Survey paling sahih, berkait Pileg atau Pilpres 2024, tentunya yang diadakan KPU pada tanggal 14 Febrauri 2024. Karena hanya hasil darinyalah yang mempunyai kekuatan hukum, konstitusional, dan berakibat pada terpilihnya anggota parlemen dan presiden-wakil presiden Republik Indonesia.
Sementara itu, rilis berbagai lembaga survey, baik yang baik maupun baik yang buruk, yang dirujuk untuk tingkat elektabilitas kandidat Pemilu 2024, adalah ‘capture’, ‘snapshot’, ‘potret’, atau jepretan pada suatu waktu dan suatu tempat. Sementara ‘suara’ yang di-capture tersebut, tentu dengan sendiri tak akan terfrozen membeku, tak bergerak sebagaimana hasil capture-an yang terjadi.
Sehabis dipotret, para subjek, responden, sebagai pemilik hak suara adalah manusia hidup. Mereka berinteraksi, bersosialisasi, bergerak, bertemu dengan berbagai hal, pikiran, ide, usulan, kemarahan, renungan, temuan, proses, intimidasi, sogokan, dan lain sebagainya. Yang karena hal itu, apa yang dipikirkan dan dikatakan ketika dipotret lembaga survey, bisa berubah. Bahkan, ketika lembaga survey merilis hasil jepretan mereka, kondisi lapangan sudah berbeda lagi.
Seperti halnya omongan Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan, yang tak berbeda dengan pejabat Orde Baru dulu. Bahwa hasil Pemilu sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilaksanakan. Termasuk omongan Hendropriyono, yang mengatakan kemenangan salah satu paslon. Tetapi semua omongan itu hanya akan akan sangkil dan mangkus terjadi dalam masyarakat hampa udara.
Dalam masyarakat yang bergerak, apalagi bergolak, bisa berbeda hasilnya. Apakah dalam masyarakat yang capek, apatis, dan membiarkan operasi intelijen yang bergerak. Atau pada masyarakat yang bereaksi terhadap pelanggaran konstitusi, dan menolak penistaan demokrasi? Karenanya, berbagai lembaga survey atau pollster sering mendahului rilisnya dengan disclaimer; Jika Pemilu dilaksanakan hari ini. Jadi, kalau meleset mereka bisa berkilah.
Disamping pergerakan masyarakat, bagaimana pula survey sebagai hasil reportase sikap publik disikapi para pihak berkepentingan. Apakah akan menolak, membantah dan marah-marah? Atau memakainya sebagai masukan, bahan evaluasi? Sehingga dari sana lahir antisipasi atau adaptasi. Jika suaranya turun, karena apa dan bagaimana mengatasi. Jika suara naik, karena apa dan bagaimana mempertahankan atau melipatgandakannya.
Dari sana bisa terjadi lagi pergeseran atau konfigurasi suara. Sampai titik finalnya, pada ‘official survey’ yang diselenggarakan KPU pada 14 Februari 2024. Itu pun sekiranya satu putaran. Jika tidak, Pilpres akan dipepanjang hingga Juni 2024.
Terbayang bagaimana melelahkannya. Karena syarat menang satu putaran, bukan sekedar mendapat 51% suara dari 204 juta suara, tetapi plus minimal raihan 20% suara dari setiap provinsi pada separoh total jumlah provinsi di Indonesia (UU Pemilu 2017).
Memang, tampaknya hanya keajaiban yang bisa menjanjikan. Setidaknya, seperti dikatakan kubu Anies, jika tuhan menghendaki. Masalahnya, tuhan menghendaki atau tidak? Itu yang harus ditanyakan kepada tuhan.
*
Kalau ada lembaga survey abal-abal, pesanan dari para kandidat, itu sama saja bunuh diri. Hanya kontestan bodoh melakukan hal itu. Walau pun belum tentu lembaga survey dipesan karena kebodohan.
Ada juga lembaga survey dipesan karena strategi. Bikin survey tipu-tipu, untuk sebuah rencana ke depan. Jika pemilu dimenangi dengan curang, lembaga survey abal-abal bisa dipakai melegitimasi bahwa mereka layak menang.
Meski pun juga, tentu, lembaga survey tipu-tipu bisa dipakai untuk membangun opini publik. Mempengaruhi pikiran publik, bahwa si calon ini unggul dan layak pilih. Senyampang itu bukan hanya untuk membuat lawan jiper, tetapi membuat rakyat jelantah terombang-ambing. Berpindah atau makin mantab dengan pilihannya.
Dari temen-temen yang punya grup whatsapp –karena saya tidak menjadi anggota wag manapun, saya sering dikirimi hasil-hasil survey yang menunjukkan kekalahan survey jagoannya. Di situ saya bertakon-takon, mau-maunya menjadi distributor informasi gratisan dari lembaga survey yang mencemaskannya itu. Mau menularkan kecemasan?
Survey atau pun polling, dibangun dengan metode ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau hasil lembaga ini tak bisa dipertanggungjawabkan, biasanya lahir dari yang ingin mengecoh kesadaran publik. Mereka yang hanya ingin mengeksploitasi ketidaktahuan untuk keuntungan sebesar-besarnya elite politik client mereka. Tentunya, sekaligus keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka sendiri.
Apalagi ketika perubahan demokrasi lebih mengarah semata soal kontestasi kalah dan menang. Angka-angka dalam sektor apapun yang meningkat, tetapi nilai dan substansinya menurun. Apalagi ketika konsultan atau analis politik, juga lembaga poollster hanya ngomongin bagaimana cara menenangkan para kandidat.
Tanpa seupritpun pendidikan kesadaran politik, maka akan makin banyak manipulasi dilakukan. Termasuk ajakan politik kegembiraan untuk menggeser politik kemuliaan. Yang terjadi adalah sekedar mobilisasi, bukannya partisipasi. Contoh nyatanya, menyatakan rakyat yang menentukan. Padal, sebelum rakyat menentukan, elitenya sudah menentukan terlebih dulu, apa yang harus ditentukan rakyat itu. Bahkan harus dengan mengubah bunyi aturan permainan yang bernama konstitusi pun.
Di situ mangkanya, jangankan jadi konsultan politik. Jadi relawan saja, di era Jokowi, bisa diangkat jadi menteri. Bukan lagi sekedar komisaris BUMN. Demokrasi perlahan dibawah ke ranah private dengan ukuran private. Bukan lagi ranah publik dengan ukuran publik. Setelah elitisme politik, lahirlah personalisasi demokrasi, hingga kultus individu. Di situ pendekatan politik beralih ke soal angka-angka --bukannya nilai-nilai.
Sementara dalam rupiah, angka dan nilai itu biasa berkelit dalam kelindan dialektika. Haiyah, ngemeng epeh! Albert Camus pun bisa keliyengan mikirin penyinyiran Voltaire soal uang. Apalagi sekelas Noel dan Gus M cum suis.
*
Dibanding lembaga survey lainnya, lembaga survey dari Litbang Kompas, sepertinya mendapat kepercayaan paling tinggi dari netijen. Apalagi netijen pendukung yang diuntungkan oleh hasil survey itu.
Dan biasa, yang diuntungkan akan joget-joget mengejek-ejek yang galau. Selalu begitu dari kubu mana saja. Manusiawi. Jokowi juga demikian responsnya. Bedanya, Jokowi galau kenapa Paslon 01 bisa menyalip 03, itu di luar ekspektasi.
Baiklah. Dengan rujukan litbang Kompas, seolah Pemilu, terutama Pilpres 2024, sudah berakhir. Persis seperti yang diyakini Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan. Padal hasil survey itu sesungguhnya tidak sangat memuaskan. Kenapa Litbang Kompas hanya ‘menetapkan’ angka di bawah 40% bagi paslon 02? Jika dikaitkan perolehan Pilpres 2019, ketika suara Prabowo digabung suara Jokowi, mestinya bisa di atas 80%, seiring dengan approval rating Jokowi yang hingga sebelum keputusan MK nomor 90 di atas 80%.
Kalau melihat hasil survey Litbang Kompas yang memposisikan suara PDIP dalam Pemilu 2024 sebesar 18,3%, disalip Gerindra yang naik 3% menjadi 21,9% --sementara PDIP turun 6,1%, terjadi missing link di situ, karena terlihat tak ada pengaruh signifikan pemilih Jokowi beralih (sepenuhnya) ke Prabowo, sekalipun ada Gibran di situ, dan sekalipun angka paslon 02 naik.
Tambah agak mengherankan, membicarakan hasil lembaga survey lainnya, yang memposisikan perolehan Paslon 02 di atas 40%, bahkan mencapai 45% sekalipun, yang artinya sama sekali belum juga mencapai 50%, kecuali hasil survey New Indonesia yang menempatkan Prabowo tembus 50,5%.
Menjadi membagongkan, dengan temuan Pollmark yang diawaki Eep Saefulloh Fatah. Dari sebagian angka yang dibocorkan, sehari setelah rilis Litbang Kompas. Pollmark dengan responden 1.200 X 32 propinsi. Sementara Litbang Kompas dll, rerata responden mereka di bawah 1.500. Di Pollmark ditemui undecided voters di atas 40% --dan bukannya di bawah 20% dibanding lainnya. Hasil survey Pollmark belum dirilis secara resmi –tapi mungkin setelah dibocorkan di Bandung, kemudian malah ilang termasuk surveyor-nya.
Lepas dari apapun hasil survey, itu adalah capture atau snapshot pada waktu itu. Bagi yang tidak bisa membaca dan menganalisis survey, menganggap hasil survey adalah final. Padal, akan sangat tergantung dari respons masing-masing kontestan. Bisa lebih naik bisa lebih turun, tergantung apa yang dilakukan kemudian (berdasar masukan survey tadi). Hingga hari coblosan 14 Februari 2024. Baik untuk survey yang bersih atau pun tak bersih.
Karena konon ada model baru, seperti desas-desus yang muncul dalam proses pengambilan sampling suara. Bagaimana area-area responden sudah ‘dibasahi’ dengan berbagai guyuran sebelum tim survey tiba. Apalagi, konon demi keamanan, ke mana surveyor melangkah ditemani aparat dari level mana pun, sebagaimana kini untuk melakukan survey harus mendapatkan ijin dari aparatus setempat, yang harus menyertakan area dan jadwal survey. Apalagi jika soal jendral bintang 7 yang menelpon Kepala Litbang Kompas seperti dikatakan Ketum DPP-NCW, Hanifa Sutrisna, bisa dibuktikan.
Saya menulis ini tak berkepentingan siapa diuntungkan dan dirugikan hasil survey. Tetapi saya hanya ingin ingatkan, hasil survey tak selalu linier dengan hasil kontestasi. Jokowi sendiri pernah mengalami hal itu. Dan banyak lainnya di level bawahnya. Apalagi kalau misalnya pemilih Indonesia patuh pada ajaran Prabowo, yang pernah mengatakan soal money politics; Terima duitnya jangan pilih orangnya!
Itu dikatakan 21 Juni 2018, ketika membuat video penggalangan dana publik untuk Pilpres 2019. Jika nasihat itu dipatuhi, oleh siapapun, bisa menjungkir-balikkan kalkulasi yang telah menghabiskan puluhan trilyun rupiah. Apalagi, masih menurut Prabowo lagi (4/5/2018), survey itu tergantung siapa yang bayar.
Saya tidak tahu, pihak mana yang dalam pilpres kali ini, menghabiskan dana sebesar itu. Prabowo mungkin tidak tahu, karena menang atau kalah, sama-sama menghabiskan banyak duit. Jokowi pun saya kira juga tidak tahu, kecuali yang ditandatangani Menkeu Sri Mulyani sebesar Rp71,3trilyun.
Namun pasti, duit yang berputar di atas itu, jika masing-masing kontestan harus membayar Rp100ribu saja untuk seorang relawan, yang harus ditempatkan di 820.161 TPS se Indonesia Raya. Belum biaya-biaya APK. Namanya juga pesta demokrasi. Bener-bener pesta.
Makanya rilis hasil survey selalu menjadi bahan claiming and bullying masing-masing pihak. Karena selain untuk analisis para pihak, rilis hasil survey juga bisa untuk menggiring opini publik. Apalagi jika surveyor-nya merangkap konsultan politik, atau separoh dukun, yang memastikan client-nya bakal menang satu putaran. Namanya juga orang jualan, di tengah rakyat jelantah yang entah-berantah.
@SUNARDIAN WIRODONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar