Kamis, September 17, 2020

GENERASI MILENIAL & KETERBELAHAN BANGSA

Terjebak dalam Kutukan Sejarah tak Berkesudahan

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Apakah gorengan tahunan bulan September kini sudah menyepi? Karena ada proyek baru bernama Kamidin (kami-nya Din Samsuddin dan Gatot Nurmantyo cum suis)? Kayaknya sih tidak. Cuma sekarang ganti modus. Dengan garis melingkar, membenturkan PKI lewat praktik ‘kesadisannya’ dalam membantai umat Islam beserta ulama.

Dari buku ‘Banjir Darah’, kemudian sampai ke rangkaian terakhir penusukan Syekh Ali Jaber. Senyampang itu, diungkit-ungkit pula nama Sukarno, yang secara impresi dibedakan dengan Soeharto sebagai Orla dan Orba. Cap Orla, dengan sebarisan program politik yang didukung oleh PKI, didengungkan kembali.

Menariknya, ketika menyinggung Sukarno, yang ‘ternyata’ bapaknya Megawati, ketua umum PDI Perjuangan, kebetulan pula ada pecatunya dengan ucapan Puan Maharani soal Pancasila di Sumatera Barat. Muncul bau sangitnya dengan mengungkit Arteria Dahlan, anggota DPR-RI fraksi PDIP, yang katanya cucu elite PKI. Meski untuk tudingan itu telah dibantah dan pembuat isu sudah dilaporkan secara hukum. Persis ketika dulu Riba Ciptaning, juga dipersoalkan karena anak PKI dan anggota legislatif (lagi-lagi) dari PDIP.

Saya tidak dalam rangka ingin membenturkan paham-paham yang saling bertolakbelakangan itu. Hanya sekedar mengingatkan, jika berkonflik atas nama kepentingan apapun, di masa kini dan depan, janganlah mengacaukan sejarah. Mempersepsikan masa lalu berdasar preferensi politik yang dibangunnya sekarang. Karena pastilah hal tersebut hanya akan membuat negara dalam keterbelahan tak berkesudahan.

Konfigurasi konflik islam (atau sebutlah agamaisme) versus nasionalisme yang di sisi lain oleh pihak agamaisme selalu dituding sebagai ‘rekanan’ komunisme (atau lebih tepatnya lagi PKI), akan menjadi semacam kutukan sejarah, atau lebih tepatnya mungkin jebakan sejarah. Dari konfigurasi itu, kemudian mengerucut pada kepentingan praktis kontestasi politik kontemporer kita. Entah itu bernama parpol eksklusif agama versus parpol berpaham sekuler (yang kadang diserimpung dengan pengertian atheis, komunis, dsb).

Meskipun persoalan itu adalah masalah dasar kita, sejak ketika Sukarno dan kawan-kawan, hendak membangun negara Indonesia ini. Hingga sampai pada kompromi dengan dimunculkannya Pancasila. Meskipun soal penuntutan ‘kalimat’ menjalankan syariat Islam kini agak dikaburkan oleh kelompok agamaisme, melihat kasus terakhir berkait pancasila, trisila, dan ekasila. Lagi-lagi, diperhadapkan dengan PDIP, dan kita tahu PDIP itu apa (dalam persepsi kelompok agamaisme).

Pergulatan elite republik ini, dengan konfigurasi seperti definisi Sukarno pada nasakom, nyata-nyatanya tak mampu menyelesaikan ego sejarah masing-masing. Kata toleransi dan intoleransi yang sederhana, menjadi rumit pemaknaannya. Dan ketika para gajah saling tarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Kita, rakyat jelata, dan khususnya generasi baru Indonesia, yang ingin melepaskan dari jebakan sejarah (konflik) itu, dengan menemukan mimpi serta harapan pada Jokowi (sebagai genealogi yang dirasa bisa terbebaskan dari stigmatisasi politik), menjadi korbannya.

Sampai kapan Indonesia akan seperti ini? Apakah Indonesia Emas 2045 akan nyata? Pada titik itu, jika saya mendukung Jokowi, karena berharap itulah titik awal kita. Menjauh dari kompetisi unfaedah dari konflik masa lalu, yang sampai kini tak berkesudahan. Bahkan, oleh para pihak yang berkepentingan pragmatis, hal itu sering hanya dipakai sebagai objektifikasi kepentingan masing-masing.

Bersama Jokowi sebagai representasi kebaruan dalam kepolitikan Indonesia, kita (maksudnya genealogis politik baru Indonesia), mestinya bisa membebaskan diri dari jebakan sejarah. Menelorkan tradisi kepolitikan baru, tidak terkungkung pada egoisme dan romantisme orla-orba, agamaisme-nasionalisme. Secara perlahan mendamaikan serta memaknai sebagai proses pembelajaran, untuk lebih fokus dan kembali pada kebersamaan sebagai bangsa. Tapi perselingkuhan pragmatisme politik, yang juga dimanfaatkan para oportunis politik, membuat mimpi masa depan kembali menjadi fatamorgana. Apalagi ketika oligarki partai politik memang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Pada  posisi dan dalam situasi transisi itu, lepas dari persoalan teknis pemerintahan sekarang, saya tidak menyesal mendukung Jokowi. Dan tetap optimis untuk mendapatkan model-model kepemimpinan baru, yang sekarang ini memang belum muncul. Yang muncul selama ini, sebagaimana dengan mudah kita bacai di seluruh media kita hingga hari ini, masih representasi kepolitikan jadul kita. Apapun gaya politik mereka, yang sama-sama menyebalkan itu.

Mungkin saja ada pendapat terlalu mewah memposisikan Jokowi, Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Retno Marsudi, Mahfud MD, Susi Pujiastuti, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai sebuah prototype. Saya belum tahu bagaimana model Erick Thohir nantinya. Namun model-model seperti itu, lebih relevan untuk Indonesia masa depan. Saya bicara tentang relevansi, bukan dalam skala cerdas atau dungu. Kalau bicara mengenai kecerdasan, Rocky Gerung kurang apa cerdas sekaligus dungunya? Kita tak sedang biacara sosok yang tidak relevan.

Bukan mereka sebagai sosok atau figur, apalagi dikaitkan politik kepentingan 2024. Tetapi prototype, model-model. Karena dengan prototype lama, negara seperti AS pun bisa terjebak memilih presiden model Donald Trump. Dan itu tragis. 

Saya hanya berharap, generasi anak-cucu saya tidak mengalami hidup susah seperti sekarang ini, hanya karena elitenya tak tahu diuntung.  Dan lagi-lagi kita gagal membangun sistem, serta menegakkan hukum. | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...