Chairil Anwar (18 Juli 1922 - 28 April 1949) lebih banyak dikenal anak sekolahan dengan puisi-puisi perjuangannya. Dan yang sering dibacakan mereka, mungkin puisi berjudul "Aku", "Diponegoro", atau mungkin "Krawang Bekasi" dan "Perjanjian Dengan Bung Karno".
Jarang yang mengerti, bahwa Chairil Anwar seorang yang juga sangat piawai dalam merangkai kata-kata puitik romantik. Kemampuannya, membuat puisi Huesca karya John Cornford, atau "A Song of the Sea" karya Hsu Chih Mo (menjadi "Datang Dara Hilang Dara - Datang Dara Hilang Dara") "kalah indah" dibanding terjemahan Chairil.
Beberapa pacar Chairil yang tersebut dalam puisi antara lain, Mirat dan Sri Ayati. Pada perempuan yang terakhir itulah, percintaan Chairil sebagai binatang jalang, agaknya terpaut lebih sublim.
Patung Dada Chairil Anwar, di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, di depan patung Pangeran Diponegoro, yang pada batu pondasi patungnya ditatahkan baris-baris puisi "Diponegoro" karya Chairil Anwar.
Berikut beberapa sajak cinta Chairil Anwar.
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
TAMAN
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret, 1943
LAGU BIASA
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana…
Maret 1943
SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah…
Buat miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
PEMBERIAN TAHU
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk cium tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!
1946
HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, sepi mendesak-desak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepaskan diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar