Jangan mengritik mahasiswa.
Apalagi mahasiswa yang lagi bergerak. Nanti marah kakak-kakak mereka. Dan
mengatakan kau jadoel. Goblog. Atau paling sial dituding buzzer bayaran Jokowi.
Ini cluster baru. Steril. Tidak keracunan. Gitu deh, claiming ‘n labeling. Sembari ngaku penegak demokrasi.
Kayak gerakan kiri ngehek, atau kiri medsos. Entah di bumi pijak mana. Yang penting amplifikasi dan efek mediasi. Kayak masjid dan pendemo rindu TOA. Itu mainan paling mengasyikkan. Apalagi sembari ongkang-ongkang di café. Nongkrong? Bukan. Itu memang warung miliknya, sih! Markas perlawanan, katanya.
Apa sebetulnya pertarungan kita kali ini? Dengan triger KPK, maka Presiden dijebak dalam situasi sulit? Apalagi dengan kutbah moral para tokoh, akademisi, dan senior? Dan ajakan Jokowi, untuk menggunakan sistem serta mekanisme negara demokrasi, diabaikan. “Beri aku 10 pemuda, maka akan kucabut gunung,” kata Bung Karno. Terdengar lebih maskulin. Apalagi dengan baju army-look yang ditiru Prabowo. Padahal, safari Sukarno itu lungsuran baju tentara perempuan. Kalau kostum Jokowi ‘kan kayak room-service hotel!
Maka dengan ribuan mahasiswa bergerak, apalagi sampai menjebol pagar DPRD, di Sumbar ada yang menjarah, di Kendari ada yang tewas, cukup sudah alasan. Presiden harus segera bertindak. Terbitin Perppu. Emangnya, kalau nerbitin Perppu situasi reda? Bagaimana kalau masuk jebakan betmen session dua? Tiga? Dan seterusnya? Hingga kita bisa mencap; Presiden melanggar hukum. Dan impeachment menunggu! Segampang membalik telapak tangan? Nyebut-nyebut TAP MPR soal presiden bisa dimundurkan, ternyata askut (asal kutip).
Kini semua orang sedang mengajuk. Ini dunia digital generasi 4.0., tapi masih bisa kejebak melihat foto Najwa Shihab wefie bersama Tommy Soeharto, Lius Sungkharisma, dan Ichsanuddin Noorsy. Tokoh-tokoh legendaris dengan isu-isu anti Jokowi itu. Semua orang tahu, meski Najwa bisa bilang, “Halah, saya ‘kan public figure. Halal mejeng dengan siapa saja.”
Disitu kita melihat kasusnya bisa nyaris sama dengan para Presiden BEM yang gencar menjelaskan kepada siapa saja, bahwa mereka tidak ditunggangi. Kalau kemudian ada Parade Tauhid ngajak-ajak mahasiswa, tentu saja para mahasiswa tak bisa disalahkan, karena yang paling mudah disalahkan adalah situasi dan kondisi, serta toleransi yang acap disingkat jadi sikontol. Di abad digital dan photosop ini, capturing dan framing tak terhindarkan. Maka yang tidak bijak, siap menerima tulahnya di abad hoax ini.
BEM se Jakarta mengatakan, aksinya murni. Tidak ditunggangi. “Yang menunggangi kami, adalah hati nurani kami.” Nah, itulah. Ditunggangi ‘kan? Meski oleh hati nuraninya sendiri? Pertanyaannya: Apa saja yang masuk dan diolah oleh hati nuraninya? Dari sejak bayi hingga mahasiswa? Kita tidak tahu. Mungkin Febri Diansyah tahu. Sebagaimana ditunjukkan dalam video di ruang KPK, bersama beberapa mahasiswa itu. Briefing?
Dunia politik bukanlah dunia steril. Apalagi suci. Benar Anda suci, tetapi itu claiming sepihak. Sementara seputaran Anda, orang tidak budeg-bisu, apalagi buta. Tunggang-menunggang itu bukan soal transaksional semata. Itu bisa by moment. Simbiosis sebagaimana kumbang dan bunga. Terjadi dengan sendirinya. Sunatullah. Mau menguntungkan atau merugikan, itu soal nanti. Itu makanya Anies Baswedan dengan duit Rp 70 trilyun, bisa bagi-bagi sembako pada kelompok pendukung. Toh bukan duit pribadi.
Walaupun kita mungkin akhirnya tahu. Para golputers, sebagiannya kiri medsos yang kini punya pahlawan bernama Dandy Dwi Laksono, agendanya tentu beda dengan yang suka bikin Parade Tauhid. Meski merasa sama-sama jengkel dengan Jokowi, yang mereka tuding sebagai developmentalis atau agen kapitalisme. Media Tempo, setidaknya via KoranTempo, telah menggiring impresi Jokowi dalam poster epic ‘Piye Kabare,…” dengan gesture Soeharto melambaikan tangan itu.
Padahal, pertarungan Reformasi 1998 belum selesai. Upaya turn-back-soehartoisme, belum juga tuntas. Dengan agenda masing-masing, yang kadang berhadapan secara diametral, seolah bisa jalan bareng. Apalagi dengan setarikan nafas menyebut Kebakaran Karhutla, Papua Ditindas, Tolak UU KPK, Tolak Revisi KUHP, Demokrasi Dikebiri, Bebaskan Aktivis Demokrasi, seolah sebuah koor gereja yang harmonis dan sendu. Dan dalam situasi transisi itu, muncul keluhan pendemo 1998 dan pendemo 2019, ternyata masih menghadapi monster yang sama; Wiranto!
Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidaksabaran kita? Tetapi apa konsep yang kita sodorkan? Menolak hasil Pemilu dan Pilpres 2019? Terus diserahkan pada Sri Bintang? Atau Amien Rais? Rizal Ramli? Rizieq Shihab? Atau Tommy Soeharto? Jika bukan, dikasih siapa? Febri Diansyah? PKS? HTI? Cluster Baru? Ayo, jawablah! Siapa? Bukan semua itu? Lantas siapa? Militer? Terus, apa kata dunia? Ini semua sebenarnya kerjaan siapa?
Memangnya yang tak sabar hanya kalian, yang dulu sama-sama menolak Prabowo, dan kini beralih jadi penghujat Jokowi? Apakah kalian juga berpikir 54,5% pemilih Jokowi hanya buzzer dogol semata? Apakah Jokowi sendiri juga sabar, dengan berbagai kompromi yang mesti diambilnya, untuk menjaga pendulum demokrasi tak jadi sobat ambyar?
Kecermatan kita melihat masalah, seperti mencari jarum di timbunan suket-teki. Sampai kempot mencarinya. Ketulusan dan kemanusiaan itu, seolah ditelan agenda dan kepentingan masing-masing. Mangkanya diajak dialog pun, seolah kalah jika diterima. Karena agama juga mengajarkan kita untuk intoleran! Apalagi cuma berpolitik, yang lebih mengandalkan ego masing-masing.
Reformasi Dikorupsi, demikian yang seolah tiba-tiba ditagarkan oleh para pejuang demokrasi kita hari-hari ini. Mengapa baru teriak sekarang, ketika pertarungan 1998 itu tak pernah pudar, dari Pemilu 1999, 2002, 2004, 2009, kemudian beralih ke Pilpres 2014, bahkan hingga 2019 kemarin? Herbert Feith bahkan mencatat lebih jauh, karena sistem politik elitis kita, dari sejak Pemilu 1955.
Artinya tidak ada perubahan mendasar, politik oligarkis selalu menindas kedaulatan rakyat. Jika kita ngomong Reformasi Dikorupsi, mestinya sistem politik kita, sistem pemilu beserta undang-undangnya, itu yang jadi dasar gugatan yang mendasar, agar kita tak selalu mengulang kesalahan yang sama. Demokrasi jalanan terus, dan politik transaksional mulu.
Sementara itu, dengan type kepemimpinan androginis Jokowi, mungkin seolah salpos, salah posisi. Atau terlalu cepat, di tengah problem utama bangsa ini, kualitas pendidikan dan tingkat literasi yang masih mudah diruyak oleh hoax. Padahal kita hidup di jaman ketika separuh penduduk Indonesia sudah menggenggam smartphone. Meskipun juga kita masih saja percaya pada mitos-mitos keluhuran, bahwa sura dira jayaningrat - lebur dening pangastuti. Segala (kepongahan dan niat buruk dari) kekuatan, kejayaaan, dan kedudukan; akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.
Karenanya, jangan bandingkan Sukarno di tahun 1930. Apalagi dibandingkan dengan mahasiswa sekarang. Yang sebenarnya tak lagi menggugat, tapi sekedar memanggil. Memanggil untuk menggugat juga sih secara ramai-ramai. Cuma bukan Indonesia Menggugat. Melainkan sebaliknya.
Dan para proxy dalam perang asimetris ini, bertepuk tangan. Horeee, kesambet amplop juga. Bayangin kalau anak STM saja bisa berharga Rp 750 ribu. Yang doktor mungkin bisa beribu kali lipat. | @sunardianwirodono
Kayak gerakan kiri ngehek, atau kiri medsos. Entah di bumi pijak mana. Yang penting amplifikasi dan efek mediasi. Kayak masjid dan pendemo rindu TOA. Itu mainan paling mengasyikkan. Apalagi sembari ongkang-ongkang di café. Nongkrong? Bukan. Itu memang warung miliknya, sih! Markas perlawanan, katanya.
Apa sebetulnya pertarungan kita kali ini? Dengan triger KPK, maka Presiden dijebak dalam situasi sulit? Apalagi dengan kutbah moral para tokoh, akademisi, dan senior? Dan ajakan Jokowi, untuk menggunakan sistem serta mekanisme negara demokrasi, diabaikan. “Beri aku 10 pemuda, maka akan kucabut gunung,” kata Bung Karno. Terdengar lebih maskulin. Apalagi dengan baju army-look yang ditiru Prabowo. Padahal, safari Sukarno itu lungsuran baju tentara perempuan. Kalau kostum Jokowi ‘kan kayak room-service hotel!
Maka dengan ribuan mahasiswa bergerak, apalagi sampai menjebol pagar DPRD, di Sumbar ada yang menjarah, di Kendari ada yang tewas, cukup sudah alasan. Presiden harus segera bertindak. Terbitin Perppu. Emangnya, kalau nerbitin Perppu situasi reda? Bagaimana kalau masuk jebakan betmen session dua? Tiga? Dan seterusnya? Hingga kita bisa mencap; Presiden melanggar hukum. Dan impeachment menunggu! Segampang membalik telapak tangan? Nyebut-nyebut TAP MPR soal presiden bisa dimundurkan, ternyata askut (asal kutip).
Kini semua orang sedang mengajuk. Ini dunia digital generasi 4.0., tapi masih bisa kejebak melihat foto Najwa Shihab wefie bersama Tommy Soeharto, Lius Sungkharisma, dan Ichsanuddin Noorsy. Tokoh-tokoh legendaris dengan isu-isu anti Jokowi itu. Semua orang tahu, meski Najwa bisa bilang, “Halah, saya ‘kan public figure. Halal mejeng dengan siapa saja.”
Disitu kita melihat kasusnya bisa nyaris sama dengan para Presiden BEM yang gencar menjelaskan kepada siapa saja, bahwa mereka tidak ditunggangi. Kalau kemudian ada Parade Tauhid ngajak-ajak mahasiswa, tentu saja para mahasiswa tak bisa disalahkan, karena yang paling mudah disalahkan adalah situasi dan kondisi, serta toleransi yang acap disingkat jadi sikontol. Di abad digital dan photosop ini, capturing dan framing tak terhindarkan. Maka yang tidak bijak, siap menerima tulahnya di abad hoax ini.
BEM se Jakarta mengatakan, aksinya murni. Tidak ditunggangi. “Yang menunggangi kami, adalah hati nurani kami.” Nah, itulah. Ditunggangi ‘kan? Meski oleh hati nuraninya sendiri? Pertanyaannya: Apa saja yang masuk dan diolah oleh hati nuraninya? Dari sejak bayi hingga mahasiswa? Kita tidak tahu. Mungkin Febri Diansyah tahu. Sebagaimana ditunjukkan dalam video di ruang KPK, bersama beberapa mahasiswa itu. Briefing?
Dunia politik bukanlah dunia steril. Apalagi suci. Benar Anda suci, tetapi itu claiming sepihak. Sementara seputaran Anda, orang tidak budeg-bisu, apalagi buta. Tunggang-menunggang itu bukan soal transaksional semata. Itu bisa by moment. Simbiosis sebagaimana kumbang dan bunga. Terjadi dengan sendirinya. Sunatullah. Mau menguntungkan atau merugikan, itu soal nanti. Itu makanya Anies Baswedan dengan duit Rp 70 trilyun, bisa bagi-bagi sembako pada kelompok pendukung. Toh bukan duit pribadi.
Walaupun kita mungkin akhirnya tahu. Para golputers, sebagiannya kiri medsos yang kini punya pahlawan bernama Dandy Dwi Laksono, agendanya tentu beda dengan yang suka bikin Parade Tauhid. Meski merasa sama-sama jengkel dengan Jokowi, yang mereka tuding sebagai developmentalis atau agen kapitalisme. Media Tempo, setidaknya via KoranTempo, telah menggiring impresi Jokowi dalam poster epic ‘Piye Kabare,…” dengan gesture Soeharto melambaikan tangan itu.
Padahal, pertarungan Reformasi 1998 belum selesai. Upaya turn-back-soehartoisme, belum juga tuntas. Dengan agenda masing-masing, yang kadang berhadapan secara diametral, seolah bisa jalan bareng. Apalagi dengan setarikan nafas menyebut Kebakaran Karhutla, Papua Ditindas, Tolak UU KPK, Tolak Revisi KUHP, Demokrasi Dikebiri, Bebaskan Aktivis Demokrasi, seolah sebuah koor gereja yang harmonis dan sendu. Dan dalam situasi transisi itu, muncul keluhan pendemo 1998 dan pendemo 2019, ternyata masih menghadapi monster yang sama; Wiranto!
Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidaksabaran kita? Tetapi apa konsep yang kita sodorkan? Menolak hasil Pemilu dan Pilpres 2019? Terus diserahkan pada Sri Bintang? Atau Amien Rais? Rizal Ramli? Rizieq Shihab? Atau Tommy Soeharto? Jika bukan, dikasih siapa? Febri Diansyah? PKS? HTI? Cluster Baru? Ayo, jawablah! Siapa? Bukan semua itu? Lantas siapa? Militer? Terus, apa kata dunia? Ini semua sebenarnya kerjaan siapa?
Memangnya yang tak sabar hanya kalian, yang dulu sama-sama menolak Prabowo, dan kini beralih jadi penghujat Jokowi? Apakah kalian juga berpikir 54,5% pemilih Jokowi hanya buzzer dogol semata? Apakah Jokowi sendiri juga sabar, dengan berbagai kompromi yang mesti diambilnya, untuk menjaga pendulum demokrasi tak jadi sobat ambyar?
Kecermatan kita melihat masalah, seperti mencari jarum di timbunan suket-teki. Sampai kempot mencarinya. Ketulusan dan kemanusiaan itu, seolah ditelan agenda dan kepentingan masing-masing. Mangkanya diajak dialog pun, seolah kalah jika diterima. Karena agama juga mengajarkan kita untuk intoleran! Apalagi cuma berpolitik, yang lebih mengandalkan ego masing-masing.
Reformasi Dikorupsi, demikian yang seolah tiba-tiba ditagarkan oleh para pejuang demokrasi kita hari-hari ini. Mengapa baru teriak sekarang, ketika pertarungan 1998 itu tak pernah pudar, dari Pemilu 1999, 2002, 2004, 2009, kemudian beralih ke Pilpres 2014, bahkan hingga 2019 kemarin? Herbert Feith bahkan mencatat lebih jauh, karena sistem politik elitis kita, dari sejak Pemilu 1955.
Artinya tidak ada perubahan mendasar, politik oligarkis selalu menindas kedaulatan rakyat. Jika kita ngomong Reformasi Dikorupsi, mestinya sistem politik kita, sistem pemilu beserta undang-undangnya, itu yang jadi dasar gugatan yang mendasar, agar kita tak selalu mengulang kesalahan yang sama. Demokrasi jalanan terus, dan politik transaksional mulu.
Sementara itu, dengan type kepemimpinan androginis Jokowi, mungkin seolah salpos, salah posisi. Atau terlalu cepat, di tengah problem utama bangsa ini, kualitas pendidikan dan tingkat literasi yang masih mudah diruyak oleh hoax. Padahal kita hidup di jaman ketika separuh penduduk Indonesia sudah menggenggam smartphone. Meskipun juga kita masih saja percaya pada mitos-mitos keluhuran, bahwa sura dira jayaningrat - lebur dening pangastuti. Segala (kepongahan dan niat buruk dari) kekuatan, kejayaaan, dan kedudukan; akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.
Karenanya, jangan bandingkan Sukarno di tahun 1930. Apalagi dibandingkan dengan mahasiswa sekarang. Yang sebenarnya tak lagi menggugat, tapi sekedar memanggil. Memanggil untuk menggugat juga sih secara ramai-ramai. Cuma bukan Indonesia Menggugat. Melainkan sebaliknya.
Dan para proxy dalam perang asimetris ini, bertepuk tangan. Horeee, kesambet amplop juga. Bayangin kalau anak STM saja bisa berharga Rp 750 ribu. Yang doktor mungkin bisa beribu kali lipat. | @sunardianwirodono
Yogyakarta, menjelang Gertakan 30 September 2019.