Hafal dengan nama-nama yang suka disebut, atau bahkan menyebut diri sebagai SJW? Social Justice Warior? Atau pahlawan super kebenaran kita?
Tak usah disebut-sebut siapa mereka, nanti tambah nge-hit mereka. Demikian juga beberapa lembaga atau institusi yang sejenis dengan hal itu. Cirinya sama; tidak memiliki sisi pandang lain dalam hal melihat Pemerintahan, atau tepatnya memandang Jokowi, selain sisi buram atau negatifnya mulu?
Tentu saja para SJW punya, sekiranya jujur. Karena hidup, apalagi kehidupan (ditambah kata politik), tidaklah ramping lurus. Kalau nganggep gitu, tanpa dinamika, maka bohonglah mereka. Kalau bohong, bagaimana? Ya, tidak jujur tentunya.
Contoh paling faktual, apa komentar sadar dan tidak sadar ketika Jokowi di satu sisi mendapat penghargaan Asian of The Year 2019 dari The Straits Times, dan senyampang itu juga digugat (secara hukum dagang internasional) ke WTO oleh negara-negara Uni Eropa soal nikel?
TERPERANGKAP JARGON MASA LALU. Begitulah, dalam hal tertentu, political frozen adalah bukti nyata bagaimana Soeharto bukan saja sebagai penjahat ekonomi, melainkan (juga) penjahat kemanusiaan dan kebudayaan. Hal itu yang memerangkap kita dalam jargon masa lalu. Mengritik atau kritis pada pemerintah itu keren, sementara memuja atau memuji Pemerintah dianggap menjilat. Sementara framing masalahnya, tak mereka sertakan.
Persis para peneliti fosil di laboratorium dengan memakai alat mikroskop. Pandangannya mikroskopik. Hanya fokus pada yang berada dalam jangkauan lensa, sementara masalah kitarannya sengaja dikaburkan, atau diabaikan. Organisasi atau asosiasi profesi ditabukan, takut diperalat sebagai kendaraan politik.
Namun senyampang itu organisasi massa, dan organisasi keagamaan, dibanggakan dan dibiarkan tumbuh subur. Pembiaran terhadap anomali semacam itu, mengherankan dan membuat kita bertanya, bagaimana kita bisa tidak adil sejak dalam pikiran? Kemalasan mencari kebenaran substansial? Tapi adakah itu, di luar kepentingan?
Dari soal utang luar negeri, orientasi pembangunan, persoalan hukum dan HAM, dan paling mutakhir soal kurikulum pendidikan. Dari semua itu, yang lebih sering muncul hanyalah perdebatan. Perdebatan demi apa? Demi perdebatan itu sendiri. Apakah perdebatan itu tidak bagus?
Tidak bagus, jika ternyata memang tak ada jalan komprominya. Sedangkan kita anti kompromi. Anti toleransi. Karena yang terjadi hanyalah perang antarpihak, yang memang sudah terbelah dari sononya. Dan keputusan yang diambil, tetap saja dalam jargon klasik; Kebenaran (atau keputusan politik dan hukum yang berjalan) adalah pihak yang menang.
Lihat saja kesan sebagian besar mereka, ketika Jokowi mengajak serta Prabowo, juga Sandiaga Uno meski ditolak, dalam pemerintahan? Kontestasi politik dilihat sebagai pertarungan yang sangat ideologis. Padahal apa beda antara Jokowi dengan Prabowo, secara instrinsik? Toh penilaian terakhir hanyalah soal percaya tidak percaya, suka tidak suka.
Ketika akhirnya Ahok bisa tersingkirkan digantikan Anies, apa yang terjadi di Jakarta? Bagaimana reaksi warga Jakarta, dan apa langkah mereka kemudian? Bagaimana pula kita memandang antara Susi dan Eddy yang memimpin KKP? Kita hanya bisa memperbincangkan doang, tanpa tidak bisa menggerakkan apa-apa, kecuali melepaskan kemendengkolan kita. Dan diam-diam kita berterima-kasih pada Mark Zuckerbergh, dan para pembuat platform medsos.
Hingga mereka merasa perlu untuk mempertahankan informasi negatif. Isu negatif, harus tetap terjaga. Tapi untuk apa, kalau semboyan mereka hanyalah pokoknya kritis pada kekuasaan? Dan sibuk berkilah, membangun wacana kritis, sebagai sering dipakai ngeles jika Rocky Gerung terpojok dari sisi logika dasarnya? Dengan keywords; Anda nggak paham yang saya maksud!
INDUSTRIALISASI ISU NEGATIF. Pada dasarnya, semua pihak tentu suka jika mendapat kekuasaan. Tapi ada yang dengan sadar memakai cara sambilan. Sambil menyelam minum air. Jika pun kalah, toh ada yang membiayai.
Atau nanti senyampang itu reputasi naik, setidaknya kalau nasib baik, jadi apa kek. Wamen, Komisaris BUMN, KSP, Wantimpres, Stafsus, dan seterusnya dan sebagainya. Kalau tidak? Terus saja kritis, karena hal itu juga bisa sebagai profesi. Toh sekarang ada istilah industrialisasi hukum. Mengapa tidak sekalian dengan istilah industrialisasi isu negatif?
Ada banyak produk undang-undang, aturan hukum, yang diproduksi oleh lembaga negara produk demokrasi yang disepakati. Namun rendahnya kepatuhan hukum, dan tidak adanya disiplin dalam berdemokrasi, menjelaskan bahwa jargon politik kita masih semata kekuasaan.
Demokrasi bukan dianggap sebagai konsolidasi kekuatan politik, melainkan arena pembantaian, dan akan terus berlanjut meski pemilu dinyatakan usai dan pemerintahan baru terbentuk. Walaupun ada juga sikap konyol, tak mau ikut kontestasi pemilu, namun terus berteriak-teriak menggugat pemerintah. Menunggu durian runtuh?
Kaum revolusioner romantik, menjadi kaum delusif dan ilusionis. Terus bermimpi bagaimana menegakkan demokrasi dengan revolusi. Sementara politik kebersamaan yang muncul, seperti disinggung Gilbert Keith Chesterton dari Inggris, "Engkau harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi!" Bukan sebaliknya, revolusi untuk demokrasi, yang nyata selama ini gagal. Revolusi hanya memunculkan diktator baru!
Tapi jaman terus bergerak, serta ditentukan oleh mereka yang berada dalam mainstream politik. Sementara semassif apapun, demontrasi besar-besaran di Hong Kong pun kini senyap. Sedang di sisi lain, anak-anak muda dengan prestasi seperti Nadiem Makarim, Billy Mambrasar, William Aditya, dan anak-anak muda yang terus bergerilya melakukan kerja-kerja sosial pendampingan di seluruh pelosok negeri; juga terus dicurigai, tidak dipercaya, bahkan dihina-dina.
Lantas maunya apa? Apa-apa mau! Ngomong paling ngerti Pancasila tapi tidak pancasilais, itu sama saja bohong. Ngaku paling ngerti Islam tapi tidak islami, itu sama saja bohong. Ngerti agama tapi tidak agamis, itu sama saja bohong. Wong kata gotong-royong saja nggak ngerti maknanya. Ngapain juga ngurusin Jokowi? Bukankah Jokowi sudah kurus? Atau sedikit agak gemukan? | @sunardianwirodono
Tak usah disebut-sebut siapa mereka, nanti tambah nge-hit mereka. Demikian juga beberapa lembaga atau institusi yang sejenis dengan hal itu. Cirinya sama; tidak memiliki sisi pandang lain dalam hal melihat Pemerintahan, atau tepatnya memandang Jokowi, selain sisi buram atau negatifnya mulu?
Tentu saja para SJW punya, sekiranya jujur. Karena hidup, apalagi kehidupan (ditambah kata politik), tidaklah ramping lurus. Kalau nganggep gitu, tanpa dinamika, maka bohonglah mereka. Kalau bohong, bagaimana? Ya, tidak jujur tentunya.
Contoh paling faktual, apa komentar sadar dan tidak sadar ketika Jokowi di satu sisi mendapat penghargaan Asian of The Year 2019 dari The Straits Times, dan senyampang itu juga digugat (secara hukum dagang internasional) ke WTO oleh negara-negara Uni Eropa soal nikel?
TERPERANGKAP JARGON MASA LALU. Begitulah, dalam hal tertentu, political frozen adalah bukti nyata bagaimana Soeharto bukan saja sebagai penjahat ekonomi, melainkan (juga) penjahat kemanusiaan dan kebudayaan. Hal itu yang memerangkap kita dalam jargon masa lalu. Mengritik atau kritis pada pemerintah itu keren, sementara memuja atau memuji Pemerintah dianggap menjilat. Sementara framing masalahnya, tak mereka sertakan.
Persis para peneliti fosil di laboratorium dengan memakai alat mikroskop. Pandangannya mikroskopik. Hanya fokus pada yang berada dalam jangkauan lensa, sementara masalah kitarannya sengaja dikaburkan, atau diabaikan. Organisasi atau asosiasi profesi ditabukan, takut diperalat sebagai kendaraan politik.
Namun senyampang itu organisasi massa, dan organisasi keagamaan, dibanggakan dan dibiarkan tumbuh subur. Pembiaran terhadap anomali semacam itu, mengherankan dan membuat kita bertanya, bagaimana kita bisa tidak adil sejak dalam pikiran? Kemalasan mencari kebenaran substansial? Tapi adakah itu, di luar kepentingan?
Dari soal utang luar negeri, orientasi pembangunan, persoalan hukum dan HAM, dan paling mutakhir soal kurikulum pendidikan. Dari semua itu, yang lebih sering muncul hanyalah perdebatan. Perdebatan demi apa? Demi perdebatan itu sendiri. Apakah perdebatan itu tidak bagus?
Tidak bagus, jika ternyata memang tak ada jalan komprominya. Sedangkan kita anti kompromi. Anti toleransi. Karena yang terjadi hanyalah perang antarpihak, yang memang sudah terbelah dari sononya. Dan keputusan yang diambil, tetap saja dalam jargon klasik; Kebenaran (atau keputusan politik dan hukum yang berjalan) adalah pihak yang menang.
Lihat saja kesan sebagian besar mereka, ketika Jokowi mengajak serta Prabowo, juga Sandiaga Uno meski ditolak, dalam pemerintahan? Kontestasi politik dilihat sebagai pertarungan yang sangat ideologis. Padahal apa beda antara Jokowi dengan Prabowo, secara instrinsik? Toh penilaian terakhir hanyalah soal percaya tidak percaya, suka tidak suka.
Ketika akhirnya Ahok bisa tersingkirkan digantikan Anies, apa yang terjadi di Jakarta? Bagaimana reaksi warga Jakarta, dan apa langkah mereka kemudian? Bagaimana pula kita memandang antara Susi dan Eddy yang memimpin KKP? Kita hanya bisa memperbincangkan doang, tanpa tidak bisa menggerakkan apa-apa, kecuali melepaskan kemendengkolan kita. Dan diam-diam kita berterima-kasih pada Mark Zuckerbergh, dan para pembuat platform medsos.
Hingga mereka merasa perlu untuk mempertahankan informasi negatif. Isu negatif, harus tetap terjaga. Tapi untuk apa, kalau semboyan mereka hanyalah pokoknya kritis pada kekuasaan? Dan sibuk berkilah, membangun wacana kritis, sebagai sering dipakai ngeles jika Rocky Gerung terpojok dari sisi logika dasarnya? Dengan keywords; Anda nggak paham yang saya maksud!
INDUSTRIALISASI ISU NEGATIF. Pada dasarnya, semua pihak tentu suka jika mendapat kekuasaan. Tapi ada yang dengan sadar memakai cara sambilan. Sambil menyelam minum air. Jika pun kalah, toh ada yang membiayai.
Atau nanti senyampang itu reputasi naik, setidaknya kalau nasib baik, jadi apa kek. Wamen, Komisaris BUMN, KSP, Wantimpres, Stafsus, dan seterusnya dan sebagainya. Kalau tidak? Terus saja kritis, karena hal itu juga bisa sebagai profesi. Toh sekarang ada istilah industrialisasi hukum. Mengapa tidak sekalian dengan istilah industrialisasi isu negatif?
Ada banyak produk undang-undang, aturan hukum, yang diproduksi oleh lembaga negara produk demokrasi yang disepakati. Namun rendahnya kepatuhan hukum, dan tidak adanya disiplin dalam berdemokrasi, menjelaskan bahwa jargon politik kita masih semata kekuasaan.
Demokrasi bukan dianggap sebagai konsolidasi kekuatan politik, melainkan arena pembantaian, dan akan terus berlanjut meski pemilu dinyatakan usai dan pemerintahan baru terbentuk. Walaupun ada juga sikap konyol, tak mau ikut kontestasi pemilu, namun terus berteriak-teriak menggugat pemerintah. Menunggu durian runtuh?
Kaum revolusioner romantik, menjadi kaum delusif dan ilusionis. Terus bermimpi bagaimana menegakkan demokrasi dengan revolusi. Sementara politik kebersamaan yang muncul, seperti disinggung Gilbert Keith Chesterton dari Inggris, "Engkau harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi!" Bukan sebaliknya, revolusi untuk demokrasi, yang nyata selama ini gagal. Revolusi hanya memunculkan diktator baru!
Tapi jaman terus bergerak, serta ditentukan oleh mereka yang berada dalam mainstream politik. Sementara semassif apapun, demontrasi besar-besaran di Hong Kong pun kini senyap. Sedang di sisi lain, anak-anak muda dengan prestasi seperti Nadiem Makarim, Billy Mambrasar, William Aditya, dan anak-anak muda yang terus bergerilya melakukan kerja-kerja sosial pendampingan di seluruh pelosok negeri; juga terus dicurigai, tidak dipercaya, bahkan dihina-dina.
Lantas maunya apa? Apa-apa mau! Ngomong paling ngerti Pancasila tapi tidak pancasilais, itu sama saja bohong. Ngaku paling ngerti Islam tapi tidak islami, itu sama saja bohong. Ngerti agama tapi tidak agamis, itu sama saja bohong. Wong kata gotong-royong saja nggak ngerti maknanya. Ngapain juga ngurusin Jokowi? Bukankah Jokowi sudah kurus? Atau sedikit agak gemukan? | @sunardianwirodono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar