Senin, Oktober 14, 2019

Pasangan Cinta Iriana-Jokowi



Iriana dan Jokowi adalah sepasang kesederhanaan. Cinta yang sederhana. Tidak neka-neka. Keduanya rakyat jelata. Bahkan mungkin dulu dalam kriteria sudra. Apalagi Jokowi, yang rumah orangtuanya pernah digusur lebih dari satu kali. Di pinggiran kali. Jaman Orde Baru.

Bahwa ia kini Presiden, untuk periode 2014 – 2019, dan ndilalahnya, langsam periode berikut, 2019 – 2024, jika boleh dibilang kesalahan, kesalahan siapa? Adakah kesalahan 87-an juta pemilihnya? Hingga menyingkirkan pesaingnya, bernama Prabowo Subianto, anak Begawan Ekonomi Soemitro dan bekas mantu Soeharto?

Mungkin saja salah Megawati Soekarnoputri. Meski ia memiliki mandat penuh, dengan kekuasaan absolut, bisa saja mencalonkan diri sebagai Capres 2014 dulu. Tapi kenapa tidak dilakukan? Jiper? Bagaimana PDI Perjuangan kemudian dalam Pemilu 2014 kembali menjadi pemenang, dengan ‘hanya’ iming-iming bakal mencalonkan Jokowi?

Siapa Jokowi coba? Dari Solo ditarik ke Jakarta. Mengkanvaskan pertahana cagub Fauzi Bowo. Siapa Jokowi, yang ketika muncul dari Solo, bahkan dengan dukungan PKS, dalam periode keduanya bisa menang mutlak di atas 90% dalam Pilwalkot Solo 2010 itu?

Padahal. Padahal. Padahal. Ada banyak padahal dikemukakan. Baik oleh yang terpana, maupun yang sebel  atas kemenangan itu. Apalagi ketika dengan menggetarkan, Jokowi menyingkirkan Prabowo dalam Pilpres 2014. Padahal, siapa tak kenal Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto?

Keajaiban apa? Atau justeru sebaliknya? Biasa-biasa saja? Ketika elitisme politik kita, sejak 1967 hingga 1998, dari 1998 hingga 2014, memang benar membuat kita muak. Karena tak memberikan apa-apa. Justeru dipenuhi kisah perampokan dan penipuan. Hingga Jokowi menjadi bagian dari kita. Rakyat jelata. Yang bahkan kini, sebagiannya dituding Tempo sebagai buzzer (bayaran) Istana. Bukti? Indikasi? Atau cuma asumsi? Dan Tempo terkena tulahnya. Kehilangan kesempatan meraup Rp 200 milyar yang dibutuhkan. Gegara netizen memiliki cara dan mekanisme baru. Membuat korporasi raksasa tak bisa mengotak-atik kertas belaka. Apalagi hanya dengan kata-kata.

Atas jasa siapa semuanya itu? Hingga Jokowi bisa muncul di luar mainstream pemikiran dan idealitas kita tentang kepemimpinan? Kita dijungkirbalikkan. Dan pusing karena kebanyakan geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin si cungkring, anak bajang menggiring angin itu, bisa menjadi fenomena dunia? Bahkan menjadi patron yang diidolakan Justin Trudeau maupun Emmanuelle Macron?

Iriana bisa dipastikan memiliki jasa luar biasa. Bukan hanya dari sana lahir anak-anak baik bernama Gibran, Kahiyang, dan Kaesang. Bahkan kemudian Jan Ethes, Sedah Mirah. Sementara Iriana bukan perempuan yang ribet. Dulu waktu Jokowi Gubernur DKI, ada dua perempuan yang akhirnya tak pernah didekati pedagang berlian, yakni Iriana dan Veronika Tan. Keduanya lebih suka mojok. Nyingkir dari selebrasi pejabat. Ia bahkan bisa kabur sendirian dari Istana Kepresidenan, ke Solo. Naik pesawat ekonomi. Giliran paspampres yang pusing.

Ini memang gen yang beda dalam trah kepemimpinan nasional kita. Sementara kita tidak siap dengan semua perubahan. Apalagi mereka yang mendaku priyayi. Para ningrat keluaran kraton atas angin, atau atas menara gading. Tak mudah menerima Sukrasana yang bersesanti dengan diksi aneh; Kerja-kerja-kerja! Infrastruktur-infrastruktur-infrastruktur! Karena selama ini kita hanya dipenuhi cerita-cerita bombas. Dan politik yang penuh kajian, tetapi lamis.

Kita tak bisa nerima perubahan. Masih mimpi. Merindukan Presiden kayak Sukarno, kayak Soeharto, kayak SBY. Dan mungkin kayak Prabowo, meski tentara pecatan. Beberapa kali maju nyapres kalah mulu. Lha, kok, mak bedundug kita-kita ini disodori sesosok Joko Widodo. Dengan langkah kaki semi lembeng. Dengan gaya bicara yang bisa jadi kurang sexy dibanding Karni Ilyas. Meski struktur kepalanya sungguh sangat keras. Tahan banting. Anti pecah.

Kita tidak bisa nerima, bagaimana kepemimpinan berubah. Karena akan sampai pada waktunya, tak semua pemimpin lahir dari gejolak sejarah. Bahkan negeri ini sudah harus menjalani sirkulasi kepemimpinan dalam situasi biasa-biasa saja. Bisa jadi membosankan. Tidak heroik. Mengecewakan banyak kakak Pembina.

Kita tengah memasuki sebuah era di mana seseorang yang tak terlalu hebat, bisa terpilih secara demokratis. Bahkan oleh penyebab yang sangat sepele. Simpatik misalnya. Atau ia personifikasi kita, di luar mainstream. Warna baru, tetapi menjanjikan kejernihan, kebersihan, dan ketulusan. Apalagi mampu mendengar, setelah era pemimpin masa lalu yang ngomdo mulu pencitraan.

Tak ada lagi pahit getir, tragedi yang harus diperangi. Tak ada tirani yang harus dilawan. Maka kita harus menerima kenyataan, bahwa pemimpin adalah seorang biasa. Yang dipilih karena sistem. Bukan orang yang diciptakan menjadi pahlawan, di tengah gejolak dan krisis. Meski kehadiran Jokowi sesungguhnya kritik yang lugas dari rakyat. Dikarenakan politik elitis, kedaulatan parpol, tetapi sekaligus involution tends to corrupt itu.

Dengan hadirnya para buta-cakil seperti Amien Rais, Eggy Sudjana, Rocky Gerung, Rizieq Shihab, Sri Bintang Pamungkas, juga majalah Tempo misalnya, sebagian besar rakyat masih lebih percaya dan berharap pada Jokowi. Karena itu, Kuda Troya mereka, yang bernama Prabowo, dua kali dikalahkan Jokowi. Tak usah baper.

Sementara Iriana, juga anak-anaknya, sama sekali tak mau ikut campur. Sekalipun mereka menjadi korban adu-domba dan fitnah. Dengan sangat cerdas, Gibran serta Kaesang bahkan menjadikannya kick balik. Menjadi alat promosi gratis yang efektif. Hingga yang mau membully keduanya, pusing tujuh celana.

Di bumi Pertiwi ini, Iriana mungkin bukan Dewi atau Bidadari. Iriana manusia biasa. Apalagi ketika kosakata Sanskerta harus diganti Arab. Bumi Pertiwi harus disebut Bumi Allah, karena Pertiwi tak lagi mengolah bumi pijaknya. Mungkin jadi TKW di Arab Saudi. Tapi karena ia manusia biasa, ia tak ingin seperti Hawa, atau Eva. Terbujuk kutbah seekor ular yang beraliran radikal atau wahabi. Agar memakan buah hoax. Mempostingnya di medsos. Kemudian suaminya, eh, Adam ding, dicopot dari sorga. Dan diturunkan ke bumi.

Betapa mengerikan, ketika muncul pengangguran terselubung. Berupa kaum ibu-ibu, atau emak-emak, yang manyun tak punya kerjaan. Piknik ke sana-kemari. Ikut pengajian ini-itu. Membuat mereka bisa berganti-ganti model hijab dan gamisnya. Yang selalu feminin dan wangi.

Alangkah indah mengenang cinta Iriana dan Jokowi. Bukan cinta yang mengantarkan ke Istana Presiden. Namun cinta yang menjadikan mereka satu keterpaduan. Menyadari posisi serta peran masing-masing. Secara proporsional. Antara yang di depan dan belakang. Saling bersinergi. Karena cinta. Perahabatan.

Banyak perkawinan ribet bukan karena kurangnya cinta. Tapi kurangnya persahabatan. Bagi Anda semuanya, apalagi yang nggak milih atau dulu milih kini kecewa, Jokowi tentu punya cacat. Bahkan bagi Iriana pun, Jokowi juga punya cacat. Bedanya, Iriana mencintainya. Dan tak pernah nyacat pasangannya. Itu kesempurnaan keduanya. Di dalam cinta. Yang mungkin ndhesit. Tapi kamu bisa?

Dan kita meributkan hal-hal yang bersifat teknis. Tidak urgent. Tidak proporsional. Dan the winter is coming pun perlahan lewat. Begitu saja. Bonus demografi anak-anak muda pun, hangus di aspal jalanan. Dalam serak teriakan nada-nada dasar nan fals. 

Sunardian Wirodono, penulis
Yogyakarta, 12 Oktober 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...