Senin, Januari 27, 2020

Raja-Ratu Bodong: Identitas Bagi Politik Identitas

Bagi manusia tak beridentitas, identitas adalah penting. Mari sepakat dulu, apa itu identitas.

Dalam KBBI, identitas mengandung pengertian mengenai kepribadian (personality, individuality, selfhood), atau ciri khas (specialty, particularity). Jika demikian halnya, adakah manusia hidup, sebagai makhluk sosial, tidak mempunyai identitas? Apalagi ditambah d KTP sekarang ada NIK, dan ada kolom agama pula!

Meski tanpa NIK dan kolom agama pun, semua manusia punya identitas. Identitas adalah inheren, dengan sendirinya. Ia integrated dengan diri atau individu itu sendiri. Maka manusia genah diri, ialah mereka yang memiliki integritas berdasar ukuran-ukuran atau konvensi masyarakat (kumpulan individu) itu.

Barulah kemudian menjadi persoalan, ketika masing-masing melakukan self-claiming, berkait dengan strata, status, kelas, level, aseli, sejati, tingkatan, dan berbagai-bagai nilai. Sampai perlu ada yang ngaku turun nabi tapi minggat karena ketahuan chat-sex. Individu manusia, selalu ingin lebih unggul dibanding lainnya. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, “Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.”

Apa itu politik? Politik adalah seni atau cara menggapai tujuan, dengan jubah kesempurnaan yang dinamakan idealisme (ideologi) untuk memenangi pertarungan, menaklukkan lawan, mendapat pengakuan, atau pun berkuasa. Namun dalam pada itu, menurut Napoleon Bonaparte, “Dalam politik, kedunguan bukanlah halangan.”

Celakanya, dalam kedunguan itu, ada juga tingkatan-tingkatan. Yakni dungu seperti Rocky Gerung, tapi ada yang lebih dungu lagi, yakni yang mempercayainya. Maka dalam pasar bebas nilai, identitas menjadi penting bagi mereka yang “merasa tak mempunyai” identitas.

Sepanjang satu generasi, 32 tahun kekuasan Orde Soeharto Bau, rakyat Indonesia dipaksa dengan ideologi pragmatisme. Mementingkan apa yang bermanfaat secara praktis, dan tinggalkan proses. Yang muncul management by product, bukan management by process. Dalam kompetisi yang tinggi, juga sistem korup, tidak fair, mencuri dalam lipatan dan potong kompas tidak tabu dilakukan.

Tak mudah mengubah kebiasaan yang telah tertanam dalam sistem sosial kita. Karena yang korup bukan hanya pejabat. Juga tukang parkir, kuli bangunan, netizen pun, bisa korupsi. Celakanya, yang jujur tak selalu beruntung. Penjahat bisa dikira malaikat. Hanya karena semat dan pangkat, yang disalahmengerti sebagai derajat, harkat, martabat.

Pada sisi itu, kita boleh saja menertawakan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan entah apalagi (sementara temen saya mendirikan Kraton Asu, karena piara asu dalam jumlah hadeh). Tapi dalam semua level masyarakat (miskin banget, agak kaya, kaya banget, juga super bodoh, agak bodoh dan lumayan pinter), jual beli identitas model itu sudah berlangsung lama.

Bisa lewat yang bernama partai politik, agama, dunia akademi, club moge, arisan berlian, umroh berkah, pemukiman syariah mawadah wa rohmah. Bahkan sampai hal paling sederhana; Ibu-ibu di beberapa kampung memakai kerudung. Bukan karena transformasi nilai keimanan, melainkan lebih karena ‘daripada jadi rasanan’ di arisan atau layatan tetangga. Yang ditakuti bukan tuhan, tetapi sesama manusia yang lebih galakan daripada tuhan. 

Di situ ada praktik jual-beli yang bersifat pragmatis, demi mendapatkan legitimasi, bukan identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada pribadi seseorang. Tetapi kejamnya pertarungan dan kompetisi, identitas hilang karena yang dibutuhkan adalah legitimasi.

Ciri-ciri menonjolnya, adalah tumbuhnya manusia gerombolan, keroyokan dalam waham komunalisme. Karena yang berbeda adalah liyan, musuh, mereka. Bukan kita atau kami. Maka ada begitu banyak simbol-simbol yang mestinya proses pribadi seorang individu, di-extract begitu rupa. Menjadi izim, jimat, mantra, sim-salabim. 

Tak ada proses belajar-mengajar. Tak ada proses transformasi yang berjalan simultan, berkelanjutan. Kita terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek, atas nama pragmatisme tadi. Bahkan untuk urusan menjadi presiden dan masuk sorga. Apakah kita bisa membedakan antara yang ikut Keraton Agung Sejagat dan sejenisnya, dengan yang dulu ikut patungan dengan A’a Gym, Yusuf Mansyur, dan lain-lainnya seperti ‘kita bisa dotkom’?

Kenapa banyak orang beragama ketipu umroh atau rumah Syariah tapi bodong? Karena jaminan sorga atau saking murahnya? Yang percaya sorga bisa dibeli dengan murah (tanpa proses spiritualitas), ialah mereka yang bisa ditipu. Demikian juga dalam kasus PAW Harun Masiku. Siapa sebetulnya yang dungu? Hasto Kristiyanto, Harun Masiku, atau Wahyu Setiawan? Apa yang mereka cari? Legitimasi formal dalam kelas dan kasus masing-masing. Untuk bisa PAW Harun Masiku, Hasto mesti ke MA segala. Minta fatwa untuk legitimasi.

Tak ada soal dalam jual-beli dalam kehidupan ini. Karena memang begitu fitrahnya. Yang terbaik tentu, sepanjang adil dan tak ada proses tipu-tipu di dalamnya. Bahkan termasuk mendirikan agama baru, sekte, komunitas, atau keraton agung. Wong Kanjeng Senopati dulu, ketika mendirikan Kraton Kotagede, juga pake proses jual-beli. Lu jual gua beli. Siapa kuat, dapat legitimasi. Hingga perlu mengorbankan Pembayun, putrinya sendiri, untuk menggelembuk Ki Ageng mangir Wanabaya. Semuanya dengan ketentuan dan syarat berlaku.

Tentu ada yang demen dan percaya teori konspirasi. Tapi mereka yang suka teori gothak-gathuk dengan sumber data yang tak kalah klenik, bisa jadi juga korban rumors. Baik sebagai pelaku sekaligus korban, seperti model Sinuwun Toto Santosa maupun Jenderal Besar Ki Ageng Rangga Sasana. Tapi siapa yang memulai politik identitas ini?

Jaman sekarang mau jadi raja kraton? Daku-dakuannya terlalu jauh, sebagai keturunan Majapahit, atau bahkan lebih lagi sebagai turun Nabi Adam. Gimana ngebukti'in sanad dan ijazahnya? Lha wong anak Presiden yang sekarang lagi berkuasa, mau nyalon walikota saja, bisa dibully mereka yang konon aktivis demokrasi tapi tak percaya sistem yang dibangunnya. Maka, semoga ujar Jawaharlal Nehru benar, “Politik dan Agama telah kedaluwarsa. Waktunya telah tiba untuk Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas.”

Kedaluwarsa bukan berarti tidak berguna lho. Lagian ilmu pengetahuan dan spiritualitas sesungguhnya bukan ancaman bagi politik dan agama. Kecuali kedua hal tersebut, politik dan agama, memang nggak mutu blas. Ya, mutu, tapi rendah. Inget ‘kan nasihat Sukarno, “beragama (mestinya juga berpolitik) tanpa ilmu pengetahuan, bagai orang buta kehilangan tongkat.”

Jika Rocky Gerung menyamakan para raja kraton dagelan itu sama dengan Presiden Jokowi, artinya Rocky sedang menghina 54% yang waktu Pilpres 2019 memilih Jokowi daripada Prabowo. Nyatanya pemilih Jokowi cerdas. Daripada milih Prabowo dapetnya Rizieq Shihab dan Amien Rais, mending milih Jokowi. Dapat bonus Prabowo juga. | @sunardianwirodono

Selasa, Januari 14, 2020

Politik Sebagai Kejahatan Terselubung


Politics is more difficult than physics, ujar Mbah Kyai Albert Einstein. Politik lebih sulit daripada fisika. Benarkah? Tapi mengapa Napoleon Bonaparte malah berkata dalam politik kebodohan itu bukan suatu penghambat? Meski memang ada yang absurd, seperti kata Will Rogers, yang pelawak politik: Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang.

Tulisan ini, dibangun dengan banyak kutipan pemikir, filsuf, jurnalis, pelaku, untuk sekedar membuktikan, bagaimana politik sudah membuat persoalan sejak lahirnya. Dan juga untuk berusaha jujur, bahwa tidak ada pemikiran baru di dunia ini. Sebagaimana ujar Pramoedya Ananta Toer, hanya tafsirnya yang tampak hebat.

Lihat skandal PDIP sekarang ini, berkait kasus PAW-nya yang heboh. Sebagai partai politik pemenang Pemilu, bahkan menguasai parlemen. Undang-undang Pemilu mereka (parlemen) yang membuatnya. Tapi ketika pilihan sistem proporsional terbuka merugikan, mereka melakukan uji materi atas produk mereka sendiri. Kebodohan mana lagi kau dustakan? Benar kata Napoleon di atas, bodoh nggak soal!

Politik adalah seni mencari masalah, menemukan di mana-mana, mendiagnosis itu salah, dan menerapkan solusi yang salah, ujar Groucho Marx. Memang, sebagaimana dirumuskan Paul Krugman, ekonom AS; Politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran. Sementara Clement Attlee, yang pernah menjadi PM Inggris, mengatakan; Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi, namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.

Bagaimana cara menutup mulut orang lain? Ya, itu tadi, menang-menangan dengan sebutan dan besutan demokrasi atau hukum. Dan praktik kekuasaan (bukan praktik kebenaran) itu, akan makin subur dalam warga negara yang cuek. Yang hanya akan teriak-teriak ketika kerugian menimpa dirinya dan kelompoknya semata. Jika kepentingan liyan yang jadi korban, cuek bebek dengan berkata; Bukan urusan saya. Saya, mah, gini aja udah bahagia.

Maka benarlah Hitler, alangkah beruntungnya penguasa, bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Apalagi, lanjut Hitler, aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah. Mungkin sebagaimana pendapat Henry Ford, pendiri Ford Motor: Berpikir adalah pekerjaan terberat, karena itulah sedikit sekali orang yang mau menggunakan otaknya.

Bagaimana politik menjadi sulit dan menyebalkan? Ketika politikus berkhianat, seperti dikatakan Joseph Schumpeter. Tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat. Namun, tambah Joseph, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.

Sementara kita tahu, sebagaimana dirumuskan sastrawan Inggris, Aldous Huxley; Paling kurang dua-per-tiga kemalangan kita berasal dari kebodohan manusia, kebencian manusia, dan para motivator dan hakim penentu kebencian dan kebodohan, idealisme, dogmatisme, dan penyepuhan label atas nama berhala agama atau politik. Setidaknya, dusta atau kebohongan itu, bersimaharajalela di tengah masyarakat abai. Abai terhadap apa? Abai pada permasalahan bersama, dan hanya asyik karena ia sendiri merasakan kenyamanan.

Sementara itu, ada sisi lain, sebuah monster kekuasaan bergerak, justeru mengatasnamakan kepentingan bersama. Partai politik, sebagaimana agama, menjadi kekuatan, atau kekuasaan, yang korup. Pada akhirnya menjadi predator bagi peradaban kemanusiaan. Tak semua politikus busuk, iya. Ada banyak manusia yang punya prinsip di partai-partai politik sebuah negara, namun menurut Alexis de Tocqueville, sejarawan dan pemikir politik Perancis, tak ada partai yang punya prinsip.

The whole art of politics consists in directing rationally the irrationalities of men, tulis Reinhold Niebuhr. Seluruh seni politik terdiri dari mengarahkan secara rasional irasionalitas manusia. Hasto Kristianto, dan beberapa elite PDIP hari-hari ini misalnya, mempraktikkan seni permainan itu. Victim playing. Mereka mengatakan korban dari sebuah framing media. Sembari terus mengatakan keberpihakan pada wong cilik, moralitas, demokrasi. Sebagaimana ditulis aktivis sosialis Jerman, Oscar Ameringer; Politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain. Itu kenapa seolah tiba-tiba ada orang baik budi, seperti Harun Masiku. Mengeluarkan uang ratusan juta, mungkin sampai milyar rupiah, untuk disebut Hasto sebagai ‘orangnya bersih’ dan ‘track-record’-nya jelas. Tapi tega nyuap!

Tidak ada sikap dan aksi yang jahat, atau khianat yang partai politik tak mampu lakukan, ujar Benjamin Disraeli. Karena apa? Kata orang yang pernah jadi PM Inggris itu, dalam politik tidak ada kehormatan! “Saya dahulu bilang bahwa politik adalah profesi tertua ke-dua di dunia,” berkata Ronald Reagan, Presiden AS beberapa tahun lampau. “Yang pertama adalah prostitusi. Namun saya baru menyadari bahwa politik sama kotornya dengan prostitusi.”

Maka, di negara di mana setiap orang dianggap bersalah, satu-satunya yang bisa dibilang kriminal hanyalah mereka yang tertangkap, dan satu-satunya yang bisa dianggap dosa adalah kebodohan. Itu tulis Hunter Thompson, jurnalis Amerika Serikat. Kalau partai politik, PDIP, bisa menunda penyelidikan KPK atas ruangannya, tetapi senyampang itu menyatakan mereka komit mendukung penegakan hukum, kita hanya bisa ketawa kecut. Dan politikus seperti Hasto, tentu tak akan sebodoh Harun Masiku. Makanya jadi sekjen.

“Kalau partai politik tak punya fondasi dalam memajukan keadaan menjadi lebih benar dan bermoral,” berucap mantan Presiden AS, Dwight Eisenhower, “maka itu bukanlah partai politik, melainkan hanya konspirasi untuk merebut kekuasaan!” Namun itu yang terjadi bukan? Dan konyolnya, seperti sindiran Charles de Gaulle, politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya.

Dan mereka bisa membodohi majoritas masyarakat diam. Meski di situ berkumpul orang pintar dan dengan keyakinan moral lebih bagus. Itu membuktikan kebenaran omongan Jesse Jackson, aktivis HAM AS; Dalam politik, satu minoritas yang terorganisasi adalah satu mayoritas politik. Itu bukan hanya berlaku untuk parpol macam PDIP, Gerindra, atau Golkar. Tapi juga berbagai lembaga seperti PKS yang juga parpol, FPI, PA-212, dan bahkan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah. Dan sebagainya.

“Berpikir tentang perubahan sosial yang mendalam, kaum konservatif selalu mengharapkan bencana,” kata Carolyn Heilburn, feminis. “Sementara kaum revolusioner dengan percaya diri mengharapkan utopia. Keduanya salah!” Kritik tajam Gustave le Bon, sosiolog dan psikolog dari Perancis; “Fase pertama evolusi demokrasi yang menang adalah menghancurkan aristokrasi lama, yang kedua untuk menciptakan yang baru.” Sama saja!

Maka sebagaimana pemikiran lama yang kini berkembang kembali, sebagaimana ditulis dalam buku Tremendous Trifles (1955) oleh Gilbert Keith Chesterton (1874 – 1936); You can never have a revolution in order to establish a democracy. You must have a democracy in order to have a revolution. Anda tidak akan pernah bisa menegakkan demokrasi dengan revolusi. Anda harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi.

Tapi seperti lingkaran setan. Diserahkan ke partai politik? Politikus? De Gaulle bahkan sampai pada kesimpulan, “Politik urusan yang terlalu serius untuk ditangani para politikus semata.” Jika sebuah system nilai, baik dalam politik maupun agama (dan apalagi jika keduanya dikawinkan), dipercaya begitu saja, atau didiamkan berkeliaran, ia akan sungguh berbahaya. Sebagaimana dikatakan Anais Nin, wartawan dan penulis Perancis, “Bila kita secara buta menerima sebuah agama, sebuah sistem politik, kita menjadi robot. Kita berhenti bertumbuh.”

Indonesia pada tahun-tahun ini, pasca 1998 dan menjelang 2045, ialah sebuah negara yang berada dalam persimpangan peradaban. Apakah akan setback ke masa-masa Orde Baru dan sebelumnya? Atau melangkah dengan generasi milenialnya dalam transformasi sosial masyarakatnya? George Santayana, filsuf dari Spanyol mengingatkan, “Mereka yang tidak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama.”

Apakah kita akan membiarkan semuanya ini? “Guna mengatur dunia,” berkata Konfusius, filsuf agung dari Cina, “pertama-tama kita harus mengatur bangsa; mengatur bangsa, pertama-tama kita harus mengatur keluarga; mengatur keluarga, pertama-tama kita harus mengembangkan kehidupan pribadi kita; pertama-tama kita harus menempatkan hati kita secara benar.”

Itulah sebabnya, John Adams, yang pernah jadi Presiden AS, menulis memoarnya; “Saya mesti belajar politik dan perang, agar anak-anak saya mendapatkan kebebasan untuk belajar matematika dan filsafat. Anak-anak saya harus studi matematika dan filsafat, geografi, sejarah alam, arsitektur laut, navigasi, perdagangan dan pertanian agar mewariskan hak kepada anak-anaknya untuk belajar melukis, puisi, musik, arsitektur, pembuatan patung, pembuatan kue, dan porselin.”

Art, freedom and creativity will change society faster than politics, tulis Victor Pinchuk. Seni, kebebasan, dan kreativitas akan mengubah masyarakat lebih cepat daripada politik. Tapi kalau seniman jadi anteng dan tertib dengan dana keistimewaan? Itu juga tidak istimewa lagi. Tak bisa diharap banyak.

You may fool all the people some of the time, you can even fool some of the people all of the time, but you cannot fool all of the people all the time, ujar Abraham Lincoln. Kamu mungkin dapat menipu semua orang selama beberapa waktu, kamu bahkan dapat menipu beberapa orang sepanjang waktu, tetapi kamu tidak dapat menipu semua orang sepanjang waktu.  | @sunardianwirodono

Senin, Januari 13, 2020

Hasto dan Mega Mestinya Mundur


Judul tulisan ini, sebenarnya masih lunak. Karena memakai kata mestinya, bukan mesti atau harus. Wong pakai kata itu saja, yang bakal ngamuk dan baperan juga banyak. Banyak itu maksudnya orang PDIP yang mati-matian ngebela Hasto Kristianto (Sekjen) dan Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum) PDI Perjuangan.


Kasus PAW PDIP yang berbuntut tertangkaptangannya komisioner KPU, sesungguhnya adalah skandal politik bagaimana parpol selama ini menjadi sumber persoalan. Hal itu dicontohkan dengan baik, dengan upaya PDIP melakukan uji materi soal PKPU ke MA (Mahkamah Agung), berkait penetapan caleg berdasar perolehan suara.

Dalam penetapan hasil Pileg 2019, berdasar perolehan suara, KPU menetapkan untuk Dapil I Sumatera Selatan; (1) Nazarudin Kiemas (2) Riezky Aprilia (44.402 suara), (3) Darmadi Djufri, (4) Doddy Julianto Siahaan, (5) Diah Okta Sari, (6) Harun Masiku (5.878 suara), dan dua caleg lagi dengan perolehan di bawah Harun Masiku. Keputusan ini secara konstitusional dikuatkan MK (Mahkamah Konstitusi). Karena peringkat pertama meninggal dunia (bahkan sebelum Pileg dimulai), maka KPU menetapkan urutan kedua yang berhak menggantikan (hal ini bisa terjadi karena caleg meninggal dalam proses perhitungan dan penetapan Pemilu --secara hukum-- sedang berjalan).

Hal itu sesuai sistem dan UU Pemilu kita, secara proporsional terbuka. Artinya, peringkat keterpilihan ditentukan jumlah perolehan suara. Suara rakyat dihargai kedaulatannya. Bedakan dengan proporsional tertutup, di mana partai bisa mengotak-atik urutan perolehan suara sekehendaknya. Caleg dengan suara sedikit, bisa saja yang diangkat dan yang terbanyak bisa disingkirkan. Itu soal like and dislike. 

Karena keputusan KPU sangat kuat, berdasar UU Pemilu dan bahkan UUMD3 godogan dari partai politik juga, tak ada peluang untuk parpol mengutak-atik. KPU dalam hal ini menjaga marwah kedaulatan suara rakyat.

Pada titik itulah, PDIP membuat ulah dengan mengajukan uji materi ke MA soal PKPU atau kewenangan penetapan caleg oleh KPU. Bukan ke MK, karena keputusan sudah final tentang perolehan suara caleg dari pemilihan langsung. Muncul fatwa MA, yang khas Indonesia, yakni membuat keputusan dengan bahasa multi-tafsir. Keputusan KPU bisa di-challenge dari sisi ini. Terbukti PDIP tiga kali mengajukan surat permohonan, pertama ditandatangani Bambang Wuryanto (Ketua Bappilu), kedua Yasona Laoly (Ketua DPP PDIP), dan terakhir Megawati Sukarnoputeri (Ketua Umum). Masing-masing tentunya disertai tanda tangan sekjen yang sama, yakni Hasto Kristianto.

PDIP memohon agar KPU mematuhi fatwa MA, bahwa partai mempunyai kewenangan (diskresi) untuk memilih caleg yang akan didudukkan sebagai pengganti dalam PAW. Permohonan PDIP itu berdasar keputusan MA, nomor 57P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019 mengabulkan sebagian permohonan PDIP, dengan amar putusan; 'dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon'. 

Pada pokoknya (setelah mendapatkan Fatwa MA itu), PDIP merasa berhak atas suara yang diperoleh calon yang telah meninggal dunia (Nazarudin Kiemas), dan dengan itu pula bisa diberikan pada caleg pilihannya (Harun Masiku yang dalam urutan perolehan dalam satu partai berada diurutan ke 6), melampaui urutan 5, 4, 3, dan 2 yang perolehan suaranya jauh lebih tinggi.

Perolehan suara (Riezky Aprilia), sudah ditetapkan Agustus 2019 oleh KPU sebagai terbesar kedua, dan menggantikan posisi pertama caleg yang sudah meninggal (Nazarudin Kiemas). Tapi, kenapa PDIP ngotot mengajukan Harun Masiku, yang notabene perolehan suaranya rendah (ke-6), dengan selisih cukup besar dibanding yang berada di atasnya? Hasto Kristianto mengatakan pada pers, "karena Harun Masuki orangnya bersih, dan track recordnya jelas. Bukan Riezky." Entahlah kenapa orang bersih dan ber-track record jelas itu di Dapil I Sumsel hanya memperoleh 5.000-an suara. Kalah jauh dibanding Riezky yang mencapai 44.000-an suara. Lagian, bersih kok nyuap? 

Kasus dengan memakai dalih hukum, untuk membatalkan keputusan politik (berdasar aturan UU), bukan hanya dilakukan PDIP, tapi juga partai lain seperti dalam kasus Mulan Jameela dari Partai Gerindra. Bahkan pernah ada kasus dari Gerindra, seorang caleg sehari sebelum dilantik bisa diganti karena keputusan partai. Di situ kita melihat, oligarki partai ini memang biang perusakan demokrasi. Mengajak rakyat berpartisipasi, tapi setelahnya dipakai main-main tanpa moral politik sama sekali. 

Kita tidak tahu akhir persoalan ini. Tapi kenapa PDIP ngotot? Kita boleh mengembangkan skenario konspirasi cem-macem dan neh-aneh di sini. Misal, PDIP ngotot karena Riezky Aprillia adalah competitor paling berat bagi Nazarudin Kiemas. Sementara Nazaruddin mungkin sudah banyak hilang duit, tapi keluarganya tak menikmati (karena si caleg meninggal), atau bandarnya tak mau rugi.


Apalagi ini caleg masih punya hubungan saudara ipar dengan Ketua Umum Partai. Lantas, siapa yang mau ganti rugi? Enak bener Riezky Aprillia menggantikannya gratisan. Maka kalau ada yang mau berkorban, kayak Harun Masiku, kenapa tak diupayakan duduk menggantikan? Caranya? Uji materi ke MA tadi. Itu kira-kira khayalannya. Belum tentu benar, tapi juga belum tentu tidak tepat. Karena politik masih sebatas dipakai sebagai cari kekuasaan dan keuangan.

Tapi saya tak ingin masuk ke ranah suap dan dari mana uang Harun Masiku berasal. Juga untuk siapa saja. Tapi secara moral politik, tiga kali surat PDIP ke KPU, yang semua ditandatangani Hasto Kristianto, dengan petinggi partai lainnya, bahkan sampai Ketua Umum; Cukup untuk menilai PDIP dengan sengaja hendak mengkhianati kedaulatan rakyat. Merampok suara rakyat untuk kepentingan suka-suka mereka. PDIP dalam hal ini tidak amanah. Apalagi ketika Hasto Kristiono, dan banyak elite PDIP mencoba 'victim playing' dengan mengatakan PDIP sebagai korban media framing. Apalagi dengan omongan Masinton Pasaribu, yang menuding tindakan Penyelidik KPK illegal dan bermotif politik. Copet teriak copet mah biasa! 

Siapa yang salah dalam hal ini? Empat orang pengurus teras itu, termasuk Sekjen dan Ketua Umumnya? Atau atas tenggang waktu penyelidikan KPK yang tidak lancar, maka elite PDIP bisa menyelamatkan diri? Karena segala macam dokumen dan barang bukti berkait kasus itu sudah lenyap-nyap?

Sila PDIP membuktikan diri sebagai partainya wong cilik, kalau masih punya moral. Dan jangan marah-marah mulu kalau ada yang ngancam golput. Itu pertanda kalian gagal membangun kepolitikan civil society di negeri ini, sebagaimana mimpi Sukarno dan para pendiri neg
eri. Siapapun kamu! | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...