JIKA PEMILU SERENTAK DINYATAKAN sebagai terburuk dalam penyelenggaraan
Pemilu selama ini, bisa dipastikan hal itu karena (1) hadirnya pasangan capres
bernama Prabowo dan Sandiaga. (2) penumpang gelap yang nebeng pilpres, (3)
manajemen teknis penyelenggaraan oleh KPU.
Pada faktor ke-3,
lambannya tak bisa dilepaskan dari lambannya kerja parlemen, dalam proses
revisi UU Pemilu, yang baru beres beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilu
Serentak. Hal itu membuat KPU tidak mempunyai kesiapan matang. Jatuhnya korban
yang hampir 500 jiwa pada para petugas KPPS, adalah salah satu bukti akibat
ketidaksiapan itu. Di samping tentu saja tekanan psikologis (dan politis),
khususnya dalam proses penghitungan surat suara di masing-masing TPS.
Lambannya penyelesaian
penghitungan rekapitulasi di tingkat propinsi seperti DKI Jakarta, menunjukkan
alotnya proses penghitungan. Kita juga bisa melihat, ketika akhirnya para sakti
kubu Prabowo tidak ikut menandatangani hasil penghitungan bersama, itu juga
bukti alotnya perdebatan mengenai hasil. Dari beberapa pengakuan petugas KPPS,
tekanan fisik jelas karena durasi kerja mereka benar-benar overtime dan
overload. Bisa jadi mereka bukan hanya bekerja 24 jam sejak pagi, melainkan
lebih dari itu. Dari proses persiapan malam sebelumnya, hingga proses
pengesahan C1 plano di TPS.
Petugas KPPS bekerja dalam
tekanan waktu dan kepentingan masing-masing partai politik yang menjadi peserta.
Tapi senyampang itu, di tingkat desa juga kecamatan, akan terlihat kemampuan
masing-masing partai, utamanya dalam menerjunkan kader-kadernya sebagai saksi. Tak
semua TPS disaksikan lengkap kader peserta pemilu. Baru pada tingkat
kabupaten/kota atau propinsi, relatif bisa didapatkan saksi yang lengkap.
Proses penghitungan
dinyatakan final jika sudah disepakati bersama petugas KPPS dan saksi-saksi peserta
pemilu (parpol). Di situ tekanan terberatnya. Karena kesalahan sedikit atau
kecil saja (kadang juga karena tak cermatnya saksi), bisa membuat proses
penghitungan secara manual itu diulang dari awal. Sementara human eror petugas
KPSS sangat dimungkinkan karena faktor kelelahan fisik dan saraf mereka. Beban
pekerjaan bukan hanya fisik, melainkan psikis. Bahkan boleh dikata untuk
istirahat sejenak pun, petugas KPPS tidak ditoleransi saksi-saksi. Mereka ingin
proses penghitungan segera selesai, dan segera ketahuan hasilnya.
Sialnya, tidak semua
partai punya saksi di TPS. Kadang seorang saksi dari partai (biasanya partai
gurem), berpindah-pindah TPS karena harus jadi saksi di beberapa TPS. Hal ini ‘sedikit
meringankan’ proses penghitungan manual di TPS, tapi terbukti tidak di tingkat
atasnya. Entah kecamatan, kabupaten/kota, dan apalagi propinsi. Karena masing-masing
partai pada tingkat itu bisa menghadirkan saksinya. Sayangna saya tak mempunyai
data, saksi dari partai apa yang paling ngotot. Kalau saya menyebut saksi dari
PKS dan Gerindra yang paling ngotot, hanya asumsi saya karena mereka sudah
sejak awal memposisikan sebagai pasangan oposan.
Dalam simulasi Pemilu
Serentak, KPU hanya mengukur dari sisi penyelenggaraan saat pencoblosan surat
suara. Proses setelahnya, tidak tercemati bagaimana faktor-faktor eksternal,
utamanya resistensi dalam proses penghitungan, akan menjadi faktor terpenting
dalam tekanan fisik dan psikis petugas KPPS. Dengan sistem penghitungan terbuka
dan berjenjang, kita tahu betapa lambat dan penuh tekanan proses itu. Karena
berkait dengan hasil, di mana semua kontestan cenderung menomorsatukan
kepentingan sendiri.
Sinergitas Prabowo dan Pendukungnya. Mengenai penyebab 1 dan 2 (yakni kualitas capres
dan penumpang gelap), dua hal itu saling berkelindan. Tak jelas siapa menumpang
siapa, atau siapa menumpang apa. Tetapi tampak dalam hal itu sinergitas keduanya.
Dalam masa kampanye, jelas
terlihat masjid dan berbagai aktivitas keagamaan (Islam utamanya), menjadi
instrumen penting dalam kampanye Pemilu Serentak ini, utamanya tentang Pilpres.
Salah satu pasangan capresnya, adalah hasil ijtima’ ulama yang lebih
berafiliasi dan/atau diinisiasi oleh PA-212, yang notabene bagian dari garis
FPI dengan poros utamanya Rizieq Shihab, yang kabur keluar negeri karena kasus
hukum.
PKS di mana Mardani Ali
Sera menjadi ketua tim pemenangan sekaligus arsitek gerakan tager ‘2019 Ganti
Presiden’, adalah partai yang sangat diuntungkan dalam situasi itu. Setidaknya,
dengan numpang biaya kampanye Pilpres 02, partai ini bisa lebih powerfull. PKS
mampu tampil secara aktif dan terfasilitasi di berbagai panggung kampanye
Pilpres yang bagaimana pun satu paket dengan Pileg. PKS yang diduga bakal tak
lolos electoral threshold meraup suara lebih dari 7%, jauh dari prediksi yang
angkanya tak akan melebihi 4%.
Isu yang mencuat dalam
berbagai kampanye kubu Prabowo, lebih kuat aroma politik identitasnya. Kelompok
ini terus menggoreng isu-isu yang menyerang lawan dari sisi ideologi dan agama.
Isu komunisme dan anti-Islam dilekatkan mereka pada pribadi Jokowi. Secara
terstruktur, sistemik dan massif, isu itu terus digalang dari kelas yang mereka
sebut ulama hingga mak-emak. Senyampang itu, serangan pada Jokowi juga terus
disampaikan seperti tukang bohong (salah satu wacananya, karena janji
pertumbuhan ekonomi di atas 7% namun hanya tercapai 5%), tukang utang (salah
satu wacananya, jumlah utang di era Jokowi, tanpa mengurai akumulasi utang dan
perimbangan rasio utang dengan kemampuan ekonomi negara), dan sosok Jokowi yang
dicitrakan anti Islam dengan mengkriminalisasi ulama (padahal banyak sosok
Islam yang tersandung kasus kriminal, termasuk Rizieq Shihab). Ditambah dengan
isu-isu lain seperti jika Jokowi menang adzan akan dihilangkan, LGBT
dihalalkan, dsb, dsb.
Di mana Prabowo di atas
semuanya itu? Sebagai pasangan capres-cawapres yang didukung ijtima ulama,
Prabowo agaknya menikmati hal itu. Demikian juga Sandiaga, yang semula dinilai
masih proporsional. Dalam berbagai pernyataan keduanya, turut serta membenturkan
teori pecah-belah bambu. Yakni pembelaannya pada kelompok Islam yang katanya
menjadi korban intimidasi pemerintah (Jokowi). Pasangan ini, dan tim
pemenangannya, bahkan tampak memanfaatkan isu-isu itu.
Ujaran kebencian yang
mencuat dari beberapa masjid, dan pemanfaatan ritual agama (misal, mendorong
militansi dan fanatisme keagamaan dengan gerakan pejuang shalat subuh). Hingga
pada akhirnya orasi-orasi politik yang selalu dibungkus jargon-jargon dan
dogma-dogma agama. Bahkan menyerang pihak lain sebagai musuh yang harus
dibasmi, dilawan, untuk bukan hanya dikalahkan tetapi dienyahkan.
Pada sisi lain, bukan
hanya perilaku, tetapi sikap dalam menghadapi hasil Pemilu, utamanya Pilpres. Pasangan
Prabowo-Sandiaga sama sekali bukan teladan yang baik dalam berdemokrasi. Tak
mau menanggung malu atas kekalahan, pasangan ini sudah pasang kuda-kuda dengan
berbagai tudingan. Entah itu soal pemilu curang, penyelenggara tidak netral,
pertahana memakai fasilitas negara, dan berbagai tudingan lain, yang ketika
ditanya berbagai buktinya, mereka tak mampu menjelaskan.
Deklarasi Kemenangan dan Menutup Aib. Demikian juga berbagai dugaan kecurangan, di
samping tak bisa dibuktikan, mereka sendiri tak hendak menggugatnya ke MK.
Tentu saja itu aneh bin ajaib. Termasuk mengklaim kemenangan namun senyampang
itu menegasi Pemilu sebagai sesuatu yang bersih, adil, dan jujur. Prabowo
meniadakan aturan dan undang-undang, yang semestinya mengikat dalam kesepahaman
peserta. Semua peserta, tentu sudah mengetahui akan hal itu, dari sejak persiapan
hingga proses penghitungan.
Mendeklarasikan kemenangan
dengan data yang tidak kredibel, tetapi di sisi lain menolak lembaga survei yang
membuat quickcount, adalah keanehan lainnya. Termasuk klaim-klaim kemenangan
yang berubah-ubah angka, sementara KPU sendiri belum menyelesaikan proses
rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota. Sementara proses penghitungan KPU minta
dihentikan, karena tak ada gunanya. Namun sikap yang tak mau menandatangani C1,
bahkan dalam hasil rekapitulasi nasional yang menentukan pemenangan,
menunjukkan kubu Prabowo sudah mengakui kekalahan tanpa perlawanan. Sikap perlawanan
(terhadap hasil) hanyalah cara mereka untuk mempertanggungjawakan pada sponsor
dan konstituen. Agar tidak malu-maluin banget. Meski dari sisi logika dan moral
politik, Prabowo sudah habis sama sekali. Tak ada harganya.
Yang menarik, dalam
berbagai deklarasi dan pernyataan kemenangan itu, Prabowo lebih banyak
didampingi orang-orang dari kelompok ijtima ulama daripada partai koalisi.
Bahkan PKS yang menjadi mitra utama, tak banyak menampakkan diri. Mardani Ali
Sera bahkan sama sekali tidak menongolkan diri di situ, disamping menyatakan
programnya Ganti Presiden sudah digulungnya.
Dalam detik-detik
akhirnya, berkait hasil penghitungan suara, kita melihat Prabowo makin
ditinggalkan partai koalisinya, bahkan PKS sendiri yang tak bisa menyembunyikan
sikapnya. Mereka lebih bisa menerima hasil Pemilu karena diuntungkan. PAN dan
Demokrat, sebagai partai politik dengan nilai oportunisme yang tinggi, sudah
dulu menyatakan sikap dengan membatasi ‘koalisi’ sebatas 22 Mei 2019. Sedangkan
Partai Berkarya, yang tak lolos ET, setelah wait and see dan mengetahui hasil
final, diam-diam hanya bisa berdiam diri.
Tinggal Prabowo sendirian,
dan cocomeonya, yang kebetulan mereka lebih berafiliasi ke kelompok PA-212,
dengan poros Rizieq Shihab, yang sedang dalam pelarian ke luar negeri. Beberapa
kali dalam janji kampanyenya, Prabowo jelas mengatakan, akan menjemput Rizieq
Shihab pulang ke Indonesia, sehari setelah dilantik jadi Presiden. Tapi kapan?
Prabowo Tak Memiliki Ideologi yang Jelas. Melihat gelagat kekalahannya, yang dilakukan adalah
menutupi aibnya begitu saja. Maka salah satu jalan bagi Prabowo adalah melawan.
Hal itu untuk merawat dukungan padanya. Karena bagaimana pun juga, perolehan
suara di atas 40%, adalah sesuatu banget. Pada Pilpres 2014 pun, Prabowo punya
modal sebesar itu, lebih gede banhkan. Sayangnya, ia tidak mampu
mengkristalisasikannya menjadi sesuatu yang produktif. Bahkan Prabowo justru tampak
di bawah bayang-bayang. Ia memanfaatkannya secara keliru. Pandangan politiknya
yang parsial menjadikan kontra-produktif. Kelompok menengah atas dan yang
terdidik, yang mungkin anti Jokowi, tidak terakomodasi. Apalagi ketika Prabowo
kemudian lebih dikelilingi kelompok ijtima’ ulama.
Ulama dari golongan mana?
Kita semua sudah tahu, mereka dari kelompok-kelompok yang melihat Jokowi
sebagai bagian dari Islam Nusantara. Musub dari kelompok Islam Khilafah yang
bercita-cita mendirikan negara Islam. Namun karena kelompok ini tidak
terorganisasi dengan baik, karena kualitas SDM dan kemampuan logistiknya,
mereka menjadi pragmatis dan oportunistik dengan strategi ‘lawannya musuh kita
adalah kawan kita’. Prabowo, yang sedang berkontestasi dengan Jokowi, menjadi
kuda tunggang yang menarik. Apalagi dia butuh suara sebanyak-banyaknya.
Namun dengan militansi
yang tinggi, Prabowo tidak menyadari kelompok ini hanya lebih keras gaung suaranya.
Kelompok yang bersuara keras karena TOA. Tidak paralel dengan jumlah real di
masyarakat, yang lebih didominasi kelompok Islam yang ‘biasa saja’. Islam tidak
neka-neka. Islam yang kafah. Meski dalam kelompok NU dan Muhammadiyah pun,
prgamatisme politik juga terjadi, dengan mengatakan mereka netral dan kritis.
Cuma sayangnya, kritis seperti apa, ketika mereka juga tak bisa menjelaskan sikapnya
dengan fenomena politisasi agama model Prabowo dan Rizieq Shihab.
Kelompok lain yang tidak
jelas orientasinya, seperti Amien Rais, Kivlan Zein, Rizal Ramli, Eggy Sudjana,
Permadi, apalagi Lius Sungkharisma, mereka hanyalah bagian dari pasukan hore,
tim tempik sorak, yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. Berkali-kali teriak
‘people power’, mereka sendiri energi dan militansinya terbatas. Tak ada pengaruhnya
sama sekali, kecuali gemanya saja yang berdenging bikin pusing. Nyatanya sekali
gertak dari kepolisian, mereka tercerai-berai. Apalagi m ereka tidak berangkat
dari pemikiran ideologi yang kuat. Dengan tanpa malu-malu, Amien Rais ganti
jualan, dengan mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat’.
Sebagai doktor politik,
Amien Rais tampak begitu bodohnya. Bahkan justeru ketika ia pura-pura tidak
tahu, akan makin kelihatan bodohnya. Karena ‘kedaulatan rakyat’ sudah dilakukan
oleh setidaknya 80% dari 180-an juta rakyat yang memiliki hak suara dalam
Pemilu Serentak kemarin. Kalau hasilnya satu persen di atas 50 persen
dimenangkan Jokowi, tak ada kekuatan konstitusional bisa membendungnya. Jika ada
tudingan kecurangan, maka persoalannya adalah pembuktian mengenai hal itu. Meskipun
kecurangan Pemilu di Indonesia, sekarang ini, sesuatu yang muskil dilakukan karena ketatnya kontestasi dan sistem
pengawasan melekat, serta proses penghitungannya yang terbuka, manual dan
berjenjang.
Amien Rais cum suis,
sayangnya menjadi kompor dengan gas bocor. Karena mereka yang teriak-teriak di
depan hanya akan minta dimaklumi di belakangnya. Termasuk inkonsistensinya
dalam mengubah-ubah konsep ideologi hanya sebatas persoalan semantika belaka.
Saatnya Rakyat Bergerak ke Depan. Pemilu Serentak 2019 baru pertama kali. Pasti
banyak cacat atas hal itu. Namun tergesa-gesa mengubahnya lagi, juga tidak
bijaksana. Karena hanya akan membuat kita berada dalam trial and eror terus, Di
samping menunjukkan tidak adanya jaminan dukungan para akademisi dalam hal ini.
Para aktivis demokrasui, yang menjadi pengusul Pemilu Serentak, juga hanya
berhenti pada ide. Tidak mampu mengelaborasi dari sisi teknis dan manjemen.
Termasuk tidak adanya asuransi kerja, plus honorarium yang kecil, hingga
minimnya SDM.
Rakyat yang selalu berada
dalam under-estimate, tidak memiliki
problem yang serius mengenai Pemilu Serentak. Dalam banyak hal, mungkin mereka
juga lebih dimudahkan. Karena hanya sekali dalam lima tahun mereka berhadapan masalah
yang ribet dan penuh janji dan kamuflase. Persoalannya lebih pada penyelengara
dan peserta Pemilu. Merekalah yang lebih tidak siap, termasuk parlemen yang
punya kepentingan besar atas hal itu. Yang terakhir itu, bukan haya tidak siap,
melainkan juga tidak tulus dalam pengabdiannya melalui jalur yang kita sebut
demokrasi.
Coba saja lihat, dua ketua
dewan dari parlemen, menyebut Proses Pemilu dalam pandangan yang negatif. Tak
peduli pujian beberapa negara tetangga, mereka memberikan pernyatan mengenai
kesuksesan Indonesia terbesar dalam dunia internasional. Ttetapi tanpa melihat
persoalannya secara menyeluruh dan adil. Mereka juga hanya memberikan
pernyataan, tetapi tanpa solusi. Itu menunjukkan karena mereka memiliki
pretensi politik tertentu.
Dalam praktik poilitik
yang buruk dari elite kita, entah dari dunia politik, kampus, maupun agama (ulama), kita melihat Prabowo adalah
contoh korban. Yakni, seorang yang tidak mampu melihat, bahwa jaman sudah berubah. Generasi baru
telah lahir, dan superioritas masa lalu (Orba) sudah selesai.
Indonesia ke depan,
setidaknya lima tahun lagi, masih lebih banyak berharap balik pada Jokowi. Daripada
balik kanan, ke masa lalu.
Yogyakarta, 19 Mei 2019
Sunardian Wirodono, dari Yogyakarta