(1) | Lazim
orang, yang anti-pati tentunya, menghina-dina Bung Karno sebagai seorang
sinkretis, seorang Islam abangan, atau bahkan sekuler klenik yang melahirkan
Pancasila. Temuan Pancasila, oleh mereka yang hendak menegakkan syariat Islam
di Indonesia, dituding sebagai thogut yang membuat Indonesia rusak-rusakan sampai
sekarang ini. Tipologi pemikirannya,
jika pakai syariat Islam maka Indonesia akan berkah, tapi kalau tetap pakai
Pancasila mbok sampai modar nggak akan bisa diridhlai Allah.
Ya, tidak apa-apa. Kita membicarakan seorang
manusia bernama Sukarno sajalah, yang meski pun manusia yang banyak salahnya,
namun tetap ia mempunyai nilai penting bagi Indonesia sekarang ini. Kita juga
bisa mengatakan, Sukarno adalah seorang sufi yang lahir di Indonesia, yang
ajarannya mengenai Pancasila sulit dimengerti manusia biasa. Jejak para sufi,
seperti jalannya burung-burung di udara, tidak seorang manusiapun yang dapat
melihat bekas tapaknya.
Kelompok sufi tidak menulis satu katapun
tentang ajaran yang ditempuhnya. Oleh karena itu, kalau ada ajaran tasawuf,
bukanlah ajaran para sufi. Sama seperti ajaran-ajaran spiritual, bukanlah
ajaran kelompok sepiritualis.
Contohnya Lau Tse. Dia pergi ke hutan, meninggalkan
kehidupan duniawi, menunggangi seekor kerbau. Diperbatasan dia di tahan oleh
penguasa disana, dia dipaksa untuk menulis ajarannya, sebelum meneruskan perjalanan. Di sanalah dia
menulis Taoisme. Buku Tao hanya memberi petunjuk kepada manusia, tentang dunia
ini. Bukan ajaran Tao yang diketahuinya, seperti dikatakan, “Tao yang dapat
dikatakan bukanlah tao yang benar.” Hanya gambaran yang dapat dimengerti
manusia.
Negara yang dibangun Bung Karno melindungi
semua Ideologi dan hak azasi manusia, termasuk ideologi agama dan
ideologi komunis yang berlawanan arah. Apakah Agama bisa
bersatu dengan Kominis.? Bung Karno menyatukan Nasakom dalam
dirinya, karena dia seorang Sufi. Dalam masyarakat, tidak mungkin hal itu bersatu,
karena masyarakat bukanlah kelompok sufi.
Ketika militer dari kelompok agama hendak
mengambil kekuasaan dengan mengirimkan pasukan menyerbu Istana: Bung Karno dengan
pakian militernya keluar dan berkata, “Siapa yang menyuruh kalian datang?”
“Pangab, Pak!” jawab pasukan.
Bung Karno lalu menjawab dengan menunjuk
pangkatnya, “Aku adalah Panglima Tertinggi. Aku perintahkan kalian kembali ke
pos kalian masing-masing!”
Besoknya, Bung Karno tidak memecat Pangab,
melainkan menaikkan jabatannya menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Andaikata Sukarno bukan seorang sufi,
misalnya seorang militer seperti Soeharto, malam itu juga pasti dihabisinya,
kalau tidak disingkirkannya.
Bung Karno membiarkan kelompok agama
mendirikan banyak partai politik, dengan ideologi agama masing. Pada masa
Soeharto, semua partai agama diberangus menjadi satu partai agama yang
berazaskan Pancasila. Soeharto membungkam kelompok
agama dengan kekuatan politik dan militer, Bung Karno membungkam kelompok agama
dengan ajaran-ajaran agama tingkat tinggi, sehingga tidak ada ulama ataupun tokoh-tokoh agama yang bisa
menyaingi. Misal dia katakan; “Saya adalah seorang Muhamandiyah,” itulah
jalannya burung-burung di udara.
Tidak ada tokoh Islam yang dapat memahami kata-kata
itu, sebagaimana pula tentang sebutan “Islam Sontoloyo”, hanya Bung Karno yang berani
mengatakannya, tanpa orang Islam yang tahu diri menjadi marah.
(2) |
Dalam sebuah tulisannya (Kotak Sosio Kultural, Editor, No. 24/Thn. IV/23
Februari 1991), Mohammad Sobary menulis sebagai berikut: "Makin lama makin
cinta pada Muhammadiyah. Saya ingin bila kelak saya mati, keranda saya ditutup bendera Muhammadiyah."
Ini ucapan Bung Karno. Ketika tokoh ini
kemudian wafat dalam kesepian di Wisma Yaso, Jakarta, jenazahnya
disalatkan oleh almarhum Buya Hamka, tokoh yang pernah disudutkannya
secara politis. Buya Hamka bersedia menyembahyangkan Bung Karno karena Menteri Sekretaris Negara Alamsyah, waktu itu, membujuk agar Buya berbesar jiwa.
Saya dengar alasan ini dari Buya Hamka sendiri dalam suatu salat Jumat di Mesjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Saya tidak tahu pasti, adakah keranda Bung Karno kemudian ditutup bendera Muhammadiyah. Samar-samar saya ingat, ada berita dari seorang warga Muhammadiyah, bahwa wasiat beliau dipenuhi.
Nurcholish Madjid pernah menulis di harian Pelita, komitmen kita sebagai umat Islam
ialah komitmen pada nilai, bukan pada golongan. Pemikiran ini menarik. Kita tahu, nilai memiliki kepastian relatif. Sedang golongan
tidak. Seseorang boleh "berkulit" haji, berbendera Muhammadiyah atau NU memang; tapi jaminan dari orang itu bahwa
ia akan senantiasa lurus dan bersikap luhur sebagaimana nilai-nilai yang melekat pada baju yang dipakainya, tidak ada.
Bagaimanakah corak pemihakan Bung Karno pada Muhammadiyah? Kita tidak tahu. Bung Karno sendiri tak secara
eksplisit menjelaskannya. Sementara itu sumber tertulis tidak
ada.
Dugaan saya, Bung Karno punya banyak komitmen nilai, sekaligus golongan. Di tengah kaum Marhaen, ia bilang ia juga Marhaenis. Di tengah orang-orang Komunis dia bilang bahwa dia seorang Marxis. Orang pun tahu,
ia juga menyebut dirinya seorang agamawan.
Apakah Bung Karno plin-plan? Ia Bapak bangsa. Ia merasa harus berdiri di atas semua
golongan. Agaknya ia beranggapan, meskipun tak dikatakannya, keragaman
identik dengan perpecahan. Sedang ia gandrung akan persatuan. Kata Bernard Dahm, hanya
Bung Karno-lah yang karena ke-Jawa-annya, bisa menggabungkan ketiga hal berbeda satu sama lain itu ke dalam satu sintesa
harmonis. Karena bagi orang Jawa, segala sesuatu itu pada dasarnya satu.
Dalam salah satu sajak religiusnya, Farriduddin Attar memandang Dunia, penyair Taufiq Ismail bicara tentang pemikiran
Attar. Bagi Attar, katanya, dunia ini nampak sebagai sebuah kotak. Manusia hidup, beranak, bercucu, berkemenakan, bekerja, tidur dan
bermimpi, di dalam kotak. Manusia, di dunia ini, kerjanya sibuk
membuat kotak-kotak.
Belakangan saya mikir, kita gandrung demokrasi dan sadar akan kebhinekaan etnis, agama, dan corak pemikiran dalam masyarakat kita, tapi mengapa kita tak cukup longgar mendengar argumen lain yang tak
sejalan dengan kita? Mengapa kita tak sabar menghadapi kebhinekaan? "Kalau mau serba
seragam," kata Rendra, "lebih baik jadilah
pembuat batu bata."
Keseragaman memang mengesankan berfungsinya
mesin rekayasa yang otoriter, kaku,
dan dingin, mirip teriak kebulatan tekad yang mekanistis. Saya lebih suka kebhinekaan. Tapi dalam
kebhinekaan ada cacat yang tak saya sukai. Di sini orang bisa, dan mungkin mudah, tergelincir ke
dalam kotak fanatisme yang selalu siap mengurung kita.
Potensi ricuh dalam kotak ini sama besar
dengan rasa sumpek di bawah keseragaman yang serba otoriter. Kedua-duanya, dengan kata lain, punya kemungkinan untuk jadi
jelek. Namun, karena lazimnya orang
harus memilih, bagi saya, kebhinekaan itu baik, asal kita tidak terkurung. Artinya, di saat diperlukan, kita harus bisa keluar dari kepompong (agama, kelompok, golongan, etnis,
partai politik) yang mengurung kita karena, sekali
lagi mengutip Nurcholish Madjid, komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan.
Sebaliknya, ungkapan semacam itu -pada hemat BJ Boland
dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982), “hanya merupakan
perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya
Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan
keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran, yang mungkin bisa dituduh para
agamawan formalis sebagai bid’ah”.
Namun ungkapan Bung Karno ini, di mata para penghayat
tasawuf, bukanlah hal yang asing. Ibn
Al-‘Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran yang sama, “Laqad shara qalbiy
qabilan kulla shuratin, famar’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li
autsanin wa ka’batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur’anin (Hatiku
telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-rahib Kristen, rumah
berhala, Kabah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran).
Ketika menerima gelar doctor honoris causa
(doktor kehormatan) di Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Bung Karno menyebut
bahwa tauhid yang dianutnya sebagai Panteis-monoteis. Bung Karno yakin
bahwa Tuhan itu satu, tetapi Ia hadir dan berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan
Islam dan Kristen, istilah panteisme ini bisa mengundang salah paham. Kontan
saja, orang langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar,
“Al-Hallaj”-nya orang Jawa.
Di satu pihak, dalam berbagai kesempatan Bung Karno
mengritik paham kalam asy’ariyah mengenai ketidakcukupan 20 sifat Allah,
berbareng dengan kritiknya terhadap paham taqlid dan kejumudan-kejumudan kaum
tradisionalis pada zamannya. Kritik Bung Karno ini bisa dilacak dari
kegandrungannya pada paham rasionalisme Islam klasik Mu’tazilah dan
pemikiran-pemikiran pembaru Islam khususnya Jamaluddin al-Afghani. Tetapi pada
pihak lain, Bung Karno tidak bisa melepaskan diri dengan warisan keagamaan Jawa
yang sangat kental berciri mistik.
Karena itu, menarik sekali dalam deskripsinya mengenai
tauhid, Bung Karno merujuk juga Baghawad Gita. “The Gospel of Hinduism”
itu pun dikutipnya begitu bebas, sambil di sana-sini membuat penekanan dengan
frasa-frasa buatannya sendiri. Tuhan ada di mana-mana. Bahkan juga, Bung Karno
mengutip sabda Khrsna: “I am in the smile of the girl” (pada pidato di
tempat lain, “Ik ben in de glimlach van het meisje” Aku ada dalam senyum
simpul gadis yang cantik). Tetapi, frasa ini ternyata ciptaan Bung Karno
sendiri, dari kata aslinya dalam bahasa Sansekerta: “tejas tejaswinam aham”.
Di antara semua keindahan, Akulah kecantikan (Bhagawad Gita X,36). Meskipun
mungkin Bung Karno belum sampai menjadi seorang panteis tulen, atau menganut
monisme radikal -menurut istilah PJ Zoetmulder SJ yang sama sekali menyangkal
bahwa segenap realitas itu lebur menyatu tanpa dualitas.
Sebab di mata Bung Karno, penekanan pada aspek tasybih
(imanensi) Tuhan, sama sekali tidak menghapuskan aspek tanzih (transendensi)
Allah. Barangkali, istilah yang tepat untuk menggambarkan keyakinan Bung Karno
adalah “panentheisme” (pan, “segala sesuatu”; en, “dalam” dan theos,
“Tuhan”). Jadi, segala sesuatu ada dalam Tuhan. Maksudnya, totalitas segenap
realitas yang diciptakan ada dalam Tuhan, tetapi Tuhan sendiri melebihi
totalitas tersebut.
Kita dapat membandingkannya dengan ucapan Imam
al-Ghazali (wafat 1111), At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in
ilallah (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Allah dalam segala sesuatu).
Juga, menurut Ibn al-‘Arabi, segenap alam semesta adalah tajjali atau
penampakan dari Allah.
Spiritualitas Bung Karno juga berciri “sakramentalis”.
Sebagaimana nabi-nabi semitis dari zaman dahulu, Bung Karno “believed in the
beauty of holiness” (percaya kepada kecantikan dari keagungan), berbeda
dengan orang-orang Yunani yang “believed in the holiness of beauty”
(percaya pada keagungan dari kecantikan) sehingga memberhalakan alam itu (Max
I. Dimont, 1995). Sebagaimana “jiwa kosmis” Fransiskus dari Asisi, alam raya
dinilainya bukan hanya bernilai profan, melainkan sekalian makhluk adalah
sakramen Sabda Ilahi yang menunjuk kepada pribadi Ilahi.
Dalam diri Bung Karno, gaya religiusnya yang unik ini:
“religius intelektual artistik” menurut istilah Clifford Geertz-tidak dapat
dilepaskan dari warisan tradisionalisme Jawa dan darah seni Bali dari ibunya.
“Ingat, aku adalah anak Ida Ayu Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita
dari Bali”, kata Bung Karno pada suatu saat.
(4) | Tak
ayal, Bung Karno, seperti para pujangga Jawa kuno (yang karya-karyanya masih
dilestarikan di Bali) “berbakti kepada keindahan” (ahyun ing kalangwan)
karena keyakinan bahwa Tuhan sendirilah “tattwa ning lango” (inti segala
keindahan). Bukankah para sufi mendendangkan tembang yang sama? Tidak seorang
pun dari mereka yang berzikir mengagungkan asma-Nya, kecuali bersenandung
dengan syair-syair mereka. Kullu jamilun min jamalullah (Semua keindahan
adalah berasal dari keindahan Allah). Juga, Inallaha jamilun wa yahibuj
jamal (Allah itu maha indah dan mencintai keindahan).
Latar belakang warisan keluarga Soekarno, sudah barang
tentu membentuk dan menentukan sosialisasi pemikiran keagamaan selanjutnya.
“Spiritualitas semesta” (holistic spirituality) Bung Karno itu-untuk tidak
menyebutnya sinkretisme (percampuran) agama-agama, suatu istilah yang sama
sekali tidak tepat dalam menggambarkan kecenderungan dasar pemikiran Jawa yang
sebenarnya-khususnya tampak dari bahasa teologisnya yang “melintas batas”
(passing over) berbagai agama dan tradisi spiritual. Hal itu tampak dari
pidato-pidato tanpa teks, ketika ia mengemukakan perbandingan-perbandingan dari
berbagai agama, tamsil-tamsil dari ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha.
Ayat-ayat suci itu dikutipnya bahkan diluar komunitas agama yang menganutnya.
Misalnya, tanpa ragu-ragu ia mengutip Injil atau Bhagawad Gita di forum Islam.
Warisan keberagaman itu bukan diterimanya sebagai
kontradiksi atau pertentangan, sebaliknya sebagai suatu kekayaan rohani
berdasarkan kesadarannya akan kesatuan transendental agama-agama. Dalam
menggembleng rakyatnya, Bung Karno, misalnya sering mengutip Al Quran. ar Ra’d
11: Innallaha laa yughayiru maa bi qaumin hatta yughayiru ma bi anfusihim
(Allah tidak mengubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu mengubah sendiri
nasibnya). Tetapi kita juga mendengar dari Bung Karno kutipan dari Bhagawad
Gita (II, 47) ketika menekankan prinsip yang sama: Karmany ewadhikaras
temaphalesu kadacana (Berjuanglah dengan tanpa menghitung-hitung untung
rugi bagimu).
Bahkan Bung Karno pernah membuat terperanjat Mr
Siegenbeek van Heukelom, yang mengadilinya di Landraad Bandung tahun 1930. “Ik
ben een revolutionaire” (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno.
Tetapi kata dia selanjutnya: “Ik werk niet met bommen en granaten” (Saya
bekerja tanpa bom dan granat). Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung
Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia
bekerja tanpa kekerasan. “Revolusi”, kata Bung Karno, adalah “eine
Umgestaltung von Grundaus” (perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam
hal politik maupun dalam ajaran keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di
luar kepala dapat menghapal Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.
(5) | Sebagai
seorang Muslim, Bung Karno meyakini petunjuk-petunjuk wahyu dalam Al Quran dan
Hadits, tetapi ayat-ayat suci berbagai agama tersebut juga turut memperkaya
spiritualitasnya. Hal itu dapat dimengerti, sebagaimana ditulis Cindy Adams,
karena kesadaran Bung Karno, bahwa kebenaran itu tunggal dan satu-satunya suara
kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan (Sukarno An Autobioghraphy, 1965).
Menariknya, seperti diungkapkannya sendiri,
spiritualitasnya yang begitu luas dan “melintas batas” agama-agama itu, lahir
dari “mi’raj-nya dunia pemikiran”, sebagaimana pendakian seorang salik juga
disebut “uruj mir’raj”. Hua al-khuruj ‘an kulli syai’in siwallah
(Keluar dari segala sesuatu yang bukan Allah). Bung Karno memakai ungkapan
sejajar, “Saya naik ke langit, mi’raj dalam dunianya pemikiran. Bung Karno, in
the world of the mind, bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Thomas
Jefferson, Garibaldi, Mustafa Kemal Atarturk, Mustafa Kamil, Karl Marx, Engel,
Stalin, Trosky, Dayananda Saraswati, Krisna Ghokale dan Aurobindo Gosye. Kalau
ada hadits Nabi berbunyi Utlubul ilma’ wa lau bissin (Tuntutlah ilmu sampai
ke negeri Cina), Bung Karno juga in the world of the mind pergi ke Tiongkok
“minum the bersama Sun Yat Sen”, atau mengalami saat-saat “duduk bersila dengan
Gandhi”.
Meskipun Bung Karno menimba, menimba dan menimba dari
tokoh-tokoh “negeri seberang” itu, namun akhirnya Bung Karno kembali ke
realiteit-nya Indonesia, tatkala pada saatnya ia harus menentukan masa depan
dan kelangsungan bangsa menghadapi kenyataan pluralisme yang menjadi warisan
sejarah beratus-ratus tahun, termasuk di dalamnya pluralisme agama.
Ketika Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang
terkenal di Sorbone tahun 1882, “qu’est ce qu’une nation” (Apakah suatu
bangsa itu?), salah satu aspek yang ditekankannya adalah bahwa nasionalisme
modern tidak dapat lagi didasarkan atas kesamaan agama. Pada zaman itu, agama
masih menjadi unsur perekat negara Belgia yang berdiri tahun 1830. Dari pidato
Renan ini, bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, telah menggali konsepnya
tentang hakikat suatu bangsa. Meskipun Bung Karno menimba konsep nasionalisme
dari Renan, namun nasionalisme Indonesia mendapat pijakan historis yang lebih
kokoh. Bukan hanya baru abad ke-19, tetapi sejak zaman Majapahit, Mpu Tantular,
tidak hanya telah diletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme
agama, melainkan malah sudah dikembangkan landasan teologis yang lebih memadai.
Bung Karno juga “berdialog spiritual” dengan Mpu
Tantular, lalu dikembangkanlah kesadaran yang kini oleh teolog agama-agama acap
disebut sebagai philosophia perennis yang meyakini bahwa kebenaran abadi
berada dipusat semua tradisi spiritual, apakah itu sanatha dharma dalam
Hinduisme, al-hikmah al-khalidah dalam istilah sufi Islam, atau logos
spermatikos (benih sabda Ilahi) dalam pemikiran patristik Kristen. Sesungguhnya
kebenaran itu satu dan tidak terbagi, meskipun mewujud dalam simbol-simbol yang
secara eksoteris berbeda-beda. Prinsip kasunyatan Tantular ini, oleh Bung Karno
diterjemahkan secara politis dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam
Pancasila, berbareng dengan dibabtisnya seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam
lambang negara. Dengan sila pertama itu, Bung Karno telah membebaskan bangsanya
dari “keharusan menantikan pesawat penyelamat dari Moskwa atau seorang khalifah
dari Istanbul”. Maksudnya, Indonesia tidak menjadi Negara Islam, karena
bertentangan dengan realitas kemajemukan bangsa, tetapi juga bukan negara
sekuler, karena melawan degup hati sanubari rakyat yang sangat religius.
Bukan rahasia lagi, Bung Karno dijatuhkan oleh sebuah creeping
coup d’etat (kudeta merangkak) yang dirancang sangat sistematis. Pada
hari-hari terakhirnya, Bung Karno harus menjalani via dolorosa (jalan
sengsara) disebuah “karantina politik”. Sendiri dan sepi. Bung Karno tetap
menjadi Bapak yang mencintai semua rakyatnya, meskipun orang-orang di
sekelilingnya telah mengkhianatinya. Saat itu, ditengah-tengah badai fitnah dan
ancaman pecahnya perang saudara, ibu pertiwi laksana harimau lapar hendak
memangsa anaknya sendiri. Dan seperti Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan
dirinya sendiri, rela tenggelam demi keutuhan bangsa dan negaranya. “Cak
Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam. Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya
tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak terpecah belah”, tegasnya kepada
Ruslan Abdulgani.
Bung Karno sadar, pilihan moral itu ibarat salib yang
harus dipikulnya menuju “puncak Kalvari politik yang kejam”. Masih menurut Cak
Ruslan, Bung Karno terakhir kali menerima delegasi mahasiswa dari GMKI dan
PMKRI pada tahun 1967. Pada waktu itu Bung Karno mengutip sabda Yesus: “Lihat,
Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah
kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Juga, “Mereka akan
menyesah kamu, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja”
(Injil Matius 10:16-18). Maka Bung Karno menempuh jalan ahimsa (tanpa
kekerasan), ketika drama pengalihan kekuasaan itu bahkan hanya berlangsung 2-3
babak saja. Semua berjalan begitu cepat dan rapi. Sang Penyambung Lidah Rakyat
pun akhirnya tenggelam, meskipun Orde Baru yang “menjambret” kekuasaannya tidak
pernah mampu menguburkan pengaruhnya yang besar. Demikian jiwa kenegarawanan
Bung Karno. Sejarah juga mencatat, dengan spiritualitasnya yang lapang,
terbuka, inklusif dan toleran itu, Bung Karno telah berhasil mempersatukan
bangsa yang majemuk ini menjadi satu.
Kini di tengah-tengah fenomena politisasi agama pada
tahun-tahun terakhir, kita diingatkan dengan semboyan kaum sufi yang kiranya
dapat kita terapkan untuk Bung Karno: “ash Shufi laa madzaba lahu ila madzab
al-haqq” seorang sufi tidak mempunyai religi kecuali religi Kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar