Selasa, September 24, 2019

Gejayan Memanggil. Memanggil Apaan?

Seorang bekas aktivis mahasiswa yang terhormat, walau sampai kini masih suka jadi aktivis (dan berbisnis politik juga), mengatakan goblog saja mereka yang masih percaya teori konspirasi (dalam konteks melihat peristiwa ‘Gejayan Memanggil’ kemarin).

Duh, yang paling pinter. Mereka yang tak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama, ucap George Santayana. Dan kita sering melihat, para penari lebih sering hanya bergerak karena gendang orang lain. Sementara para penari selevel RM Wisnoe Wardhana, Ben Soeharto, atau Suprapto Suryodharmo, adalah sebuah pencapaian. Tak sekedar ditemu di jalanan, melainkan sepanjang perjalanan.

Cilakak banget jika meyakini tunggang-menunggang adalah semata teori konspirasi. Itu artinya, hanya melihat dunia dalam egosentrismenya. Dalam intersubjektivitas, seorang individu selalu memiliki handicap (halangan), ketika berhadapan langsung dengan konspirasi yang begitu besar. Yang bahkan dia sendiri tak menyangka konspirasi sebesar itu ada. Pada level mana?

Pada level konten ketika permainan isyu hanyalah dagangan di permukaan. Tuntutan para mahasiswa bergerak (dengan memviralkan via medsos dan digital printing: KPK Dilemahkan. Hutan Dibakar. Papua Ditindas. Tanah untuk Pemodal. Petani Digusur. Buruh Diperas. Privasi Terancam. Demokrasi Dikebiri), begitu mudah diduplikasi. Hingga kemudian tiba-tiba muncul flyer dan poster di medsos dan jalan-jalan, DPP FPI dengan gambar Rizhieq Shihab mengajak mahasiswa bergabung dengan ulama dan tokoh nasional, melawan kekuasaan yang dzalim. Tuntutannya? Ya, itu tadi, soal RUU-KPK, R-KUHP, Papua Ditindas, Demokrasi Dikebiri, dan seterusnya. Copy paste!

Diksi dan narasi yang tampak gagah, tapi bukan sebuah tesis dari dialektika atau ideologi perjuangan. Tidak ada tuntutan radikal, darimana semuanya itu berasal. Hingga tunggang-menunggang, dalam perilaku politik penuh claiming itu, menjadi sebuah simbiose tanpa disadari. Padahal, tak ada akar permasalahan yang sama, untuk berbagai tuntutan itu. Apalagi sampai pada pertanyaan benar dan relevankah tunutan itu, tanpa memahami akar masalahnya? Mari belajar trias-politica jika dirasa relevan.

Radikalisme hanya dalam aksi, namun konvensional dan bahkan puritan dalam berpikir, adalah sebuah kejumudan tersendiri. Hingga kita juga tak bisa kritis, diam saja, ketika melihat paradox atau anomaly. Mengaku berpaham radikal, tapi yang diperjuangkan konvensionalisme, atau bahkan puritanisme!

Bagaimana kita bisa menuntut keadilan, jika dari dasar pemikiran kita juga tak ada prinsip keadilan? "Kalau engkau berharap orang lain akan adil terhadapmu karena engkau sudah adil kepada mereka,” ujar Pravine Hurbungs, “itu sama saja mengharapkan seekor singa tidak menelanmu karena engkau tidak memakan dia!”

“Dalam politik tak ada kejadian yang tak direncanakan, atau insidentil (atau persamaan kebetulan). Meskipun (jika) itu terjadi, maka yakinlah, itupun direncanakan agar terlihat seolah insidentil,” sebagaimana pidato politik Franklin Roosevelt. Karena politik sangat cair, dan musim bisa berganti sangat cepat.

Kita akan terus mengulang-ulang tuntutan yang sama, artinya kesalahan yang sama, sepanjang tak ada perubahan dalam sistem politik kita. Politik yang elitis, sejak dari awalnya, seperti ditulis Herbert Feith dalam Catatan Pemilu 1955, tidak pernah memberi ruang pada kedaulatan rakyat. Oligarki politik bukan hanya sekarang, meski memang makin parah paska Reformasi (Semu) Politik 1998.

Jika tuntutan hanya sebagaimana poster yang diacung-acungkan kemarin (ada juga yang mengacungkan poster bantuan pembuatan skripsi), kita tak pernah sampai pada perubahan sampai ke akar yang dimaksud.

Demokrasi masih akan tetap pada formalitas dan kelamisannya. Yang menuntut dan dituntut sama-sama kunyuknya. Partai politik tetap hanya konspirasi untuk merebut kekuasaan. Sementara kita selalu ingin memilih orang yang terbaik dalam pemilihan, sayangnya orang seperti itu tak pernah jadi kandidat. Apalagi ketika Mahkamah Konstitusi pun memperkuat sistem politik kita yang elitis itu. Dengan ambang batas dan dipersulitnya calon independen atau alternatif.

“Orang-orang yang memberikan vote (suara), tak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil pemilu,” pidato Joseph Stalin. Dan politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran. Charles de Gaulle sampai pada kesimpulan paling tragis; “ Politik adalah urusan yang terlalu serius untuk ditangani para politikus.”

Tapi, rasanya, lebih tragis lagi, kalau para mahasiswa bergerak juga cuma berada di ranah politik praktis, hasil arahan kakak-kakak senior mereka belaka! Sama aja, Bung!
 
 
SIAPA MEMANGGIL 
APA

Oleh beberapa teman, saya diingatkan, berkait Gejayan Memanggil. Ada yang mengatakan, jangan terlalu (mudah) curiga pada para mahasiswa. Karena di sisi lain, faktanya tetap harus ada peran watchdog bagi para penguasa pongah tapi bego, juga jahat. Baik bagi mereka yang di parlemen, maupun yang pemerintahan.

Okay, saya setuju. Saya dengarkan baik-baik keterangan mereka. Bahwa para pemain di Gejayan Memanggil ini cluster baru. Sama sekali berbeda. Apa bedanya? Kalau mengenai pola permainan, sama saja. Cuma tukang tiru-tiru. Bedanya, yang sedang dipraktikkan adalah pola pergerakan mahasiswa Hong Kong. Berangkat dari titik simpul berbeda-beda. Bergerak memusat, tanpa pucuk-pucuk pimpinan. Semuanya setara. 

Apa yang hebat dari pola ini, ketika dicobakan di segi-tiga emas Bulaksumur-Gejayan-Bataskota? Apalagi kalau cluster baru ini cuma jadi ajang percobaan seniornya (entah itu Angkatan 98 atau para komandan abadinya). Namun dari setting geo-politik, para aktivis boleh dikata bego kalau menari dalam gendang pihak lain. Dari sisi konten, juga timing, tak ada yang bisa menjamin gerakan Gejayan Memanggil steril. Naif saja jika mereka ngomong tidak ditunggangi atau tanpa penunggang. 

Ada konsultan politik di Yogya bilang, tak ada teriakan ‘turunkan Jokowi’. Sayangnya, dia cuma melihat skala Yogyakarta. Tak melihat bagaimana yang terjadi di Makassar, Purwokerto, Cirebon, Riau? Kalau beberapa dosen, teman mereka, ikutan berdemo menjadi dasar penilaian gerakan ini didukung civitas akademika secara massif, juga terlalu naif. 

Dikira dunia politik (praktis) bisa dibentengi oleh imajinasi. Sementara bermain-main politik (seperti Gejayan Memanggil) misalnya, tanpa mengurutkannya dengan timeline Orde Baru, Reformasi 1998, Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, saya kira hanya menunjukkan anomali. Apalagi dengan mengabaikan aktor-aktornya. Walau pun RUU KPK dan KUHP tampak logis dipakai alas.

Masyarakat yang semula ‘hanya’ terbelah dalam Orde Baru vs Orde Post Reformasi, menginti pada Prabowo versus Jokowi, kini kemudian mengental dalam platform yang sebenarnya sudah dijawab Sukarno (dalam pidato 1 Juni 1945), dan terus digemborkan hingga kini, dengan berbagai variannya. Apalagi sejak pembubaran HTI.

Persoalannya menjadi tidak sederhana. Tak hanya sekedar korupsi dan bukan korupsi. Pada kenyataannya, Reformasi 1998 lebih banyak melahirkan oknum baru, tinimbang hal-hal baru yang menjanjikan. Ada begitu banyak komisi negara, seperti KPK, KPI, KPAI, KY, atau sebelumnya lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, tapi seberapa besar perubahan significant dihasilkan, dengan justeru meruyaknya praktik KKN lembaga-lembaga negara itu? Perubahan politik 1998, tak dibarengi perubahan mendasar mengenai sistem politik kita, yang tetap saja elitis, sebagaimana kelahirannya dalam Pemilu 1955. Kedaulatan Rakyat hanya omong kosong. 

Mengapa medan pertempuran disebar ke berbagai daerah? Jika benar bahwa ini cluster baru, yang pendanaannya transparan lewat kitabisadotcom (konon sudah mencapai di atas Rp 80 juta), mengapa tak semua mahasiswa menyerbu ke Jakarta? Ke Senayan dan ke Istana Presiden sekaligus, untuk mendesakkan agar DPR dan Presiden tidak nyampah? Kenapa masih tertarik dengan permainan efek mediasi? Ada setting, timing, ada juga acting, dan kita masih suka gaya Affandi yang impresionistik. 

Kita selalu pura-pura tak tahu, atau memang bego. Tidak ngerti sedang ngapain sekarang ini, padahal dengan alasan demokrasi dan heroisme. Maka gaya bertahan Jokowi, yang telah mengupayakan penundaan pengesahan RUU KUHP, bisa jadi tidak menarik perhatian para mahasiswa, untuk mendesak ke Senayan. Takut dituding ditunggangi atau tidak murni. Kurang heroik ‘kan?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...