Di Mana Matinya Kepakaran Makin Nyata
Oleh : Sunardian Wirodono
Bahasa
bukan hanya sekedar alat komunikasi, demikian pengantar Dr. Haryatmoko, dalam
bukunya yang bagus, ‘Critical Discourse Analysis’ (Analisis Wacana Kritis,
Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-III, 2019). Bahasa juga digunakan sebagai
instrumen untuk melakukan sesuatu, atau sarana menerapkan strategi (kekuasaan).
Melalui bahasa, orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya, bahasa digunakan untuk berbagai fungsi, yang konsekuensinya bisa sangat beragam. Maka, bagi kita, jika tak hati-hati, bisa menjadi bagian dari objektifikasi sesiapa untuk mengapa dan bagaimana. Dan bahasa bisa menjadi sangat liquid, yang secara induktif, tanpa disadari, menyeret keterlibatan orang-perorang dalam kepentingan demi kepentingan.
Dalam masyarakat dengan daya literasi pas-pasan, kemampuan dalam memahami fungsi bahasa, bisa menjadi pintu masuk dan pintu terkunci. Bisa membuatnya lebih jeli atau makin membabi-buta, dengan konsekuensi masing-masing.
Ada status (sebutlah tulisan di fesbuk, 15/12/20) dari doktor sosiologi sastra Faruk Tripoli; “Bahwa sejak zaman Belanda, ilmu yang paling populer adalah ilmu untuk berkuasa. Bukan ilmu untuk menjadi bijak, cerdas, menjadi kritis, bahkan bukan juga untuk jadi kaya.” Dalam konklusi pendeknya itu, jangan heran jika bahkan di universitas terkemuka sekalipun, puncak karir akademik yang menjadi idaman, adalah menjadi rektor, dekan, atau kaprodi. Lebih jauh dituliskannya; maka jangan heran juga, kalau orang yang sudah kaya pun ingin jadi pejabat. Bersedia membayar mahal, dan hal itu kemudian terakomodasi oleh sistem pemilihan langsung.
Mengenai pernyataan itu, Willy Pramudya, aktivis (menurut beliau terjemahannya ialah penggiat) bahasa, dari paparan di atas, dalam rezim spesialis, jaman kini disebutnya pula berkembang ilmu colong-jipuk. Mencuri atau tinggal nyomot, sana-sini-situ.
Di fesbuk, platform medsos yang terbesar dipakai masyarakat Indonesia, acap kita dapati impuls pemikiran yang menarik. Di luar komunikasi keseharian yang penuh kadar humor, kadar benci (culture hate) dan sinisme, medsos sering menyodorkan percik pemikiran, sodokan alternatif atas kebuntuan yang terjadi di jalur formal.
Karena fesbuk adalah media tulis (juga pandang dan dengar), menulis menjadi lebih mudah. Apalagi sebagaimana mantra Arswendo Atmowiloto; mengarang itu gampang. Jika itu dan jika hanya, merupakan segugusan fantasi, susunan tafsir, atau apalagi permainan pikiran sendiri, atas sebuah peristiwa atau fakta yang penuh dengan teori konflik atau teori konspirasi.
Sehingga tulisan sederhana bisa tampak begitu dahsyat dalam eksposisinya. Bisa melihat isi ceruk planet bumi. Sehingga bisa tahu dengan detail, warna dan ukuran celana dalem seseorang tanpa melihat apalagi mencopotnya. Lebih tuhan dari tuhan, seolah tak ada rahasia. Padal cuma sudut pandang bernama tafsir. Apalagi jika yang dimaksud seseorang, atau apa atau bagaimana itu mengenai politikus. Dan lebih-lebih politikus di Indonesia.
Namun ketika tak bisa meyakinkan kredibilitas dan kapabelitasnya, darimana bisa menulis semua itu? Jika tak bisa menjelaskan mendapat data dari mana, dengan cara apa dan bagaimana? Dari situ tidak perlu lagi ditanyakan, apa tujuan menulis dan di mana posisinya. Selain bagian dari permainan silang-sengkarut itu. Apalagi ketika dipenuhi dengan claiming (pendakuan). Itu mah pembiasan, apalagi di ranah medsos. Bukan pencerahan, melainkan pengerahan.
Dalam fenomena yang sama, menurut Fairclough, bisa dideskripsikan dengan beragam cara. Ada variasi laporan atau cerita. Bisa harafiah, fiktif, representatif atau virtual. Yang di mana berbagai cara mendeskripsikan realitas itu menyiratkan adanya kepentingan, maksud dan tujuan tertentu. Apalagi dengan sudut pandang satu sisi. Yang kita dapati hanyalah eksploitasi. Bukan eksplorasi.
Pada sisi yang lain, bagaimana dengan fenomena itu bagi Indonesia ke depan, bersama generasi milenial? Dengan teknologi 4.1? Apalagi dengan Artifisial Intelegence? Ada kesenjangan metodologis di situ. Bagaimana pemikiran yang penuh dengan analogi, terasa makin tidak presisi, dan sama koruptipnya. Mungkin untuk situasi dan masa transisi, bolah-boleh saja. Tapi, ya, cukup sampai di sini. Cukup sekian dan terimakasih. Karena kita akan berhadapan dengan perubahan yang tak terpermanai, tak terpahamkan.
Secara analog, kita juga hanya bisa berdoa secara analog, semoga nilai-nilai Pancasila yang bhineka tunggal ika dari Empu Tantular, dan kemudian diformulasikan oleh Ir. Sukarno, bisa dijadikan code-code dalam sistem aplikasi generasi digital Nusantara dan dunia. Bukan dengan ilmu colong-jipuk, tetapi dengan apa yang mereka istilahkan sebagai ‘encoding’. Di mana matinya kepakaran semakin nyata, terang-trewaca. | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar