Rabu, September 25, 2019

Ada Apa dengan Jokowi?


Tidak mudah menjadi Jokowi. Sebagaimana juga tidak mudah menjadi mahasiswa, menjadi demonstran, menjadi anggota DPR, menjadi jurnalis, menjadi tukang kompor meledug, menjadi fesbuker atau bloger. Posisi yang semuanya sama-sama sulit. Kecuali dalam setiap status tersebut ditambah kata ‘ngawur’.


Menjadi fesbuker atau bloger ngawur misalnya, tentu bisa sama mudahnya menjadi presiden ngawur, komentator ngawur, copet ngawur, dan sebagainya. Dengan kadar implikasi yang berbeda-beda. Orangtua mahasiswa yang anaknya mati karena kecelakaan di kampus, pun bisa dengan gampang langsung teriak; “Turunkan Jokowi!”


Jika kita melihat dunia kepolitikan kita hari-hari ini, politik Indonesia masih belum mendapatkan format baku. Atau mungkin takkan pernah mendapatkan. Tetapi setidaknya, sistem politik kita masih berada dalam fase procedural-formal. Akan terus sangat terbuka dengan berbagai interpretasi dan sikap penjabarannya.


Coba saja lihat, perdebatan kita hingga hari ini dalam ketatanegaraan. Memakai sistem parlementer, presidential, atau presiden-sial? Belum lagi wacana penolakan atas kandidat yang sudah disahkan KPU dan MK, memenangi Pilpres 2019 lalu.


Jika kita mendengar ‘Bubarkan DPR’ dan ‘Turunkan Presiden’, dari poster-poster dan teriakan para demonstran, kita tidak tahu DPR dan Presiden yang mana? DPR dan Presiden yang sedang berjalan, yang tinggal beberapa hari berganti? Sementara DPR dan Presiden yang baru, 2019 – 2024, belum dilantik. Meski belum dilantik pun, mereka adalah produk demokrasi kita yang sah dan berkekuatan hukum.


Pertanyaannya lagi; kalau DPR dan Presiden dibubarkan dan diturunkan, yang ngganti’in siapa? Amien Rais? Sri Bintang Pamungkas? Tommy Soeharto? Rizieq Shihab? Gimana caranya?


Tentu saja, aneka tuntutan atau suara protes dalam demonstrasi adalah sesuatu yang diamplifikasi sebegitu rupa. Bukan sekedar permainan retorik atau hyperbolic, tetapi juga aspek sensasi, untuk mendapatkan perhatian. Tapi, apa yang dipermasalahkan kemudian, dalam semua tuntutan itu? Bagaimana duduk masalah sebenarnya? Di jalanan, sangat susah kita membaca literature melalui smartphone, yang smart sekali pun.


Banyak pengamat politik, khususnya pengamat demo, membanggakan gerakan mahasiswa kali ini berbeda. Murni. Cluster baru. Seberapa dalam pengamatan dan penilaian terhadap hal ini, dengan tanpa perbandingan yang tajam dan menyeluruh? Dalam setiap perubahan kekuasaan, juga berbagai situasi political-crowded, tidak pernah ada perubahan bersebab tunggal dan steril. Bahkan kemunculan Jokowi pun, tak bisa dengan garis tunggal ditarik karena tiadanya calon lain yang kompetitif.


Dalam kasus revisi UU-KPK, dan juga disusul RKUHP, serta yang lain, permasalahannya tidak sederhana dan tidak tunggal. Bahkan pihak-pihak yang selama ini memahami Jokowi, dengan langkah-langkah strategisnya, juga sama-sama heran. Mengapa langkah Jokowi kali ini berbeda? Ini bukan Jokowi’s Way! Ada apa dengan Jokowi?


Ia sedang memberi ruang tawar pada DPR, untuk apa yang hendak dimintanya dalam kaitan pemindahan Ibukota RI? Atau ia melihat bahwa KPK menjadi anak liar, yang melenceng dari tujuan reformasi? Menjadi alat politik segelintir orang dengan alasan perjuangan anti korupsi? Atau Jokowi salah mendapat informasi, seperti KPK menghambat investasi misalnya? Lantas, bagaimana "kita" yang punya informasi benar memberitahukannya? Dengan menyuruhnya turun? Turun ke jalan atau turun jabatan?


Tidak mudah untuk mengambil kesimpulan, kecuali kita melihat dan berkomentar secara ngawur. Karena kompleksitas masalah yang dibawa oleh situasi transisi ini, masih saja menyodorkan fakta getir. Angin perubahan (dari orde Soehartoisme ke jaman keterbukaan sekarang ini) bukan sesuatu yang mudah, apalagi ketika politik identitas kembali dihembuskan, dengan kencang.


Perubahan bukan situasi tunggal terjadi di Indonesia, melainkan fenomena dunia. Ketika modernisme, atau juga kapitalisme, juga gagap menghadapi perubahan konstelasi global yang cepat ini. Amerika Serikat bisa kelimpungan menghadapi RRC. Kita mengatakan tentang ekonomi global yang menyurut, tetapi di dalamnya pastilah karena perubahan tata-nilai ekonomi global sebagai kemestian tak terelakkan. Indonesia adalah bagian yang terkena imbasnya, justeru karena kita tengah berjuang untuk turut mengambil bagian, setelah sejak Soeharto hanya menjadi potential-buyers.


Indonesia memiliki keberuntungan, karena keterseokannya lebih karena bukan saja ketidakbecusan, melainkan mentalitas korup yang akut. Namun selama 17 tahun keberadaan KPK, setelah Soeharto lengser, perilaku koruptif tidak berubah. Ada apa dengan KPK? Dengan kewenangan yang besar, yang muncul justeru elite KPK sebagai selebritas. Pemberantasan korupsi menjadi nilai tawar, sebagaimana Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kemudian memanfaatkannya.


Presiden telah membuka kotak dialog dalam RKUHP. Tinggal bagaimana masalah itu berproses di Parlemen, di mana masyarakat warga memiliki kewenangan mengetahui dan memberikan pertimbangannya. Tekanan dari demo-demo jalanan, tentu saja penting sebagai bargaining power.


Namun duduk bersama di ruang-ruang sidang, berdialog, memberikan kritik dan masukan, juga sesuatu yang mesti ditempuh (lepas apakah kita dulu ikut memberikan suara atau golput). Karena mekanisme penggodogan UU, tak bisa tidak adalah di Parlemen. Ini proses pendewasaan yang proporsional. Tak bisa kita terus bergantung, mendesak presiden dengan mengatakan; Lhah, kamu ‘kan presidennya?


Dalam kasus RUU KPK, masih ada ruang yang bisa diperjuangkan. Bagaimana membuka ruang dialog dengan Presiden. Kita akan melihat, apakah Jokowi akan menutup dialog, atau memakai kelazimannya selama ini sebagai pendengar yang baik, sebelum revisi UUKPK itu ditandatanganinya.


Meski pun kita barangkali juga boleh menduga, Jokowi mungkin sedang berfikir tentang bagaimana berkelit di antara belitan politik tawar-menawar. Bagaimana pun, ia bukanlah orang partai. Dia birokrat yang direkrut partai, atau dimanfaatkan. Pemimpin yang tidak mempunyai partai. Dari soal penentuan cawapres dalam Pilpres 2019 kemarin, semestinya kita juga tahu, bagaimana ia berkelindan dalam belitan partai. Dan aroma kompetisi, hingga hari ini pun belum usai.


Namun sampai kapan, demokrasi subjektif ini terus akan kita pakai? Dan abai membangun sistem dan mekanismenya? Demokrasi tak hanya mengandalkan kebebasan, hak azasi, tetapi juga kesepakatan akan social religion, membangun kebersamaan di dalam perbedaan. Di situ kita tetap butuh parlemen, presiden, juga lembaga-lembaga judikatif serta watchdog untuk mengawasinya. Agar masing-masing tidak ngawur.


Karena cara-cara ngawur, juga hanya akan melahirkan reaksi ngawur. Meksi pun, memang, ngawur itu gampang. Segampang mengarang itu gampang. 


Sunardian Wirodono, Yogyakarta, 25 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...