Adagium "Indonesia Memanggil" saya
pakai pertama kali 2004, yang saya tabalkan dalam novel politik saya,
"Anonim, My Hero!" (Galangpress, Februari 2004, h. 372).
Sekitar 8000 mahasiswa sedang bergerak dari titik simpul UGM-Bulaksumur. Sementara seribuan massa mahasiswa sudah menunggu di titik simpul Gejayan, tak jauh dari Sadhar, dan masih ada ribuan lagi mahasiswa dari titik simpul UIN yang juga sedang bersiap hendak ke Gejayan pula, di mana 17 tahun lalu Mozes Gatotkatja kedapatan tewas di pertigaan jalan itu.
Demikian reportase jurnalis beberapa stasiun televisi (sialan UNY kok nggak disebut?), yang saya lihat sembari tiduran di sofa. Saya sakit, maafkan, untuk jalan kaki terasa panas di kepala dan kaki. Beda dengan dulu, ketika saya dan warga masyarakat biasa, bukan mahasiswa, jalan kaki dari rumah masing-masing, ke titik kumpul Pagelaran Kraton Ngayogyakarta, pada 20 Mei 1998. Ikut-ikutan teriak 'turunkan Soeharto!"
Tokoh
utama dalam novel itu, Anonim, lari ke Pulau Selayar, karena merasa
kaki-tangan Soeharto mengejar-kejarnya. Apalagi, pacar gelap Kapten
Haddock, seorang jenderal Orba, ternyata tersangkut cinta pada Anonim.
Situasi memang gawat. Soeharto memang sudah turun, tapi bagaimana jika Mbak Tutut dan Prabowo kembali menguasai Golkar? Anonim balik ke Makasar. Di sebuah hotel, dia membuat situsweb dengan nama "Indonesia Memanggil".
Seluruh Makassar gempar waktu itu, karena Anonim nge-band semua jaringan game online. Di warnet-warnet seluruh Indonesia blank. Logo Ragnarock yang lagi hits waktu itu, berganti dengan top up "Indonesia Memanggil":
"Anak-anak muda Indonesia, jangan percayai para elite politik, birokrat, budayawan, tokoh publik, jurnalis, reporter televisi, host dan presenter infotainment, demonstran, pengacara, LSM, politikus busuk dan tidak busuk,..." (Anonim, h. 372).
Demikian saya tulis dalam novel itu, kala itu, 2004. Tapi, kenapa dengan hal itu sekarang? Itu lantaran ketika membacai isian medsos tadi pagi (kemarin seharian libur bermedsos), saya menemukan istilah "Gejayan Memanggil".
Aduh, kok Gejayan sih yang memanggil? Ada apa? Siapa nih yang berada di Gejayan yang memanggil itu? Dalam kajian, sikap dan press release aliansi rakyat bergerak, kita tidak menemukan nama-nama.
Sebuah gerakan tak bertanggung jawab, memakai nama aliansi rakyat tapi tak ada nama person yang disebut. Bagaimana kita percaya dengan ajakannya yang gagah, agar mengosongkan kelas, turun ke jalan, untuk datang suarakan dan lawan?
Dalam kajian mereka, tak ada yang salah secara logika atau nalar akademik. Bukankah itu kesimpulan umum, yang jadi persoalan kita bersama? Persoalannya kemudian adalah pada ajakan untuk menyikapi hal itu. Mengapa mesti turun ke jalan, bukannya masuk ke gedung pemerintah dan parlemen, untuk membicarakannya?
Seruan aksi damai boleh saja dicanangkan. Tapi tak ada aksi turun ke jalan yang berlangsung tidak berisik. Pada sisi keberisikan itulah, eskalasi sosial, politik, dan tentunya ekonomi, akan terusik. Dan akibatnya? Wamena terbakar. 17 nyawa melayang.
Mengapa Gejayan yang memanggil? Siapa Gejayan ini? Kenapa bukan Bulaksumur? Kok banyak pakai poster dengan dasar item? Apakah ini warna ideologinya, yang suka item-item kayak bendera yang dibilang tauhid itu?
Hingga 20 Oktober 2019 kelak, seruan demo, turun ke jalan, dengan memainkan isu-isu yang sexy, bisa jadi akan banyak. Targetnya, bisa macem-macem, tapi antara lain bisa diduga; Penghadangan atas pelantikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia 2019 - 2024. Siapa saja di belakangnya?
Kita bisa menduga-duga, tentu saja, yang tak suka Jokowi jadi Presiden, atau yang dirugikan karena Jokowi Presiden. Bukan sesuatu yang susah bukan?
Semoga rakyat tidak bodoh, dan tidak mudah diprovokasi oleh pihak yang menyebut nama dirinya saja tidak berani. Jangan hanya Gejayan Memanggil, yang kayaknya kok tendensius banget. Mendingan Indonesia Memanggil, mari kritisi Indonesia dengan cinta dan ketulusan nan sejati, demi Indonesia.
Situasi memang gawat. Soeharto memang sudah turun, tapi bagaimana jika Mbak Tutut dan Prabowo kembali menguasai Golkar? Anonim balik ke Makasar. Di sebuah hotel, dia membuat situsweb dengan nama "Indonesia Memanggil".
Seluruh Makassar gempar waktu itu, karena Anonim nge-band semua jaringan game online. Di warnet-warnet seluruh Indonesia blank. Logo Ragnarock yang lagi hits waktu itu, berganti dengan top up "Indonesia Memanggil":
"Anak-anak muda Indonesia, jangan percayai para elite politik, birokrat, budayawan, tokoh publik, jurnalis, reporter televisi, host dan presenter infotainment, demonstran, pengacara, LSM, politikus busuk dan tidak busuk,..." (Anonim, h. 372).
Demikian saya tulis dalam novel itu, kala itu, 2004. Tapi, kenapa dengan hal itu sekarang? Itu lantaran ketika membacai isian medsos tadi pagi (kemarin seharian libur bermedsos), saya menemukan istilah "Gejayan Memanggil".
Aduh, kok Gejayan sih yang memanggil? Ada apa? Siapa nih yang berada di Gejayan yang memanggil itu? Dalam kajian, sikap dan press release aliansi rakyat bergerak, kita tidak menemukan nama-nama.
Sebuah gerakan tak bertanggung jawab, memakai nama aliansi rakyat tapi tak ada nama person yang disebut. Bagaimana kita percaya dengan ajakannya yang gagah, agar mengosongkan kelas, turun ke jalan, untuk datang suarakan dan lawan?
Dalam kajian mereka, tak ada yang salah secara logika atau nalar akademik. Bukankah itu kesimpulan umum, yang jadi persoalan kita bersama? Persoalannya kemudian adalah pada ajakan untuk menyikapi hal itu. Mengapa mesti turun ke jalan, bukannya masuk ke gedung pemerintah dan parlemen, untuk membicarakannya?
Seruan aksi damai boleh saja dicanangkan. Tapi tak ada aksi turun ke jalan yang berlangsung tidak berisik. Pada sisi keberisikan itulah, eskalasi sosial, politik, dan tentunya ekonomi, akan terusik. Dan akibatnya? Wamena terbakar. 17 nyawa melayang.
Mengapa Gejayan yang memanggil? Siapa Gejayan ini? Kenapa bukan Bulaksumur? Kok banyak pakai poster dengan dasar item? Apakah ini warna ideologinya, yang suka item-item kayak bendera yang dibilang tauhid itu?
Hingga 20 Oktober 2019 kelak, seruan demo, turun ke jalan, dengan memainkan isu-isu yang sexy, bisa jadi akan banyak. Targetnya, bisa macem-macem, tapi antara lain bisa diduga; Penghadangan atas pelantikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia 2019 - 2024. Siapa saja di belakangnya?
Kita bisa menduga-duga, tentu saja, yang tak suka Jokowi jadi Presiden, atau yang dirugikan karena Jokowi Presiden. Bukan sesuatu yang susah bukan?
Semoga rakyat tidak bodoh, dan tidak mudah diprovokasi oleh pihak yang menyebut nama dirinya saja tidak berani. Jangan hanya Gejayan Memanggil, yang kayaknya kok tendensius banget. Mendingan Indonesia Memanggil, mari kritisi Indonesia dengan cinta dan ketulusan nan sejati, demi Indonesia.
Sekitar 8000 mahasiswa sedang bergerak dari titik simpul UGM-Bulaksumur. Sementara seribuan massa mahasiswa sudah menunggu di titik simpul Gejayan, tak jauh dari Sadhar, dan masih ada ribuan lagi mahasiswa dari titik simpul UIN yang juga sedang bersiap hendak ke Gejayan pula, di mana 17 tahun lalu Mozes Gatotkatja kedapatan tewas di pertigaan jalan itu.
Demikian reportase jurnalis beberapa stasiun televisi (sialan UNY kok nggak disebut?), yang saya lihat sembari tiduran di sofa. Saya sakit, maafkan, untuk jalan kaki terasa panas di kepala dan kaki. Beda dengan dulu, ketika saya dan warga masyarakat biasa, bukan mahasiswa, jalan kaki dari rumah masing-masing, ke titik kumpul Pagelaran Kraton Ngayogyakarta, pada 20 Mei 1998. Ikut-ikutan teriak 'turunkan Soeharto!"
Jaraknya waktu itu, lebih dari 25 kilometer. Pulang pergi, Minomartani -
Alun-alun Lor, jalan kaki. Melintasi jalan Gejayan pula. Di sepanjang
jalan itu, di dekat susteran, para suster Katolik menyediakan air
mineral yang melegakan tenggorokan. Nggak ada satu pun yang bawa poster
waktu itu. Sehari sebelumnya, di tempat yang sama, saya baca puisi
"Sudah Gaharu Cendana Pula". Dan satu puisi "Doa untuk Soeharto", yang
saya masih ingat bunyi syair utuhnya; "Tuhan, turunkan dia, Amien!"
Sedang membandingkan, atau sedang narsis? Mungkin keduanya. Pertigaan Gejayan, adalah pilihan strategis untuk hokya-hokya, ketika Yogyakarta mengalami bonus demografi. Panen generasi kost-kostan di segi tiga emas bulaksumur-gejayan-jalansolo. Di mana bisnis modern dan tradisional berbaur padat merayap. Pertumbuhan ekonomi high-class, yang tak hanya butuh satu korban bernama Mozes Gatotkatja. Bisa ribuan mahasiswa, utamanya yang hanya bisa ngopi di angkringan Nalagaten.
Tiduran di atas sofa, dalam batuk kering yang nankring sebulanan lebih, saya ngungun. Saya mengerti, setidaknya mencoba mengerti, apa yang diteriakkan para mahasiswa itu. Bayangkan; KPK dilemahkan. Hutan dibakar. Papua ditindas. Tanah untuk pemodal. Petani digusur. Buruh diperas. Privasi terancam. Demokrasi dikebiri.
Keprihatinan mereka begitu lengkap, maka rakyat perlu bergerak. Dan posternya, bentuk serta isinya bisa sama persis dengan apa yang dilakukan mahasiswa Malang, Jawa Timur, juga Makassar, dan entah mana lagi. Mereka tak percaya DPR, elite politik, oligarki, pemerintah. Pokokmen kabeh sing lagi kuwasa. Saya lupa. Ini jaman digital. Copy paste begitu mudah. Demonstrasi bisa ber-tagar dan viral di medsos.
Saya baru nyadar, saya bagian dari generasi analog. Mungkin kecemasan saya berlebihan. Reformasi politik 20 tahun lalu hanya melahirkan anomali? Atau pro-kontra? Sembari diam-diam menyesali pilihan yang berbeda? Dan kita belum jua dewasa? Hingga mudah terbakar? Benarkah ini hanya soal Jokowi dan no Jokowi? Atau ada soal setan belang yang lain? "Kagak ye!" bentak setan belang, sembari nge-cek rekeningnya di android.
Sedang membandingkan, atau sedang narsis? Mungkin keduanya. Pertigaan Gejayan, adalah pilihan strategis untuk hokya-hokya, ketika Yogyakarta mengalami bonus demografi. Panen generasi kost-kostan di segi tiga emas bulaksumur-gejayan-jalansolo. Di mana bisnis modern dan tradisional berbaur padat merayap. Pertumbuhan ekonomi high-class, yang tak hanya butuh satu korban bernama Mozes Gatotkatja. Bisa ribuan mahasiswa, utamanya yang hanya bisa ngopi di angkringan Nalagaten.
Tiduran di atas sofa, dalam batuk kering yang nankring sebulanan lebih, saya ngungun. Saya mengerti, setidaknya mencoba mengerti, apa yang diteriakkan para mahasiswa itu. Bayangkan; KPK dilemahkan. Hutan dibakar. Papua ditindas. Tanah untuk pemodal. Petani digusur. Buruh diperas. Privasi terancam. Demokrasi dikebiri.
Keprihatinan mereka begitu lengkap, maka rakyat perlu bergerak. Dan posternya, bentuk serta isinya bisa sama persis dengan apa yang dilakukan mahasiswa Malang, Jawa Timur, juga Makassar, dan entah mana lagi. Mereka tak percaya DPR, elite politik, oligarki, pemerintah. Pokokmen kabeh sing lagi kuwasa. Saya lupa. Ini jaman digital. Copy paste begitu mudah. Demonstrasi bisa ber-tagar dan viral di medsos.
Saya baru nyadar, saya bagian dari generasi analog. Mungkin kecemasan saya berlebihan. Reformasi politik 20 tahun lalu hanya melahirkan anomali? Atau pro-kontra? Sembari diam-diam menyesali pilihan yang berbeda? Dan kita belum jua dewasa? Hingga mudah terbakar? Benarkah ini hanya soal Jokowi dan no Jokowi? Atau ada soal setan belang yang lain? "Kagak ye!" bentak setan belang, sembari nge-cek rekeningnya di android.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar