Ketika "pulang kandang" ke kampus UGM Yogyakarta (4/5/2010), Boediono membuat arus lalu-lintas Yogya bagian utara kacau balau. Dari sejak perempatan Purnabudaya hingga perempatan Kenthungan, arus kendaraan yang biasanya melalui jalan Kaliurang, baik yang ke selatan maupun ke utara, harus muter-muter tak karuan. Jalan buangan yang sudah macet, di titik RS Sardjito, makin kacau.
Protokoler negara? Tentu saja, kita bisa memakluminya. Namun, khusus berkait Boediono, memang selalu berlebihan. Betapa banyak hajat hidup keseharian rakyat, dikorbankan, untuk sesuatu yang tidak berkaitan langsung dengan rakyat. Karena senyatanya, ketika memberikan kuliah umum di UGM itu, justeru lebih banyak merupakan manifest dari ketidaksalahannya atas kasus Century.
Ketika Boediono hendak menonton film saja, yang kebetulan adalah garapan sahabatnya, Ayu Utami, gedung yang hendak dipakai menonton pada malam hari itu sejak pagi sudah disterilkan, tak ada kegiatan. Padahal itu gedung tertutup.
Memang tampak berlebihan. Bahkan, untuk acara di UGM tersebut, beberapa buah panser diletakkan pada posisi tersembunyi. Seorang fotografer Tempo, yang memotret keberadaan panser itu, dipaksa menyerahkan tustel yang barusaja dipakai memotret, sambil dimaki-maki (si pemaki-maki itu tidak tahu, bahwa Goenawan Mohamad pendiri Tempo, termasuk Tim Sukses Pem-wapres-an Boediono). Pengamanan di UGM itu, bukan hanya Polri, melainkan juga Tentara.
Jika ditanya pada Boediono, tentu pria sederhana yang selalu berbaju putih itu (seragam baru di Kantor Wapres juga), tentu akan menggelengkan kepala, dan demikianlah resiko protokoler.
Jawaban yang tidak memuaskan, karena pemimpin kita tak punya pendapat soal protokoler negara. SBY, pun, juga akan demikian. Apalagi para aparat, abdi dalem, dan para pemujanya.
Tapi, ketika melihat, pemerintahan SBY-Boediono ini, memang periode pemerintahan yang penuh ketakutan. Akibat ulah bermain dengan citra, sekarang tulah itu mengena pada dirinya. Alangkah susahnya menjaga diri, dan akibatnya, sibuk dengan diri-sendiri. Bahkan untuk urusan paling penting negeri ini, dalam hal pengajuan APBN, presiden sebagai kepala pemerintahan tidak hadir, dan hanya mengutus Menko Perekonomian dan Menkeu.
Selama hingar bingar kasus Bank Century, dan setelah presiden "menolak" rekomendasi DPR berkait Kasus Century, SBY memang lebih banyak bersembunyi. Sekali pun, agenda-agenda RAPBN tak bisa ditutup-tutupi, kaitannya dengan endingnya, bahwa negara akan berhutang lagi ke dana luar negeri, di samping akan naiknya beberapa hal seperti Listrik dan BBM.
Sementara itu, pemerintahan SBY-Boediono, juga tidak secara transparan hendak mengubah UU penyiaran, UU Otonomi Daerah (perimbangan keuangan), serta keberadaan KPK yang adalah hasil "kesepakatan reformasi 1998".
Pada akhirnya, yang kita dapati adalah pemerintahan yang reaktif dan super-sensitif. Di samping tentu, alergi pada kritik. Sementara, pemerintahan yang ketakutan, tentulah bukan pemerintahan yang efektif, di samping tentu tidak inspiratif. Dan karena itu, ia juga pemerintahan yang tidak berwibawa, karena kita juga tak merasakan kehadiran kepemimpinan itu.
Ini periode yang menyedihkan. Karena pada akhirnya, rakyat sampai pada fatalisme baru, yakni tak ada kepentingannya rakyat dengan negara. Dan reformasi itu, tidak berajak ke arah transformasi yang kita impikan.
Jangankan dibanding Sukarno dan Soeharto, dibandingkan Habibie dan Abdurrahman Wahid saja, pemerintahan kita kali ini sama sekali tak memiliki imajinasi, apalagi resonansi. Kelasnya, sama dengan Megawati. Dan kita, kembali akan diombang-ambingkan waktu.
Atau mungkin menunggu sabda Tuhan, 'It gave the balance to Indonesia, which is a fertile country prosperous, with people who show patience, meek and humble, but with leaders who are stupid, so you can find the world's most unique way ,..."
Hanya karena kita merasa saling pintar, dan begitu susahnya saling mendengarkan. Dan kita menghabiskan waktu untuk perdebatan yang tak penting.
(c) Sunardian Wirodono, Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar