Setelah Rizal Ramli, ada lagi kini mantan menteri berkomentar sumir
terhadap Ahok. Namanya Dahlan Iskan, yang adalah juga pernah sebagai Menteri
BUMN jaman SBY. Dengan segala hormat atas suksesnya memimpin Jawa Pos, DI rasanya
tidak proporsional menilai Ahok. Lepas dari apapun kepentingannya.
Dalam tulisan di blog
pribadinya, disway, DI menulis, "Apakah BTP itu orang
berprestasi? Sehingga akan ditempatkan di salah satu BUMN?" tulis Dahlan (16/11).
Menurut mantan CEO Jawa Pos ini, orang berprestasi cenderung sukses ditempatkan
di mana pun. Kesimpulan itu datang dari pengalaman 30 tahun
menggeluti dunia manajemen.
Setelah
muter-muter definisi sukses dan prestasi,
DI sampai pada penilaian, meski dalam wujud pertanyaan, "Bagaimana kalau
ada penilaian BTP itu hanya berprestasi dalam membuat kehebohan? Terserah
yang menilai dan yang diberi nilai." Sinisme khas DI.
DI mewanti-wanti
ada prinsip yang harus dipegang, bahwa perusahaan perlu ketenangan. Ia
mengatakan suatu perusahaan tak bisa maju kalau hebohnya lebih besar ketimbang
kerjanya.
Wanti-wanti
DI soal ketenangan bagi perusahaan, normative benar. Namun tanpa mengetahui alasan
di balik penunjukan itu (baik dilakukan Erick Thohir maupun Jokowi yang
menyetujui), menjadikan penilaian DI tak representative. Asumsinya sumir, dan
kontra produktif.
Mestinya,
sekelas DI, juga RR jika mau disebut, tahu bagaimana kinerja dan situasi
beberapa BUMN di Indonesia. Demikian juga prestasinya serta capaian-capaian,
serta apa sebab dan akibatnya karena hal itu. Kita, rakyat, yang ingin tahu dan
belajar, jadi tak mendapatkan apa-apa kecuali komentar sama gilanya dengan Arie
Gumilar, Presiden Serikat Pekerja Pertamina, yang kini banyak diam kena
serangan Cilacap-13!
FSPPB di Jakarta maupun Cilacap, tak memiliki alasan logis menolak
Ahok menjadi Dirut atau Komut Pertamina. Apalagi penolakan yang dilakukan PA-212,
yang lebih politis lagi karena tudingan yang rasialis dan diskriminatif. Persoalan
karakter Ahok selalu diangkat untuk mempengaruhi publik. Katanya rakyat tak
menghendaki. Rakyat yang mana? Bagaimana juga, pemerintahan Jokowi terbentuk
karena menang Pilpres, ada lebih banyak yang memilih Jokowi.
Memang, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Ahok kerap
marah-marah. Tapi karena apa? Karena birokratnya tak memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat. Juga banyaknya koruptor dan predator di aparatnya. Bahasa
yang keras adalah cara Ahok melawan mereka yang korup, bermain-main anggaran
daerah. Pada masyarakat, yang baik dan taat hukum, Ahok tak kalah baik. Menurut
penilaian Imam Besar Masjid Istiqlal, Ahok menjalankan kepemimpinan yang
islami. Selama kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, pasar tak menunjukkan respons negative.
Hanya dari pengusaha hitam yang suka pat-gulipat, Ahok tentu tak disuka.
Jika ditempatkan di dalam korporat pemerintah, benarkah Ahok
akan membuat onar? Membuat onar dalam sisi membersihkan perusahaan dari
koruptor dan predator, sangat dinanti rakyat, dan dunia usaha yang makin
membutuhkan trust dari publik. Di situ Ahok diharap sangat paham di mana akan
diam dan kapan bicara lantang.
Ketika terkait masalah korporasi dan strategi bisnis, Ahok
telah menunjukkan sebagai pejabat pemerintahan yang proper, jangan sampai
strategi bisnisnya diketahui lawan bisnis. Namun sebagai pucuk pimpinan dalam
perusahaan, ia pasti akan lantang dan tegas untuk menggebug tikus-tikus
brengsek. Keriuhan, keonaran, atau kehebohan dalam konteks ini, justeru
diharapkan oleh dunia usaha yang ukurannya kini adalah trust dengan standar
presisi secara internasional.
Pada sisi lain, jika Ahok mendapat pembelaan atau dukungan
dari rakyat secara luas, hal ini juga harus dilihat untuk menilai posisi Ahok.
Tidak adil melihat Ahok dalam framing dan labeling mereka yang tak setuju atas
penunjukkan itu. Biar adil, suara lain juga harus didengar, dengan berbagai
alasan yang bisa diukur, dan dibuktikan. Ahok mempunyai track-record yang
positif dan produktif. Soal ia pernah menjadi narapidana, harus dilihat secara
jujur dan adil, karena kasus apa. Ahok menjadi bagian dari apa yang diimpikan
rakyat mengenai bagaimana kriteria seorang pejabat negara atau pemerintah.
Pada sisi lain, RR setelah mengatakan Ahok sekelas Glodok,
menyebutkan yang lebih tepat dibanding Ahok, adalah Ignatius Jonan atau Tommy
Lembong. Wah, ternyata kelasnya karena ini dan itu. Jika demikian, kenapa RR
tak menjadi Menteri BUMN saja? Tentu karena tak ditunjuk Jokowi, meski dulu
pernah jadi Kabinet Kerja Jokowi tapi kemudian dicopot.
Tudingan lain pada Ahok, dalam asumsi hukum, sebagaimana digembar-gemborkan Addie Massardi berkait KPK atau pun BPK, sayangnya hanya berhenti pada asumsi, kecurigaan, tuduhan tak berdasar, kekhawatiran, bahkan fitnah, yang sudah barang tentu tak pasti ukurannya. Addie Massardi, dan kelompoknya, tampak memiliki agenda tersendiri mengenai hal itu.
Kita tahu karakter Jokowi. Ia akan memakai rekan atau tim
kerja jika cocok. Seperti misal, Budi Hartono dari sejak Jokowi sebagai Gubernur
DKI Jakarta, hingga kini. Atau Basuki Hadimulyono, Mentri PUPR. Kenapa Jonan (juga
Archandra) tak dipakai lagi? Karena ada kasus tertentu. Demikian juga Susi Pudjiastuti
tak dipakai lagi, yang penggantinya ternyata tak lebih bagus? Jika
membandingkan SP dengan Ahok, akan makin jelas, Jokowi sangat percaya Ahok
orang yang proper untuk penugasan khusus. Di sini kita menunggu, bagian dari
janji tanpa kompromi Jokowi.
Dalam hal ini, Jokowi dan Erick Thohir yang ngerti persis,
mengapa menunjuk ini dan itu. Bukan menunjuk RR dan DI. Jika RR dan DI menginginkan
orang lain, bukannya Ahok, seyogyanya mereka berjuang jadi Menteri BUMN. Atau
Presiden sekalian, meski syaratnya maju dalam Pilpres 2024 mendatang. Siapa
tahu, pasangan RR dan DI bisa menjadi presiden dan wapres yang mumpuni. Mungkin
Demokrat, PKS dan Partai Berkarya mau mendukung mereka.
Bukankah dalam konvensi presiden Partai Demokrat, 2014, DI mengungguli capres
lainnya? Sayangya, Pardem sebagai parpol defisit dukungan rakyat. Hingga DI tak
bisa dimajukan sebagai capres oleh Pardem. Hingga Jokowi muncul sebagai
pemenang Pilpres 2014, mengalahkan Prabowo Subianto. Kadang, politik sesuatu
yang sederhana. Soal kalah menang. Dan kalah itu memang perih, Jenderal!
Apalagi jika tak ikhlas menerima takdir. | @sunardianwirodono