Minggu, Mei 24, 2020

New Normal dan Daya Adaptasi Kita


Oleh Sunardian Wirodono

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk adaptif. Setidaknya, itulah yang membuatnya masih ada hingga kini, dalam perjalanan waktu yang mungkin sudah mencapai 5 – 8 ribu tahun.

Dalam bacaan mengenai sejarah peradaban planet bumi, kita mengenali beberapa jenis makhluk hidup lain, yang kini sudah tak ada. Mungkin dalam dugaan kita karena ketakmampuannya beradaptasi. Misal, kenapa dinosaurus lenyap, atau juga berbagai jenis binatang yang kini langka. Jika kita ingat cerita orangtua atau kakek-nenek kita mengenai jaman Jepang (awal decade 1940-an), kita kini mungkin tak lagi melihat binatang yang disebut kepinding (bangsat, atau dalam istilah Jawa disebut ‘tinggi’). Demikian halnya juga mungkin berbagai jenis tanaman atau tumbuhan, yang tak lagi bisa kita temu.
 

Bakal Terbit: Novel Politik Terbaru, April 2020
.
Daya adaptasi manusia menunjukan ‘kelebihan’ makhluk ini dibanding lainnya. Yakni survivalitas yang karena kemampuannya menggunakan akal-pikiran. Itulah yang menyebabkan manusia memiliki catatan perubahan, disebut proses peradaban. Dari entah yang disebut jaman batu, hingga jaman yang diramalkan Einstein mungkin akan sampai dengan perang batu dan kayu, setelah perang nuklir dan penggunaan senjata kimia.

Kedigdayaan Musuh Terbaru. Di luar yang meyakini adanya teori konspirasi, munculnya pandemi Covid-19, membuktikan peperangan terbaru manusia, menghadapi situasi krisis lingkungannya. Apapun sejarahnya, Covid-19 telah mengharu-biru manusia. Sampai pada titik paling krusial, yakni kematian manusia dalam waktu relative cepat. Bahkan menantang pada titik kulminasinya, yakni menyerang manusia-manusia yang justeru kita sebut sebagai para ahli kesehatan.

Hal tersebut benar-benar menunjukkan kedigdayaan musuh terbaru manusia ini. Dan kita lihat, ketidaksiapan kita semua menghadapi hal itu. Secara sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan politik, di mana pada unsur terakhir telah bercampur dengan karakter dari manusia itu sendiri, yakni homo homini lupus.

Di manakah letak manusia Indonesia dalam situasi itu? Justeru ketika manusia Indonesia kini juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan progres kebudayaan sejak 1908, 1928, 1945, justeru mulai 1966 bangsa Indonesia berada dalam situasi stagnan. Setidaknya pada periode yang secara politik disebut Orde Baru, atau new-orde, kekuasaan politik justeru membuat kurva peradaban manusia menurun.

Soeharto dengan otoritariannya, dengan pragmatisme politik dan system formalisme dalam nilai kebudayaan (pendidikan dan agama), menjadikan kita mandeg. Dan kita merasakan akibat lanjutannya, dalam kualitas demokrasi, kualitas dan daya saing sdm, serta munculnya formalisme yang menjadi bagian dari pelambatan perubahan itu sendiri. Kita bisa memahami nubuat Sukarno, “Perjuanganku takkan lebih berat darimu, yang mesti menghadapi bangsamu sendiri!” 

Agama Kehilangan Legitimasi. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas mutlak. Para ahli di berbagai bidang, juga sama sekali tak punya otoritas keahliannya. Matinya kepakaran, karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Juga keterbelahan kelompok kelas masyarakat ini, menjadi pemicu akibat dari terjadinya polarisasi atas nama kepentingan-kepentingan.

Dalam hal ini, menghadapi pandemic Covid-19, kelompok agama juga kehilangan legitimasi dan bahkan legalitasnya. Bukan hanya karena mereka tak mengerti cara mengatasi situasi, melainkan keyakinan keberagamaannya, juga menjadi kontra-produktif. Sebagaimana kritik Einstein, agama mesti berjalan seiring dengan ilmu dan pengetahuan, agar tidak lumpuh. Dalam praktiknya, sebagai contoh kasus, penyebabran virus corona secara massif dan serentak, justeru berkait aktivitas agama, seperti di Korea, Malaysia, juga di beberapa kota Indonesia yang dipakai untuk pertemuan berjamaah atau pun ibadah bersama di masa himbauan physical distancing.

Apa yang terjadi di gereja dan masjid Indonesia, tak bisa tidak dikaitkan dengan bagaimana agama menjadi persoalan, dan paling tak mudah berdamai dengan situasi. Mereka yang tetap heroik melakukan peribadatan massal, biasanya meyakini bahwa mati dan hidup adalah otoritas Tuhan, jadi kenapa mesti lebih takut pada aturan manusia daripada ketentuan Tuhan? Jika pun sekiranya kejadian, mereka bisa dengan enteng mengatakan demikianlah takdirnya.

Kualitas SDM negara Indonesia, dalam catatan perangkingan literasi dunia, beberapa tahun lampau, berada di posisi ke-2 dari bawah. Hanya satu tingkat lebih unggul dari sebuah negara kecil di Afrika.

Formalisme Berfikir dan Berkeagamaan. Sementara itu, formalisme berfikir dan berkeagamaan, menjadi faktor lain dari persoalan-persoalan kita menghadapi situasi sekarang ini. Kita tahu banyak cerita mengenai itu. Tentang pendeta yang ngeyel, juga beberapa habib dan ustadz yang muncul di medsos, dalam video-video pendek, menghujat pemerintah dan negara sebagai laknatullah karena dituding dzalim, dan lain sejenisnya.

Bahkan situasi sekarang ini, bisa jauh lebih buruk karena hal-hal tersebut muncul dalam berbagai pertemuan irisan kepentingan. Perubahan situasi politik, orientasi pemerintahan yang berjalan, memungkinkan tabrakan-tabrakan pihak-pihak yang dirugikan secara politik dan ekonomi. Konflik atau perang yang muncul, berbentuk a-simetris, dan karenanya menjadi tidak gampang.

Ketika pandemic Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional pun, tak bisa mempersatukan. Tak sebagaimana Sukarno dulu memakai slogan-slogan provokatif seperti ganyang Malaysia, Inggris kita linggis dan Amerika kita sterika. Demikian pula jaman Soeharto, diciptakan common enemy bernama PKI, menjadi alat strategis untuk membuat satu barisan yang mendukungnya. Padal di sisi lainnya, hal itu abai dengan kepentingan negara secara substansi dalam membangun persatuan dan kesaktuan. Kekuatan itu malahan dikamuflase bagi kepentingan politik kekuasaan Soeharto. Polarisasi itu bukan meredup, meski Soeharto telah 18 tahun longsor. Bahkan polarisasi itu kembali sengaja dibangun, baik oleh pengikutnya, hingga oposan bagi pemerintahan kini.

Bagaimana kita membayangkan new normal, atau kenormalan baru, yang istilah itu kini disebut-sebut, dalam keputusasaan menghadapi pandemic? Bagaimana dengan sesanti Sukarno, bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’. Berazas gotong royong yang menjadi soko-guru Indonesia?

Tidak Semudah Kritik. Sesuatu yang tak mudah, Tidak semudah kritik-kritik yang dilontarkan entah itu dari yang disebut SJW, aktivis politik, kaum oposan. Di mana terlihat perspektifnya lebih berangkat dari kepentingan masing-masing. Apalagi jika dilakukan dengan cara pandang mikroskopik. Sesuatu yang kecil terlihat membesar. Padal, demikianlah kerja mikroskop, karena focus penglihatan, tetapi mengabaikan peripheral atau lingkungannya.

Sementara siapapun, yang berada dalam posisi Presiden (eksekutif), sekarang tak bisa tidak harus melihat dari berbagai aspek. Tidaklah mudah menjadi penyeimbang dari berbagai obyek dan subjek yang saling berkelindan. Apa yang dilakukan seorang Presiden, berimplikasi langsung bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada dirinya. Dalam kungkungan legislative dan judikatif, plus rakyat dan media di jaman medsos kiwari yang tak terkendali lagi. Ditambah pula kualitas demokrasi yang belum membahagiakan.

Siapapun presidennya, tak bisa tidak harus memperhatikan berbagai aspek itu. Sehingga apapun keputusannya, bisa terlihat kontroversial. Atau tak mudah diterima. Apalagi jika yang masing-masing konstituen kukuh ingin mendapat 100%, bahkan lebih dari semua keinginannya. Kita cenderung tak mau kepentingannya dibagi, atau terbagi, apalagi berbagi untuk kepentingan lain. Jika perlu, bagaimana bisa kita dominasi kepentingan itu dengan mengabaikan kepentingan liyan.

Apakah tak ada jalan keluar? Kembali ke daya adaptif manusia. Sekali pun dalam situasi sekarang, kehadiran Presiden yang baik saja menjadi tak cukup. Catatan bagi Jokowi, ialah bagaimana mampu keluar dari zona merah itu. Lebih berani memutuskan dengan radikal. Situasi kenormalan baru akan lebih mendapat jalan dari sini.

Apalagi ketika kita tidak mendapatkan pencerahan terbarukan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan (baca; dunia kesenian) kita. Bahkan, sekali lagi, apalagi dari agama. Kelemahan yang paling mendasar dari bangsa ini, rendahnya disiplin dan tingginya konformisme, kadang mendapatkan dan mencari legitimasi dari agama. Demokrasi hanya dilihat dari aspek hak (azasi manusia) dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Sama sekali tak melihat bahwa semua itu dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Kualitas Demokrasi dan Rendahnya Literasi. Meski pun tentu kita juga mengetahui, Negara Indonesia baru berada dalam situasi transisi, Dari situasi-situasi kritis peninggalan 32 tahun, dari rezim otoriter ke era yang didorong untuk lebih demokratis. Di situ pada akhirnya daripada ngomongin new normal, akibat pandemi corona, terasa lebih penting ke pokok dasarnya. Yakni sikap mental dan perilaku bangsa ini menghadapi perubahan (apapun). Pandemi corona, mungkin justeru bisa diletakkan sebagai pemicu. Sebagaimana beberapa kasus kematian yang terjadi secara massal, di antaranya adalah tidak selalu oleh corona virus. Melainkan karena penyakit-penyakit bawaan atau yang sudah diidap sebelumnya.

Penyakit bangsa ini, soal kualitas demokrasi dan rendahnya daya literasi. Dangkalnya daya penalaran, yang menjadi kontraprodukif, justeru karena lebih bersandar pada klaim-klaim nilai yang dianggap substansial, padal pada sisi lain, tidak relevan. Misal, munculnya puritanisme (di luar radikalisme), yang mengagungkan agama sebagai satu-satunya nilai, dengan menisbikan nilai-nilai lainnya. Padal agama-agama itu sendiri tak sedikit membawa pesan; agar manusia berpikir, menggunakan akal, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Jangankan hal itu, ajaran welas asih dan kesalehan sosial, bisa diabaikan.

 Sebagai penutup tulisan ini, apa yang terjadi pada orang yang disebut habib di Bangil (Jawa Timur), ketika berurusan dengan Kepolisian. Bagaimana kemudian kasus itu diselesaikan. Kedua belah pihak, sama-sama tak proporsional dilihat dari status atau posisinya secara sosial. Hal itu nyata, serta dalam beberapa hal, umum terjadi. Bagaimana seorang ahli agama memalsukan BPKB kendaraannya? Bagaimana petugas negara yang menjalankan aturan pemerintah justeru meminta maaf pada pelanggarnya? Itu sungguh sesuatu banget, dan nyata banget. | @sunardianwirodono

Yogyakarta, Malam Lebaran, 24 Mei 2020

Selasa, Mei 12, 2020

Didi Kempot, dalam Persimpangan Budaya Ambyar

 
 
Oleh : Sunardian Wirodono
 
Didi Kempot adalah persimpangan budaya, dalam dunia industri musik pop Indonesia.
Ketika teman-teman XMal Sindikasi memproduksi acara musik di televisi, dengan bintang utama Didi Kempot (Es Campur Es, TV7, 2002 – 2005), kala itu sebenarnya popularitas DK sudah empot-empotan. Masa booming DK sudah lewat? Entah. Sebenarnya, boleh dikata selalu ada hit-nya tiap tahun. Tapi pasar anyep saja. Mulai dari Plong (2000), Ketaman Asmara (2001), Pokoke Melu, Cucakrawa (2003), tak sanggup ngadepin ndangdhut koplo.
Di panggung musik khalayak (dalam pengertian kultur pop), setelah mencoba berkiat dengan congdhut (keroncong ndangdhut) sebagai differensiasi, mungkin DK sudah putus asa. Atau mungkin karena karakternya, menerima segala tiba sekira masanya sudah lewat. Tak ngotot. Toh ia ‘Superstar Jawa’ yang tak terkalahkan di Suriname, selama 20 tahun terus-menerus. Presiden Suriname pun pandhemen DK.
Lagu ‘Kalung Emas’ yang nge-hit 2013, atau ‘Suket Teki’ di 2016, belum juga bisa mengentaskan dari tidur panjang. Hampir 20 tahun, nyaris persis sama panjang dengan masa kejayaannya di Suriname. Baru kemudian 2019; Didi Kempot Reborn!  Saya tidak tahu persis, siapa yang berperan, Jarkiyo, Agus Magelangan, Gofar Hilman, atau Gus Miftah yang konon dikeluhi DK ‘gimana cara agar viral!
Tapi mungkin juga tak terpikirkan siapapun, juga oleh beberapa nama yang disebut tadi. Kecuali post-factum, sila bikin sejarah. Bahkan pun warga milenial (warga-net sih sebenarnya), sebagai pengusung, tak bisa merumuskannya. Ini sejarah yang berbeda dengan kegelisahan DK waktu itu. Ini fenomena munculnya perang simbolik yang juga masuk ke pola perang asimetris. Apalagi di era teknologi komunikasi dan informasi yang mengubah segala. Termasuk konon matinya kepakaran.
DK menjadi ikon generasi muda, meski dalam perjumpaan yang ‘too late’. Ketika generasi baru Indonesia, dari industri musik pop (sebagai bagian dari kebudayaan pop, dan anak kandung kapitalisme), tidak menemukan pahlawannya. Apalagi ketika menghadapi K-Pop, serta produk ikutannya, dalam komodifikasi jaman kiwari.
Kenapa bukan Iwan Fals, atau Slank? Tentu masing-masing memiliki pemujanya. Meski mengikuti beberapa pertunjukan Iwan Fals, Slank, dan Didi Kempot, di berbagai tempat, mereka memiliki irisan sama. Generasi yang gundah, dengan keambyaran yang sama.
Tapi DK punya nilai simbolik berlebih, karena (bisa jadi) dianggap lebih otentik, untuk berhadapan, aple to aple, sebagai counter-culture. Perjalanan musik DK lebih bisa diterima. Bahkan dibandingkan terobosan Koes Plus, juga A. Riyanto dengan Favourite’s Group, serta Manthous yang telah mewarnai jagat industri musik pop kita dengan ‘Pop Jawa’, dan yang kemudian dikembangkan Manthous dengan istilah campursari (1993).
Koes Plus dan Favourites Group, mungkin berada dalam kutukan industri pop. Disitu saya kira Manthous salah membaca pasar, jika kita ngomong strategi dalam komodifikasi. Ia menjadi eksklusive dengan kesadaran puitika Jawa yang adiluhung. Meski mengangkat nilai tradisi, Manthous dinilai kurang otentik, dan kurang nonjok.
Sebagai pengamen jalanan, DK mewakili sebuah kelas secara lebih pepal. Apalagi ia sendiri pernah jadi korban pertarungan komodifikasi budaya itu (hingga membuat dia nyungsep setelah puncak popularitasnya di awal dekade 2000). Periode campursari dan keroncong pop DK, sedikit mendapatkan jalan, ketika dimunculkan istilah congdhut. Namun, hampir persis dengan Gambang Kromong yang dipopulerkan Benyamins S, yang lebih nge-hit dibanding Pop Betawi-nya. Secara kuantitatif, dalam industri pop, gambang kromong tak masuk kriteria industri besar karena sempitnya pasar. Congdhut juga tak mendapatkan juru-bicara. Ia sendiri (congdhut itu), punya problem dengan komunitas buaya keroncong.
Generasi muda, untuk menyebut generasi baru, secara psikologis dan politis, akan cenderung anti-mainstream, out of the box, anti-kemapanan. Orang gelisah dan ambyar, akan lebih berempati pada kaum pinggiran, kaum underdog. Apalagi dalam dunia perlawanan simbolik (yang sebenarnya berangkat dari realitas kekalahannya, namun terus melawan, meski dengan simbol-simbol). DK memenuhi syarat sebagai bendera perlawanan simbolik bagi ‘sobat ambyar’ di segala lapis keambyaran. Coba sekiranya ia anak orang kaya, atau kaya banget, karena kerja-keras dan kerja-cerdasnya. Jangan baper jika saya sebut contoh Belva, apalagi menjadi stafsus presiden.
Dalam pada itu, DK Reborn saya kira karena kisah syahdu DK. Bagaimana pun didewasakan dari debu jalanan, menjadikan lebih diterima sebagai simbol keterasingan atau keterbelahan. Apalagi syair-syair DK dirasa lebih otentik, jujur, denotative. Bukan hanya bisa dimengerti, tetapi bisa diterima. Tak membutuhkan tafsir sangat canggih dan arkaik, karena idiom-idiomnya cablaka, berterus-terang, prasaja. Sebagaimana cara pandang DK dengan pahit-getir kehidupan. Di situ, kenapa Inul Daratista tidak sebagaimana DK? Inul selesai dipanggung, dengan vibrasi sesaat ketika kita menontonnya. Tidak terbawa dalam kegelisahan kita, karena mungkin juga kita membutuhkannya hanya ‘sesaat’, untuk membunuh kegelisahan belaka.
Dalam industri musik pop kita, yang nge-hit ialah yang berurusan dengan impersonalitas. Sesuatu yang empatik, terasakan, dan dekat karena ada reasoning yang dibangun. Hal ini juga saya kira berlaku untuk Chrisye, Slank, Iwan Fals. Lagu-lagu evergreen mereka, adalah yang berkait dengan pengalaman hidup yang empirik, otentik, sedikit reflektif, namun tidak menyimpulkan, apalagi menggurui. Daya resonansinya akan lebih pekat.
Penabalan Didi Kempot, sebagai The Godfather of Broken Heart, Lord Didi, Bapak Patah Hati Nasional, dan sebagainya, bisa jadi buah keisengan biasa. Atau luar biasa tapi tak mengerti bagaimana memformulasikannya. Hingga terlihat tidak sangat konseptual. Namun itu merupakan komplotan otentik. Dan DK perekat ajaibnya.
Terimakasih Didi Kempot, telah menyediakan ruang dan pilihan. Sebuah oase dalam keringnya simbol-simbol, yang sering dipaksakan untuk menjadi verbal. Termasuk soal sorga dan neraka. | @sunardianwirodono

Selasa, Mei 05, 2020

Dari Kasus Refly Harun: Antara Media Online & Media Sosial


Oleh : Sunardian Wirodono

Mari sedikit berbincang tentang media online dan media sosial. Ketika media mengutip omongan Refly Harun, bahwa aksi sosial Jokowi melakukan bagi sembako pada masyarakat, adalah ‘sebuah pencitraan yang salah’. Tidak significant, dalam konteks kekuasaan, menghadapi bencana nasional coronavirus dengan berbagai implikasinya; Apa sebenarnya yang kemudian terjadi?

Refly Harun, dalam kasus pemberitaan atau pengutipan pendapat itu, sesungguhnya berada dalam posisi dirugikan media pers itu sendiri. Kita masih ingat, bagaimana konon ahli hukum tata-negara ini mengatakan (usai pencopotan sebagai komisaris salah satu BUMN), bahwa ia akan mengawasi pemerintahan. Yang baik dia dukung, yang salah akan dia kritisi secara proporsional.

Pemberitaan mengenai pernyataan Refly soal aksi bagi sembako Jokowi, sama sekali tak significant untuk janji Refly, untuk tetap kritis dalam mengawasi kebijakan pemerintah. Karena yang dikritisinya bukan kebijakan pemerintah. Melainkan aksi individu Jokowi, yang kebetulan adalah Presiden. Lho, kok dikawal Paspampres segala? Karena Jokowi adalah melekat Presiden, sebagaimana resiko apapun perbuatan dia, bermatra banyak. Kalau dalam aksi pribadinya mengalami kecelakaan, apa yang terjadi? Itu yang diharap lawan politik. Apa implikasinya? Bedakan dengan tetangga saya, yang tukang tambal ban, ketika menjadi pelopor aksi sembako Tetap saja dianggap sudah kewajiban kita sebagai makhluk sosial, peduli sesama.  

Model pemberitaan media, jadi merugikan Refly karena ada split logika yang tak terwacanakan. Karena media hanya merekam, anti beropini. Tidak ada perspektif dan preferensi yang dibangun. Di situ bukan hanya Refly yang dirugikan, melainkan masyarakat secara umum. Kenapa?

Diskursus Mengenai Media yang Berubah. Karena diskursus yang dibangun media, jadi kontra-produktif. Padal, kemarin ketika teman-teman pejuang pers mengumandangkan Hari Kebebasan Pers se Dunia, spirit perjuangan apa yang hendak dikibarkan, atas nama ‘kebebasan pers itu? Waktu itu, saya kutipkan omongan Thomas Jefferson, “Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial.”

Tapi, karena pers dalam konteks omongan Thomas Jefferson (yang hidup di 1743 – 1826) kala itu, dia tak tahu apa yang terjadi 200 tahun setelah kematiannya. Sekali pun tahun 2018 Najwa Shihab dalam buku ‘Mantra Layar Kaca’ menyebut; “Media selalu punya kesempatan emas, membangun keterlibatan sosial dan solidaritas.” Bagaimana kalau sebaliknya? Karena media yang dimaksud keduanya (Thomas Jefferson dan Najwa), adalah media konvensional, yang bukan lagi media mainstream. Di situ permasalahan muncul.

Tak bisa dipungkiri, arus utama media kita hari ini adalah medsos (atau sosmed, terserah). Salah satu indikasinya, pers sebagai media konvensional kini tidak tabu mengutip medsos, yang acap jadi pecatu pemberitaannya. Bahkan di tengah perjuangan untuk mempertahankan eksistensinya, pola penulisan pers pun meniru pola-pola media online. Hingga tak tabu yang dulunya disebut pers garda depan, memakai gaya click-bait agar tetap bisa mengumpulkan pembaca. Dengan cara itulah untuk berebut mendapatkan iklan.

Ketidakbebasan pers, masa kini, bukan lagi bernilai heroik, yang memperhadapkan pers dengan kekuasaan negara atau pemerintah. Melainkan lebih pada politik kekuasaan atas hukum pasar. Lebih berkaitan dengan eksistensi masing-masing, atau dengan kata yang lebih sublim: laba. Pertentangan yang lebih jamak, justeru adalah antara insan (untuk tidak menyebut buruh) pers dengan perusahaannya.  

Media cetak kita, entah itu koran, majalah, tabloid, di mana-mana jebol pertahanannya. Kompas, dalam dua tahun ini, anjlok 200 ribu tirasnya. Tempo, baik koran maupun majalah, senyatanya hanya berkisar di Jabodetabek. Ia masih eksis secara nasional karena narasi yang dibangun, dan berkat vibrasi perbincangan netizen. Koran-koran grup Jawa Pos, juga Tribune-News Kelompok Gramedia, media cetaknya hanyalah terusan dari model media online.

Dalam teknologi digital, proses transformasi dari media cetak ke media online, belum menemukan terobosan yang bisa menyelamatkan eksistensinya. Dalam media online, misal, para netizen bisa dengan mudah, dan seenaknya, copast atau screenshots dan kemudian share bebas-merdeka ke mana-mana, yang tentu itu merupakan kendala tersendiri untuk hajat hidup media, yang berharap dari iklan sebagai sumber satu-satunya pemasukan. Apa yang dialami media-media berlatar media konvensional itu, persis sebagaimana hancurnya Republik Cinta milik Ahmad Dhani. Ketika semua hasil produksi rekamannya ambyar di pasaran, meski lagunya bergema di mana-mana. Dan itu membuat Dhani frustrasi, hingga kemudian gundul dan seperti sekarang ini.  

Apakah demikian pula Refly Harun, di sisi lain? Entahlah. Kita bahas implikasi lain: Dengan kualitas literasi, serta kualitas berdemokrasi elementer, kita melihat kekacauan medsos. Separohnya gagal untuk mediasi sosial, karena separohnya diwarnai dengan berbagai cuitan berisi pertentangan pendapat, ujaran kebencian, dan hoax.

Media Online, Medsos, dan Kualitas Literasi Masyarakat. Kita tidak tahu bagaimana cara menghentikan itu semua. Padal, seperti ujar Taylor Swift, one of the most important things about social media is knowing when to put the phone down and experience your life. Penyanyi solo dan penulis lagu dengan 7 Grammy Awards yang fenomenal itu, mengatakan; hal penting mengenai sosial media adalah mengetahui kapan harus meletakan telepon dan mengalami pengalaman hidup (atau kenyataanmu). Meski pun sihir dunia maya, yang nyata itu, ialah kemelekatan yang dalam. Hingga dari menjelang tidur sampai terbangun pun, mata manusia seolah dilem oleh monitor gadget masing-masing.

Manusia sebagai makhluk sosial, berada dalam keramaian di kesendiriannya. Dan apa yang dipermasalahkan? Tiadanya renungan yang dalam, hingga slogan sharing lebih kuat daripada carying. Luncahan medsos, yang menjadi mainstream, adalah bahasa tak terperikan ketika dilakukan pembiaran. Pada kasus Refly sebagai contoh, media bukan jadi penerang atau penengah, tetapi hanya sekedar amplifikasi dari keriuhan masyarakatnya. Lantas di mana peran penerangnya seperti diomongkan Thomas Jefferson dan Najwa Shihab?

History will have to record that the greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people, khutbah Martin Luther King (1929 – 1968), pendeta dan aktivis HAM dari AS. Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar pada era transisi sosial seperti ini, bukanlah keributan yang dibuat oleh orang-orang jahat, tapi diamnya orang-orang baik.

Karena sebagaimana pepatah kuna; mulutmu harimaumu, jari tanganmu harimaumu. Medsos bisa membunuhmu jika kita hanya mengandalkan nafsu share tanpa care. Karena medsos sesungguhnya diproyeksikan untuk menjadikan relasi sosial lebih baik. Yang mestinya, ketika suatu ketika ada himbauan ‘social and physical distancing’, kita tidak semakin diasingkan dalam relasi sosial. Jika kamu ingin tumbuh, ujar Jack Ma, temukanlah kesempatan yang baik. Saat ini, jika kamu ingin menjadi perusahaan yang baik (termasuk membuat media online), pikirkanlah permasalahan sosial yang bisa kamu beri solusi, demikian pendirikan Alibaba itu.

Karena masa depan tak terhindarkan. Bahkan pun pada suatu ketika, jika parlemen, wakil rakyat, tidak kita perlukan lagi. Karena masing-masing, dengan gadget digenggaman tangan, bisa menyuarakan aspirasi langsung, tidak butuh wakil rakyat, yang sampai kini masih cenderung korup dan manipulative.

We all participate in weaving the social fabric, ujar Anne C. Weisberg. Kita semua berpartisipasi dalam menenun jalinan sosial. Karena itu, kita semua harus berpartisipasi dalam menambal kain ketika mengembangkan lubang ketidakcocokan antara harapan lama dan kenyataan saat ini. Pertanyaannya, di mana peran media sosial, atau media online, atau apapun yang mengatasnamankan media massa?

Saya ingin kutipkan Theodore Roosevelt (1858 – 1919), bukan karena sok-sokan, tapi karena omongannya memang terasa lebih bermutu, daripada banyaknya cuitan tak bermutu di masa kini, entah itu dari Fadli Zon, Said Didu, Refly Harun, Tengkuzul dan sebangsanya itu:  Saya tidak mengasihani siapa pun yang melakukan kerja keras yang memang layak untuk dilakukan. Saya mengaguminya. Saya kasihan pada makhluk yang tidak bekerja, di mana pun status sosialnya berada.

Jadi untuk media pers kita, selamat berjuang menemukan keberadaan dan masa depannya, dengan baik dan benar, tanpa harus merasa heroik, jika diperkeok perubahan jamannya. | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...