mengumpulkan cadangan makanan untuk komunitasnya, dan tidak menjadi beban bagi mahluk lainnya. Bahkan, kebiasaan para semut menabung makanan itu, justru memberi efek manfaat bagi alam. Kumpulan makanan yang mereka timbun dapat menyuburkan dan menggemburkan tanah di sekitarnya.
Kau bilang lagi, ah itu kan naluriah, kebiasaan?
Baiklah. Lihat lagi makhluk lainnya bernama lebah. Ini makhluk yang memiliki struktur organisasi dan manajemen kemasyarakatan yang paling terukur dan penuh disiplin.
Lebah adalah sejenis serangga yang hidup berkelompok dalam sebuah tempat atau koloni. Biasanya, kita dapat menjumpainya di daerah yang cenderung jauh dari pemukiman penduduk, dan berada di tempat-tempat yang tinggi. Dalam kelompoknya, lebah terbagi menjadi: Lebah Ratu yang berperan sebagai penghasil keturunan. Lebah Pekerja yang tugasnya mencari makanan, dan, lebah Tentara atau Penjaga yang bertugas untuk menjaga keamanan sekitar sarang tempat tinggal koloninya. Entahlah, ada yang jadi intel apa tidak.
Lebah bukanlah makhluk konstumtif. Ia hanya menghisap nektar dari bunga, dan tak pernah diulanginya lagi pada bunga yang sama (sic). Ternyata, setiap kali ia mendatangi bunga untuk menghisap nektarnya, kaki-kaki mungilnya ikut menyebarkan serbuk sari. Saat hal ini terjadi, sesungguhnya ia sedang membantu proses penyerbukan bunga menjadi buah. Ia tidak sekedar ngisep mulu. Ia bersimbiosis mutualisma.
Kau masih bisa berkata, itu semua instink saja. Dan itu karena kesempurnaan Tuhan menciptakan keseimbangan alam. Lhah, kalau demikian, apa klaim manusia sebagai makhluk sempurna bisa dipercaya? Biasanya, akal budi yang ada pada manusia yang sering dibanggakan. Tapi bagaimana jika akal budi juga bisa dipakai dan tidak dipakai oleh manusia?
Baiklah. Satu lagi, manusia juga bisa belajar dari anjing. Anjing? Ada memang yang mengharamkan hewan satu ini. Tapi walau begitu, anjing memiliki sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh makhluk yang sesempurna kita ini.
Anjing adalah hewan yang paling setia kepada majikannya. Bahkan dalam kisah ashabul kahfi, yang menjaga pemuda-pemuda muslim saat tidur di dalam gua selama 309 tahun adalah anjing. Anjing? Ya, anjing.
Dia rela menjaga majikan-majikannya sampai akhir hayatnya. Dan itu berlangsung 309 tahun. Bukan hanya sejak reformasi 1998 kemarin, dan sudah menuntut cem-macem.
Namun kurang perfect apa Tuhan menciptakan burung, semut, lebah, dan bahkan anjing?
Kau lihatkah burung-burung yang tiap pagi keluar sarang mencari makan? Apakah ia ngerti ke mana hendak mencari di mana makanan berada? Bagaimana jika sore hari ia pulang tanpa membawa makanan, dan anak-anak mereka kelaparan di sarang?
Kita tak pernah lihat burung bunuh diri karena kegagalannya itu. Tak kemudian duduk di pojok sarang, menyendiri, dan menulis status melow dengan bahasa alay. Jika pun ada, pastilah dalam dunia kartun, yang dicipta manusia berdasar preferensi manusia tentu.
Kau bilang, disitulah manusia lebih unggul, karena bisa berhitung dan menabung. Tapi, bagaimana dengan semut? Kita sering menggambarkan semut dengan kebiasaan bergotongroyong. Kepeduliannya terhadap sesama semut untuk saling membantu. Sebesar dan seberat apapun pekerjaan, dihadapi dengan team-work yang baik.
Tapi, bukankah semut juga rajin menabung? Mengumpulkan cadangan makanan untuk komunitasnya, dan tidak menjadi beban bagi mahluk lainnya. Bahkan, kebiasaan para semut menabung makanan itu, justru memberi efek manfaat bagi alam. Kumpulan makanan yang mereka timbun dapat menyuburkan dan menggemburkan tanah di sekitarnya.
Kau bilang lagi, ah itu kan naluriah, kebiasaan?
Baiklah. Lihat lagi makhluk lainnya bernama lebah. Ini makhluk yang memiliki struktur organisasi dan manajemen kemasyarakatan yang paling terukur dan penuh disiplin.
Lebah adalah sejenis serangga yang hidup berkelompok dalam sebuah tempat atau koloni. Biasanya, kita dapat menjumpainya di daerah yang cenderung jauh dari pemukiman penduduk, dan berada di tempat-tempat yang tinggi. Dalam kelompoknya, lebah terbagi menjadi: Lebah Ratu yang berperan sebagai penghasil keturunan. Lebah Pekerja yang tugasnya mencari makanan, dan, lebah Tentara atau Penjaga yang bertugas untuk menjaga keamanan sekitar sarang tempat tinggal koloninya. Entahlah, ada yang jadi intel apa tidak.
Lebah bukanlah makhluk konstumtif. Ia hanya menghisap nektar dari bunga, dan tak pernah diulanginya lagi pada bunga yang sama (sic). Ternyata, setiap kali ia mendatangi bunga untuk menghisap nektarnya, kaki-kaki mungilnya ikut menyebarkan serbuk sari. Saat hal ini terjadi, sesungguhnya ia sedang membantu proses penyerbukan bunga menjadi buah. Ia tidak sekedar ngisep mulu. Ia bersimbiosis mutualisma.
Kau masih bisa berkata, itu semua instink saja. Dan itu karena kesempurnaan Tuhan menciptakan keseimbangan alam. Lhah, kalau demikian, apa klaim manusia sebagai makhluk sempurna bisa dipercaya? Biasanya, akal budi yang ada pada manusia yang sering dibanggakan. Tapi bagaimana jika akal budi juga bisa dipakai dan tidak dipakai oleh manusia?
Baiklah. Satu lagi, manusia juga bisa belajar dari anjing. Anjing? Ada memang yang mengharamkan hewan satu ini. Tapi walau begitu, anjing memiliki sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh makhluk yang sesempurna kita ini.
Anjing adalah hewan yang paling setia kepada majikannya. Bahkan dalam kisah ashabul kahfi, yang menjaga pemuda-pemuda muslim saat tidur di dalam gua selama 309 tahun adalah anjing. Anjing? Ya, anjing.
Dia rela menjaga majikan-majikannya sampai akhir hayatnya. Dan itu berlangsung 309 tahun. Bukan hanya sejak reformasi 1998 kemarin, dan sudah menuntut cem-macem.
Sukarno Mendisain Tata Wilayah Indonesia ke Depan
Banyak orang yang tidakk tahu, bahwa Bung Karno salah satu Presiden yang amat mengerti tata ruang kota dan tata ruang wilayah geopolitik. Dia sendiri sudah mendisain seluruh wilayah Indonesia dengan bagian-bagian pembangunannya, hal ini menjadi satu bagian dari dokumen Deklarasi Ekonomi Djuanda 1960.
Kebanyakan kita mengetahui, Sukarno hanyalah seorang arsitek yang gemar mendisain patung. Disain rumah karyanya, hanyalah beberapa di Bandung yang ia gambar saat bekerja pada Insinyur Rooseno, atau ketika ia baru lulus kuliah THS (ITB), membuat jembatan-jembatan kecil di Jawa Barat.
Bahkan secara sarkastis, mahasiswa-mahasiswa anti Sukarno pada tahun 1965, meledek Bung Karno sebagai "Orangtua pikun, patung kok dikira celana,...". Hal itu untuk meledek pidato Sukarno, bahwa patung itu seperti celana, sebagai sebuah kehormatan bangsa.
Padahal Sukarno adalah seorang pemikir yang mendisain bukan saja patung-patung yang kebanyakan meniru model Eropa Timur. Ia bahkan mendisain kota-kota besar masa depan Indonesia.
Di tahun 1958, setelah pengusiran warga Belanda dan pengambilalihan modal-modal Belanda sebagai bagian pernyataan siap perang Indonesia, dengan merobek-robek perjanjian KMB, Sukarno sudah merancang Djakarta menjadi kota tempur.
Seperti kota Singapura, seluruh bujur jalannya lurus-lurus dan lebar sekali, sebenarnya itu disiapkan untuk menjadi markas atas penguasaan wilayah Asia Tenggara.
Bagi Bung Karno stabilitas Asia Tenggara adalah segala-galanya, untuk melepaskan Indonesia dari politik ketergantungan modal dan politik invasi wilayah-wilayah produk (apa yang ditakutkan Sukarno pernah diucapkan pada Djuanda; "Amerika sekarang tak lebih dengan Belanda, mereka tak berminat terhadap kesatuan wilayah, mereka hanya berminat wilayah-wilayah kaya modal, wilayah produktie, inilah yang menyamakan mereka dengan Belanda di tahun 1947, dimana agresi militer mereka dinamakan dengan sandi "Operatie Produkt").
Wilayah-wilayah yang jadi prioritas Sukarno setelah siap perang dengan Belanda adalah Irian Barat. Merebut Irian Barat menjadi satu bagian NKRI adalah satu syarat, agar bangsa ini menjadi paling kuat di Asia. Selain Irian Barat yang menjadi perhatian penting Bung Karno, adalah Kalimantan.
Awalnya Semaun yang membawa saran tentang perpindahan ibukota (Semaun adalah konseptor besar atas tatanan ruang kota-kota satelit Sovjet Uni di wilayah Asia Tengah), dan ini kemudian disambut antusias oleh Bung Karno, selama satu tahun penuh Bung Karno mempelajari soal Kalimantan ini. Ia berkesimpulan, "masa depan dunia adalah pangan, sumber minyak dan air. Pertahanan militer bertumpu pada kekuatan Angkatan Udara".
Bung Karno membagi dua kekuatan besar itu, pertahanan nasional dalam dua garis besar: Pertahanan Laut di Indonesia Timur dengan Biak menjadi pusat armadanya (ini sesuai dengan garis geopolitik Douglas MacArthur), dan Pertahanan Udara di Kalimantan. Menurut Bung Karno, ia mencari kota yang tepat untuk menjadi 'Pusat Kalimantan'.
Pada suatu malam, di hadapan beberapa orang, Bung Karno dengan intuisinya mengambil mangkok putih di depan peta besar Kalimantan. Ia menaruh mangkok itu ke tengah-tengah peta. Kemudian Sukarno berkata dengan mata tajam ke arah yang mendengarnya, "Itu Ibukota RI!"
Bung Karno menunjuk satu peta di tepi sungai Kahayan. Lalu Bung Karno ke tepi Sungai Kahayan dan melihat sebuah pasar yang bernama Pasar Pahandut. Dari pasar inilah, Bung Karno mengatakan, "Ibukota RI dimulai dari sini!"
Ucapan itu sama persis dengan ucapan Daendels di depan Asisten Bupati Sumedang, saat membangun jalan darat Pos Selatan, untuk gudang arsenal Hindia-Perancis, ketika itu ia menunjuk satu tempat yang kita kenal sekarang sebagai Bandung. "Bandung jadi titik nol wilayah pertahanan Jawa".
Bung Karno kemudian menyusun dasar-dasar kota administrasi provinsi, dengan dibantu eks Gubernur Jawa Timur, RTA Milono. Pada saat penyusunan birokrasi itu, Bung Karno sedang menyiapkan cetak biru besar tentang rancangan tata ruang negara dari Sabang sampai Merauke.
Antara Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, akan dibangun terowongan bawah tanah. Karena rawan gempa, Bung Karno meningkatkan armada pelabuhan antar pulau, dengan memesan kapal dari Polandia. Tapi rencana membuat channel seperti di selat Inggris tetap diprioritaskan, bahkan menjelang kejatuhannya, di tahun 1966, ia bercerita tentang channel bawah tanah yang menghubungkan Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Pusat pelabuhan dagang bukan diletakkan di Jawa, tapi di sepanjang pesisir Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi. Sukarno mempersiapkan rangkaian pelabuhan yang ia sebut sebagai "Zona Tapal Kuda". Wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan.
Kota-kota baru dibangun. Pilot projectnya adalah Palangkaraya dan Sampit. Setelah itu, Jakarta juga dibangun untuk display ruang atau model kota modern. Jakarta tetap dijadikan pusat kota jasa internasional, sementara Palangkaraya menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan militer udara. Biak di Irian Barat menjadi pertahanan militer laut, dan Bandung jadi pusat pertahanan militer darat.
Seluruh jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus, dan menuju satu bundaran besar. Bila perang dengan Inggris benar terjadi, maka jalan-jalan itu diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat Mig21, yang diborong dari Sovjet Uni.
Rencana tata kota ini didisain sampai dengan tahun 1975. Rafinerij atau tambang-tambang minyak milik asing, akan diambil alih dan diberikan pada serikat-serikat buruh. Penguasaan saham diatasnamakan negara, dan uangnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum. Pangdam Kaltim di pertengahan tahun 1960-an, Brigjen Hario Ketjik, salah satu fanatik Sukarnois yang menerapkan rencana ini di Kalimantan Timur.
Pembangunan tata ruang kota Palangkaraya diatur amat teliti, sampai sekarang tata ruang kota Palangkaraya paling rapi di Indonesia.
Visi Sukarno, di tahun 1975, Indonesia akan jadi bangsa terkuat di Asia dan menjadi salah satu negara adikuasa dunia dalam konteks the big five: Amerika Serikat, Inggris, Sovjet Uni, dan Jepang.
Jepang dan Cina menurut Sukarno masih bisa dibawah Indonesia. Dan Indonesia jadi negara terkuat di Asia memimpin tiga zona wilayah (Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur).
Setelah Bung Karno dilongsorkan Suharto (dan Amerika) dalam penguasaan keadaan saat Gestapu 1965, Bung Karno diinternir. Suharto amat takut dengan bentuk persebaran kekuatan wilayah. Ia bertindak seperti Amangkurat I yang paranoid terhadap kekuatan pesisir. Ia tarik seluruh kekuatan modal dan manusia ke satu pusat, yaitu Jawa.
Padahal Jawa disiapkan Sukarno sebagai pulau yang khusus lumbung pangan dan pariwisata, pulau peristirahatan. Sekarang Jawa adalah pusat segala-galanya. Menjadi pulau paling padat sedunia, dan tidak memiliki kenyamanan sebagai sebuah 'surga khatulistiwa'. Sementara Kalimantan dibiarkan kosong melompong.
Sesungguhnya, selalu terbuka kesempatan, untuk menjadi Indonesia Raya! Andai saja akademisi kita tidak ikut-ikutan mengotori dirinya seperti comberan mulut politikus, ada baiknya menggali "rencana-rencana Sukarno" ini, ketimbang mengomentari dan mengamati 'para maling main politik'.
Kebanyakan kita mengetahui, Sukarno hanyalah seorang arsitek yang gemar mendisain patung. Disain rumah karyanya, hanyalah beberapa di Bandung yang ia gambar saat bekerja pada Insinyur Rooseno, atau ketika ia baru lulus kuliah THS (ITB), membuat jembatan-jembatan kecil di Jawa Barat.
Bahkan secara sarkastis, mahasiswa-mahasiswa anti Sukarno pada tahun 1965, meledek Bung Karno sebagai "Orangtua pikun, patung kok dikira celana,...". Hal itu untuk meledek pidato Sukarno, bahwa patung itu seperti celana, sebagai sebuah kehormatan bangsa.
Padahal Sukarno adalah seorang pemikir yang mendisain bukan saja patung-patung yang kebanyakan meniru model Eropa Timur. Ia bahkan mendisain kota-kota besar masa depan Indonesia.
Di tahun 1958, setelah pengusiran warga Belanda dan pengambilalihan modal-modal Belanda sebagai bagian pernyataan siap perang Indonesia, dengan merobek-robek perjanjian KMB, Sukarno sudah merancang Djakarta menjadi kota tempur.
Seperti kota Singapura, seluruh bujur jalannya lurus-lurus dan lebar sekali, sebenarnya itu disiapkan untuk menjadi markas atas penguasaan wilayah Asia Tenggara.
Bagi Bung Karno stabilitas Asia Tenggara adalah segala-galanya, untuk melepaskan Indonesia dari politik ketergantungan modal dan politik invasi wilayah-wilayah produk (apa yang ditakutkan Sukarno pernah diucapkan pada Djuanda; "Amerika sekarang tak lebih dengan Belanda, mereka tak berminat terhadap kesatuan wilayah, mereka hanya berminat wilayah-wilayah kaya modal, wilayah produktie, inilah yang menyamakan mereka dengan Belanda di tahun 1947, dimana agresi militer mereka dinamakan dengan sandi "Operatie Produkt").
Wilayah-wilayah yang jadi prioritas Sukarno setelah siap perang dengan Belanda adalah Irian Barat. Merebut Irian Barat menjadi satu bagian NKRI adalah satu syarat, agar bangsa ini menjadi paling kuat di Asia. Selain Irian Barat yang menjadi perhatian penting Bung Karno, adalah Kalimantan.
Awalnya Semaun yang membawa saran tentang perpindahan ibukota (Semaun adalah konseptor besar atas tatanan ruang kota-kota satelit Sovjet Uni di wilayah Asia Tengah), dan ini kemudian disambut antusias oleh Bung Karno, selama satu tahun penuh Bung Karno mempelajari soal Kalimantan ini. Ia berkesimpulan, "masa depan dunia adalah pangan, sumber minyak dan air. Pertahanan militer bertumpu pada kekuatan Angkatan Udara".
Bung Karno membagi dua kekuatan besar itu, pertahanan nasional dalam dua garis besar: Pertahanan Laut di Indonesia Timur dengan Biak menjadi pusat armadanya (ini sesuai dengan garis geopolitik Douglas MacArthur), dan Pertahanan Udara di Kalimantan. Menurut Bung Karno, ia mencari kota yang tepat untuk menjadi 'Pusat Kalimantan'.
Pada suatu malam, di hadapan beberapa orang, Bung Karno dengan intuisinya mengambil mangkok putih di depan peta besar Kalimantan. Ia menaruh mangkok itu ke tengah-tengah peta. Kemudian Sukarno berkata dengan mata tajam ke arah yang mendengarnya, "Itu Ibukota RI!"
Bung Karno menunjuk satu peta di tepi sungai Kahayan. Lalu Bung Karno ke tepi Sungai Kahayan dan melihat sebuah pasar yang bernama Pasar Pahandut. Dari pasar inilah, Bung Karno mengatakan, "Ibukota RI dimulai dari sini!"
Ucapan itu sama persis dengan ucapan Daendels di depan Asisten Bupati Sumedang, saat membangun jalan darat Pos Selatan, untuk gudang arsenal Hindia-Perancis, ketika itu ia menunjuk satu tempat yang kita kenal sekarang sebagai Bandung. "Bandung jadi titik nol wilayah pertahanan Jawa".
Bung Karno kemudian menyusun dasar-dasar kota administrasi provinsi, dengan dibantu eks Gubernur Jawa Timur, RTA Milono. Pada saat penyusunan birokrasi itu, Bung Karno sedang menyiapkan cetak biru besar tentang rancangan tata ruang negara dari Sabang sampai Merauke.
Antara Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali, akan dibangun terowongan bawah tanah. Karena rawan gempa, Bung Karno meningkatkan armada pelabuhan antar pulau, dengan memesan kapal dari Polandia. Tapi rencana membuat channel seperti di selat Inggris tetap diprioritaskan, bahkan menjelang kejatuhannya, di tahun 1966, ia bercerita tentang channel bawah tanah yang menghubungkan Pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Pusat pelabuhan dagang bukan diletakkan di Jawa, tapi di sepanjang pesisir Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi. Sukarno mempersiapkan rangkaian pelabuhan yang ia sebut sebagai "Zona Tapal Kuda". Wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan.
Kota-kota baru dibangun. Pilot projectnya adalah Palangkaraya dan Sampit. Setelah itu, Jakarta juga dibangun untuk display ruang atau model kota modern. Jakarta tetap dijadikan pusat kota jasa internasional, sementara Palangkaraya menjadi pusat pemerintahan dan pertahanan militer udara. Biak di Irian Barat menjadi pertahanan militer laut, dan Bandung jadi pusat pertahanan militer darat.
Seluruh jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus, dan menuju satu bundaran besar. Bila perang dengan Inggris benar terjadi, maka jalan-jalan itu diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat Mig21, yang diborong dari Sovjet Uni.
Rencana tata kota ini didisain sampai dengan tahun 1975. Rafinerij atau tambang-tambang minyak milik asing, akan diambil alih dan diberikan pada serikat-serikat buruh. Penguasaan saham diatasnamakan negara, dan uangnya untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum. Pangdam Kaltim di pertengahan tahun 1960-an, Brigjen Hario Ketjik, salah satu fanatik Sukarnois yang menerapkan rencana ini di Kalimantan Timur.
Pembangunan tata ruang kota Palangkaraya diatur amat teliti, sampai sekarang tata ruang kota Palangkaraya paling rapi di Indonesia.
Visi Sukarno, di tahun 1975, Indonesia akan jadi bangsa terkuat di Asia dan menjadi salah satu negara adikuasa dunia dalam konteks the big five: Amerika Serikat, Inggris, Sovjet Uni, dan Jepang.
Jepang dan Cina menurut Sukarno masih bisa dibawah Indonesia. Dan Indonesia jadi negara terkuat di Asia memimpin tiga zona wilayah (Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur).
Setelah Bung Karno dilongsorkan Suharto (dan Amerika) dalam penguasaan keadaan saat Gestapu 1965, Bung Karno diinternir. Suharto amat takut dengan bentuk persebaran kekuatan wilayah. Ia bertindak seperti Amangkurat I yang paranoid terhadap kekuatan pesisir. Ia tarik seluruh kekuatan modal dan manusia ke satu pusat, yaitu Jawa.
Padahal Jawa disiapkan Sukarno sebagai pulau yang khusus lumbung pangan dan pariwisata, pulau peristirahatan. Sekarang Jawa adalah pusat segala-galanya. Menjadi pulau paling padat sedunia, dan tidak memiliki kenyamanan sebagai sebuah 'surga khatulistiwa'. Sementara Kalimantan dibiarkan kosong melompong.
Sesungguhnya, selalu terbuka kesempatan, untuk menjadi Indonesia Raya! Andai saja akademisi kita tidak ikut-ikutan mengotori dirinya seperti comberan mulut politikus, ada baiknya menggali "rencana-rencana Sukarno" ini, ketimbang mengomentari dan mengamati 'para maling main politik'.
Senin, Mei 28, 2012
Memulai Cinta dari Diri Sendiri
There is only one happiness in life; to love and be loved, demikian pada pagi-pagi dingin, George Sands menyapaku dari rimbun rumpun bambu depan rumah. Hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup; mencintai dan dicintai.
Hm, tak ada pekerjaan lainkah? Selalu saja demikian reaksi negatif kita yang muncul, untuk selalu melakukan penyangkalan, negasi, terhadap apapun. Karena kita tidak dididik mengapresiasi, melainkan berkompetisi. Dan kita kemudian menerjemahkan berkompetisi ialah tidak dengan mengapresiasi, melainkan bagaimana memunculkan diri-sendiri.
Maka ketika melihat pelawak naik panggung, selalu muncul celotehan yang menimpalinya bahwa pelawak di panggung itu tiada, dan kita ingin merebut pesona panggung itu untuk diri kita.
Membaca status teman di fesbuk, reaksi yang muncul bukanlah sekedar bersefaham, melainkan mencoba mencari celah, untuk bisa memberi celetukan yang aneh, yang berbeda, hanya karena ingin mementahkannya dan menjadikan itu semua sebagai pengalih pesona pada dirinya.
Betapa tersiksanya pribadi demikian. Maka pembenaran atas ujaran George Sands di atas, tak bisa disangkal. Jika hanya ada satu kebahagiaan hidup itu diraih dari mencintai dan dicintai, maka ketersiksaan hidup pun lebih dikarenakan tiadanya daya mencintai dan pesona untuk dicintai. Tiadanya rasa cinta, telah menghilangkan bakat dasar kita untuk mengerti, baik pada diri-sendiri maupun pada lain orang.
Bahkan, ketika derita hinggap, bisa jadi Tuhan pun dipersalahkan, bencana dan semua kejadian (yang menderitakan itu) selalu disebut sebagai kutukan, kemarahan Tuhan. Tanpa peduli bahwa Tuhan sendiri telah menciptakan hukum alam, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, hukum siapa menanam dia memanen.
Ketidakmampuan memahami hukum sebab-akibat itu, yang membuat kita juga tak bisa belajar dari masa-lalu, tak pernah kuasa menjadikan hal-hal buruk yang terjadi sebagai sejarah sekaligus pelajaran, yang menjadi pijakan untuk berjalan terus mencari keseimbangan diri.
Ketika John Lennon ditanya wartawan, apakah dia dendam terhadap pihak-pihak yang dulu berkonspirasi mengusirnya? Jawabnya, “Tidak, saya percaya waktu menyembuhkan semua luka”.
Sebagaimana Martin Luther King, Jr.,menyemangati kita, bahwa; "Love is the only force capable of transforming an enemy into a friend." Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman.
Let us always meet each other with smile, demikian ajakan Bunda Teresa, karena senyum adalah awal dari cinta.
Kuncinya? Berdamai dengan diri-sendiri. Karena pengertian pada orang lain, untuk bisa menyunggingkan bibir kita, tidak mungkin terjadi ketika kita sendiri sedang berperang, dalam batin kita, sibuk menilai-nilai kau ini siapa dan aku siapa. Bukannya mencoba mengerti 'engkau bagaimana dan mengapa', sebagaimana Tuhan selalu mengajarkan itu.
Menyedihkan. Karena dari sejak presiden, politikus, agamawan, guru, motivator, lebih sibuk mengajari kita menjadi pemenang. Dan lupa mengatakan bahwa kemuliaan hidup bukan hanya kemenangan, melainkan bagaimana menjadikan kemenangan itu sebagai cara untuk memuliakan kehidupan. Bukan sebagai tujuan akhir.
"Kebahagiaan adalah getaran yang baik untuk perdamaian. Damai di pikiran Anda, damai di bumi, damai dalam pekerjaan, damai di rumah, damai di dunia," demikian John Lennon.
“Happiness is a good vibes for peace. Peace on your mind, peace on earth, peace at work, peace at home, peace in the world.”
Hm, tak ada pekerjaan lainkah? Selalu saja demikian reaksi negatif kita yang muncul, untuk selalu melakukan penyangkalan, negasi, terhadap apapun. Karena kita tidak dididik mengapresiasi, melainkan berkompetisi. Dan kita kemudian menerjemahkan berkompetisi ialah tidak dengan mengapresiasi, melainkan bagaimana memunculkan diri-sendiri.
Maka ketika melihat pelawak naik panggung, selalu muncul celotehan yang menimpalinya bahwa pelawak di panggung itu tiada, dan kita ingin merebut pesona panggung itu untuk diri kita.
Membaca status teman di fesbuk, reaksi yang muncul bukanlah sekedar bersefaham, melainkan mencoba mencari celah, untuk bisa memberi celetukan yang aneh, yang berbeda, hanya karena ingin mementahkannya dan menjadikan itu semua sebagai pengalih pesona pada dirinya.
Betapa tersiksanya pribadi demikian. Maka pembenaran atas ujaran George Sands di atas, tak bisa disangkal. Jika hanya ada satu kebahagiaan hidup itu diraih dari mencintai dan dicintai, maka ketersiksaan hidup pun lebih dikarenakan tiadanya daya mencintai dan pesona untuk dicintai. Tiadanya rasa cinta, telah menghilangkan bakat dasar kita untuk mengerti, baik pada diri-sendiri maupun pada lain orang.
Bahkan, ketika derita hinggap, bisa jadi Tuhan pun dipersalahkan, bencana dan semua kejadian (yang menderitakan itu) selalu disebut sebagai kutukan, kemarahan Tuhan. Tanpa peduli bahwa Tuhan sendiri telah menciptakan hukum alam, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, hukum siapa menanam dia memanen.
Ketidakmampuan memahami hukum sebab-akibat itu, yang membuat kita juga tak bisa belajar dari masa-lalu, tak pernah kuasa menjadikan hal-hal buruk yang terjadi sebagai sejarah sekaligus pelajaran, yang menjadi pijakan untuk berjalan terus mencari keseimbangan diri.
Ketika John Lennon ditanya wartawan, apakah dia dendam terhadap pihak-pihak yang dulu berkonspirasi mengusirnya? Jawabnya, “Tidak, saya percaya waktu menyembuhkan semua luka”.
Sebagaimana Martin Luther King, Jr.,menyemangati kita, bahwa; "Love is the only force capable of transforming an enemy into a friend." Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman.
Let us always meet each other with smile, demikian ajakan Bunda Teresa, karena senyum adalah awal dari cinta.
Kuncinya? Berdamai dengan diri-sendiri. Karena pengertian pada orang lain, untuk bisa menyunggingkan bibir kita, tidak mungkin terjadi ketika kita sendiri sedang berperang, dalam batin kita, sibuk menilai-nilai kau ini siapa dan aku siapa. Bukannya mencoba mengerti 'engkau bagaimana dan mengapa', sebagaimana Tuhan selalu mengajarkan itu.
Menyedihkan. Karena dari sejak presiden, politikus, agamawan, guru, motivator, lebih sibuk mengajari kita menjadi pemenang. Dan lupa mengatakan bahwa kemuliaan hidup bukan hanya kemenangan, melainkan bagaimana menjadikan kemenangan itu sebagai cara untuk memuliakan kehidupan. Bukan sebagai tujuan akhir.
"Kebahagiaan adalah getaran yang baik untuk perdamaian. Damai di pikiran Anda, damai di bumi, damai dalam pekerjaan, damai di rumah, damai di dunia," demikian John Lennon.
“Happiness is a good vibes for peace. Peace on your mind, peace on earth, peace at work, peace at home, peace in the world.”
Jumat, Mei 25, 2012
Bersyukur dengan Sombong
Ada seseorang yang mengeluh, bagaimana mungkin dengan satu sumber penghasilan, kita membayari begitu banyak kebutuhan, dari mulai kebutuhan keseharian, kemudian biaya sekolah anak, pakaian, sepatu, biaya liburan, beli pulsa hp, ongkos naik ojek atau perahu, biaya beli sepincuk pecel kembang turi.
Adakah yang baru di sini? Tidak. Bahkan untuk mereka yang dengan satu sumber penghasilan berjumlah Rp 500.000 tiap bulannya, namun tiap bulan pula ia mesti keluar biaya untuk anak sekolahnya berjumlah Rp 100.000 misalnya, untuk makan tiap hari butuh Rp 300.000 misalnya, untuk transport mungkin saja butuh Rp 50.000, untuk biaya sosial dan ini-itu mungkin bisa mencapai jumlah Rp 100.000 padahal sisa uang tinggal Rp 50.000?
Bagaimana dengan biaya-biaya lain lagi, seperti pengobatan jika sakit, perbaikan rumah jika rusak, beli pakaian baru karena sudah lusuh, biaya beli pulsa kalau misal punya hape? Itu belum boro-boro biaya liburan jika anaknya tiba-tiba berlagak tak tahu diri menuntut liburan! Padahal, tiap bulan selalu tekor, dan tak mungkin bisa menabung.
Itupun, atas keajaiban Allah, semuanya bisa terjadi. Baik dengan cara yang baik dan benar, bohong dikit-dikit, atau sama sekali dengan cara yang culas, asal bisa terpenuhi. Nyuri kayu jati di area perhutani misalnya, dan akhirnya di penjara 10 tahun misalnya, karena ia hanya rakyat kecil (sementara yang korupsi dengan nilai milyaran divonis cuma dua-empat tahun)!
Sekiranya kau hanya punya satu sumber penghasilan, namun jika dari satu sumbermu itu menghasilkan Rp 40 juta misalnya. Kau bisa seminggu sekali ke starbuck yang sebulan hanya menghabiskan Rp 500,000 misalnya, biaya anak-anakmu sebulan Rp 5 juta misalnya, biaya ini-itu, makan, kesehatan, pakaian sebulan habis Rp 10 juta misalnya. Kira-kira kau masih punya sisa Rp 20 juta per-bulan, untuk kau tabung atau investasi. Dan kau masih bisa liburan keluarga, yang belum tentu sebulan sekali, berapa duit kau habiskan untuk itu? Untuk makan enak di resto lokal Rp 2 juta pun sudah sangat nikmatnya. Biaya ini itu di perjalanan berapa? Dari sisa duitmu pun masih pula tersisa, meski pun sudah banyak orang yang kau beri. Kau beri? Bukankah di sana ada imbal-balik? Mereka juga memberimu bukan? Bahkan memberi pada fakir-miskin pun Tuhan menjanjikan imbalannya (dan bahkan itu pula yang membuat kau melakukan pemberian itu, berharap imbalan)!
Lihatlah dunia dengan lebih arif, dan santun.
Kecenderungan mengeluh, sering membuat kita tak bisa membedakan angka dengan nilai. Di sini, kebahagiaan dan kesyukuran bisa dinilai. Karena pengetahuan atas nilai, bisa membuat yang kekurangan tak kurang kebahagiaannya (meski banyak pula yang menderita), dan yang kaya-raya masih merasa kurang saja (meski ada juga yang bisa bersyukur). Di situlah, dunia juga sering membuat kita lupa diri untuk bersyukur dengan tulus. Karena di jaman kini, ada orang bersyukur dengan sombong, atau bersyukur hanya demi status, di fesbuk misalnya. Tuhan besertamu.
Adakah yang baru di sini? Tidak. Bahkan untuk mereka yang dengan satu sumber penghasilan berjumlah Rp 500.000 tiap bulannya, namun tiap bulan pula ia mesti keluar biaya untuk anak sekolahnya berjumlah Rp 100.000 misalnya, untuk makan tiap hari butuh Rp 300.000 misalnya, untuk transport mungkin saja butuh Rp 50.000, untuk biaya sosial dan ini-itu mungkin bisa mencapai jumlah Rp 100.000 padahal sisa uang tinggal Rp 50.000?
Bagaimana dengan biaya-biaya lain lagi, seperti pengobatan jika sakit, perbaikan rumah jika rusak, beli pakaian baru karena sudah lusuh, biaya beli pulsa kalau misal punya hape? Itu belum boro-boro biaya liburan jika anaknya tiba-tiba berlagak tak tahu diri menuntut liburan! Padahal, tiap bulan selalu tekor, dan tak mungkin bisa menabung.
Itupun, atas keajaiban Allah, semuanya bisa terjadi. Baik dengan cara yang baik dan benar, bohong dikit-dikit, atau sama sekali dengan cara yang culas, asal bisa terpenuhi. Nyuri kayu jati di area perhutani misalnya, dan akhirnya di penjara 10 tahun misalnya, karena ia hanya rakyat kecil (sementara yang korupsi dengan nilai milyaran divonis cuma dua-empat tahun)!
Sekiranya kau hanya punya satu sumber penghasilan, namun jika dari satu sumbermu itu menghasilkan Rp 40 juta misalnya. Kau bisa seminggu sekali ke starbuck yang sebulan hanya menghabiskan Rp 500,000 misalnya, biaya anak-anakmu sebulan Rp 5 juta misalnya, biaya ini-itu, makan, kesehatan, pakaian sebulan habis Rp 10 juta misalnya. Kira-kira kau masih punya sisa Rp 20 juta per-bulan, untuk kau tabung atau investasi. Dan kau masih bisa liburan keluarga, yang belum tentu sebulan sekali, berapa duit kau habiskan untuk itu? Untuk makan enak di resto lokal Rp 2 juta pun sudah sangat nikmatnya. Biaya ini itu di perjalanan berapa? Dari sisa duitmu pun masih pula tersisa, meski pun sudah banyak orang yang kau beri. Kau beri? Bukankah di sana ada imbal-balik? Mereka juga memberimu bukan? Bahkan memberi pada fakir-miskin pun Tuhan menjanjikan imbalannya (dan bahkan itu pula yang membuat kau melakukan pemberian itu, berharap imbalan)!
Lihatlah dunia dengan lebih arif, dan santun.
Kecenderungan mengeluh, sering membuat kita tak bisa membedakan angka dengan nilai. Di sini, kebahagiaan dan kesyukuran bisa dinilai. Karena pengetahuan atas nilai, bisa membuat yang kekurangan tak kurang kebahagiaannya (meski banyak pula yang menderita), dan yang kaya-raya masih merasa kurang saja (meski ada juga yang bisa bersyukur). Di situlah, dunia juga sering membuat kita lupa diri untuk bersyukur dengan tulus. Karena di jaman kini, ada orang bersyukur dengan sombong, atau bersyukur hanya demi status, di fesbuk misalnya. Tuhan besertamu.
Rabu, Mei 16, 2012
Lady Gaga Sumber Keruntuhan Bangsa, Wah!
"Hampir semua orang Indonesia mengakui, Lady Gaga adalah orang hebat, sangat berpengaruh, Su!"
"Bagaimana mungkin? Kan dia dilarang manggung di Indonesia, Mbang?"
"Justeru itu. Kalau dia jadi pentas di Indonesia, iman orang-orang beriman di Indonesia akan runtuh, bangsa ini moralitasnya akan ambruk, kerusakan akan terjadi di mana-mana, Su,..."
"Lho, lha soal korupsi yang merajalela di mana-mana, Mbang? Tawuran pelajar, mahasiswa, bentrok antar perguruan silat, konflik Ambon, perkelahian polisi vs tentara, guru ngobyek, UN nyontek dan bocoran soal, ustad cabul, penyanyi sufi beristeri enam, dan,..."
"Nha, kamu tahu 'kan, Lady Gaga belum masuk Indonesia saja sudah ruksak begitu, bayangkan kalau dia sampai masuk ke Indonesia! Bayangkan, kalau para koruptor, pelaku kekerasan, tukang contek, pencuri, semua penjahat-penjahat Indonesia tiru-tiru Lady Gaga, memakai kostum sexy Lady Gaga, bisa hancur bangsa ini. Sudah kelakuannya jelek, pakai pakaian sexy kayak dia lagi. Bayangin pulak coba, apa nggak menjijiikkan, kalau mereka melakukan tindak kejahatan sembari menari-nari pornoaksi? Kan jadi norak to, Su?"
"Jadi, Mbang, Lady Gaga itu perusak bangsa, yah?"
"Lha iyah! Maka biar kita beradab, korupsinya, tindak kekerasannya, nyonteknya, pelanggaran HAM-nya, ngibulnya, itu dengan berpakaian yang sopan, dilakukan dengan sopan, tidak neko-neko dan pornoaksi, Su,...!"
"Hidup Indonesia Raya, Mbang!"
"Merdeka, Su!"
"Bagaimana mungkin? Kan dia dilarang manggung di Indonesia, Mbang?"
"Justeru itu. Kalau dia jadi pentas di Indonesia, iman orang-orang beriman di Indonesia akan runtuh, bangsa ini moralitasnya akan ambruk, kerusakan akan terjadi di mana-mana, Su,..."
"Lho, lha soal korupsi yang merajalela di mana-mana, Mbang? Tawuran pelajar, mahasiswa, bentrok antar perguruan silat, konflik Ambon, perkelahian polisi vs tentara, guru ngobyek, UN nyontek dan bocoran soal, ustad cabul, penyanyi sufi beristeri enam, dan,..."
"Nha, kamu tahu 'kan, Lady Gaga belum masuk Indonesia saja sudah ruksak begitu, bayangkan kalau dia sampai masuk ke Indonesia! Bayangkan, kalau para koruptor, pelaku kekerasan, tukang contek, pencuri, semua penjahat-penjahat Indonesia tiru-tiru Lady Gaga, memakai kostum sexy Lady Gaga, bisa hancur bangsa ini. Sudah kelakuannya jelek, pakai pakaian sexy kayak dia lagi. Bayangin pulak coba, apa nggak menjijiikkan, kalau mereka melakukan tindak kejahatan sembari menari-nari pornoaksi? Kan jadi norak to, Su?"
"Jadi, Mbang, Lady Gaga itu perusak bangsa, yah?"
"Lha iyah! Maka biar kita beradab, korupsinya, tindak kekerasannya, nyonteknya, pelanggaran HAM-nya, ngibulnya, itu dengan berpakaian yang sopan, dilakukan dengan sopan, tidak neko-neko dan pornoaksi, Su,...!"
"Hidup Indonesia Raya, Mbang!"
"Merdeka, Su!"
Berfokuslah, dan Terimalah
Seniman itu tak diukur dari kepiawaiannya berkata-kata tentang seni, demikian Teguh Karya pernah mengatakan. Seniman harus dilihat dari keterampilannya berolah seni.
Di dalam tubuh kita, adalah sekumpulan potensi, yang dengan itu, maka menjadi hidup dan berkembang. Potensi, atau daya, akan menjadi besar manakala kita bukan saja memberinya makan, melainkan juga dengan mempergunakannya dalam kehidupan.
Demikian pula sebaliknya, dia akan layu, loyo, tak berkembang, manakala disia-siakan. Pilihlah prioritas, yang paling mungkin, dari sekian banyak (atau sedikit) potensi itu. Berfokuslah, karena tidak cukup meyakinkan ketika orang ngomong tentang multi-talenta, karena toh mesti ada prioritas. Maka pilihlah potensi mana yang akan kita jadikan besar. Karena tanpa pilihan, berarti kita telah menjadikannya tetap kecil.
Naiknya daya, atau potensi, bukanlah didapat dari sekali atau beberapa kali kegiatan. Dia muncul dari kegiatan yang dilakukan terus-menerus, berulang-ulang, hingga menjadikan potensi bertambah, atau seseorang terlatih, terbiasa, dan tentunya terampil.
Terkadang sesuatu yang rutin kita terima, menjadi biasa dan tidak berarti apa-apa. Namun kita baru merasa kehilangan, ketika ia tidak kunjung hadir kembali, lantaran lama kita lupakan. Maka terimalah, bersyukurlah, atas yang kita miliki, pergunakan dan rawatlah, atau kita hanya bisa menyesali karena terlambat menyadari kehadirannya.
Di dalam tubuh kita, adalah sekumpulan potensi, yang dengan itu, maka menjadi hidup dan berkembang. Potensi, atau daya, akan menjadi besar manakala kita bukan saja memberinya makan, melainkan juga dengan mempergunakannya dalam kehidupan.
Demikian pula sebaliknya, dia akan layu, loyo, tak berkembang, manakala disia-siakan. Pilihlah prioritas, yang paling mungkin, dari sekian banyak (atau sedikit) potensi itu. Berfokuslah, karena tidak cukup meyakinkan ketika orang ngomong tentang multi-talenta, karena toh mesti ada prioritas. Maka pilihlah potensi mana yang akan kita jadikan besar. Karena tanpa pilihan, berarti kita telah menjadikannya tetap kecil.
Naiknya daya, atau potensi, bukanlah didapat dari sekali atau beberapa kali kegiatan. Dia muncul dari kegiatan yang dilakukan terus-menerus, berulang-ulang, hingga menjadikan potensi bertambah, atau seseorang terlatih, terbiasa, dan tentunya terampil.
Terkadang sesuatu yang rutin kita terima, menjadi biasa dan tidak berarti apa-apa. Namun kita baru merasa kehilangan, ketika ia tidak kunjung hadir kembali, lantaran lama kita lupakan. Maka terimalah, bersyukurlah, atas yang kita miliki, pergunakan dan rawatlah, atau kita hanya bisa menyesali karena terlambat menyadari kehadirannya.
Sabtu, Mei 05, 2012
Ciri-ciri Perdebatan Kita di Berbagai Media
Jika kita mencermati forum-forum diskusi, talkshow di televisi antara para politisi-pengamat-akademisi, berbagai kritik dan kontra-kritik pemerintah, atau forum-forum diskusi di lapangan mana pun (politik, seni, ekonomi, hukum, dsb), sering kita dapati kecenderungan-kecenderungan yang menunjukkan, betapa banyaknya orang pintar di sekitar kita, tapi kehidupan ini tetap saja stagnan dan bahkan melorot makin anjlog. Tak bisa menentukan agenda dan prioritas kerja. Beberapa kecenderungan itu antara lain:
1. Berkecenderungan me-negasi-kan pendapat orang lain. Menolak, mementahkan, atau bahkan mencari kesalahan, namun sebatas kesalahan teknis, bukan substansial. Bermain kata-kata dan silogisme untuk menunjukkan dirinya lebih hebat dari yang lain.
2. Tidak mengerti prioritas, lebih suka ribut pada hal-hal yang remeh-temeh. Tidak faham mana yang permasalahan pokok, dan mana permasalahan yang sebenarnya dicari-cari.
3. Tidak mampu menemukan solusi bersama, dan tidak pernah dapat memformulasikan masalah menjadi agenda kerja bersama, dan hanya asyik-masuk dalam debat semantik (ribet dengan kata, istilah dan penuh retorika), tapi tidak autentik.
4. Memuja citra diri sebagai lebih penting dibanding esensi masalah. Sehingga perdebatan hanya sebuah ajang mempromosikan diri, bukannya pokok masalah itu sendiri yang harus dipecahkan.
5. Terjebak dalam retorika akademik, bahwa saya berfikir maka saya ada, sehingga keberadaan diri lebih penting, tetapi untuk apa keberadaannya hanyalah untuk dirinya, bukan untuk memecahkan masalah. Berdebat akhirnya hanyalah sebuah kegenitan pikiran, bukan pemecahan masalah, karena kadang cita-citanya hanya sepele: Menjadi debator profesional, tukang debat yang ngarep honor sebagai penghasilan finansialnya.
Dan last but not least:
6. Alangkah sulitnya mereka bekerja sama untuk menyelesaikan masalah secara nyata, karena setelah debat, yang diurus hanya citra diri dan honorarium. Jika besok ada masalah lagi, ya cari referensi agar tampil lebih hebat dalam perdebatan.
Jakob Oetama, CEO Kompas Grup menyebut, kita kehilangan ketulusan. Dan kita tak pernah serius untuk mengentaskan Indonesia dalam keterpurukannya, karena banyaknya orang pintar yang tidak tulus itu.
1. Berkecenderungan me-negasi-kan pendapat orang lain. Menolak, mementahkan, atau bahkan mencari kesalahan, namun sebatas kesalahan teknis, bukan substansial. Bermain kata-kata dan silogisme untuk menunjukkan dirinya lebih hebat dari yang lain.
2. Tidak mengerti prioritas, lebih suka ribut pada hal-hal yang remeh-temeh. Tidak faham mana yang permasalahan pokok, dan mana permasalahan yang sebenarnya dicari-cari.
3. Tidak mampu menemukan solusi bersama, dan tidak pernah dapat memformulasikan masalah menjadi agenda kerja bersama, dan hanya asyik-masuk dalam debat semantik (ribet dengan kata, istilah dan penuh retorika), tapi tidak autentik.
4. Memuja citra diri sebagai lebih penting dibanding esensi masalah. Sehingga perdebatan hanya sebuah ajang mempromosikan diri, bukannya pokok masalah itu sendiri yang harus dipecahkan.
5. Terjebak dalam retorika akademik, bahwa saya berfikir maka saya ada, sehingga keberadaan diri lebih penting, tetapi untuk apa keberadaannya hanyalah untuk dirinya, bukan untuk memecahkan masalah. Berdebat akhirnya hanyalah sebuah kegenitan pikiran, bukan pemecahan masalah, karena kadang cita-citanya hanya sepele: Menjadi debator profesional, tukang debat yang ngarep honor sebagai penghasilan finansialnya.
Dan last but not least:
6. Alangkah sulitnya mereka bekerja sama untuk menyelesaikan masalah secara nyata, karena setelah debat, yang diurus hanya citra diri dan honorarium. Jika besok ada masalah lagi, ya cari referensi agar tampil lebih hebat dalam perdebatan.
Jakob Oetama, CEO Kompas Grup menyebut, kita kehilangan ketulusan. Dan kita tak pernah serius untuk mengentaskan Indonesia dalam keterpurukannya, karena banyaknya orang pintar yang tidak tulus itu.
Bangsa dan Negara yang Berantakan
Oleh Sunardian Wirodono
INDONESIA di masa kini, adalah sebuah negara yang sedang mengalami percobaan luar biasa. Seolah kita baru tahu, bahwa kita selama ini tinggal di dalam kondisi dan situasi darurat. Bencana alam yang mendera kita mulai dari Aceh dan Nias 2004, gempa tektonik di Bantul dan sekitarnya 2006, hingga bencana alam di Sulawesi dan Bali, gunung Merapi 2010, dan berbagai bencana lain yang telah memporak-porandakan bangsa dan negara ini. Dan kita sampai pada kecemasan yang luar biasa, apa yang bisa kita harapkan dari semuanya ini?
Mungkin, agak berlebihan kesimpulan ini. Namun, dari kesiapan kita menghadapi berbagai bencana alam, baik pemerintah maupun masyarakat, tidak siap akan semua itu. Sementara, ilmu pengetahuan sudah lama memberitahukan kita, bahwa negeri ini berada dalam kondisi geografis yang labil. Di dalam air dan tanah Indonesia, tersimpan berbagai kemungkinan, entah struktur bumi yang labil, gunung berapa di atas permukaan daratan maupun di dalam lautan, dan belum lagi unsur manusia itu sendiri dalam menjaga keseimbangan alam.
Berbagai bencana yang menimpa kita, jika terus-menerus, tentu akan menguras habis dana-dana sosial masyarakat, pemerintah, dan dengan sendirinya negara. Menipisnya dana-dana sosial itu, akan berpengaruh pada stok dana-dana lainnya, yang diproyeksikan untuk kepentingan-kepentingan lain (yang juga tidak kalah urgennya). Dalam situasi itu, pemikiran tentang prioritas bisa dikacaukan, dan bangsa ini pada titik kritisnya bisa kehilangan arah serta tujuannya ke depan.
Ada dua sebab yang menjadikan kondisi kita semakin kritis, ialah pada tingkat kematarangan struktur kenegaraan dan struktur kemasyarakatan kita. Struktur kenegaraan kita, berada dalam situasi dan proses pematangan yang tak kunjung selesai. Sementara ketidakmatangan struktur masyarakat, tentu dipengaruhi oleh ketidakmatangan struktur di atasnya.
Ketidakmatangan struktur kenegaraan kita, bisa ditengarai dari proses-proses politik kenegaraan, yang dikangkangi oleh elite-elite politik dan ekonomi kita dengan agenda yang berjalan tidak berada dalam satuan gagasan visioner ke depan. Proses membangsa dan menegara Indonesia, dalam satuan kurun waktu 1908, 1928, 1945, kemudian mengalami discontinuity mulai 1957, 1966, 1971 dan seterusnya hingga era yang dinamakan reformasi ini.
Pada jaman Kebangkita Nasional 1908, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan merumuskan gagasan perlunya bangkitnya rasa kebangsaan pada anak-anak bangsa dari penindasan penjajahan atas seluruh struktur masyarakat, muncul kesadaran mengenai perlunya bangsa ini mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang memadai tanpa membedakan status sosial masyarakat.
Demikian pada 1928, ketika para elite bangsa ini merumuskan pandangan kebangsaan untuk mempersatukan seluruh elemen masyarakat, yang sangat heterogen, dengan Sumpah Pemuda, mereka sampai pada pemahaman bahwa kita sebagai bangsa mesti satu dalam berbangsa, bertanah-air, dan berbahasa satu (yakni bahasa persatuan, bukan bahasa yang satu!). Karena dengan itulah, maka kita bisa bersatu-padu menyamakan pandangan demi perjuangan bangsa dan negara.
Hingga pada 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno merumuskan pandangan dasar negara dengan Pancasila, maka kita merasa bahwa semuanya berjalan on the track, pada jalurnya yang benar. Meski pada akhirnya, teriakan-teriakan Bung Karno untuk character and national building, justeru mendapatkan tantangannya sekarang ini ketika kita berada dalam pandangan-pandangan sistem ekonomi dan politik global.
Perdebatan yang tak kunjung selesai antara faham Bung Karno yang merdeka sekarang juga dengan Bung Hatta mengenai perlunya tingkat kematangan masyarakat dalam alam demokrasi modern, seolah tidak berkesudahan, hingga hari ini. Hingga kita melihat, Bung Karno sendiri muncul dengan Demokrasi Terpimpin pada 1957, dan itulah pula awalnya Bung Karno perlahan terjebak dalam permainan kekuasaan.
Konsolidasi kalangan militer dan politikus (serta kekuatan asing) yang melihat Soekarno sebagai ancaman, memunculkan upaya-upaya penggulingan yang membuat Indonesia dalam situasi krisis 1965 hingga 1966. Situasi-situasi yang terbangun berikutnya, adalah situasi status-quo, transisi, dan kemudian perlahan serta sistematis, peran-peran serta atau partisipasi masyarakat perlahan diputus, sehingga yang muncul adalah otoritas kekuasaan yang elitis. Dengan munculnya Soeharto selaku presiden hasil Pemilu 1971, maka semakin jelaslah, Indonesia muncul sebagai negara yang tidak menyertakan peran masyarakat dalam proses membangsa dan menegara.
Kekuasaan politik (ditopang militer) kemudian sangat dominan dan tak terbantahkan. Proses komunikasi antara elite birokrasi dalam struktur kepemerintahan, terputus dengan struktur masyarakat yang tidak memiliki ruang, media, dan tempat. Elite kekuasaan kemudian menjadi begitu hegemonik, dengan watak-watak yang menyertainya. Ketika tingkat partisipasi tertutup, maka daya kritis masyarakat tidak tumbuh dan struktur masyarakat kita berjalan sendiri tanpa pengujian tentang efisiensi dan efektivitasnya. Jika kemudian yang muncul adalah pemerintahan yang korup, bobrok, maka itu adalah sebuah hal yang sangat wajar dan bisa dimengerti karena proses-proses dinamikanya yang tidak berada dalam proses trial and eror.
Maka jika pun kita telah berusia 67 tahun sebagai bangsa dan negara yang merdeka serta berdaulat, itu hanyalah fakta historis, bahwa pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi fakta empiris, kedaulatan negara dan bangsa yang merdeka, rasanya justeru harus dipertanyakan ulang. Karena pada dasarnya kedaulatan kita sebagai negara kehilangan bentuknya, persatuan bangsa mendapatkan tantangan perpecahan, serta pemerintahan kemudian lebih banyak sibuk melayani diri-sendiri, dan berkutat dengan agenda masing-masing.
Tingkat partisipasi masyarakat, lewat Pemilu 1999, 2004, 2009 (yang berbeda jauh dengan 1997), secara substansial tidak jauh berbeda. Bahwa peran negara dan penguasa berbeda posisi dengan sebelumnya, namun tingkat partisipasi masyarakat tidak dalam pengertian demokrasi yang sejati. Masyarakat tetap berada dalam situasi patron-client, demikian pada akhirnya para elite politik menempatkan diri sebagai penguasa-penguasa baru yang karakternya tak jauh berbeda dengan penguasa sebelumnya.
Perjuangan reformasi 1998, tidak menyiapkan bangsa dan negara ini untuk berubah. Masyarakat tidak memahami esensi reformasi demokrasi, unsur-unsur kenegaraan kita tidak mengalami reformasi yang esensial. Birokrasi masih saja korup dengan para birokratnya yang buta dan tuli.
Bencana alam susul-menyusul, jauh lebih cepat daripada sistem birokrasi pemerintahan kita yang tidak tanggap situasi. Di mana-mana, korban bencana mengeluh, bahwa faktual pemerintah bukan pelayan yang baik. Pemerintah adalah kekuasaan yang lamban, baik karena arogan maupun karena korup. Mereka menjadi tidak peka dan hanya pintar berkilah.
Sementara masyarakat sendiri, yang tidak terlatih dalam proses-proses trial and eror dan tidak disiapkan dalam proses pendidikan nasional yang memerdekaan manusia. Masyarakat terjebak dalam kemiskinan bukan saja ekonomi dan struktural, namun juga dalam kemampuan mengembangkan diri sebagai manusia merdeka.
Enam puluh tujuh tahun menjelang kemerdekaan kita, kita masih ribut soal sistem pendidikan nasional, sistem politik nasional, sistem ekonomi nasional. Bersamaan dengan itu, ketika kekuatan global masuk ke seluruh penjuru jaringan kita, kita kemudian hanya menjadi bangsa konsumen. Dengan tingkat konsumsinya yang bisa disetir bangsa lain, maka kita benar-benar akan habis, karena kita tidak terlatih menjadi bangsa yang mampu memproduksi. Jika kemampuan (produksi) tak ada namun keinginan (konsumsi) berlebih, sudah pasti yang terjadi adalah korupsi dan manipulasi.
Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, lembaga-lembaga sosial dan budaya masyarakat kita, seolah juga ikut tak berdaya menghadapi fenomena alam kita. Sama dan sebangun, berada dalam posisi setelah bencana. Sementara membangun persepsi masyarakat (dan juga pemerintah) untuk mengapresiasi fenomena alam, mengalami berbagai kemacetan. Pola komunikasi ilmuwan dan masyarakat, berada dalam jarak yang jauh. Peringatan dini, hanya dipandang dari sisi hard-ware, itupun dalam perawatan dan pemahaman yang disfungsional. Apalagi peringatan dini dari sisi pemahaman kultural, jauh panggang dari api. Dan akhirnya, kita tidak pernah menjadi bangsa yang siap. Juga dalam bencana.
INDONESIA di masa kini, adalah sebuah negara yang sedang mengalami percobaan luar biasa. Seolah kita baru tahu, bahwa kita selama ini tinggal di dalam kondisi dan situasi darurat. Bencana alam yang mendera kita mulai dari Aceh dan Nias 2004, gempa tektonik di Bantul dan sekitarnya 2006, hingga bencana alam di Sulawesi dan Bali, gunung Merapi 2010, dan berbagai bencana lain yang telah memporak-porandakan bangsa dan negara ini. Dan kita sampai pada kecemasan yang luar biasa, apa yang bisa kita harapkan dari semuanya ini?
Mungkin, agak berlebihan kesimpulan ini. Namun, dari kesiapan kita menghadapi berbagai bencana alam, baik pemerintah maupun masyarakat, tidak siap akan semua itu. Sementara, ilmu pengetahuan sudah lama memberitahukan kita, bahwa negeri ini berada dalam kondisi geografis yang labil. Di dalam air dan tanah Indonesia, tersimpan berbagai kemungkinan, entah struktur bumi yang labil, gunung berapa di atas permukaan daratan maupun di dalam lautan, dan belum lagi unsur manusia itu sendiri dalam menjaga keseimbangan alam.
Berbagai bencana yang menimpa kita, jika terus-menerus, tentu akan menguras habis dana-dana sosial masyarakat, pemerintah, dan dengan sendirinya negara. Menipisnya dana-dana sosial itu, akan berpengaruh pada stok dana-dana lainnya, yang diproyeksikan untuk kepentingan-kepentingan lain (yang juga tidak kalah urgennya). Dalam situasi itu, pemikiran tentang prioritas bisa dikacaukan, dan bangsa ini pada titik kritisnya bisa kehilangan arah serta tujuannya ke depan.
Ada dua sebab yang menjadikan kondisi kita semakin kritis, ialah pada tingkat kematarangan struktur kenegaraan dan struktur kemasyarakatan kita. Struktur kenegaraan kita, berada dalam situasi dan proses pematangan yang tak kunjung selesai. Sementara ketidakmatangan struktur masyarakat, tentu dipengaruhi oleh ketidakmatangan struktur di atasnya.
Ketidakmatangan struktur kenegaraan kita, bisa ditengarai dari proses-proses politik kenegaraan, yang dikangkangi oleh elite-elite politik dan ekonomi kita dengan agenda yang berjalan tidak berada dalam satuan gagasan visioner ke depan. Proses membangsa dan menegara Indonesia, dalam satuan kurun waktu 1908, 1928, 1945, kemudian mengalami discontinuity mulai 1957, 1966, 1971 dan seterusnya hingga era yang dinamakan reformasi ini.
Pada jaman Kebangkita Nasional 1908, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan merumuskan gagasan perlunya bangkitnya rasa kebangsaan pada anak-anak bangsa dari penindasan penjajahan atas seluruh struktur masyarakat, muncul kesadaran mengenai perlunya bangsa ini mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang memadai tanpa membedakan status sosial masyarakat.
Demikian pada 1928, ketika para elite bangsa ini merumuskan pandangan kebangsaan untuk mempersatukan seluruh elemen masyarakat, yang sangat heterogen, dengan Sumpah Pemuda, mereka sampai pada pemahaman bahwa kita sebagai bangsa mesti satu dalam berbangsa, bertanah-air, dan berbahasa satu (yakni bahasa persatuan, bukan bahasa yang satu!). Karena dengan itulah, maka kita bisa bersatu-padu menyamakan pandangan demi perjuangan bangsa dan negara.
Hingga pada 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno merumuskan pandangan dasar negara dengan Pancasila, maka kita merasa bahwa semuanya berjalan on the track, pada jalurnya yang benar. Meski pada akhirnya, teriakan-teriakan Bung Karno untuk character and national building, justeru mendapatkan tantangannya sekarang ini ketika kita berada dalam pandangan-pandangan sistem ekonomi dan politik global.
Perdebatan yang tak kunjung selesai antara faham Bung Karno yang merdeka sekarang juga dengan Bung Hatta mengenai perlunya tingkat kematangan masyarakat dalam alam demokrasi modern, seolah tidak berkesudahan, hingga hari ini. Hingga kita melihat, Bung Karno sendiri muncul dengan Demokrasi Terpimpin pada 1957, dan itulah pula awalnya Bung Karno perlahan terjebak dalam permainan kekuasaan.
Konsolidasi kalangan militer dan politikus (serta kekuatan asing) yang melihat Soekarno sebagai ancaman, memunculkan upaya-upaya penggulingan yang membuat Indonesia dalam situasi krisis 1965 hingga 1966. Situasi-situasi yang terbangun berikutnya, adalah situasi status-quo, transisi, dan kemudian perlahan serta sistematis, peran-peran serta atau partisipasi masyarakat perlahan diputus, sehingga yang muncul adalah otoritas kekuasaan yang elitis. Dengan munculnya Soeharto selaku presiden hasil Pemilu 1971, maka semakin jelaslah, Indonesia muncul sebagai negara yang tidak menyertakan peran masyarakat dalam proses membangsa dan menegara.
Kekuasaan politik (ditopang militer) kemudian sangat dominan dan tak terbantahkan. Proses komunikasi antara elite birokrasi dalam struktur kepemerintahan, terputus dengan struktur masyarakat yang tidak memiliki ruang, media, dan tempat. Elite kekuasaan kemudian menjadi begitu hegemonik, dengan watak-watak yang menyertainya. Ketika tingkat partisipasi tertutup, maka daya kritis masyarakat tidak tumbuh dan struktur masyarakat kita berjalan sendiri tanpa pengujian tentang efisiensi dan efektivitasnya. Jika kemudian yang muncul adalah pemerintahan yang korup, bobrok, maka itu adalah sebuah hal yang sangat wajar dan bisa dimengerti karena proses-proses dinamikanya yang tidak berada dalam proses trial and eror.
Maka jika pun kita telah berusia 67 tahun sebagai bangsa dan negara yang merdeka serta berdaulat, itu hanyalah fakta historis, bahwa pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi fakta empiris, kedaulatan negara dan bangsa yang merdeka, rasanya justeru harus dipertanyakan ulang. Karena pada dasarnya kedaulatan kita sebagai negara kehilangan bentuknya, persatuan bangsa mendapatkan tantangan perpecahan, serta pemerintahan kemudian lebih banyak sibuk melayani diri-sendiri, dan berkutat dengan agenda masing-masing.
Tingkat partisipasi masyarakat, lewat Pemilu 1999, 2004, 2009 (yang berbeda jauh dengan 1997), secara substansial tidak jauh berbeda. Bahwa peran negara dan penguasa berbeda posisi dengan sebelumnya, namun tingkat partisipasi masyarakat tidak dalam pengertian demokrasi yang sejati. Masyarakat tetap berada dalam situasi patron-client, demikian pada akhirnya para elite politik menempatkan diri sebagai penguasa-penguasa baru yang karakternya tak jauh berbeda dengan penguasa sebelumnya.
Perjuangan reformasi 1998, tidak menyiapkan bangsa dan negara ini untuk berubah. Masyarakat tidak memahami esensi reformasi demokrasi, unsur-unsur kenegaraan kita tidak mengalami reformasi yang esensial. Birokrasi masih saja korup dengan para birokratnya yang buta dan tuli.
Bencana alam susul-menyusul, jauh lebih cepat daripada sistem birokrasi pemerintahan kita yang tidak tanggap situasi. Di mana-mana, korban bencana mengeluh, bahwa faktual pemerintah bukan pelayan yang baik. Pemerintah adalah kekuasaan yang lamban, baik karena arogan maupun karena korup. Mereka menjadi tidak peka dan hanya pintar berkilah.
Sementara masyarakat sendiri, yang tidak terlatih dalam proses-proses trial and eror dan tidak disiapkan dalam proses pendidikan nasional yang memerdekaan manusia. Masyarakat terjebak dalam kemiskinan bukan saja ekonomi dan struktural, namun juga dalam kemampuan mengembangkan diri sebagai manusia merdeka.
Enam puluh tujuh tahun menjelang kemerdekaan kita, kita masih ribut soal sistem pendidikan nasional, sistem politik nasional, sistem ekonomi nasional. Bersamaan dengan itu, ketika kekuatan global masuk ke seluruh penjuru jaringan kita, kita kemudian hanya menjadi bangsa konsumen. Dengan tingkat konsumsinya yang bisa disetir bangsa lain, maka kita benar-benar akan habis, karena kita tidak terlatih menjadi bangsa yang mampu memproduksi. Jika kemampuan (produksi) tak ada namun keinginan (konsumsi) berlebih, sudah pasti yang terjadi adalah korupsi dan manipulasi.
Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, lembaga-lembaga sosial dan budaya masyarakat kita, seolah juga ikut tak berdaya menghadapi fenomena alam kita. Sama dan sebangun, berada dalam posisi setelah bencana. Sementara membangun persepsi masyarakat (dan juga pemerintah) untuk mengapresiasi fenomena alam, mengalami berbagai kemacetan. Pola komunikasi ilmuwan dan masyarakat, berada dalam jarak yang jauh. Peringatan dini, hanya dipandang dari sisi hard-ware, itupun dalam perawatan dan pemahaman yang disfungsional. Apalagi peringatan dini dari sisi pemahaman kultural, jauh panggang dari api. Dan akhirnya, kita tidak pernah menjadi bangsa yang siap. Juga dalam bencana.
Riuh Rendah dan Ketiadaan Arah Membangsa
Oleh Sunardian Wirodono
Sepanjang hari-hari ini, Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang begitu sangat riuh-rendah. Permasalahan, seolah silih-berganti, namun kita tidak pernah tahu ujung permasalahan itu, selain kesulitan kita mencarinya pangkalnya.
Namun, jika kita memakai istilah reformasi, seusai longsornya Soeharto pada 20 Mei 1998, tak ada perubahan substansial yang terjadi pada bangsa dan Negara ini, kecuali de-jure dalam system perundangan dan ketatanegaraan.
Namun, seberapa banyak produk hokum dan system kenegaraan, ada satu hal yang jauh lebih penting menyangga itu semua, yakni tumbuhnya manusia baru Indonesia. Karena jika reformasi kita maknakan secara semantic, maka semestinya dari bangsa ulat, kita mesti berubah menjadi bangsa kepompong, dan kemudian berubah ujud menjadi kupu-kupu. Itu makna reformasi.
Namun sekiranya dari bangsa ulat dan kemudian dengan alas an adanya “reformasi politik” justeru yang terjadi kita menjadi bangsa larva atau jentik-jentik sebelum ulat, bias jadi namanya deformasi dalam makna kemunduran.
Kebebasan berdemokrasi politik, hanya dimaknakan dengan kebebasan mengekspresikan kehendak hati, tanpa dimengerti dan dihayati sebagai suatu upaya atau proses menjadi lebih baik dan mulia. Kebebasan berekspresi dalam dunia politik, kemudian meniadakan etika, aturan, dan melahirkan berbagai bentuk kesewenang-wenangan baru, yang bias sama atau lebih buruk dari situasi-situasi sebelumnya.
Segala macam peristiwa dan perbincangan politik kita hari-hari ini, terasa lebih banyak mengedepankan cara berfikir formal, yang mengedepankan teks namun melupakan konteks. Kebenaran-kebenaran dari cara berfikir formal, hanya melahirkan asumsi mengenai aspek-aspek verbalitas dan procedural semata, namun menjadi sering kehilangan esensi dan makna dari sisi etika atau moralitas.
Seorang anggota DPR, seorang lawyer, seorang jaksa, seorang hakim, seorang wartawan, seorang politikus, seorang calon bupati, dan lain sebagainya status social manusia Indonesia, menjadi lebih mengandalkan pada aspek-aspek formal atas dasar azas kemanfaatan alias pragmatism.
Dengan logika semacam itu, keriuhan diskusi kita mengenai proses membangsa dan menegara, lebih banyak dipenuhi perdebatan yang riuh-rendah, namun hanya dengan agenda menyodorkan kepentingan masing-masing. Bukan atas nama solusi dan tindak lanjut, melainkan lebih merupakan kepuasan intelektualitas semata, atau setidaknya hanya berhenti pada kepentingan diri-sendiri dan kelompok.
Dan akibat yang nyata, tidak pernah muncul sebuah resolusi, atau bahkan sebuah deklarasi, akan apa yang mesti dilakukan oleh bangsa dan Negara ini ke depan. Energi kita habis hanya untuk berlagak, atau bahkan, memaksakan agenda diri-sendiri untuk disepakati bersama.
Betapa tak terhitung lagi, bagaimana para elite politik dan tokoh masyarakat muncul di televisi, mendemonstrasikan kepandaian mereka bersilat lidah. Namun apakah yang kita dapatkan dari semuanya itu?
Berbagai persoalan Negara dam bangsa kemudian hanya menguap begitu saja. Kita kemudian sibuk menanggap, namun melakukan pembiaran sambil menunggu kemunculan isyu baru. Dari lumpur Lapindo, kasus Gayus, Skandal Century, pelemahan KPK, korupsi pajak Aburizal, TDL naik, BBM bersubsidi dicabut, kompor gas mbledhos, diseling kasus video porno, semuanya hanya melintas-lintas semata namun tak pernah jelas maknanya.
Maka di tengah frustrasi, masyarakat menjadi sekumpulan anomaly, yang sama sekali tidak memiliki agenda apapun, kecuali penyelamatan atas situasi hari ini. Oleh karena itu, harga diri mereka bisa dibeli dengan sangat murahnya, oleh berbagai kepentingan.
Ada dua akibat atas hal itu, ialah lahirnya masyarakat anomaly yang bersikap pragmatis, dan eskapis mengenai semua hal yang terjadi di sekitarnya. Keduanya mengakibatkan munculnya karakter yang berbeda secara aktif dan pasif.
Pada mereka yang pasif, maka terjadilah apa yang dinamakan pembiaran, sepanjang bahwa hidupnya terselamatkan. Dalam hal ini, apapun yang dilakukan orang lain, juga pemerintah, tidaklah penting. Karena baik dan buruk kehidupannya, adalah urusan dirinya sendiri.
Sementara pada satu sisi, muncul sikap-sikap reaktif, yang diyakini sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap situasi di sekitarnya. Pada kelompok ini, pragmatism itu ditunjukkan dengan menampakkan dirinya terlibat dalam permasalahan atau peristiwa. Mereka kemudian mencari medianya. Jika dengan mudah pula mereka mengamuk di mana-mana, untuk hal-hal yang sepele, sangat tidak jelas motifnya, sampai pada yang mereka sendiri tidak mengerti, semuanya hanyalah bentuk ekspresi karena hanyalah itu media yang ditemukannya.
Dua kelompok ini, tentu saja sesungguhnya sama berbahaya, karena akan makin memperburuk kondisi membangsa dan menegara kita.
Kita semestinya terus mengasah dan mencari, lahirnya manusia Indonesia yang mampu membaca arah dan masalah, untuk bisa dengan tegas mengatakan, bahwa kita benar-benar harus melakukan reformasi diri, agar yang kita dapatkan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hari ini, dan menetapkan agenda Indonesia hari ini dan masa depan.
Pada kenyataannya, dibandingkan dengan kualitas SDM (sumber daya manusia) Negara-negara lain, di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia sungguh sangat tertinggal. Tentu saja, hal itu fakta, betapa tidak ada korelasi antara reformasi politik dengan kondisi riel social masyarakatnya. Bagaimana hal itu bias terjadi? Bisa dipastikan, hal itu karena tiadanya makna perubahan politik yang lebih merupakan perubahan-perubahan artificial, verbal, dan tidak esensial.
Perubahan artificial misalnya, kebebasan berdemokrasi ternyata hanya bermakna jika berkait dengan keterpenuhinya kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok kepentingan. Kebebasan berpolitik adalah juga hanya sebagai cara untuk membenarkan terhadap semua tindakan-tindakan yang memenuhi hasrat kekuasaan, kepuasan, namun tidak memiliki arah masa depan, karena akan segera berhenti begitu diri-sendiri puas dan menang, tanpa berpikir adakah hal itu merampas kebenaran orang lain, atau berakibat buruk pada masa depan.
Pada sisi itu, kita yang tidak memiliki gambaran jelas, mengenai seperti apakah Indonesia pada 20-30 tahun ke depan. Yang kita tahu, begitu banyak perusahaan multi-nasional berkeliaran di Negara kita, dan kita hanya bisa membiarkan lembar demi lembar rupiah kita terbang ke luar. Yang tersisa, hanyalah ketidakberdayaan kita menjual diri dan waktu sebagai buruh, karena kita mesti mengkonsumsi aneka produk yang dari hulu dan hilir di kuasai oleh kekuatan-kekuatan dari luar.
Segala macam riuh-rendah ini, semestinya kita hentikan, agar lebih jernih kita melihat, ke mana arah kita selama ini.
Sepanjang hari-hari ini, Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang begitu sangat riuh-rendah. Permasalahan, seolah silih-berganti, namun kita tidak pernah tahu ujung permasalahan itu, selain kesulitan kita mencarinya pangkalnya.
Namun, jika kita memakai istilah reformasi, seusai longsornya Soeharto pada 20 Mei 1998, tak ada perubahan substansial yang terjadi pada bangsa dan Negara ini, kecuali de-jure dalam system perundangan dan ketatanegaraan.
Namun, seberapa banyak produk hokum dan system kenegaraan, ada satu hal yang jauh lebih penting menyangga itu semua, yakni tumbuhnya manusia baru Indonesia. Karena jika reformasi kita maknakan secara semantic, maka semestinya dari bangsa ulat, kita mesti berubah menjadi bangsa kepompong, dan kemudian berubah ujud menjadi kupu-kupu. Itu makna reformasi.
Namun sekiranya dari bangsa ulat dan kemudian dengan alas an adanya “reformasi politik” justeru yang terjadi kita menjadi bangsa larva atau jentik-jentik sebelum ulat, bias jadi namanya deformasi dalam makna kemunduran.
Kebebasan berdemokrasi politik, hanya dimaknakan dengan kebebasan mengekspresikan kehendak hati, tanpa dimengerti dan dihayati sebagai suatu upaya atau proses menjadi lebih baik dan mulia. Kebebasan berekspresi dalam dunia politik, kemudian meniadakan etika, aturan, dan melahirkan berbagai bentuk kesewenang-wenangan baru, yang bias sama atau lebih buruk dari situasi-situasi sebelumnya.
Segala macam peristiwa dan perbincangan politik kita hari-hari ini, terasa lebih banyak mengedepankan cara berfikir formal, yang mengedepankan teks namun melupakan konteks. Kebenaran-kebenaran dari cara berfikir formal, hanya melahirkan asumsi mengenai aspek-aspek verbalitas dan procedural semata, namun menjadi sering kehilangan esensi dan makna dari sisi etika atau moralitas.
Seorang anggota DPR, seorang lawyer, seorang jaksa, seorang hakim, seorang wartawan, seorang politikus, seorang calon bupati, dan lain sebagainya status social manusia Indonesia, menjadi lebih mengandalkan pada aspek-aspek formal atas dasar azas kemanfaatan alias pragmatism.
Dengan logika semacam itu, keriuhan diskusi kita mengenai proses membangsa dan menegara, lebih banyak dipenuhi perdebatan yang riuh-rendah, namun hanya dengan agenda menyodorkan kepentingan masing-masing. Bukan atas nama solusi dan tindak lanjut, melainkan lebih merupakan kepuasan intelektualitas semata, atau setidaknya hanya berhenti pada kepentingan diri-sendiri dan kelompok.
Dan akibat yang nyata, tidak pernah muncul sebuah resolusi, atau bahkan sebuah deklarasi, akan apa yang mesti dilakukan oleh bangsa dan Negara ini ke depan. Energi kita habis hanya untuk berlagak, atau bahkan, memaksakan agenda diri-sendiri untuk disepakati bersama.
Betapa tak terhitung lagi, bagaimana para elite politik dan tokoh masyarakat muncul di televisi, mendemonstrasikan kepandaian mereka bersilat lidah. Namun apakah yang kita dapatkan dari semuanya itu?
Berbagai persoalan Negara dam bangsa kemudian hanya menguap begitu saja. Kita kemudian sibuk menanggap, namun melakukan pembiaran sambil menunggu kemunculan isyu baru. Dari lumpur Lapindo, kasus Gayus, Skandal Century, pelemahan KPK, korupsi pajak Aburizal, TDL naik, BBM bersubsidi dicabut, kompor gas mbledhos, diseling kasus video porno, semuanya hanya melintas-lintas semata namun tak pernah jelas maknanya.
Maka di tengah frustrasi, masyarakat menjadi sekumpulan anomaly, yang sama sekali tidak memiliki agenda apapun, kecuali penyelamatan atas situasi hari ini. Oleh karena itu, harga diri mereka bisa dibeli dengan sangat murahnya, oleh berbagai kepentingan.
Ada dua akibat atas hal itu, ialah lahirnya masyarakat anomaly yang bersikap pragmatis, dan eskapis mengenai semua hal yang terjadi di sekitarnya. Keduanya mengakibatkan munculnya karakter yang berbeda secara aktif dan pasif.
Pada mereka yang pasif, maka terjadilah apa yang dinamakan pembiaran, sepanjang bahwa hidupnya terselamatkan. Dalam hal ini, apapun yang dilakukan orang lain, juga pemerintah, tidaklah penting. Karena baik dan buruk kehidupannya, adalah urusan dirinya sendiri.
Sementara pada satu sisi, muncul sikap-sikap reaktif, yang diyakini sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap situasi di sekitarnya. Pada kelompok ini, pragmatism itu ditunjukkan dengan menampakkan dirinya terlibat dalam permasalahan atau peristiwa. Mereka kemudian mencari medianya. Jika dengan mudah pula mereka mengamuk di mana-mana, untuk hal-hal yang sepele, sangat tidak jelas motifnya, sampai pada yang mereka sendiri tidak mengerti, semuanya hanyalah bentuk ekspresi karena hanyalah itu media yang ditemukannya.
Dua kelompok ini, tentu saja sesungguhnya sama berbahaya, karena akan makin memperburuk kondisi membangsa dan menegara kita.
Kita semestinya terus mengasah dan mencari, lahirnya manusia Indonesia yang mampu membaca arah dan masalah, untuk bisa dengan tegas mengatakan, bahwa kita benar-benar harus melakukan reformasi diri, agar yang kita dapatkan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hari ini, dan menetapkan agenda Indonesia hari ini dan masa depan.
Pada kenyataannya, dibandingkan dengan kualitas SDM (sumber daya manusia) Negara-negara lain, di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia sungguh sangat tertinggal. Tentu saja, hal itu fakta, betapa tidak ada korelasi antara reformasi politik dengan kondisi riel social masyarakatnya. Bagaimana hal itu bias terjadi? Bisa dipastikan, hal itu karena tiadanya makna perubahan politik yang lebih merupakan perubahan-perubahan artificial, verbal, dan tidak esensial.
Perubahan artificial misalnya, kebebasan berdemokrasi ternyata hanya bermakna jika berkait dengan keterpenuhinya kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok kepentingan. Kebebasan berpolitik adalah juga hanya sebagai cara untuk membenarkan terhadap semua tindakan-tindakan yang memenuhi hasrat kekuasaan, kepuasan, namun tidak memiliki arah masa depan, karena akan segera berhenti begitu diri-sendiri puas dan menang, tanpa berpikir adakah hal itu merampas kebenaran orang lain, atau berakibat buruk pada masa depan.
Pada sisi itu, kita yang tidak memiliki gambaran jelas, mengenai seperti apakah Indonesia pada 20-30 tahun ke depan. Yang kita tahu, begitu banyak perusahaan multi-nasional berkeliaran di Negara kita, dan kita hanya bisa membiarkan lembar demi lembar rupiah kita terbang ke luar. Yang tersisa, hanyalah ketidakberdayaan kita menjual diri dan waktu sebagai buruh, karena kita mesti mengkonsumsi aneka produk yang dari hulu dan hilir di kuasai oleh kekuatan-kekuatan dari luar.
Segala macam riuh-rendah ini, semestinya kita hentikan, agar lebih jernih kita melihat, ke mana arah kita selama ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...