Rabu, November 04, 2020

KI SENO NUGROHO (1972 - 2020) IN MEMORIAM

Dalang Muda yang Keren, Fenomenal, dan Viral


Oleh : Sunardian Wirodono

KI SENO NUGROHO | Ki Seno Nugroho meninggal dunia, 3 Nopember 2020, jam 22.15.

Tak berapa lama, timeline twitter dan instagram dipenuhi kabar duka Ki Seno Nugroho (kelahiran Yogyakarta, 23 Agustus 1972). Ngecek di platform medsos lainnya, juga dipenuhi kabar kematiannya.

Hati saya sungguh ngendhelong. Ia seniman Yogyakarta, yang saya anggap paling genuine, di masa pandemi, di masa danais, dan di masa perubahan (teknologi komunikasi dan informasi). Justeru karena ia berangkat dari seni tradisional. Wayang kulit, yang beberapa hari lagi akan merayakan Hari Wayang se-Dunia.

Hati yang ngendhelong itu hampir sama, ketika mendengar Didi Kempot dulu meninggal. Semua di masa puncak kejayaan. Mereka seniman sejati, sebagaimana hampir persis setahun lampau, Raden Mas Gregorius Djaduk Ferianto meninggal dunia.

Dua bulan lalu, saya mulai kolekte video rekaman wayang Ki Seno Nugroho, yang bagi saya sungguh mengundang untuk mendokumenvideokan profilnya. Dan kami sepakat untuk hal itu. Tapi, ya, wislah, Seno. Semoga itulah berkah Gusti bagi istirahat agungmu.

Karena engkau telah berhari-hari dengan wayangmu. Dengan duka-deritamu. Telah menghibur begitu banyak orang. Banyak kalangan. Engkau adalah dalang moncer. Memainkan wayang sembari terus memonitor ponselmu. Untuk memastikan yang request tembang, pada sinden-sindenmu, sudah transfer duit apa belum. Dalam streaming climen.

Itu sungguh dahsyat dan mengagumkan. Apalagi, bukan hanya di tengah pandemi. Ketika banyak orang, banyak seniman, mati kutu dan mati langkah. Engkau tidak. Di platform youtube, engkau berjaya. Hingga punya tim khusus, untuk live streaming di youtube, melayani tanggapan wayang secara virtual.

*

Akun youtube ‘Dalang Seno’, dengan subscriber 447K, unggahan terakhirnya tanggal 2 Nopember 2020 lalu (yang ketika saya pas menulis ini), sudah ditonton 94.436 kali. Entah kenapa, lakonnya ‘Pandhawa Bangkit’, yang saya duga diadopsi dari lakon Pandu Swarga. Streaming Climen sebelumnya, Semar Mbangun Jiwa. Seolah isyarat. Halah!

Saya kira, sudah cukuplah baktimu. Bakti kepada orangtua. Ibu kandung dan ibu kebudayaanmu. Dua lakon terakhir di streaming climen youtube itu, bicara soal ‘mikul dhuwur mendem jero’. Kamu sudah melakukannya, Seno. Dengan baik. Bapakmu, dalang Ki Suparman Cermowiyoto, anak Ki Cermo Bancak, trah Mbah Jayeng (yang adalah juga dalang abdi dalem Kadipaten Pakualaman), tentu bahagia mendengarnya.

Memang trah dalang sejak sononya. Adik Ki Suparman juga dalang. Namanya Ki Supardi. Dulu di masa kecil, kalau malam saya nonton Ki Suparman, siang sebelumnya pasti nonton Ki Supardi. Pementasan mereka sering satu paket. Anak Ki Supardi, yang bernama Ki Catur Benyek Kuncoro, juga dhalang. Bikin ‘wayang hip-hop’ pula.

Saya ingat, seorang Ibu sepuh di Mbulaksumur, selalu mengisi sore harinya, menjelang tidur, menonton Dalang Seno via youtube. Celotehan Ki Seno, sebagai Bagong, candaannya dengan Elisha Orcarus, Tatin, Ayu, Prastiwi, dan juga para pengrawit mudanya di Warga Laras, selalu mengundang tawa. Nama grup karawitannya itu, warisan dari ayahnya. Ketika muda dulu sang ayah menamai pengiringnya ‘Karawitan Trima Lothung’ (agak susah nerjemahinnya, mungkin semacam; Lumayan, timbangannya lumanyun).

Pembaruan tata-karawitan, juga sudah dimulai dari ayah Seno ini. Memasukkan drum dan Saron Cacahan Sangan Wilahan (bilah sembilan, yang lazim dalam gagrag Surakarta). Soal lintas batas, Ki Suparman telah merintis dan merambahnya. Bergaul akrab dengan dalang-dalang gaya Semarangan, Mbanyumasan, Surakarta, Jawatimuran.

Saya bisa pastikan, bukan hanya Ibu sepuh di Mbulaksumur itu yang kehilangan. Pasti banyak. Sangat banyak. Tapi ‘untunglah’, Seno telah mengompresnya di youtube, sehingga bisa ditonton kapanpun. Dan di manapun. Maturnuwun Ki Ageng Youtube. Karena berkat ki ageng itu, saya jadi nggak putus-asa, hanya karena terlalu ngarep pada kundha kabudhayan atau pun Mas Dirjenbud. Oh, ya, maturnuwun pula Kanjeng Kyai i-Cloud!

*

Perjalanan Ki Seno Nugroho bukan hal mudah. Apalagi, justeru ketika mengenyam sukses. Karena kesuksesan bukan hanya mengundang tepuk-tangan, kekaguman, dan penghargaan. Bisa juga sebaliknya. Apalagi yang menggugat posisi Seno, dalam pergombalan seni adiluhung. Yang biasanya berisi wacana mulu.

Kisah perjalanan Seno hampir mirip Ki Suparman, ayahnya. Dulu, Suparman kepenginnya jadi kiper sepakbola. Hanya karena bujukan Ki Cermo, Suparman remaja akhirnya mendalang. Seno tak begitu akrab dengan ayahnya. Biasa. Anak lanang sing ndugal. Juga sepertinya ogah sinau ndalang pada ayahnya, meski sekolah di SMKI Yogyakarta, Jurusan Pedhalangan.

Yang menginspirasinya menjadi dhalang, justeru Ki Manteb Sudarsana, ketika ia diajak ayahnya nonton wayang di Siti Hinggil. Waktu itu ia masih SMP. Namun jika pun akhirnya Seno mau mendalang, karena desakan pamannya, Ki Supardi. Kondisi kesehatan ayahnya sudah memburuk, Ki Supardi ingin ketegasan Seno, jika bapaknya meninggal siapa yang meneruskan?

Tapi Ki Supardi tidak hanya mendesak Seno, melainkan juga membuka jalan. Ketika mendapat tanggapan, Ki Supardi menawarkan Seno Nugroho untuk mengisi pentas wayang sessi siang hari sebelumnya. Mirip paket hemat 2-in-1 kelir ‘Parman-Pardi’ era pertengahan 70-an hingga 80-an. Waktu itu, nanggap wayang siang dan malam, masih 'mampu' dilakukan masyarakat penanggapnya.

Seno mau, asal tidak diberitahukan ke ayahnya. Ia takut kalau ayahnya tahu pementasan perdananya buruk. Waktu itu 1988, Seno mendalang pertama kali di dusun Mrican, Depok, Sleman (DIY). Ki Suparman, yang hari itu ditanggap di Pekalongan, karena diberitahu adiknya, sebelum berangkat ke Pekalongan menyempatkan diam-diam melihat pentas anaknya. Bahkan, diam-diam ambil alih alat musik rebab, mengiringi suluk anaknya.

Seno kaget, ketika suluk dan menoleh ke belakang, ayahnya yang mengiringinya dengan rebab. Sontak, semula Seno yang mulus memainkan wayang dan suluk, jadi ambyar. Gemetaran karena takut dimarahi ayahnya. Sementara Ki Suparman mbrebes mili. Optimis anaknya bakal menjadi dalang, meneruskan karirnya. Ki Suparman kemudian berangkat ke Pekalongan. Dan hanya sekali itu menyaksikan Seno mendalang. Untuk kemudian Ki Suparman, setahun setelahnya, meninggal dalam usia 54 tahun.

Apa pun, Seno seniman tradisi yang mampu melakukan reposisioning kesenian tradisi. Bahkan dalam alur paling fenomenal. Merambah kawasan milenial. Di dunia digital. Akrab dengan netizen. Live streaming. Mengenal istilah request, transfer via m-banking, sembari mendalang.
Dan puncaknya, ia istilahkan dengan ‘streaming climen’. Ia tidak menyerah pada pandemi yang bangsat itu. Ia menjadi katub pembuka. Dan, jika tahu terimakasih, silakan siapapun berkiprah, setelah dibukakan berbagai kemungkinannya, yang salah satunya oleh Ki Seno Nugroho. Tak ada urusan dengan suara miring Gaya Ngayogyakarta atau Gaya Surakarta.

*

Setelah wafatnya Ki Enthus Susmono, Ki Seno Nugroho mumbul. Menjulang. Viral. Sesuatu yang belum pernah terjadi; Dalang dari Yogyakarta, dengan pakem lintas batas, mampu “mengalahkan” dalang-dalang kondhang dari Surakarta. Ungkapan ini jangan diterjemahkan negatif. Karena itulah fakta sejarah, untuk dimengerti. Bukan untuk dimaki.

Sebelum PSBB, soal larangan bikin kerumunan itu, 3 bulan ke depan (Maret, April, Mei 2020), jadwal tanggapan Ki Seno Nugroho hampir tanpa celah setiap harinya. Tentu saja, semuanya batal, karena pandemi. Semuanya mandeg. Hingga muncul Live Streaming Climen pada akhir Mei 2020, dan juga mulai melayani tanggapan secara virtual.

Seno anak dalang gaya independen. Dan Seno anak jamannya. Mampu melintas batas tentang gaya-gaya yang sering disalahfahami. Sebagaimana karakter dunia digital, yang juga lintas batas. Seno, bagi saya, telah mampu menjadikan wayang kulit sebagai media manifestasi pribadinya. Seno dan wayang kulit, telah ajur-ajer. Sampai kita tak bisa lagi memisahkan antara keseharian Seno dengan wayangnya. Ia telah menjadi dan menyatu.

Dan itu terjadi di era medsos. Di mana lewat platform youtube, kesenian wayang kulit (setidaknya Ki Seno Nugroho) akan terus bisa dinikmati. Meskipun Seno sudah kapundhut ing ngarsaning kang Murbeng Dumadi.

Sepanjang jaman. Sepanjang i-cloud tidak meledak karena disesaki file data dari seluruh penjuru dunia. Kita, atau tepatnya anak-cucu kita, masih akan bisa menonton wayang kulit itu. Di antaranya, bagaimana pun, bersama Ki Dalang Seno Nugroho.

Maturnuwun Ki Dalang Seno! | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...